Agar Berhasil Wiraswasta Harus Mencari Peluang
Oleh Aan Hasanuddin dan
Tika Noorjaya
Ada dua hal menarik dari dunia wiraswasta, yang
keduanya satu sama lain saling bertolak belakang, yaitu kesempatan untuk
meraih sukses dan kemungkinan menanggung risiko. Dan justru situasi yang bertolak belakang
itu yang tetap merangsang orang untuk menerjuninya.
Hari
ini Bisnis Indonesia menurunkan artikel kewiraswastaan yang ditulis oleh
Aan Hasanuddin dan Tika Noorjaya, masing-masing lulusan FISIP Unpad, Bandung
dan Faperta IPB Bogor. Artikel ini merupakan bagian terakhir dari serial 3
tulisan.
|
BOGOR: Banyak wiraswastawan kita
yang berhasil, tetapi lebih banyak lagi yang mengalami kegagalan. Perkiraan
menunjukkan bahwa mereka yang sukses tidak lebih dari 5%, dan tidak perlu
heran, sisanya sebagian besar akan terus mencoba bangkit kembali, karena
dianggap bahwa kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda.
Ada dua hal menarik dari dunia wiraswasta, yang keduanya satu sama lain saling bertolak belakang, yaitu kesempatan untuk meraih sukses dan kemungkinan menanggung risiko.
Justru kedua situasi
yang bertolak belakang itu yang tetap merangsang orang untuk menerjuninya. Ini, dapat berarti dua
hal. Pertama, banyak orang yang
optimistis dengan selalu melihat dari sisi positif terhadap situasi yang
dialaminya. Kedua, orang memang harus
berkiprah untuk mempertahankan hidupnya, karena mungkin dunia lain tidak
bermurah hati padanya.
Bagi pendatang baru, atau yang sudah menceburkan diri ke dalam dunia wiraswasta, seyogyanya mengkaji kembali rahasia yang tersimpan di lubuk hati usahawan. Howard H. Svenson mencoba ”membedah dada” para wiraswastawan, dan menemukan rumus kunci dalam hati mereka, untuk diuji kesahihannya, disesuaikan dengan konteks budaya kita , agar pemahaman kita menjadi bulat dan tetap relevan.
Kewiraswastaan seringkali dihubungkan dengan istilah inovatif, kreatif, dinamis, sanggup mengambil risiko dan berorientasi pada pertumbuhan. Hal ini dapat dimengerti, mengingat pada umumnya wiraswastaan harus selalu mencari jalan untuk mengoperasionalkan inovasi dan kreativitasnya dalam tindakan, yang oleh orang awam jarang terpikirkan. Namun, pengertian ini kurang jelas dan akan menyulitkan bagi para manajer dalam usahanya untuk lebih berjiwa wiraswasta.
Tipe Manajer
Dalam hubungan itu, sekurang-kurangnya ada dua tipe perilaku ekstrim
manajer. Pertama, manajer yang bersifat
promotor, yang yakin akan kemampuan untuk memperoleh kesempatan. Jenis ini, tidak hanya menyesuaikan diri pada
perubahan, tetapi perubahan itu sendiri dicoba diciptakan dengan mengerahkan
segala kemampuannya. Dia sadar, setiap perusahaan akan mengalami pasang surut,
terutama apabila kepentingan individu berbeda dengan kepentingan perusahaan.
Wiraswatawan yang berhasil akan berusaha menyesuaikan kedua kepentingan
tersebut, dengan memandang bahwa kepentingan karyawan adalah juga kepentingan
perusahaan; pun sebaliknya.
Kedua, termasuk jenis ”Trustee”, yaitu manajer yang selalu merasa dirinya terancam oleh perubahan atau sesuatu yang tidak diketahuinya. Dia lebih mengutamakan hal-hal yang dapat diduga, karena tidak membahayakan dirinya. Tipe ini berjiwa priyayi. Ia sangat khawatir dengan setiap perubahan, misalnya takut andaikata bawahannya lebih pandai atau lebih terampil. Ia juga khawatir kalau pelanggannya akan beralih ke perusahaan lain.
Padahal, proses kewiraswastaan biasanya mengarah pada dua hal yang satu sama lain tak terlepaskan dan menyangkut masalah perubahan, yakni perubahan pasar dan pengembangan kewiraswastaan itu sendiri.
Pasar merupakan tempat yang selalu dicari oleh para usahawan untuk dijadikan tempat jual-beli barang dan jasa. Karena selalu diperebutkan, maka pasar itu pun berubah-ubah sesuai dengan ”siapa” yang menguasainya. Kedinamisan pasar, memaksa orang yang berkepentingan selalu berupaya agar tidak terlempar dari pasar.
Ambil Keputusan
Untuk tetap memperoleh bagian dari pasar, dibutuhkan upaya pengambilan
keputusan oleh manajer secara tepat dan cepat. Dalam hubungan ini, manajer tipe
kedua sebelum memutuskan sesuatu antara lain, akan bertanya tentang sumberdaya
apa yang ada di bawah penguasaannya;
struktur apa yang menghubungkan antara organisasi dengan pasar; bagaimana
dirinya dapat mempengaruhi orang lain yang berakibat terhadap kerjanya, serta
kesempatan apa yang layak untuk usahanya.
Lain halnya dengan tipe pertama. Sebelum membuat keputusan, ia mengajukan pertanyaan yang berkisar pada ”letak” kesempatan itu; bagaimana cara merealisirnya, sumberdaya apa yang diperlukan; kemudian, bagaimana dapat menguasainya serta struktur apa yang digunakannya.
Perbedaan kedua tipe di
atas, akan sangat
berpengaruh pada perolehan kesempatan untuk dapat menguasai pasar. Dari
beberapa pertanyaan di atas, tampak bahwa
manajer tipe pertama lebih aktif, kreatif dan inovatif
dibandingan dengan manajer tipe kedua. Tipe terakhir ini, ternyata lebih
mengutamakan keamanan daripada risiko, lebih mengutamakan
organisasi daripada langkah nyata, serta lebih mengutamakan formalitas daripada
mobilitas untuk menguasai berbagai sumberdaya yang akan digunakannya.
Cari Kesempatan
Setiap wiraswasta harus mencari kesempatan. Apabila kesempatan itu sudah
diraih, berarti salah-satu jalan menuju sukses sudah ”di tangan”. Untuk memperoleh kesempatan tersebut, ia
seyogyanya berorientasi ke luar (pasar), dan bukan ke dalam (sumberdaya yang
dimilikinya). Manajer tipe pertama selalu menyesuaikan dengan perubahan di
luar, sedangkan manajer tipe kedua selalu melestarikan sumberdaya dan bereaksi
secara lamban, agar terhindar dari kemungkinan mendapat ancaman.
Mental seorang wiraswastawan akan selalu diuji agar keputusan yang diambilnya dapat bermanfaat bagi perusahaan dan masyarakat. Selain itu, seorang wiraswastwan seyogyanya kreatif dan inovatif. Ia barangkali tidak perlu melakukan upaya terobosan yang hebat, melainkan hanya meramu gagasan-gagasan lama agar kelihatannya seperti baru.
Dalam dunia nyata seorang wiraswastawan akan berhadapan dengan berbagai tantangan. Pertama, teknologi yang selalu membuka pintu baru bagi perubahan dan menutup yang lainnya, sehingga penguasaan teknologi secepatnya akan sangat membantu meningkatkan produktivitas.
Kedua, konsumen selalu menginginkan perubahan pelayanan yang lebih baik; hal ini seyogyanya menjadi perhitungan para wiraswastawan, mengingat sifat manusia yang selalu ingin mengganti barang-barang keperluannya, walaupun barang yang lama masih baik.
Ketiga, sehubungan dengan tatanilai sosial yang berubah, maka diperlukan kearifan bahwa masyarakat itu merupakan sesuatu yang selalu bergerak secara dinamis. Seorang wiraswastawan yang baik sekurang-kurangnya akan melangkah dengan dinamika yang sama, bahkan seharusnya berada di depan menyongsong perubahan-perubahan dan mungkin mengarahkannya, sehingga ketika masyarakat memerlukan suatu barang atau jasa, ia sudah siap-sedia.
Keempat, tindakan-tindakan politik dan peraturan pemerintah yang mempengaruhi persaingan harus diikuti agar tidak bertentangan dengan aturan main pemerintah.
Kuasai Sumberdaya
Banyak orang yang
terkecoh dengan sumberdaya apabila mereka akan melakukan sesuatu. Mereka selalu
berpikir mengenai tingkat sumberdaya untuk merealisir kesempatan yang sudah
dicanangkan; padahal, kalau diresapi dengan baik, sukses itu tidak berhubungan
dengan sumberdaya, melainkan berhubungan dengan kreativitas.
Karena sumberdaya sangat terbatas, maka tidak sedikit orang yang beranggapan akan perlunya penguasaan sumberdaya. Namun, manajer tipe pertama menganggap bahwa sumberdaya itu tidak harus dimiliki, melainkan lebih ditekankan pada kemampuan untuk menggunakannya. Dalam alam pikirannya, teknologi yang cepat berubah tidak perlu dimiliki, sebab memiliki itu sangat mahal, antara lain karena cepat berubah, tidak efisien dan untuk menjaga stabilitas. Sedangkan manajer tipe kedua beranggapan bahwa sumberdaya tidak cukup hanya dikuasai, tetapi harus pula dimiliki atau digaji.
Satu hal lagi yang sering menjadi bahan pemikiran para wiraswastawan, yakni struktur apa yang terbaik dalam organisasi usahanya. Manajer tipe pertama, tidak peduli terhadap struktur organisasi yang akan digunakan; yang penting jalan !. Hal ini bukan berarti bahwa struktur organisasi tidak perlu, tetapi keberadaannya tidak dijadikan pokok permasalahan yang harus dipersiapkan secara cermat. Sedangkan bagi manajer tipe kedua, struktur organisasi sangat penting, bukan saja untuk keteraturan kerja dan mendudukkan orang sesuai pada tempatnya, bahkan lebih dari itu; struktur tersebut baginya dapat berubah fungsi menjadi (antara lain) atribut bagi status dirinya, sehingga tampak lebih formal.
Merangsang Jiwa
Wiraswastawan
bukan merupakan tipe orang tertentu, walaupun dalam keberadaannya ia sering
melakukan hal yang aneh-aneh, sehingga mungkin sulit dimengerti orang.
Untuk mengetahui tempat mereka, kita dapat menemukannya pada perusahaan-perusahaan kecil, karena apabila perusahaan itu sudah menjadi besar, para wirawastawan cenderung formal dalam perilakunya.
Menjadi wirawastawan tangguh, yang tahan banting dalam segala situasi dan kondisi, memang memerlukan latihan, baik melalui pengetahuan dan buku-buku atau pengalamannya sendiri.
Untuk sebagian
orang, kehadiran suatu organisasi dianggap sangat perlu sebagai wadah dalam
melakukan sesuatu, sehingga barangkali tidak sedikit yang mengangankan menjadi
usahawan.
Yang sangat perlu
diperhatikan oleh calon, apalagi yang sudah mengaku dirinya sebagai
wiraswatawan, adalah melakukan sesuatu yang kelihatannya tidak mungkin,
sepanjang hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan falsafah negara dan agama.
Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, Jum’at, 2 Mei 1986; di halaman 4.
Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, Jum’at, 2 Mei 1986; di halaman 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar