Kamis, 14 Mei 2015

Mengangkat Pengusaha Kecil Perlu Penggalangan

Mengangkat Pengusaha Kecil Perlu Penggalangan

Oleh Tika Noorjaya

JAKARTA. Kabinet Pembangunan VI tampaknya memberikan angin segar bagi pengusaha kecil. Paling tidak, pembinaan terhadap pengusaha kecil secara struktural kini berada dalam satu wadah, yakni Departemen Koperasi. Memang benar, selama ini telah banyak upaya pembinaan yang ditempuh pemerintah dan lembaga lain yang bergerak untuk memajukan mereka.
Tapi di masa lalu pembinaan tersebut seringkali didasarkan pada selera tertentu dan terkesan “rebutan kavling” dari berbagai departemen/lembaga. Sehingga koordinasinya pun sering tercecer di balik kepentingan masing-masing pihak untuk lebih menonjolkan perannya. Karena itu, masih menjadi pertanyaan, apakah angin segar itu benar-benar mampu menembus “ruang pengap” para pengusaha kecil, ataukah mereka akan tetap diselimuti kepengapan yang selama ini begitu setia mengukung mereka.
Dengan demikian tantangan utama bagi Departemen Koperasi dalam membina pengusaha kecil adalah bagaimana menggalang berbagai kekuatan yang selama ini telah ada. Selain itu juga mengarahkan pengusaha kecil pada tujuan utama, yakni membina mereka melalui koordinasi yang efektif. Berbarengan dengan itu diharapkan terjadi integrasi dan sinkronisasi. Adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) sebagai suatu tim, tentu, tidak berhenti hingga tingkat menteri, seperti diamanatkan Presiden Soeharto saat melantik menteri Kabinet Pembangunan VI. Justru di tingkat lapanganlah – di tingkat pelaksana – kata kunci ini akan mendapatkan ujian. Sebagai bidang ”baru”, KIS dalam era pembinaan pengusaha kecil di Departemen Koperasi akan diuji keandalannya atau justru kegagalannya.
Sinergi
Peran usaha kecil dalam perekonomian Indonesia tidaklah diragukan, baik dalam hal keusahaan maupun kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja. Posisi strategis dan potensi ekonomi yang terkandung di dalamnya juga telah berhasil mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi, perdagangan, khususnya kebijakan fiskal seperti kelahiran Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), serta dibentuknya beberapa badan pemerintah yang khusus terkait dengan usaha kecil.
Perhatian khusus ini terlihat dalam Paket Januari 1990, yang salah satu tujuannya adalah menyempurnakan program kredit bagi usaha kecil agar lebih mantap, terarah dan dilakukan secara luas oleh semua bank. Sebagai pengganti KIK dan KMKP, bank pemberi kredit diwajibkan menyalurkan 20% dari portofolio kreditnya untuk usaha kecil berupa Kredit Usaha Kecil (KUK).
Belakangan, muncul juga kebijakan pemerintah yang mengharuskan setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalokasikan 1% - 5% labanya untuk membina pengusaha kecil (dan koperasi). Beberapa BUMN, kini memiliki badan (yayasan) tersendiri untuk menangani tugas tersebut. Beberapa proyek percontohan pun telah banyak dilaksanakan antara lain bekerjasama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sementara itu, Bank Indonesia kini juga mengembangkan sektor di luar perbankan yang berkaitan dengan usaha kecil, yakni Unit Pengembangan Usaha Kecil (UPUK).
Di luar itu, berbagai departemen melakukan upaya sejenis, kendati dengan nama dan sasaran yang lebih spesifik. Beberapa Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) juga menggarap bidang yang sama, baik melalui dana bantuan luar negeri maupun kerjasama dengan berbagai departemen.
Berbagai pembinaan itu tampaknya memang diperlukan. Seperti diketahui, kemampuan pengusaha kecil sangat terbatas, baik karena perkembangan usahanya yang masih awal, maupun prospek usahanya yang kadang belum jelas karena belum memiliki pandangan ke depan serta perencanaan yang baik. Bahkan, tidak jarang sistem pembukuan pun belum teratur. Rendahnya pendidikan pun menyebabkan keterbatasan informasi mengenai perbankan, sehingga pengetahuan tentang aspek perbankan pun terbatas. Sejumlah kekurangan lain di bidang manajemen, dapat ditambahkan.
Menghadapi kekurangan yang demikian ”banyak”, tidak terelakan diperlukan upaya pembinaan dari berbagai pihak. Namun, pembinaan yang kurang terkoordinasi kiranya hanya akan menghamburkan sumberdaya – baik materil maupun nonmateril. Padahal, kalau saja segenap sumber daya pembinaan pengusaha kecil dapat dikoordinasikan dengan baik, bukan mustahil akan menghasilkan efek sinergi. Untuk itu, perlu ada persepsi yang sama terhadap tujuan pembinaan pengusaha kecil, yang kemudian diwujudkan dalam strategi dan perencanaan yang matang, menyangkut sasaran (target group), sumber dana, serta organisasi dan perangkatnya.
Sebagai Sasaran
Kata ”kecil”, bagaimanapun, sangatlah subyektif, termasuk dalam memahami arti pengusaha kecil. Akibatnya, setiap pihak akan mendefinisikannya berdasarkan subyektivitas yang dimiliki. Lebih celaka lagi, kalau diselewengkan pihak tertentu, sehingga ada upaya dari yang bersangkutan untuk mendefinisikan dirinya sebagai pengusaha kecil, mengingat berbagai kemudahan dan fasilitas yang mungkin akan diterimanya. Kolusi dengan pembuat keputusan, bukan mustahil kalau ide besar untuk membina pengusaha kecil melenceng ke sasaran di luarnya. Sebagai contoh, bagaimana pengusaha besar berusaha mendapatkan KUK dengan cara memecahkan kredit yang diajukannya, sehingga sesuai dengan kriteria KUK.
Kalau kita memiliki definisi yang berbeda mengenai pengusaha kecil, tentunya strategi, perencanaan, dan programnya pun berbeda. Karena itu, agar tidak terjadi kerancuan, kiranya perlu ada penegasan, bagaimanakah kriteria pengusaha kecil itu. Mengacu pada pendapat Marjanto Danusaputro (Seri Kajian Fiskal dan Moneter No.5/VIII/1992), obyek pengusaha kecil dapat digolongkan dalam lima klasifikasi.
Pertama, golongan pengusaha dengan aset Rp 201 juta-Rp 600 juta (aset maksimal Rp 600 juta sama dengan kriteria KUK). Kedua, golongan pengusaha dengan aset Rp 101 juta-Rp 200 juta. Ketiga, golongan pengusaha dengan aset lebih kecil dari Rp 100 juta, biasanya golongan pengusaha ini mempunyai usaha pokok dan tempat usaha yang tetap, tapi tidak mempunyai perusahaan yang berbentuk badan usaha dan tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan.
Keempat, jenis usaha terkecil yang biasanya disebut pengusaha informal, asongan dan sebagainya. Yaitu yang usahanya tidak tetap dengan tempat usaha yang sering berpindah, tapi mempunyai penghasilan cukup. Kelima, golongan rakyat termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor). Golongan ini terdiri dari mereka yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah, kebun/sawah tapi kurang dari 0,1 ha; pendapatan rumah tangga tidak lebih dari Rp 40.000,- per bulan; memiliki jumlah harta yang bergerak yang bernilai kurang dari Rp 150.000,- tapi memiliki ketrampilan dalam suatu usaha.
Jenis pembinaan untuk masing-masing klasifikasi, tentu saja, berbeda-beda sesuai masalah yang dihadapi dan urgensinya. Hanya saja, menyangkut pembinaan yang melibatkan pendanaan – sesuai kemampuan – dan kemendesakannya, prioritas penanganannya perlu dibalik. Yakni dimulai dari klasifikasi kelima, keempat dan seterusnya (putting the last first), tanpa harus terlalu kaku, mengingat juga bisa diarahkan, agar pembinaan terhadap klasifikasi yang lebih tinggi (dengan jenis pembinaan yang berbeda) dimaksudkan agar mampu mengangkat dan membina pengusaha yang klasifikasinya berada di bawahnya.
“Peta” pengusaha kecil, dengan demikian, perlu disusun untuk melihat magnitude masalah, sekaligus sebagai acuan perumusan alternatif pembinaannya. Pengusaha mana yang perlu pembinaan materil dan mana yang nonmateril serta instansi/lembaga mana yang selama ini telah membinanya. Adakah LSM di daerah, yang memungkinkan dapat dijadikan kelompok masyarakat binaan. Dapatkan pengusaha yang homogen (masalahnya) dibina secara bersama (yang semula hanya dibina oleh lembaga/instansi tertentu). Pengusaha mana (yang telah berhasil dibina) yang dapat membina pengusaha lain di daerahnya dan sebagainya. Dalam hal ini, masukan dari para pembina selama ini sungguh sangat diperlukan, selain peransertanya dalam melakukan tindak lanjut.
Kegiatan yang diarahkan bagi pengusaha kecil seyogyanya lebih banyak berupa pembinaan peningkatan penguasaan aset nonfisik berupa pengetahuan dan ketrampilan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan aset fisik dan pendapatannya.
Sumber Dana
Dengan adanya wadah khusus pembinaan pengusaha kecil di Departemen Koperasi, tentunya tersedia anggarannya, selain sumber daya pelaksanaannya, termasuk organisasi dan kelengkapan perangkatnya. Namun, sumber dana dan daya pembinaan sesungguhnya akan menjadi jauh lebih besar seandainya berbagai anggaran di setiap departemen dan lembaga yang selama ini telah melakukan pembinaan dapat diintegrasikan ke dalamnya, dan penggunaannya berada dalam satu koordinasi.
Kecuali dana dari departemen, termasuk dalam sumber dana adalah dana dari lembaga lain serta bagian 5% laba BUMN yang dialokasikan untuk pembinaan usaha kecil. Mungkin perlu juga dipikirkan kehadiran semacam dana Inpres atau dana khusus lain untuk pembinaan usaha kecil – meski tidak harus berbentuk subsidi. Sementara itu, dana dari laba BUMN tidak lagi dialokasikan oleh masing-masing BUMN melainkan ditampung dan dikelola secara terpusat – yang karenanya penggunaannya bisa lebih berwawasan makro. Hal ini penting, karena masih cukup banyak daerah lain yang membutuhkan, terutama daerah terpencil.
Menyangkut organisasi dan perangkatnya, mungkin masih terlalu dini untuk sampai pada bentuk yang ”pas”. Karena merupakan reorientasi (dan mungkin juga reorganisasi) dari sejumlah komponen yang selama ini tersebar (baik di pusat maupun daerah), dengan penekanan perlunya koordinasi yang matang.
Hanya saja, secara prinsip seyogyanya ada upaya struktural khusus dan terarah untuk menjangkau pengusaha kecil. Mereka perlu dibantu dan ditangani sebaik-baiknya secara terpadu dan lintas sektoral, mengikutsertakan pembina yang ada selama ini, serta pemerintah daerah dan masyarakat setempat, termasuk pengusaha yang telah berhasil dibina. 

Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 26 Juni 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar