Mengangkat Pengusaha
Kecil Perlu Penggalangan
Oleh Tika
Noorjaya
JAKARTA. Kabinet Pembangunan VI tampaknya memberikan angin segar bagi pengusaha kecil. Paling tidak, pembinaan terhadap pengusaha kecil secara struktural kini berada dalam satu wadah, yakni Departemen Koperasi. Memang benar, selama ini telah banyak upaya pembinaan yang ditempuh pemerintah dan lembaga lain yang bergerak untuk memajukan mereka.
Tapi di
masa lalu pembinaan tersebut seringkali didasarkan pada selera tertentu dan
terkesan “rebutan kavling” dari berbagai departemen/lembaga. Sehingga koordinasinya
pun sering tercecer di balik kepentingan masing-masing pihak untuk lebih
menonjolkan perannya. Karena itu, masih menjadi pertanyaan, apakah angin segar
itu benar-benar mampu menembus “ruang pengap” para pengusaha kecil, ataukah
mereka akan tetap diselimuti kepengapan yang selama ini begitu setia mengukung
mereka.
Dengan
demikian tantangan utama bagi Departemen Koperasi dalam membina pengusaha kecil
adalah bagaimana menggalang berbagai kekuatan yang selama ini telah ada. Selain
itu juga mengarahkan pengusaha kecil pada tujuan utama, yakni membina mereka
melalui koordinasi yang efektif. Berbarengan dengan itu diharapkan terjadi
integrasi dan sinkronisasi. Adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
(KIS) sebagai suatu tim, tentu, tidak berhenti hingga tingkat menteri, seperti
diamanatkan Presiden Soeharto saat melantik menteri Kabinet Pembangunan VI.
Justru di tingkat lapanganlah – di tingkat pelaksana – kata kunci ini akan
mendapatkan ujian. Sebagai bidang ”baru”, KIS dalam era pembinaan pengusaha
kecil di Departemen Koperasi akan diuji keandalannya atau justru kegagalannya.
Sinergi
Peran usaha
kecil dalam perekonomian Indonesia tidaklah diragukan, baik dalam hal keusahaan
maupun kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja. Posisi strategis dan
potensi ekonomi yang terkandung di dalamnya juga telah berhasil mempengaruhi
berbagai kebijakan ekonomi, perdagangan, khususnya kebijakan fiskal seperti
kelahiran Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP),
Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), serta dibentuknya beberapa
badan pemerintah yang khusus terkait dengan usaha kecil.
Perhatian
khusus ini terlihat dalam Paket Januari 1990, yang salah satu tujuannya adalah
menyempurnakan program kredit bagi usaha kecil agar lebih mantap, terarah dan
dilakukan secara luas oleh semua bank. Sebagai pengganti KIK dan KMKP, bank
pemberi kredit diwajibkan menyalurkan 20% dari portofolio kreditnya untuk usaha
kecil berupa Kredit Usaha Kecil (KUK).
Belakangan,
muncul juga kebijakan pemerintah yang mengharuskan setiap Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) mengalokasikan 1% - 5% labanya untuk membina pengusaha kecil (dan
koperasi). Beberapa BUMN, kini memiliki badan (yayasan) tersendiri untuk
menangani tugas tersebut. Beberapa proyek percontohan pun telah banyak
dilaksanakan antara lain bekerjasama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Sementara itu, Bank Indonesia kini juga mengembangkan sektor di luar
perbankan yang berkaitan dengan usaha kecil, yakni Unit Pengembangan Usaha
Kecil (UPUK).
Di luar itu, berbagai departemen
melakukan upaya sejenis, kendati dengan nama dan sasaran yang lebih spesifik.
Beberapa Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) juga menggarap bidang
yang sama, baik melalui dana bantuan luar negeri maupun kerjasama dengan
berbagai departemen.
Berbagai
pembinaan itu tampaknya memang diperlukan. Seperti diketahui, kemampuan
pengusaha kecil sangat terbatas, baik karena perkembangan usahanya yang masih
awal, maupun prospek usahanya yang kadang belum jelas karena belum memiliki
pandangan ke depan serta perencanaan yang baik. Bahkan, tidak jarang sistem pembukuan
pun belum teratur. Rendahnya pendidikan pun menyebabkan keterbatasan informasi
mengenai perbankan, sehingga pengetahuan tentang aspek perbankan pun terbatas.
Sejumlah kekurangan lain di bidang manajemen, dapat ditambahkan.
Menghadapi
kekurangan yang demikian ”banyak”, tidak terelakan diperlukan upaya pembinaan
dari berbagai pihak. Namun, pembinaan yang kurang terkoordinasi kiranya hanya
akan menghamburkan sumberdaya – baik materil maupun nonmateril. Padahal, kalau
saja segenap sumber daya pembinaan pengusaha kecil dapat dikoordinasikan dengan
baik, bukan mustahil akan menghasilkan efek sinergi. Untuk itu, perlu ada
persepsi yang sama terhadap tujuan pembinaan pengusaha kecil, yang kemudian
diwujudkan dalam strategi dan perencanaan yang matang, menyangkut sasaran
(target group), sumber dana, serta organisasi dan perangkatnya.
Sebagai Sasaran
Kata ”kecil”,
bagaimanapun, sangatlah subyektif, termasuk dalam memahami arti pengusaha
kecil. Akibatnya, setiap pihak akan mendefinisikannya berdasarkan subyektivitas
yang dimiliki. Lebih celaka lagi, kalau diselewengkan pihak tertentu, sehingga
ada upaya dari yang bersangkutan untuk mendefinisikan dirinya sebagai pengusaha
kecil, mengingat berbagai kemudahan dan fasilitas yang mungkin akan
diterimanya. Kolusi dengan pembuat keputusan, bukan mustahil kalau ide besar
untuk membina pengusaha kecil melenceng ke sasaran di luarnya. Sebagai contoh,
bagaimana pengusaha besar berusaha mendapatkan KUK dengan cara memecahkan
kredit yang diajukannya, sehingga sesuai dengan kriteria KUK.
Kalau
kita memiliki definisi yang berbeda mengenai pengusaha kecil, tentunya
strategi, perencanaan, dan programnya pun berbeda. Karena itu, agar tidak
terjadi kerancuan, kiranya perlu ada penegasan, bagaimanakah kriteria pengusaha
kecil itu. Mengacu pada pendapat Marjanto Danusaputro (Seri Kajian Fiskal dan Moneter No.5/VIII/1992), obyek pengusaha
kecil dapat digolongkan dalam lima klasifikasi.
Pertama, golongan
pengusaha dengan aset Rp 201 juta-Rp 600 juta (aset maksimal Rp 600 juta sama
dengan kriteria KUK). Kedua, golongan
pengusaha dengan aset Rp 101 juta-Rp 200 juta. Ketiga, golongan pengusaha dengan aset lebih kecil dari Rp 100
juta, biasanya golongan pengusaha ini mempunyai usaha pokok dan tempat usaha
yang tetap, tapi tidak mempunyai perusahaan yang berbentuk badan usaha dan
tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan.
Keempat, jenis
usaha terkecil yang biasanya disebut pengusaha informal, asongan dan
sebagainya. Yaitu yang usahanya tidak tetap dengan tempat usaha yang sering
berpindah, tapi mempunyai penghasilan cukup. Kelima, golongan rakyat termiskin dari yang miskin (the poorest of the poor). Golongan ini
terdiri dari mereka yang tidak memiliki tanah atau memiliki tanah, kebun/sawah
tapi kurang dari 0,1 ha; pendapatan rumah tangga tidak lebih dari Rp 40.000,-
per bulan; memiliki jumlah harta yang bergerak yang bernilai kurang dari Rp
150.000,- tapi memiliki ketrampilan dalam suatu usaha.
Jenis pembinaan untuk masing-masing
klasifikasi, tentu saja, berbeda-beda sesuai masalah yang dihadapi dan
urgensinya. Hanya saja, menyangkut pembinaan yang melibatkan pendanaan – sesuai
kemampuan – dan kemendesakannya, prioritas penanganannya perlu dibalik. Yakni
dimulai dari klasifikasi kelima, keempat dan seterusnya (putting the last first), tanpa harus terlalu kaku, mengingat juga
bisa diarahkan, agar pembinaan terhadap klasifikasi yang lebih tinggi (dengan
jenis pembinaan yang berbeda) dimaksudkan agar mampu mengangkat dan membina
pengusaha yang klasifikasinya berada di bawahnya.
“Peta” pengusaha kecil, dengan
demikian, perlu disusun untuk melihat magnitude
masalah, sekaligus sebagai acuan perumusan alternatif pembinaannya. Pengusaha
mana yang perlu pembinaan materil dan mana yang nonmateril serta
instansi/lembaga mana yang selama ini telah membinanya. Adakah LSM di daerah,
yang memungkinkan dapat dijadikan kelompok masyarakat binaan. Dapatkan
pengusaha yang homogen (masalahnya) dibina secara bersama (yang semula hanya
dibina oleh lembaga/instansi tertentu). Pengusaha mana (yang telah berhasil
dibina) yang dapat membina pengusaha lain di daerahnya dan sebagainya. Dalam
hal ini, masukan dari para pembina selama ini sungguh sangat diperlukan, selain
peransertanya dalam melakukan tindak lanjut.
Kegiatan
yang diarahkan bagi pengusaha kecil seyogyanya lebih banyak berupa pembinaan peningkatan
penguasaan aset nonfisik berupa pengetahuan dan ketrampilan, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan aset fisik dan pendapatannya.
Sumber Dana
Dengan adanya
wadah khusus pembinaan pengusaha kecil di Departemen Koperasi, tentunya
tersedia anggarannya, selain sumber daya pelaksanaannya, termasuk organisasi
dan kelengkapan perangkatnya. Namun, sumber dana dan daya pembinaan
sesungguhnya akan menjadi jauh lebih besar seandainya berbagai anggaran di
setiap departemen dan lembaga yang selama ini telah melakukan pembinaan dapat
diintegrasikan ke dalamnya, dan penggunaannya berada dalam satu koordinasi.
Kecuali
dana dari departemen, termasuk dalam sumber dana adalah dana dari lembaga lain
serta bagian 5% laba BUMN yang dialokasikan untuk pembinaan usaha kecil.
Mungkin perlu juga dipikirkan kehadiran semacam dana Inpres atau dana khusus
lain untuk pembinaan usaha kecil – meski tidak harus berbentuk subsidi.
Sementara itu, dana dari laba BUMN tidak lagi dialokasikan oleh masing-masing
BUMN melainkan ditampung dan dikelola secara terpusat – yang karenanya
penggunaannya bisa lebih berwawasan makro. Hal ini penting, karena masih cukup
banyak daerah lain yang membutuhkan, terutama daerah terpencil.
Menyangkut
organisasi dan perangkatnya, mungkin masih terlalu dini untuk sampai pada
bentuk yang ”pas”. Karena merupakan reorientasi (dan mungkin juga reorganisasi)
dari sejumlah komponen yang selama ini tersebar (baik di pusat maupun daerah),
dengan penekanan perlunya koordinasi yang matang.
Hanya
saja, secara prinsip seyogyanya ada upaya struktural khusus dan terarah untuk
menjangkau pengusaha kecil. Mereka perlu dibantu dan ditangani sebaik-baiknya
secara terpadu dan lintas sektoral, mengikutsertakan pembina yang ada selama
ini, serta pemerintah daerah dan masyarakat setempat, termasuk pengusaha yang
telah berhasil dibina.
Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 26 Juni 1993.
Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 26 Juni 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar