Berantas? Jangan. Malah Sebaiknya
Dimanfaatkan
Lintah Darat Sbg
”Perpanjangan Tangan” Bank
Oleh Tika Noorjaya
Lintah adalah binatang yang tampaknya lemah, dengan tubuh lunak
dan berlendir. Tapi dari kelemahannya itu mampu menghisap darah, yang menurut
cerita orang-tua, baru berhenti bila ditetesi air tembakau dan ada geledek!.
Bayangan tentang
lintah, rupanya masih kalah seram dibandingkan dengan bayangan tentang lintah
darat (rentenir). Dalam diskusi panel yang diselenggarakan di Jakarta baru-baru
ini, yang bertemakan “Pemberantasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan
Keadilan”, Ketua Mahkamah Agung, Ali Said menilai bahwa praktek rentenir yang
telah merajalela dalam kehidupan masyarakat kita, tidaklah kalah ganasnya dari
penyakit kanker. Bahkan, dalam kesempatan lain Ketua Persatuan Advokat
Indonesia (Peradin) Cabang Bandung menyarankan agar rentenir diberantas saja
dengan jalan disudutkan ke undang-undang perbankan (“Pikiran Rakyat”, 29
November 1985).
Sedemikian jelekkah citra kita terhadap lintah darat ? Untuk memeriksanya,
barangkali kita perlu menjernihkan pikiran dahulu, dan menempatkannya dalam kerangka
logika dan pemahaman secara konsepsional, agar tidak terjerumus ke dalam
pembahasan yang emosional.
Mengapa Ada Lintah Darat
?
Kita tidak tahu persis, kapan lintah darat mulai ada di Indonesia, tetapi
keberadaannya ternyata dapat terus bertahan. Apakah hal ini bukan merupakan petunjuk
bahwa mereka diperlukan? Kalau demikian, apakah masalahnya, sehingga banyak
dicaci-maki?.
Permasalahannya adalah ketidak-seimbangan antara permintaan dengan
penawaran; dalam arti permintaan
melebihi penawaran, sehingga tidak dapat dihindari adanya kelebihan permintaan,
yang menyebabkan suku bunga menjadi sangat tinggi. Berapa besar kesenjangan
tersebut, sepengetuhan penulis belum
pernah ada penelitian. Tetapi kalau diingat pengaruhnya yang ”mencekik leher”,
maka penanganannya secara tuntas tentu merupakan hal yang mendesak.
Itu pada satu sisi. Sisi lain adalah sikap mental yang mendukung dari
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Amro Munsyi Bemban dalam ”Harian AB”, 2
Desember 1985 secara menarik membahas hal ini. Ia antara lain
menyatakan, jangankan mengurbankan harta benda, bagi pemenuhan kebutuhannya
orang sanggup mempertaruhkan nyawa.
Untuk mengurangi/meniadakan kelebihan permintaan tersebut, pada prinsipnya
dapat ditempuh dua cara, yaitu mengurangi permintaan dan/atau menambah
penawaran. Tetapi keduanya bukanlah cara yang mudah, karena di dalamnya
menyangkut berbagai aspek kehidupan, tidak hanya pendekatan dari segi ekonomi
semata-mata.
Permintaan dan Penawaran
Banyaknya
permintaan terhadap likuiditas, baik dalam hal konsumsi ataupun produksi tentu
merupakan hal yang logis, dalam rangka peningkatan kepuasan masyarakat, apalagi
dengan gencarnya pembangunan sekarang ini. Hanya saja, kiranya perlu dicatat
bahwa sementara ini kepuasan masyarakat yang hakiki diukur dengan tingkat
konsumsi, dan untuk beberapa sektor informal bahkan konsumsi merupakan bekal
untuk berproduksi.
Karena itu, pemisahan kredit produksi dengan kredit konsumsi mungkin baik
dalam kaitan administratif, tetapi membuat pemisahannya dengan memberikan
prioritas yang tinggi pada kredit produksi tanpa ada alokasi yang memadai untuk
kredit konsumsi, tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Hal ini disebabkan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah peminjaman kredit bukan hanya untuk investasi
dalam rangka berproduksi (misalnya membeli pupuk, obat-obatan hama dan
penyakit, dan sebagainya), tapi juga untuk
memenuhi kebutuhan hidup pokok mereka yang mendesak akan makanan dan pakaian,
yang selanjutnya dimaksudkan untuk berproduksi. Bagi sektor ini, produksi dan
konsumsi merupakan keping uang bermata ganda, yang tidak dapat dipisahkan satu
dari yang lainnya.
Masalahnya, sampai seberapa jauh kredit konsumsi itu akan menjadi efektif
untuk berproduksi?.
Sementara hal itu belum dapat terjawab, marilah kita melihat dari sisi
lain, yaitu penawaran.
Ditinjau dari
sudut penawaran, maka kita mengenal berbagai sumber kredit, baik kelembagaan
formal maupun non formal. Termasuk ke dalam kelembagaan formal adalah Bank
Pemerintah, Bank Daerah, Bank Swasta, Koperasi, Pegadaian dan lain-lain.
Sedangkan kelembagaan non formal antara lain keluarga, kawan, pedagang besar,
tuan tanah, arisan dan pelepas uang, termasuk lintah darat yang sedang kita
perbincangkan. Yang perlu diberikan catatan khusus dalam hal ini adalah bahwa
sampai saat ini sumber kredit dari kelembagaan non formal masih merupakan
komplemen bagi sumber kredit dari kelembagaan formal, yang karenanya peranan
mereka masih sangat diperlukan.
Barangkali, kita
perlu mengakui kenyataan bahwa perbankan belum mampu sepenuhnya untuk memenuhi
harapan kebutuhan masyarakat akan kredit dalam jumlah dan waktu yang tepat. Hal
inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya kelembagaan keuangan non formal.
Kenyataan
menunjukkan bahwa untuk merealisasikan sebuah ajuan kredit kepada bank memerlukan
waktu dan biaya (?) yang tidak sedikit, untuk mengurus persyaratan administratif,
untuk menganalisa kelayakan, untuk membubuhkan paraf, untuk membubuhkan tanda
tangan, dan sebagainya. Khabarnya, jangankan untuk mendapatkan kredit, untuk
menabung saja masih memerlukan banyak waktu. Birokrasi? Barangkali!.
Koperasi sebagai
bangun usaha yang dijadikan sokoguru perekonomian Indonesia telah tampak
kemajuannya dalam beberapa kegiatan ekonomi, antara lain dalam keterlibatannya
menyalurkan kredit dan adanya unit usaha simpan-pinjam. Tapi apa yang terjadi?.
Khabarnya, lebih banyak anggota/pengurus yang meminjam daripada yang menyimpan,
tak lupa sebagian menunggak. Demikian juga, kekurangan modal koperasi untuk
menjalankan usahanya telah merupakan alasan klise, yang kembali menunjukkan
tentang masih kurangnya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan kredit. Ada memang
Kredit Candak Kulak (KCK) yang disalurkan lewat Koperasi, tetapi jenis yang
satu ini jumlahnya “tidak seberapa”, dan untuk mendapatkannya, khabarnya perlu
antrian …
Walaupun begitu,
diakui pula bahwa KCK dan kredit yang disalurkan koperasi lainnya telah banyak
menyentuh dan membantu masyarakat lapisan bawah, yang karenanya, seyogyanya
mendapat perhatian yang lebih besar, serta besarnya plafond juga mungkin dapat ditingkatkan, sebanding dengan penurunan
nilai uang dan besarnya permintaan.
Lain halnya dengan kelembagaan non formal, yang untuk hal ini lebih kita
arahkan pada lintah darat. Mereka memiliki keunggulan dibandingkan kelembagaan
formal, dengan sikapnya yang ”ramah”, selalu bersedia membantu nasabahnya kapan
saja (yang mempunyai jaminan, tentu), dan sebagainya. Mereka berkeliling dari
satu pelosok ke pelosok lain untuk mencari nasabah yang ”akan ditolongnya”.
Mereka ada di kantor pos tempat pembayaran tunjangan pensiun, mereka ada di
kantor pegadaian dan lepas jam kerja beroperasi di warung-warung; ada juga yang
seharian beroperasi di pasar-pasar. Barangkali, intinya adalah mereka yang
aktif mencari nasabah, dan bukan sebaliknya. Persyaratan pun dipermudah: ada jaminan, buat perjanjian, uang
diserahkan, selesai. Itu yang sudah moderen. Dalam hal khusus, bahkan tanpa
jaminan, dan hanya perjanjian lisan saja!.
Harus kita akui, mereka adalah wiraswastawan unggul!. Dengan kemudahan,
dengan kecepatan, dengan hubungan dekat dan berbagai cara lainnya di satu sisi,
serta kebutuhan peminjam yang mendesak di sisi lain, maka mereka menentukan
suku bunga yang sangat tinggi, yaitu sekitar 150-200 persen setahun, bahkan
dapat lebih tinggi lagi. Betapa kejamnya apabila dibandingkan dengan suku bunga
resmi sekitar 18 persen setahun.
Tapi mereka tidak bekerja sendirian. Ada ijon, panjar, tumblegan dan
tengkulak yang mempunyai spesialisasi berbeda dan tidak sekejam itu.
Ijon berasal dari bahasa Jawa ’ijo’, yang berarti hijau. Padi yang masih
hijau sebelum berbuah dijual oleh petani karena butuh uang. Demikian juga
buah-buahan seperti mangga atau kedondong yang masih kecil dijual di pohon;
atau sayur-sayuran seperti kubis, kentang dan sebagainya dijual sebelum masa
panen dengan harga yang sangat rendah, karena butuh uang.
Panjar dan tumblegan bekerja dengan cara mengikat petani agar tidak menjual
hasilnya kepada pihak lain. Juga karena petani butuh uang.
Tengkulak dapat membeli hasil panen dari petani dengan harga rendah juga
karena petani butuh uang.
Karena praktek mereka menimpa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan
tidak mempunyai banyak alternatif, maka tak heran andaikata para peminjam uang
itu jatuh pada kemiskinan yang semakin miskin, ... dan diam. Mereka terdiam dielus kemiskinan.
Karena itulah, mengharapkan perbaikan tingkat hidup mereka atas usaha
mereka sendiri mungkin merupakan penantian yang sia-sia, atau kalaupun mau
ditunggu rasanya terlalu lama. Pada pihak lain, komitmen politik sudah sedemikian
jelasnya, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang perlu dilakukan adalah
tindakan-tindakan nyata dan terarah bagi mereka yang kurang beruntung tersebut.
Tindakan-tindakan termaksud seyogyanya bukan merupakan sesuatu yang sifatnya
temporer, melainkan harus dalam kerangka suatu sistem yang berjalan sendiri.
Manfaatkan
Untuk menyusun
suatu sistem yang menjamin akses para petani miskin dan sektor informal lainnya
terhadap sumber-sumber keuangan, mungkin kita perlu mempelajari cara kerja
lintah darat dan kawan-kawannya secermat mungkin, sehingga kita dapat
memanfaatkannya di dalam sistem yang akan kita buat.
Apabila kita menyimak berbagai pendapat yang muncul ke permukaan belakangan
ini, terdapat kecenderungan untuk melakukan upaya penyelesaiannya lewat
berbagai peraturan, lengkap dengan sanksi yang berat bagi para lintah darat.
Diduga peraturan yang sedemikian tidak akan efektif, karena masalahnya
bukan terletak di sana, melainkan tidak
tertampungnya permintaan terhadap kebutuhan uang oleh sektor perbankan dan
kelembagaan formal lainnya.
Rasanya, masih ada alternatif lain, yang juga memerlukan pengujian, yaitu pemanfaatan lintah darat dalam
sistem perbankan, dengan menjadikannya sebagai aparat ”perpanjangan tangan”
dari Bank. Lintah darat dikoordinir dan diberikan
pinjaman/kredit dari Bank, dengan berbagai ketentuan. Mereka tetap menanggung
resiko atas para nasabahnya, diberikan ketentuan pengenaan suku bunga maksimal
yang rendah, dan mendapatkan premi untuk setiap penyaluran kredit, seperti
halnya petugas asuransi.
Sementara itu,
pemberian status sebagai karyawan bank pembantu mungkin secara psikologis akan
memberikan kebanggaan tersendiri. Bagi yang prestasinya baik, apa salahnya
kalau statusnya ditingkatkan menjadi karyawan bank sungguhan!.
Alternatif lain
adalah pemanfaatan pos keliling untuk penyaluran kredit, dengan ketentuan
seperti halnya karyawan Bank pembantu di atas.
Dalam hal ini,
jangan dilupakan adanya sistem dan lembaga pengawasan. Kepada para pembantu
bank tersebut dikenakan geledek (baca: sanksi) bagi yang menyalahi ketentuan.
Dengan memanfaatkan mereka, maka gagasan Bank Masuk Kampung (bukan lagi Bank
Masuk Desa) dapat direalisasikan, karena sesungguhnya di sinilah letak
permasalahannya, yakni belum mampunya perbankan menjangkau orang yang
membutuhkan kredit pada jumlah dan waktu yang tepat.
Barangkali cara
ini merupakan salah satu upaya untuk membentuk instrumen yang cocok dengan
keadaan pedesaan kita dalam rangka mengurangi hambatan pelaksanaan capital reform, seperti dinyatakan Bambang
Ismawan (“Kompas”, 2 Desember 1985), bahwa meskipun berbagai program
perkreditan sudah diupayakan pemerintah ke pedesaan, namun capital reform menghadapi kesulitan akibat program-program
termaksud instrumennya sering tak sesuai dengan milik masyarakat desa, sehingga
masyarakat kecil akhirnya tetap lari kepada pelepas uang, walaupun mereka
merasakan beban bunga yang sangat tinggi.
Dengan upaya
seperti dipaparkan dimuka, tentu saja tidak berarti bahwa koperasi
simpan-pinjam, KCK dan semacamnya dihapuskan, melainkan kelembagaan tersebut
seyogyanya terus ditingkatkan peranannya, sehingga pasar uang di desa-desa/kampung,
lebih banyak tersedia dan bervariasi. Dengan demikian, suku bunga di pasar uang
non formal dapat diharapkan menurun sampai pada tingkat yang wajar.
Kalau demikian,
sang lintah darat diharapkan melepaskan diri dari hisapannya, karena cairan
tembakau telah diteteskan dan geledek pun siap menggelegar.
Artikel ini
dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jumat, 3 Januari 1986; halaman 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar