Sabtu, 16 Mei 2015

Lintah Darat Sbg ”Perpanjangan Tangan” Bank



Berantas? Jangan.  Malah Sebaiknya Dimanfaatkan
Lintah Darat Sbg ”Perpanjangan Tangan” Bank
Oleh Tika Noorjaya

Lintah adalah binatang yang tampaknya lemah, dengan tubuh lunak dan berlendir. Tapi dari kelemahannya itu mampu menghisap darah, yang menurut cerita orang-tua, baru berhenti bila ditetesi air tembakau dan ada geledek!.
Bayangan tentang lintah, rupanya masih kalah seram dibandingkan dengan bayangan tentang lintah darat (rentenir). Dalam diskusi panel yang diselenggarakan di Jakarta baru-baru ini, yang bertemakan “Pemberantasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan”, Ketua Mahkamah Agung, Ali Said menilai bahwa praktek rentenir yang telah merajalela dalam kehidupan masyarakat kita, tidaklah kalah ganasnya dari penyakit kanker. Bahkan, dalam kesempatan lain Ketua Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Cabang Bandung menyarankan agar rentenir diberantas saja dengan jalan disudutkan ke undang-undang perbankan (“Pikiran Rakyat”, 29 November 1985).
Sedemikian jelekkah citra kita terhadap lintah darat ? Untuk memeriksanya, barangkali kita perlu menjernihkan pikiran dahulu, dan menempatkannya dalam kerangka logika dan pemahaman secara konsepsional, agar tidak terjerumus ke dalam pembahasan yang emosional.
Mengapa Ada Lintah Darat ?
Kita tidak tahu persis, kapan lintah darat mulai ada di Indonesia, tetapi keberadaannya ternyata dapat terus bertahan. Apakah hal ini bukan merupakan petunjuk bahwa mereka diperlukan? Kalau demikian, apakah masalahnya, sehingga banyak dicaci-maki?.
Permasalahannya adalah ketidak-seimbangan antara permintaan dengan penawaran; dalam arti permintaan melebihi penawaran, sehingga tidak dapat dihindari adanya kelebihan permintaan, yang menyebabkan suku bunga menjadi sangat tinggi. Berapa besar kesenjangan tersebut, sepengetuhan penulis belum pernah ada penelitian. Tetapi kalau diingat pengaruhnya yang ”mencekik leher”, maka penanganannya secara tuntas tentu merupakan hal yang mendesak.
Itu pada satu sisi. Sisi lain adalah sikap mental yang mendukung dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Amro Munsyi Bemban dalam ”Harian AB”, 2 Desember 1985 secara menarik membahas hal ini. Ia antara lain menyatakan, jangankan mengurbankan harta benda, bagi pemenuhan kebutuhannya orang sanggup mempertaruhkan nyawa.
Untuk mengurangi/meniadakan kelebihan permintaan tersebut, pada prinsipnya dapat ditempuh dua cara, yaitu mengurangi permintaan dan/atau menambah penawaran. Tetapi keduanya bukanlah cara yang mudah, karena di dalamnya menyangkut berbagai aspek kehidupan, tidak hanya pendekatan dari segi ekonomi semata-mata.
Permintaan dan Penawaran
Banyaknya permintaan terhadap likuiditas, baik dalam hal konsumsi ataupun produksi tentu merupakan hal yang logis, dalam rangka peningkatan kepuasan masyarakat, apalagi dengan gencarnya pembangunan sekarang ini. Hanya saja, kiranya perlu dicatat bahwa sementara ini kepuasan masyarakat yang hakiki diukur dengan tingkat konsumsi, dan untuk beberapa sektor informal bahkan konsumsi merupakan bekal untuk berproduksi.
Karena itu, pemisahan kredit produksi dengan kredit konsumsi mungkin baik dalam kaitan administratif, tetapi membuat pemisahannya dengan memberikan prioritas yang tinggi pada kredit produksi tanpa ada alokasi yang memadai untuk kredit konsumsi, tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Hal ini disebabkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah peminjaman kredit bukan hanya untuk investasi dalam rangka berproduksi (misalnya membeli pupuk, obat-obatan hama dan penyakit, dan sebagainya), tapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok mereka yang mendesak akan makanan dan pakaian, yang selanjutnya dimaksudkan untuk berproduksi. Bagi sektor ini, produksi dan konsumsi merupakan keping uang bermata ganda, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.
Masalahnya, sampai seberapa jauh kredit konsumsi itu akan menjadi efektif untuk berproduksi?.
Sementara hal itu belum dapat terjawab, marilah kita melihat dari sisi lain, yaitu penawaran.
Ditinjau dari sudut penawaran, maka kita mengenal berbagai sumber kredit, baik kelembagaan formal maupun non formal. Termasuk ke dalam kelembagaan formal adalah Bank Pemerintah, Bank Daerah, Bank Swasta, Koperasi, Pegadaian dan lain-lain. Sedangkan kelembagaan non formal antara lain keluarga, kawan, pedagang besar, tuan tanah, arisan dan pelepas uang, termasuk lintah darat yang sedang kita perbincangkan. Yang perlu diberikan catatan khusus dalam hal ini adalah bahwa sampai saat ini sumber kredit dari kelembagaan non formal masih merupakan komplemen bagi sumber kredit dari kelembagaan formal, yang karenanya peranan mereka masih sangat diperlukan.
Barangkali, kita perlu mengakui kenyataan bahwa perbankan belum mampu sepenuhnya untuk memenuhi harapan kebutuhan masyarakat akan kredit dalam jumlah dan waktu yang tepat. Hal inilah yang menyebabkan tumbuh suburnya kelembagaan keuangan non formal.
Kenyataan menunjukkan bahwa untuk merealisasikan sebuah ajuan kredit kepada bank memerlukan waktu dan biaya (?) yang tidak sedikit, untuk mengurus persyaratan administratif, untuk menganalisa kelayakan, untuk membubuhkan paraf, untuk membubuhkan tanda tangan, dan sebagainya. Khabarnya, jangankan untuk mendapatkan kredit, untuk menabung saja masih memerlukan banyak waktu. Birokrasi? Barangkali!.
Koperasi sebagai bangun usaha yang dijadikan sokoguru perekonomian Indonesia telah tampak kemajuannya dalam beberapa kegiatan ekonomi, antara lain dalam keterlibatannya menyalurkan kredit dan adanya unit usaha simpan-pinjam. Tapi apa yang terjadi?. Khabarnya, lebih banyak anggota/pengurus yang meminjam daripada yang menyimpan, tak lupa sebagian menunggak. Demikian juga, kekurangan modal koperasi untuk menjalankan usahanya telah merupakan alasan klise, yang kembali menunjukkan tentang masih kurangnya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan kredit. Ada memang Kredit Candak Kulak (KCK) yang disalurkan lewat Koperasi, tetapi jenis yang satu ini jumlahnya “tidak seberapa”, dan untuk mendapatkannya, khabarnya perlu antrian …
Walaupun begitu, diakui pula bahwa KCK dan kredit yang disalurkan koperasi lainnya telah banyak menyentuh dan membantu masyarakat lapisan bawah, yang karenanya, seyogyanya mendapat perhatian yang lebih besar, serta besarnya plafond juga mungkin dapat ditingkatkan, sebanding dengan penurunan nilai uang dan besarnya permintaan.
Lain halnya dengan kelembagaan non formal, yang untuk hal ini lebih kita arahkan pada lintah darat. Mereka memiliki keunggulan dibandingkan kelembagaan formal, dengan sikapnya yang ”ramah”, selalu bersedia membantu nasabahnya kapan saja (yang mempunyai jaminan, tentu), dan sebagainya. Mereka berkeliling dari satu pelosok ke pelosok lain untuk mencari nasabah yang ”akan ditolongnya”. Mereka ada di kantor pos tempat pembayaran tunjangan pensiun, mereka ada di kantor pegadaian dan lepas jam kerja beroperasi di warung-warung; ada juga yang seharian beroperasi di pasar-pasar. Barangkali, intinya adalah mereka yang aktif mencari nasabah, dan bukan sebaliknya. Persyaratan pun dipermudah: ada jaminan, buat perjanjian, uang diserahkan, selesai. Itu yang sudah moderen. Dalam hal khusus, bahkan tanpa jaminan, dan hanya perjanjian lisan saja!.
Harus kita akui, mereka adalah wiraswastawan unggul!. Dengan kemudahan, dengan kecepatan, dengan hubungan dekat dan berbagai cara lainnya di satu sisi, serta kebutuhan peminjam yang mendesak di sisi lain, maka mereka menentukan suku bunga yang sangat tinggi, yaitu sekitar 150-200 persen setahun, bahkan dapat lebih tinggi lagi. Betapa kejamnya apabila dibandingkan dengan suku bunga resmi sekitar 18 persen setahun.
Tapi mereka tidak bekerja sendirian. Ada ijon, panjar, tumblegan dan tengkulak yang mempunyai spesialisasi berbeda dan tidak sekejam itu.
Ijon berasal dari bahasa Jawa ’ijo’, yang berarti hijau. Padi yang masih hijau sebelum berbuah dijual oleh petani karena butuh uang. Demikian juga buah-buahan seperti mangga atau kedondong yang masih kecil dijual di pohon; atau sayur-sayuran seperti kubis, kentang dan sebagainya dijual sebelum masa panen dengan harga yang sangat rendah, karena butuh uang.
Panjar dan tumblegan bekerja dengan cara mengikat petani agar tidak menjual hasilnya kepada pihak lain. Juga karena petani butuh uang.
Tengkulak dapat membeli hasil panen dari petani dengan harga rendah juga karena petani butuh uang.
Karena praktek mereka menimpa kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak mempunyai banyak alternatif, maka tak heran andaikata para peminjam uang itu jatuh pada kemiskinan yang semakin miskin, ... dan diam. Mereka terdiam dielus kemiskinan.
Karena itulah, mengharapkan perbaikan tingkat hidup mereka atas usaha mereka sendiri mungkin merupakan penantian yang sia-sia, atau kalaupun mau ditunggu rasanya terlalu lama. Pada pihak lain, komitmen politik sudah sedemikian jelasnya, sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang perlu dilakukan adalah tindakan-tindakan nyata dan terarah bagi mereka yang kurang beruntung tersebut. Tindakan-tindakan termaksud seyogyanya bukan merupakan sesuatu yang sifatnya temporer, melainkan harus dalam kerangka suatu sistem yang berjalan sendiri.
Manfaatkan
Untuk menyusun suatu sistem yang menjamin akses para petani miskin dan sektor informal lainnya terhadap sumber-sumber keuangan, mungkin kita perlu mempelajari cara kerja lintah darat dan kawan-kawannya secermat mungkin, sehingga kita dapat memanfaatkannya di dalam sistem yang akan kita buat.
Apabila kita menyimak berbagai pendapat yang muncul ke permukaan belakangan ini, terdapat kecenderungan untuk melakukan upaya penyelesaiannya lewat berbagai peraturan, lengkap dengan sanksi yang berat bagi para lintah darat.
Diduga peraturan yang sedemikian tidak akan efektif, karena masalahnya bukan terletak di sana, melainkan tidak tertampungnya permintaan terhadap kebutuhan uang oleh sektor perbankan dan kelembagaan formal lainnya.
Rasanya, masih ada alternatif lain, yang juga memerlukan pengujian, yaitu pemanfaatan lintah darat dalam sistem perbankan, dengan menjadikannya sebagai aparat ”perpanjangan tangan” dari Bank. Lintah darat dikoordinir dan diberikan pinjaman/kredit dari Bank, dengan berbagai ketentuan. Mereka tetap menanggung resiko atas para nasabahnya, diberikan ketentuan pengenaan suku bunga maksimal yang rendah, dan mendapatkan premi untuk setiap penyaluran kredit, seperti halnya petugas asuransi.
Sementara itu, pemberian status sebagai karyawan bank pembantu mungkin secara psikologis akan memberikan kebanggaan tersendiri. Bagi yang prestasinya baik, apa salahnya kalau statusnya ditingkatkan menjadi karyawan bank sungguhan!.
Alternatif lain adalah pemanfaatan pos keliling untuk penyaluran kredit, dengan ketentuan seperti halnya karyawan Bank pembantu di atas.
Dalam hal ini, jangan dilupakan adanya sistem dan lembaga pengawasan. Kepada para pembantu bank tersebut dikenakan geledek (baca: sanksi) bagi yang menyalahi ketentuan. Dengan memanfaatkan mereka, maka gagasan Bank Masuk Kampung (bukan lagi Bank Masuk Desa) dapat direalisasikan, karena sesungguhnya di sinilah letak permasalahannya, yakni belum mampunya perbankan menjangkau orang yang membutuhkan kredit pada jumlah dan waktu yang tepat.
Barangkali cara ini merupakan salah satu upaya untuk membentuk instrumen yang cocok dengan keadaan pedesaan kita dalam rangka mengurangi hambatan pelaksanaan capital reform, seperti dinyatakan Bambang Ismawan (“Kompas”, 2 Desember 1985), bahwa meskipun berbagai program perkreditan sudah diupayakan pemerintah ke pedesaan, namun capital reform menghadapi kesulitan akibat program-program termaksud instrumennya sering tak sesuai dengan milik masyarakat desa, sehingga masyarakat kecil akhirnya tetap lari kepada pelepas uang, walaupun mereka merasakan beban bunga yang sangat tinggi.
Dengan upaya seperti dipaparkan dimuka, tentu saja tidak berarti bahwa koperasi simpan-pinjam, KCK dan semacamnya dihapuskan, melainkan kelembagaan tersebut seyogyanya terus ditingkatkan peranannya, sehingga pasar uang di desa-desa/kampung, lebih banyak tersedia dan bervariasi. Dengan demikian, suku bunga di pasar uang non formal dapat diharapkan menurun sampai pada tingkat yang wajar.
Kalau demikian, sang lintah darat diharapkan melepaskan diri dari hisapannya, karena cairan tembakau telah diteteskan dan geledek pun siap menggelegar.

Artikel ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, Jumat, 3 Januari 1986; halaman 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar