Minggu, 03 Mei 2015

Manusia Bukan Iblis, Juga Bukan Malaikat



Manusia Bukan Iblis, Juga Bukan Malaikat
Oleh Tika Noorjaya
Judul Buku: Memiliki dan Menjadi, tentang dua modus eksistensi.
Penulis:  Erich Fromm.
Penerjemah: F. Soesilohardjo.
Kata pengantar: M. Sastrapratedja.
Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1987.
Tebal: (lviii + 271) halaman.

Buku ini disajikan oleh World Persfective yang berangkat dari tesis bahwa manusia berada dalam proses mengembangkan suatu kesadaran baru yang dapat menjunjung manusia untuk mengatasi dan melampaui ketakutan, ketidaktahuan dan kesepian yang mencekam secara rohani dan moral (hal ix). Dan Fromm lewat buku ini memang berada dalam tesis ini dengan tawarannya untuk melepaskan diri dari modus ”memiliki” (to have) dan beralih menjadi modus ”menjadi” (to be); suatu tawaran yang seyogianya dipertimbangkan dalam masa pembangunan kita sekarang ini. Karena dengan modus ”menjadi” manusia mengarahkan diri pada suatu aktualisasi potensi dirinya tanpa dikuasai oleh hal-hal yang dimilikinya. Ia tidak memisahkan alam serta manusia lainnya, bahkan memandang keduanya sebagai hal yang saling tergantung.

Tesis ini mengingatkan kita untuk kembali mengkaji esensi dari pembangunan, yang tak lain adalah perubahan. Memang secara implisit perubahan yang dimaksudkan adalah mengarah pada keadaan yang lebih baik, tetapi kiranya kita juga tidak dapat memungkiri bahwa ekses yang berlawanan dengan tujuan semula sering terjadi, yang dapat kita lihat, baik dalam bentuk kerusakan fisik maupun non-fisik. Salah satunya adalah meningkatnya dorongan manusia untuk memiliki segala sesuatu dengan sebanyak-banyaknya; dan semangat itu pula yang menimbulkan suasana persaingan antar-manusia dan kecemasan ekologis.

Demikian asyiknya Fromm memaparkan kedua modus eksistensi tersebut, sehingga dalam sebagian besar buku ini kita disodori bukti dan contoh-contoh keburukan yang satu dan kebaikan yang lain, seperti ketika Fromm mengutip DT Suzuki yang membandingkan puisi karya Tennyson, Basho dan Goethe, yang ketiganya bercerita tentang setangkai bunga yang sedang tumbuh. Tennyson bereaksi terhadap bunga yang dilihatnya dengan keinginan untuk memilikinya, sehingga bunganya mati. Basho tidak ingin memetik bunga itu, bahkan menyentuhnya pun ia tidak, ia hanya ”mengamatinya dengan seksama” untuk dapat ”memilikinya”; sedangkan Goethe mencabut bunga ”bersama akar-akarnya”, dan menanamnya kembali, sehingga kehidupan bunga tidak hancur (hal 5-8, diringkas). Dalam hal ini, Tennyson mewakili modus memiliki, sedangkan Basho dan Goethe mewakili modus menjadi.

Pertentangan seperti itulah yang kemudian banyak dipaparkan Fromm, di mana ke arah terakhirlah dia berkiblat. Agaknya, kesimpulan ini pula yang ditarik M. Sastrapratedja, pengantar buku ini. Katanya, ”Fromm tidak berbicara memiliki dan mengada (menjadi) sebagai dua dimensi hakiki manusia, tetapi sebagai dua orientasi hidup yang berbeda ... Dua orientasi dasar yang merupakan dua modus pengalaman dan kecenderungan yang secara fundamental berbeda ... Maka, dapat juga kita katakan, memiliki dan mengada (menjadi) merupakan dua strategi hidup yang secara mendasar berbeda” (hal xxxiv, kata dalam kurung dari perensesi).

Demikianlah, Fromm mempertentangkan modus memiliki dan menjadi seakan-akan sebagai dua fenomena yang bertolak belakang, seperti halnya hitam dan putih. Padahal, seperti kita maklumi, dalam selang hitam dan putih itu saja terdapat variasi warna yang bermacam-macam; belum lagi kalau kita berbicara tentang warna lain berikut variasinya. Lebih dari itu, justru variasilah yang memungkinkan terciptanya keindahan. Kita sulit membayangkan bagaimana wajah dunia yang hanya diwarnai oleh hitam atau putih saja. Betapa membosankan !.

Dari analogi ini, sulit bagi kita untuk membayangkan suatu dunia yang hanya berjalan pada satu modus, menjadi. Bahkan, dalam monoeksistensi semacam ini bukan mustahil tertanam benih-benih kerusakan, seperti halnya sistem monokultur dalam dunia pertanian yang sudah terbukti kerentanannya terhadap penyakit, sekalipun untuk sementara mungkin dapat meningkatkan mutu dan produktivitas.

Keragaman, agaknya memang yang harus dipertahankan keberadaannya. Dan, kalau kita hanya berbicara tentang ”memiliki” dan ”menjadi”, maka kiranya tidak perlu bagi kita untuk menghilangkan yang satu dan menonjolkan yang lain, karena keduanya berfungsi saling menyeimbangkan. Kita –manusia- toh bukan iblis yang hanya dibekali nafsu kejahatan. Kita juga bukan malaikat yang hanya menjalankan kebaikan. Kita memiliki sifat keduanya, yang karenanya kita dalam keseimbangan. Dalam kaitan ini pula, kalau ”memiliki” dan ”menjadi” dipandang sebagai ”salah” dan ”benar”, maka sebaiknya kita ingat kata-kata Lao Tse, filsuf Cina yang terkenal itu, bahwa ”it is the concern for right and wrong which is the sickness of the mind”, seperti dikutip Everett Shostrom dalam buku “Freedom To Be” (1977).

Satu hal yang agak mengganggu dari buku ini adalah ketidakseragaman penerjemahan (dalam pemakaian) kata to be atau being, di mana penerjemah menggunakan kata menjadi, sedangkan penulis kata pengantar menggunakan kata mengada; suatu hal yang memang masih merupakan perdebatan karena perbedaan sifat dasar kedua modus eksistensi tersebut, seperti juga diakui Fromm “… something more important … that makes defining the mode of being so much more difficult than defining the mode of having, namely the very nature of the difference between these two mode of existence (To Have or To Be ?, hal 75).

Terlepas dari kajian di atas, buku ini baik sekali untuk dimiliki dan dihayati siapa saja yang merasa bertanggung jawab untuk perbaikan kelangsungan kehidupan kemanusiaan, terlebih bagi Indonesia yang sedang berupaya membangun manusia seutuhnya. Dalam dunia yang sudah terlalu banyak berkiblat ke modus memiliki, maka anjuran untuk beralih ke modus menjadi kiranya dapat dipandang sebagai tarikan penyeimbang untuk eksistensi keduanya. Namun, tidak sepantasnya kalau kita hanya berhenti sampai pada penalaran filasafat seperti ini, karena – seperti kata Marx – “Para ahli filsafat asyik menalar dunia … padahal, yang lebih penting adalah bagaimana mengubahnya”. Dan, berbicara tentang perubahan tak lain adalah berbicara tentang pembangunan !. (TIKA NOORJAYA)



Resensi ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 25 Januari 1988.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar