PERANAN PERS
MAHASISWA
DALAM LATAR BARU GERAKAN
KEMAHASISWAAN
INTELEKTUALITAS
ATAU AKTIVISME?
Oleh: AE Priyono dan Tika
Noorjaya
Sebenarnya judul yang diminta kepada kami
untuk makalah ini adalah “Kontribusi Penerbitan Kampus Mahasiswa yang Bervisi
Akademis dalam Pembentukan Mentalitas Keilmuan bagi Mahasiswa”.
Tulisan ini menghindari judul optimistis yang dimintakan oleh
panitia itu hanya dengan satu alasan, yakni bahwa lembaga pers mahasiswa bukanlah
variabel yang bebas bagi terciptanya mentalitas keilmuan mahasiswa. Pers
mahasiswa lebih merupakan variabel yang tegantung dari kondisi kampus pada
umumnya. Mereka yang pesimistis
akan mengatakan bahwa pers mahasiswa bahkan akan hanya suatu non-faktor, ia
jelas tak akan mempunyai kontribusi apa-apa.
Rupanya ada variabel lain yang benar-benar
merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi subur atau hancurnya iklim
akademis di kampus-kampus. Berikut ini hanya sebuah ilustrasi: jika sistim
pendidikan sebuah negara hanya berkepentingan memproduksi mahasiswanya untuk
sekedar sebagai “sekrup pembangunan”, jika mahasiswanya tumpul daya kristisnya
dan tumpul hati nuraninya. Maka mustahil mengharapkan kehidupan kampus yang
sehat, dan dengan demikian tak usahlah
mengharapkan iklim yang subur dalam kehidupan kampus yang sehat dalam
kehidupan intelektual mahasiswa, dengan atau tanpa pers mahasiswa. Sebuah rezim
yang anti-inteletual memang selalu melahirkan malapetaka bagi dunia akademis.
Malapetaka itu antara lain berupa pembangunan lembaga-lembaga mahasiswa, dan
pembredelan pers mahasiswa.
Ilustrasi di atas mengisyaratkan satu
pesan, yaitu bahwa membicarakan pers mahasiswa dan peranan atau kontribusinya
dalam pembentukan mentalitas keilmuan mahasiswa, sama sekali tidak bisa
dilakukan di dalam ruang “vacum”, seakan-akan faktor-faktor makro politik pendidikan
tinggi tidak punya pengaruh. Oleh karena itu, jika tulisan ini hendak setia
pada judul semula, tentulah variabel-variabel penting dalam ilustrasi di atas
perlu mendapat perhatian.
Daripada membicarakan sesuatu yang nampak
muskil, tulisan ini akan lebih menyoroti kondisi riil pers mahasiswa dewasa ini
dalam konteksnya yang lebih relevan sebagai bagian dari dinamika gerakan kemahasiswaan.
Jika pers mahasiswa memiliki peranan dalam sejarah gerakan kemahasiswaan,
sampai sejauh manakah peranan itu berfungsi dalam pembentukan ideologi
mahasiswa? Kita sangat terganggu dengan kenyataan bahwa dewasa ini pers
mahasiswa lebih merupakan ekspresi dari kondisi empiris dunia mahasiswa yang
sedang mengalami involusi, aktual maupun simbolis. Ada gejala kebangkitan pers
mahasiswa seperti dilihat akhir-akhir ini.
Tapi adakah gejala itu mewakili semangat dari dalam atau dari luar, kita
masih belum pasti. Munculnya komite-komite pembelaan pers yang baru-baru ini
pernah disorot terutama di Yogyakarta dan Jawa Tengah, menunjukkan indikasi
lain dari tumbuhnya semangat aktivitas di kalangan aktivis pers mahasiswa yang
juga semakin banyak disponsori institusi-institusi kampus senidiri semakin
menunjukkan adaya gairah intelektualisme. Rupanya gejala aktivisme dan
intelektualisme merupakan dua hal yang berbeda yang semakin menunjukkan
perbedaan orientasi di kalangan aktifisnya. Tulisan ini akan mencoba melihat
kenyataan ini sekedar untuk mendeskripsikannya dan sekaligus melihatnya dalam
perspektif gerakan kemahasiswaan secara lebih luas yang akhir-akhir ini banyak
dianggap sedang memasuki latar baru – sebuah setting objektif yang belum banyak dipetakan bagaimana bakal
jadinya.
Dilema Otonomi Pers Mahasiswa
Sampai sejauh ini, pers mahasiswa masih terus menjadi
objek kebijaksanaan. Banyak pihak, dari dalam maupun dari luar, menginginkan
macam-macam peranan yang harus dimainkan. Pers mahasiswa, sebagaimana
tradisinya di masa lalu, tampaknya masih dianggap sebagai lembaga yang
strategis, baik untuk kepentingan akademis maupun politis. Di tengah-tengah
posisi saling memperebutkan semacam ini, kita memang perlu mempertanyakan
apakah sekarang pers mahasiswa masih memiliki kebebasan untuk
mengidentifikasikan dirinya sendiri? Oleh karena itu segera menjadi jelas bahwa
“otonomi” akan merupakan kata kunci dalam pembicaraan mengenai peranan
dan kontribusi pers mahasiswa. Dengan kebijaksanaan seperti ini rupanya pers
mahasiswa harus menjadi suatu penerbitan di bawah kendali kampus di mana rektor
adalah penguasa tertingginya. Kita tidak bisa menafsirkan lain bahwa perubahan
nama itu dengan sendirinya telah memperlihatkan niat politisnya yang hegemonik
untuk birokratisasi. Tanpa otonomi pers mahasiswa hanya akan memainkan peranan
palsu dengan kontribusi palsu. Otonomi bukan saja diperlukan untuk menumbuhkan
kesadaran sejati mengenai peranannya dalam memupuk kritisisme intelektual, tapi
juga untuk menyuarakan komitmen-komitmen dan seruan-seruan sosialnya. Tanpa
otonomi, pers mahasiswa akan mengalami disorientasi baik secara intelektual
maupun sosial, jika bukan malah kehilangan kedua-duanya.
Diperlukannya otonomi pers mahasiswa tentulah bukan
dalam pengertian institusional
dan finansial. Pers mahasiswa jelas dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
fungsi penting kehidupan kampus: kebutuhan akan adanya forum yang independen
(bagi mahasiswa). Secara keseluruhan masyarakat kampus bertanggung jawab untuk
adanya forum semacam itu – yang salah satu bentuknya adalah pers mahasiswa –
harus dimungkinkan.
Sebagai forum yang independen, lembaga pers mahasiswa
jelas akan menolak bentuk interfensi. Cita-cita independensi dan non-interfensi
merupakan keinginan yang sah untuk otonomi. Kita sangat risau bahwa cita-cita
ini bukan saja hanya harus berhadapan dengan upaya-upaya dari luar untuk
subordinasi dan dominasi, tapi juga dibayang-bayangi oleh strerilisasi dan
apatisme di kalangan
mahasiswa sendiri. Pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa cita-cita otonomi
pers mahasiswa memang sedang menghadapi dilema: dari luar ia menghadapi
regimentasi birokratik, dan dari dalam menghadapi apatisme involutif. Makalah
ini, harus diakui, tidak akan menghasilkan apa-apa untuk memecahkan dilema ini.
Pers Mahasiswa dalam Dinamika Gerakan Kemahasiswaan
Bahwa kondisi kehidupan pers mahasiswa dewasa ini
sangat merosot, kita sudah sangat mahfum. Mengharapkan peranannya sebagai
katalisator untuk dinamika politik, jelas seperti mengharapkan kemustahilan.
Tradisi pers mahasiswa Indonesia yang pernah memiliki peranan untuk pembentukan
opini seperti yang terjadi di masa-masa yang lalu, kini tak lagi ada. Mahasiswa
Indonesia rupanya pernah berbangga memiliki agen-agen pembentukan opini yang
cukup berpengaruh baik pada masa awal orde baru maupun ketika terjadi proses
pencairan politik nasional pada dekade-dekade 1970-an. Nama-nama koran dan
majalah mahasiswa seperti Mahasiswa Indonesia, Angkatan 66, dan Harian Kami
pada masa awal-awal orba; juga nama-nama seperti Salemba (UI), Gelora Mahasiswa
(UGM), Kampus (ITB), Derap Mahasiswa (Ikip Jogjakarta), atau Muhbibah (UII)
pada pertengahan kedua tahun1970-an dan awal 1980-an, menjadi bukti sejarah
betapa pers mahasiswa pernah punya peranan besar bukan saja sebagai wahana
kritisme intelektual, tapi juga sebagai komunikasi politik dan pembentuk opini
keluar.
Kita memang bisa mencatat adanya pergeseran yang menarik
mengenai basis institusional dan idiologis pers mahasiswa pada dua periode itu.
Jika pada periode awal orde baru pers mahasiswa lebih berbasis pada solidaritas pengelompokkan idiologis sehingga
tampak mencerminkan adanya aliansi mahasiswa dengan kekuatan politik di luar
kampus, pada periode 1970-an dan awal 1980-an, pers mahasiswa lebih merupakan
wakil dari suara kampus masing-masing. Rupanya ini terjadi karena penarikan
diri gerakan mahasiswa untuk menjadi gerakan yang lebih independen yakni yang
lebih mewakili kelompoknya sendiri dengan orientasi politiknya sendiri.
Demikianlah dinamika
pers mahasiswa ternyata dipengaruhi oleh orientasi gerakan mahasiswa yang lebih
luas. Jika pada awal-awal orde baru pers mahasiswa tampak mewakili
kepentingan-kepentingan dan aliansi-aliansi politiknya dengan kekuatan riil di luar kampus, maka pada
periode berikutnya orientasi ini segera berubah lebih “ke dalam”— suatu pergeseran orientasi
yang oleh beberapa pengamat dianggap mencerminkan adanya dialektik antara
kondisi subyektif gerakan kemahasiswaan dan kondisi obyektif situasi politik
makro.
Maraknya gerakan-gerakan kemahasiswaan pada dekade
1970-an dan awal 1980-an yang berkubu di kampus menyebabkan pers mahasiswa juga
semakin galak. Menghindari trauma aliansi dengan meiliter pada pertengahan
1960-an yang pada kenyataannya berakhir abortif, gerakan-gerakan kemahasiswaan
yang banyak disuarakan pers mahasiswa sendiri mulai mencari format gerakannya
yang baru. Upaya ini makin terasa dibutuhkan ketika peristiwa Malari yang
terjadi pada tahun 1974 membawa gerakan-gerakan mahasiswa pada dilema politik
praktis. Ada perdebatan sengit apakah gerakan mahasiswa hanya sekedar gerakan
moral atau politik dengan target-target politik tertentu. Akan tetapi sebelum
perdebatan berakhir dengan kesimpulan definitif dengan format bersama,
pemerintah kemudian melakukan depolitisasi kampus melalui program NKK
(Normalisasi Kehidupan Kampus) dengan implikasinya yang tragis: alienasi
mahasiswa dari politik, apatisme sosial.
Dengan memperhatikan nama saja, NKK jelas diterapkan
dengan sepenuhnya sterilisasi – sebuah rekayasa politik terhadap kelompok muda
terpelajar yang kini secara implisit diakui sendiri kekeliruannya oleh
pemerintah. Kendati pun demikian sungguh menarik untuk diungkapkan, dengan efek
NKK rupanya mengandung blessing in disguise tersendiri. Pengambilan
jarak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa dalam kegiatan politik
praktis – meskipun menyebabkan mereka kehilangan aksesnya untuk menjalin
hubungan dengan massa – telah membuka peluang lain dalam kegiatan-kegiatan
intelektual. Tumbuhnya kelompok-kelompok studi terutama sejak pertengahan
1980-an, membuktikan fenomena itu. Mungkin kita bisa menjadi lebih terbatas,
akan tetapi mereka telah memperluas ruangan lain dalam dunia intelektual.
Barangkali benar yang dikatakan Denny J.A. bahwa
satu-satunya ruangan yang tersisa bagi kegiatan mahasiswa pasca –NKK memang
hanya dalam kegiatan intelektual saja. Akan tetapi menganggap bahwa kegiatan
intelektual tersebut menjadi satu-satunya alternatif bagi pola perpolitikan
mahasiswa untuk periode 1980-an, jelas adalah anggapan yang gegabah. Ini
dibuktikan sendiri dalam proses aktifis, aksi inteletual tidaklah cukup untuk
merepresentasikan kesadaran sosial mereka sebagai kelompok muda terpelajar. Itu
sebabnya aksi-aksi massa yang secara langsung berhubungan dengan politik praktis harus digerakkan
kembali.
Pada titik perdebatan inilah, orientasi gerakan
mahasiswa menjadi terpecah dalam dua kelompok. Mereka yang berorientasi
intelektualisme ekstrim menganggap kekuatan mahasiswa tetap merupakan kekuatan
yang semu (apparent force) yang
berfungsi untuk mendukung kekuatan inti (main
force) dalam proses perubahan politik. Bagi kelompok ini, kekuatan inti
tersebut bisa
berasal dari militer atau kelompok-kelompok lain di kalangan elite. Mereka
juga beranggapan bahwa dalam situasi di mana ekspansi artikulasi
negara hanya bisa
berlangsung jika hal itu dilakukan dari dalam negara. Dengan anggapan seperti
inilah mereka menganggap gerakan mahasiswa hanya bisa dilihat sebagai latihan
kecil untuk menghadapi momentum besar perubahan politik yang sesungguhnya.
Berbeda dengan itu, kelompok yang berorientasi
aktifisme ekstrim menganggap gerakan mahasiswa tetap memiliki bargaining
politik yang kuat, bahkan lebih kuat jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan
buruh, petani, atau sektor-sektor sosial lainnya. Itu sebabnya gerakan
mahasiswa harus dikonsolidasikan sebagai kekuatan politik riil, bukan saja pada
level organisasional untuk mereduksi kecenderungan sektarian (karena sentimen
almamater atau sentimen regional), tapi juga dalam level isyu gerakan untuk
menarik simpatik dengan dukungan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Mereka
beranggapan bahwa sudah saatnya kini menjalin aliansi massa di tingkat bawah. Jadi, berbeda
dengan kelompok yang berorientasi intelektualisme,
yang menganggap gerakan mahasiswa bukan agen perubahan karena kekuatannya hanya
semu, kelompok yang berorientasi aktivisme memandang gerakan mahasiswa akan
menjadi kekuatan riil karena kemampuan artikulatifnya untuk mewakili
kelompok-kelompok sosial lain yang lebih luas.
Demikianlah, dengan prihatin kita akan mengatakan bahwa
kebangkitan kembali gerakan kemahasiswaan yang dimulai akhir-akhir ini,
sesungguhnya diawali dengan perpecahan antara mereka yang intellectual-oriented dan mereka yang action-oriented. Dalam latar seperti inilah, muncul aura konflik
yang tidak sehat antara intelektualisme dan aktivisme. Dan persis pada latar
ini pula peranan pers mahasiswa akan dipertaruhkan.
Pers Mahasiswa 1990-an: Perlunya Visi Intelektual dan Sosial Baru
Percekcokan antara intelektualisme dan aktivisme di kalangan gerakan mahasiswa
rupanya belum akan berakhir dalam waktu dekat ini. Hal ini tampaknya akan
berpengaruh pada identifikasi diri mengenai peranan pers mahasiswa: apakah ia
akan muncul dengan format akademis – dan semata-mata akademis belaka -- atau akan terjebak sekedar
menjadi corong politik semata.
Sikap terbaik untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan
antagonis ini bukan harus dijawab dengan logika either-or, tapi lebih
dengan jawaban but-and. Kita percaya bahwa intelektualisme tanpa aksi
adalah kemubaziran moral, seperti halnya kita percaya bahwa aksi kolektif tanpa
pandangan dan pilihan intelektual yang jelas hanyalah perjudian politik.
Peranan simbolis dan aktual pers mahasiswa dewasa ini
rupanya sangat tergantung pada sejauh mana ia bisa mengelaborasi visi intelektual
dan sosialnya untuk pembentukan opini, bukan saja di kalangan mahasiswa, tetapi
juga keluar untuk menjangkau tumbuhnya kesadaran mengenai perubahan. Mungkin
akan menjadi sangat ideal untuk menganggap pers mahasiswa memiliki peran untuk
kosientasi, untuk penyadaran. Tapi bahwa itulah yang menjadi tugas utamanya,
kita tidak akan bisa membantahnya. Kita yakin bahwa penyadaran merupakan langkah
pertama untuk setiap transformasi, bahkan revolusi. Itu sebabnya gerakan
penyadaran yang menjadi fungsi simbolik pers mahasiswa – apa pun artinya – akan menjadi
gerakan garda depan.
Bahwa fungsi simbolik seperti itu harus ditumbuhkan ke
dalam peranannya yang aktual, tentu perlu pemikiran lebih lanjut. Satu hal yang
paling penting diperhatikan adalah bahwa pers mahasiswa kini perlu melakukan
reorientasi untuk lebih menegaskan lagi visi intelektual dan sosial tertentu,
sebuah institusi pers tidak akan berfungsi sebagai lembaga pembentuk opini yang
efektif. Format dari visi intelektual dan sosial pers mahasiswa, dengan
demikian akan menjadi basis bagi perumusan kebijakan redaksional dan strategi
pembentukan opininya. Kaitan antara visi dan kebijakan dan strategi, rupanya
akan sangat mempengaruhi peranan aktualnya yang empiris. Di tengah-tengahnya kita
harus merumuskan posisi diri dalam ekologi informasi obyektif yang ada di
sekitar kita. Dalam kaitan ini politik informasi nasional misalnya, sangat
perlu mendapat pertimbangan.
Persis pada titik inilah, kita bisa mengawali diskusi
yang sesungguhnya, sehingga ini bisa diselesaikan sebagai pengantar untuknya.
Makalah ini disampaikan dalam “Temu Aktivis Penerbitan Kampus Mahasiswa se Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Majalah Mahasiswa PABELAN, di Gedung Puslitbang Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12-15 Maret 1990:
Makalah ini disampaikan dalam “Temu Aktivis Penerbitan Kampus Mahasiswa se Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Majalah Mahasiswa PABELAN, di Gedung Puslitbang Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12-15 Maret 1990:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar