Senin, 04 Mei 2015

Peranan Pers Mahasiswa: Intelektualitas atau Aktivisme ?




PERANAN PERS MAHASISWA
DALAM LATAR BARU GERAKAN KEMAHASISWAAN
INTELEKTUALITAS ATAU AKTIVISME?

Oleh: AE Priyono dan Tika Noorjaya


Sebenarnya judul yang diminta kepada kami untuk makalah ini adalah “Kontribusi Penerbitan Kampus Mahasiswa yang Bervisi Akademis dalam Pembentukan Mentalitas Keilmuan bagi Mahasiswa”.
Tulisan ini menghindari judul optimistis yang dimintakan oleh panitia itu hanya dengan satu alasan, yakni bahwa lembaga pers mahasiswa bukanlah variabel yang bebas bagi terciptanya mentalitas keilmuan mahasiswa. Pers mahasiswa lebih merupakan variabel yang tegantung dari kondisi kampus pada umumnya. Mereka yang pesimistis akan mengatakan bahwa pers mahasiswa bahkan akan hanya suatu non-faktor, ia jelas tak akan mempunyai kontribusi apa-apa.
Rupanya ada variabel lain yang benar-benar merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi subur atau hancurnya iklim akademis di kampus-kampus. Berikut ini hanya sebuah ilustrasi: jika sistim pendidikan sebuah negara hanya berkepentingan memproduksi mahasiswanya untuk sekedar sebagai “sekrup pembangunan”, jika mahasiswanya tumpul daya kristisnya dan tumpul hati nuraninya. Maka mustahil mengharapkan kehidupan kampus yang sehat, dan dengan demikian tak usahlah  mengharapkan iklim yang subur dalam kehidupan kampus yang sehat dalam kehidupan intelektual mahasiswa, dengan atau tanpa pers mahasiswa. Sebuah rezim yang anti-inteletual memang selalu melahirkan malapetaka bagi dunia akademis. Malapetaka itu antara lain berupa pembangunan lembaga-lembaga mahasiswa, dan pembredelan pers mahasiswa.
Ilustrasi di atas mengisyaratkan satu pesan, yaitu bahwa membicarakan pers mahasiswa dan peranan atau kontribusinya dalam pembentukan mentalitas keilmuan mahasiswa, sama sekali tidak bisa dilakukan di dalam ruang “vacum”, seakan-akan faktor-faktor makro politik pendidikan tinggi tidak punya pengaruh. Oleh karena itu, jika tulisan ini hendak setia pada judul semula, tentulah variabel-variabel penting dalam ilustrasi di atas perlu mendapat perhatian.
Daripada membicarakan sesuatu yang nampak muskil, tulisan ini akan lebih menyoroti kondisi riil pers mahasiswa dewasa ini dalam konteksnya yang lebih relevan sebagai bagian dari dinamika gerakan kemahasiswaan. Jika pers mahasiswa memiliki peranan dalam sejarah gerakan kemahasiswaan, sampai sejauh manakah peranan itu berfungsi dalam pembentukan ideologi mahasiswa? Kita sangat terganggu dengan kenyataan bahwa dewasa ini pers mahasiswa lebih merupakan ekspresi dari kondisi empiris dunia mahasiswa yang sedang mengalami involusi, aktual maupun simbolis. Ada gejala kebangkitan pers mahasiswa seperti dilihat akhir-akhir ini.  Tapi adakah gejala itu mewakili semangat dari dalam atau dari luar, kita masih belum pasti. Munculnya komite-komite pembelaan pers yang baru-baru ini pernah disorot terutama di Yogyakarta dan Jawa Tengah, menunjukkan indikasi lain dari tumbuhnya semangat aktivitas di kalangan aktivis pers mahasiswa yang juga semakin banyak disponsori institusi-institusi kampus senidiri semakin menunjukkan adaya gairah intelektualisme. Rupanya gejala aktivisme dan intelektualisme merupakan dua hal yang berbeda yang semakin menunjukkan perbedaan orientasi di kalangan aktifisnya. Tulisan ini akan mencoba melihat kenyataan ini sekedar untuk mendeskripsikannya dan sekaligus melihatnya dalam perspektif gerakan kemahasiswaan secara lebih luas yang akhir-akhir ini banyak dianggap sedang memasuki latar baru – sebuah setting objektif yang belum banyak dipetakan bagaimana bakal jadinya.

Dilema Otonomi Pers Mahasiswa

Sampai sejauh ini, pers mahasiswa masih terus menjadi objek kebijaksanaan. Banyak pihak, dari dalam maupun dari luar, menginginkan macam-macam peranan yang harus dimainkan. Pers mahasiswa, sebagaimana tradisinya di masa lalu, tampaknya masih dianggap sebagai lembaga yang strategis, baik untuk kepentingan akademis maupun politis. Di tengah-tengah posisi saling memperebutkan semacam ini, kita memang perlu mempertanyakan apakah sekarang pers mahasiswa masih memiliki kebebasan untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri? Oleh karena itu segera menjadi jelas bahwa “otonomi” akan merupakan kata kunci dalam pembicaraan mengenai peranan dan kontribusi pers mahasiswa. Dengan kebijaksanaan seperti ini rupanya pers mahasiswa harus menjadi suatu penerbitan di bawah kendali kampus di mana rektor adalah penguasa tertingginya. Kita tidak bisa menafsirkan lain bahwa perubahan nama itu dengan sendirinya telah memperlihatkan niat politisnya yang hegemonik untuk birokratisasi. Tanpa otonomi pers mahasiswa hanya akan memainkan peranan palsu dengan kontribusi palsu. Otonomi bukan saja diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran sejati mengenai peranannya dalam memupuk kritisisme intelektual, tapi juga untuk menyuarakan komitmen-komitmen dan seruan-seruan sosialnya. Tanpa otonomi, pers mahasiswa akan mengalami disorientasi baik secara intelektual maupun sosial, jika bukan malah kehilangan kedua-duanya.
Diperlukannya otonomi pers mahasiswa tentulah bukan dalam pengertian institusional dan finansial. Pers mahasiswa jelas dimaksudkan untuk memenuhi salah satu fungsi penting kehidupan kampus: kebutuhan akan adanya forum yang independen (bagi mahasiswa). Secara keseluruhan masyarakat kampus bertanggung jawab untuk adanya forum semacam itu – yang salah satu bentuknya adalah pers mahasiswa – harus dimungkinkan.
Sebagai forum yang independen, lembaga pers mahasiswa jelas akan menolak bentuk interfensi. Cita-cita independensi dan non-interfensi merupakan keinginan yang sah untuk otonomi. Kita sangat risau bahwa cita-cita ini bukan saja hanya harus berhadapan dengan upaya-upaya dari luar untuk subordinasi dan dominasi, tapi juga dibayang-bayangi oleh strerilisasi dan apatisme di kalangan mahasiswa sendiri. Pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa cita-cita otonomi pers mahasiswa memang sedang menghadapi dilema: dari luar ia menghadapi regimentasi birokratik, dan dari dalam menghadapi apatisme involutif. Makalah ini, harus diakui, tidak akan menghasilkan apa-apa untuk memecahkan dilema ini.

 Pers Mahasiswa dalam Dinamika Gerakan Kemahasiswaan

Bahwa kondisi kehidupan pers mahasiswa dewasa ini sangat merosot, kita sudah sangat mahfum. Mengharapkan peranannya sebagai katalisator untuk dinamika politik, jelas seperti mengharapkan kemustahilan. Tradisi pers mahasiswa Indonesia yang pernah memiliki peranan untuk pembentukan opini seperti yang terjadi di masa-masa yang lalu, kini tak lagi ada. Mahasiswa Indonesia rupanya pernah berbangga memiliki agen-agen pembentukan opini yang cukup berpengaruh baik pada masa awal orde baru maupun ketika terjadi proses pencairan politik nasional pada dekade-dekade 1970-an. Nama-nama koran dan majalah mahasiswa seperti Mahasiswa Indonesia, Angkatan 66, dan Harian Kami pada masa awal-awal orba; juga nama-nama seperti Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM), Kampus (ITB), Derap Mahasiswa (Ikip Jogjakarta), atau Muhbibah (UII) pada pertengahan kedua tahun1970-an dan awal 1980-an, menjadi bukti sejarah betapa pers mahasiswa pernah punya peranan besar bukan saja sebagai wahana kritisme intelektual, tapi juga sebagai komunikasi politik dan pembentuk opini keluar.
Kita memang bisa mencatat adanya pergeseran yang menarik mengenai basis institusional dan idiologis pers mahasiswa pada dua periode itu. Jika pada periode awal orde baru pers mahasiswa lebih berbasis pada solidaritas pengelompokkan idiologis sehingga tampak mencerminkan adanya aliansi mahasiswa dengan kekuatan politik di luar kampus, pada periode 1970-an dan awal 1980-an, pers mahasiswa lebih merupakan wakil dari suara kampus masing-masing. Rupanya ini terjadi karena penarikan diri gerakan mahasiswa untuk menjadi gerakan yang lebih independen yakni yang lebih mewakili kelompoknya sendiri dengan orientasi politiknya sendiri. Demikianlah dinamika pers mahasiswa ternyata dipengaruhi oleh orientasi gerakan mahasiswa yang lebih luas. Jika pada awal-awal orde baru pers mahasiswa tampak mewakili kepentingan-kepentingan dan aliansi-aliansi politiknya dengan kekuatan riil di luar kampus, maka pada periode berikutnya orientasi ini segera berubah lebih “ke dalam”— suatu pergeseran orientasi yang oleh beberapa pengamat dianggap mencerminkan adanya dialektik antara kondisi subyektif gerakan kemahasiswaan dan kondisi obyektif situasi politik makro.
Maraknya gerakan-gerakan kemahasiswaan pada dekade 1970-an dan awal 1980-an yang berkubu di kampus menyebabkan pers mahasiswa juga semakin galak. Menghindari trauma aliansi dengan meiliter pada pertengahan 1960-an yang pada kenyataannya berakhir abortif, gerakan-gerakan kemahasiswaan yang banyak disuarakan pers mahasiswa sendiri mulai mencari format gerakannya yang baru. Upaya ini makin terasa dibutuhkan ketika peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974 membawa gerakan-gerakan mahasiswa pada dilema politik praktis. Ada perdebatan sengit apakah gerakan mahasiswa hanya sekedar gerakan moral atau politik dengan target-target politik tertentu. Akan tetapi sebelum perdebatan berakhir dengan kesimpulan definitif dengan format bersama, pemerintah kemudian melakukan depolitisasi kampus melalui program NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dengan implikasinya yang tragis: alienasi mahasiswa dari politik, apatisme sosial.
Dengan memperhatikan nama saja, NKK jelas diterapkan dengan sepenuhnya sterilisasi – sebuah rekayasa politik terhadap kelompok muda terpelajar yang kini secara implisit diakui sendiri kekeliruannya oleh pemerintah. Kendati pun demikian sungguh menarik untuk diungkapkan, dengan efek NKK rupanya mengandung blessing in disguise tersendiri. Pengambilan jarak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa dalam kegiatan politik praktis – meskipun menyebabkan mereka kehilangan aksesnya untuk menjalin hubungan dengan massa – telah membuka peluang lain dalam kegiatan-kegiatan intelektual. Tumbuhnya kelompok-kelompok studi terutama sejak pertengahan 1980-an, membuktikan fenomena itu. Mungkin kita bisa menjadi lebih terbatas, akan tetapi mereka telah memperluas ruangan lain dalam dunia intelektual.
Barangkali benar yang dikatakan Denny J.A. bahwa satu-satunya ruangan yang tersisa bagi kegiatan mahasiswa pasca –NKK memang hanya dalam kegiatan intelektual saja. Akan tetapi menganggap bahwa kegiatan intelektual tersebut menjadi satu-satunya alternatif bagi pola perpolitikan mahasiswa untuk periode 1980-an, jelas adalah anggapan yang gegabah. Ini dibuktikan sendiri dalam proses aktifis, aksi inteletual tidaklah cukup untuk merepresentasikan kesadaran sosial mereka sebagai kelompok muda terpelajar. Itu sebabnya aksi-aksi massa yang secara langsung berhubungan dengan politik praktis harus digerakkan kembali.
Pada titik perdebatan inilah, orientasi gerakan mahasiswa menjadi terpecah dalam dua kelompok. Mereka yang berorientasi intelektualisme ekstrim menganggap kekuatan mahasiswa tetap merupakan kekuatan yang semu (apparent force) yang berfungsi untuk mendukung kekuatan inti (main force) dalam proses perubahan politik. Bagi kelompok ini, kekuatan inti tersebut bisa berasal dari militer atau kelompok-kelompok lain di kalangan elite. Mereka juga beranggapan bahwa dalam situasi di mana ekspansi artikulasi negara hanya bisa berlangsung jika hal itu dilakukan dari dalam negara. Dengan anggapan seperti inilah mereka menganggap gerakan mahasiswa hanya bisa dilihat sebagai latihan kecil untuk menghadapi momentum besar perubahan politik yang sesungguhnya.
Berbeda dengan itu, kelompok yang berorientasi aktifisme ekstrim menganggap gerakan mahasiswa tetap memiliki bargaining politik yang kuat, bahkan lebih kuat jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan buruh, petani, atau sektor-sektor sosial lainnya. Itu sebabnya gerakan mahasiswa harus dikonsolidasikan sebagai kekuatan politik riil, bukan saja pada level organisasional untuk mereduksi kecenderungan sektarian (karena sentimen almamater atau sentimen regional), tapi juga dalam level isyu gerakan untuk menarik simpatik dengan dukungan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Mereka beranggapan bahwa sudah saatnya kini menjalin aliansi massa di tingkat bawah. Jadi, berbeda dengan kelompok yang berorientasi intelektualisme, yang menganggap gerakan mahasiswa bukan agen perubahan karena kekuatannya hanya semu, kelompok yang berorientasi aktivisme memandang gerakan mahasiswa akan menjadi kekuatan riil karena kemampuan artikulatifnya untuk mewakili kelompok-kelompok sosial lain yang lebih luas.
Demikianlah, dengan prihatin kita akan mengatakan bahwa kebangkitan kembali gerakan kemahasiswaan yang dimulai akhir-akhir ini, sesungguhnya diawali dengan perpecahan antara mereka yang intellectual-oriented dan mereka yang action-oriented. Dalam latar seperti inilah, muncul aura konflik yang tidak sehat antara intelektualisme dan aktivisme. Dan persis pada latar ini pula peranan pers mahasiswa akan dipertaruhkan.

 Pers Mahasiswa 1990-an: Perlunya Visi Intelektual dan Sosial Baru

Percekcokan antara intelektualisme dan aktivisme di kalangan gerakan mahasiswa rupanya belum akan berakhir dalam waktu dekat ini. Hal ini tampaknya akan berpengaruh pada identifikasi diri mengenai peranan pers mahasiswa: apakah ia akan muncul dengan format akademis – dan semata-mata akademis belaka -- atau akan terjebak sekedar menjadi corong politik semata.
Sikap terbaik untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan antagonis ini bukan harus dijawab dengan logika either-or, tapi lebih dengan jawaban but-and. Kita percaya bahwa intelektualisme tanpa aksi adalah kemubaziran moral, seperti halnya kita percaya bahwa aksi kolektif tanpa pandangan dan pilihan intelektual yang jelas hanyalah perjudian politik.
Peranan simbolis dan aktual pers mahasiswa dewasa ini rupanya sangat tergantung pada sejauh mana ia bisa mengelaborasi visi intelektual dan sosialnya untuk pembentukan opini, bukan saja di kalangan mahasiswa, tetapi juga keluar untuk menjangkau tumbuhnya kesadaran mengenai perubahan. Mungkin akan menjadi sangat ideal untuk menganggap pers mahasiswa memiliki peran untuk kosientasi, untuk penyadaran. Tapi bahwa itulah yang menjadi tugas utamanya, kita tidak akan bisa membantahnya. Kita yakin bahwa penyadaran merupakan langkah pertama untuk setiap transformasi, bahkan revolusi. Itu sebabnya gerakan penyadaran yang menjadi fungsi simbolik pers mahasiswa – apa pun artinya – akan menjadi gerakan garda depan.
Bahwa fungsi simbolik seperti itu harus ditumbuhkan ke dalam peranannya yang aktual, tentu perlu pemikiran lebih lanjut. Satu hal yang paling penting diperhatikan adalah bahwa pers mahasiswa kini perlu melakukan reorientasi untuk lebih menegaskan lagi visi intelektual dan sosial tertentu, sebuah institusi pers tidak akan berfungsi sebagai lembaga pembentuk opini yang efektif. Format dari visi intelektual dan sosial pers mahasiswa, dengan demikian akan menjadi basis bagi perumusan kebijakan redaksional dan strategi pembentukan opininya. Kaitan antara visi dan kebijakan dan strategi, rupanya akan sangat mempengaruhi peranan aktualnya yang empiris. Di tengah-tengahnya kita harus merumuskan posisi diri dalam ekologi informasi obyektif yang ada di sekitar kita. Dalam kaitan ini politik informasi nasional misalnya, sangat perlu mendapat pertimbangan.
Persis pada titik inilah, kita bisa mengawali diskusi yang sesungguhnya, sehingga ini bisa diselesaikan sebagai pengantar untuknya.

Makalah ini disampaikan dalam “Temu Aktivis Penerbitan Kampus Mahasiswa se Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Majalah Mahasiswa PABELAN, di Gedung Puslitbang Universitas Muhammadiyah Surakarta, 12-15 Maret 1990:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar