Selasa, 12 Mei 2015

Kapan Pengusaha Muslim Bangkit ?

                   
Judul Buku:  Kebangkitan Pengusaha Muslim

Editor: B. Wibowo

Penerbit: PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.

Cetakan Pertama: 1991.                   
Tebal: 266 halaman (termasuk indeks).


Kapan Pengusaha Muslim Bangkit ?
Oleh Tika Noorjaya

KETIKA menegaskan pemilihan kata resurgence (kebangkitan kembali) – dan bukan reassertion ataupun revivalims – Chandra Muzaffar, seorang intelektual muslim Malaysia, dalam salahsatu tulisannya yang dimuat dalam buku Islam and Society in Southest Asia (1986) antara lain menyebutkan bahwa pemilihan kata itu sedikitnya didasari tiga argumen yang kuat. Pertama, konsep ini merupakan suatu pandangan dari dalam, di mana kaum Muslimin melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Kedua, menunjukkan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Ketiga, sebagai suatu konsep mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan lain, baik di mata ”penantang” maupun ”yang ditantang”.
Buku Kebangkitan Pengusaha Muslim yang diangkat dari ”Dialog Bisnis Muktamar Muhamamdiyah ke-42” di Yogyakarta ini menampilkan hasil pemikiran 12 orang tokoh nasional dengan latar belakang beragam: kyai, menteri, birokrat, sultan, pengusaha. Mereka – Rahimi Sutan, KH. AR Fachruddin, Arifin M. Siregar, Nasrudin Sumintapura, Karnaen A. Perwataatmadja, Mar’ie Soetrisno Bachir, Harry Kuntoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X – memusatkan kajian pada tema sentral ”pengembangan potensi bisnis di kalangan Muhammadiyah”.
Para pembaca maupun penulis buku ini, secara implisit, tampaknya menyadari ketiga argumen dalam konsep ”kebangkitan” tersebut, tetapi memandangnya dalam kaitan khusus, yakni ”kebangkitan” pengusaha muslim. Meskipun demikian, cakrawala gagasan yang tertuang, baik dalam makalah, presentasi maupun dalam diskusi, tidak terbatas pada pengusaha di lingkungan Muhammadiyah, melainkan lebih meluas pada wawasan pengusaha muslim, terutama muslim Indonesia. Manakala Muhammadiyah ”dipotret”, muslim Indonesia adalah bingkai penyekatnya.
Keragaman latar belakang pembicara serta cara penyajian yang membentang dari yang sangat serius dan argumentatif hingga yang to the point dan terkesan santai, tidak mengurangi semangat yang terkandung di dalamnya.
Potensi Ummat
Kebangkitan pengusaha muslim Indonesia, sesuai dengan argumen pertama, jelas datang dari dalam kelompok ini, dan tidak ditiup-tiupkan dari kalangan lain yang mungkin menyimpan maksud-maksud tertentu. Kalaupun ada pihak-pihak di luar pengusaha muslim yang ingin melihat kebangkitan pengusaha muslim, tak lain adalah saudara sendiri, yakni ummat Islam pada umumnya, yang ingin melihat kebangkitan pengusaha muslim sebagai bagian dari kebangkitan Islam pada umumnya.
Harapan akan kebangkitan pengusaha muslim secara obyektif bisa didekati paling tidak dari potensinya. Dari segi ini, Islam tak pelak, adalah agama mayoritas di Indonesia, sehingga tidak hanya berpotensi untuk melahirkan pengusaha-pengusaha muslim yang cukup banyak, tapi juga sumber pasar utama bagi produk-produk yang dihasilkan.
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk tidak meninggalkan soal perekonomian. Dengan ulasan yang santai namun berbobot filosofis yang berat, KH AR Fachruddin menguraikan bagaimana masalah perekonomian dikupas dalam Al-Qur’an. Riwayat Nabi Muhammad pun dijadikan contoh tentang bagaimana penilaian Nabi terhadap orang yang semata-mata mementingkan ibadat kerokhanian (shalat, puasa, di mesjid – sampai tidak pernah keluar dari mesjid - ) namun melupakan masalah keduniawian (halaman 31-33).
Islam juga mengajarkan kewiraswastaan. Sejarah telah mencatat bahwa salah satu kekuatan ummat Islam adalah kepiawaian dalam berdagang. Muhammad sendiri adalah seorang pedagang, sebelum dinobatkan menjadi rasulullah. Dalam kaitan ini Probosoetedjo (khususnya di halaman 84-88) dan Soetrisno Bachir (khusus di halaman 171-174) membahasnya, juga, dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Peluang dan Pendukung
Peluang dan faktor pendukung kebangkitan pengusaha muslim antara lain berkaitan dengan era pembangunan di Indonesia, terutama dengan penekanan pada aspek pemerataan dalam Trilogi Pembangunan Nasional sekarang ini. Berbagai kegiatan pemerintah seperti penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK), sistem bapak-angkat, pelaksanaan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang terdapat pada berbagai sektor – pertanian, industri, jasa – dapat diartikan sebagai peluang bagi pengembangan peranan ummat Islam, karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar ummat Islam Indonesia masih hidup dalam tingkat kehidupan yang rendah, di bawah garis kemiskinan.
Peranan pajak yang ”mengambil” sebagian kekayaan orang-orang kaya untuk negara, pada akhirnya juga memberi dampak positif bagi orang miskin – kaum dhuafa yang masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Pesatnya perkembangan Islamic Development Bank dan hangatnya pembicaraan mengenai Bank Islam akhir-akhir ini dapat merupakan peluang dan pendukung alternatif pembiayaan bagi umat Islam yang dihadapkan pada aspek haramnya riba dalam memahami interest (bunga uang) yang berlaku dalam perbankan konvensional selama ini. Dalam hal ini bank Islam menawarkan konsep ”bagi hasil”, yang menghilangkan keharusan pembayaran biaya bunga uang (interest sama dengan nol) diganti dengan bagi hasil yang diperoleh dari hasil usaha. Bank tanpa bunga mensyaratkan adanya kebersamaan, keterbukaan dan kejujuran antara bank dan nasabahnya, sehingga kedua belah pihak dapat merasakan adanya keadilan (halaman 224).
Kebangkitan Islam yang dipercayai akan terjadi pada abad ke-15 juga dapat dianggap sebagai faktor pendukung yang cukup positif, terutama dalam artinya sebagai penggugah semangat keislaman. Selanjutnya, kehadiran organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, disamping yang sudah ada, dipandang sebagai peluang untuk lebih memperbesar keberadaan ummat muslim.
Tegasnya, peluang dan faktor pendukung bagi kebangkitan pengusaha muslim – sebagai bagian dari kebangkitan Islam – tidak hanya berada dalam lingkaran Muhammadiyah atau ummat Islam semata-mata tapi juga secara nasional, bahkan internasional.
Kelemahan dan Tantangan
Kelemahan dan tantangan yang dihadapi, tak lepas dari pengalaman selama ini, karena baik secara kuantitas maupun kualitas, kemampuan pengusaha muslim Indonesia lebih banyak tertinggal, terutama yang menyangkut profesionalisme, khususnya ketertinggalan dibanding pengusaha nonpri. Tentu saja hal ini bisa ditarik jauh ke belakang, tatkala pada masa penjajahan keberadaan pengusaha muslim mendapat tekanan berat dari penguasa, sementara pengusaha nonpri justru mendapat angin dan previlise. Dalam kaitan dengan masa kini pun, bahkan, Probosutedjo berandai-andai ”... seandainya para pengusaha pribumi juga memperoleh kemudahan yang sama dengan pedagang-pedagang keturunan Cina, kiranya kelihaian pengusaha pribumi tidak kalah dengan pengusaha keturunan Cina”, kata Probo (halaman 88). Tak pelak, ini adalah suatu andaian, yang menantang pembuktian.
Tantangannya, bagaimana potensi dan peluang yang besar bagi kebangkitan pengusaha muslim tidak malah berbenturan dengan fakta saat ini, sehingga tanpa pengendaliannya bisa tergelincir pada masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Bagaimanapun, pengusaha muslim Indonesia adalah warga negara Indonesia yang telah berikrar diri dan bernaung dalam suatu negara kebangsaan Indonesia dengan asas tunggal Pancasila – dan bukan negara Islam, dengan memberlakukan syariah Islam. Kesadaran ini bahkan telah ditanamkan pada awal pembentukan negara ini oleh para founding fathers kita.
Karenanya, tidaklah berlebihan kalau ”Dialog Bisnis Muhammadiyah” ini antara lain menyimpulkan perlunya penggalangan solidaritas nasional guna menumbuhkan dan meningkatkan perekonomian rakyat, serta solidaritas muslim guna menumbuhkan perekonomian ummat pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya. Juga ditekankan perlunya digalang dan ditumbuhkan jiwa profesionalisme ummat sesuai tuntutan dan perkembangan jaman (halaman 20).
Catatan Penutup
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak. Dengan mengacu konsep “kebangkitan kembali” yang dikemukakan Chandra Muzaffar, satu hal yang kurang dibahas secara cukup luas dalam buku ini adalah latar sejarah tentang kejayaan pengusaha muslim di masa lalu, yang menyebabkan pengusaha muslim masa kini ingin melihat “kebangkitannya kembali”. Dalam hal ini, misalnya, Junus Jahja hanya menyebut beberapa nama saudagar Islam yang kaya, seperti Djohan Djohor, Tasripin, Nitisemito, Tjokrosuharto, H. Bilal, Dasaad, Muchsin, Rahman Tamin, H. Sierat, H. Djuned, Hasyim Ning, Gobel (halaman 139-140). Tanpa mengungkapkan, bagaimana perjalanan bisnis mereka hingga dapat timbul dan memuncak ke tataran wiraswastawan nasional yang berhasil.
Dengan mengacu pendapat Junus Jahya pula, mungkin kita harus menggali dan mengungkapkan etika pembangunan para saudagar Islam yang berjaya, baik kini maupun masa lampau. Selain itu, menurut hemat penulis, hal yang mungkin perlu ditelusuri juga adalah mengapa beberapa wiraswastawan Islam yang berhasil, dalam perjalanannya, menjadi jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Apakah merka kalah bersaing, atau karena tidak diikutkan dalam persaingan?
Kalau benar sinyalemen SH Alatas (Mitos Pribumi Malas, LP3ES Jakarta, 1988) bahwa penyingkiran golongan pedagang Melayu dan Jawa (yang secara garis besar berarti juga penyingkiran golongan pengusaha muslim, - penulis) merupakan proses terhadap yang bermula pada abad ke-17 oleh Belanda ... dan – hingga ke suatu tingkatan tertentu – oleh penguasa setempat, maka mungkinkah kejayaannya bisa dibangkitkan secara bertahap pula? Apakah cara demikian cukup memadai dalam era perubahan dan informasi yang sedemikian cepatnya sekarang ini? Lebih menarik lagi, apakah mungkin ”penguasa setempat” kita saat ini masih melakukan tindakan semacam yang dilakukan para pendahulunya – selama empat abad yang lalu? Kalau demikian halnya, sungguh ironis dengan makna kemerdekaan yang ditebus dengan pengorbanan para pahlawan.
Bagaimanapun, dari keberhasilan dan kegagalan mereka, tampaknya bisa diambil hikmah bagi generasi kini maupun generasi mendatang. Masalahnya, kapan mereka akan bangkit? Dapatkah mereka bangkit dengan kekuatan sendiri-sendiri? Kalau tidak, siapa yang akan membangkitkan?
Tidak cukup hanya dengan menyelenggarakan satu-dua diskusi atau diungkap dengan senyum seremoni, apalagi kalau sekadar basa-basi. Kini, perlu aksi!
Langkah Muhammadiyah untuk menyelenggarakan diskusi bisnis di kalangan pengusaha Muslim ini patut dipuji, namun masih memerlukan penjabaran program kegiatan nyata. Bukan hanya di kalangan Muhammadiyah semata-mata, tapi juga pengusaha muslim pada umumnya.


Resensi buku ini dimuat Suara Karya, 20 Agustus 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar