Judul Buku: Kebangkitan
Pengusaha Muslim
Editor: B. Wibowo
Penerbit: PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.
Cetakan Pertama: 1991.
Tebal: 266 halaman (termasuk indeks).
Kapan Pengusaha Muslim
Bangkit ?
Oleh Tika Noorjaya
KETIKA menegaskan
pemilihan kata resurgence
(kebangkitan kembali) – dan bukan reassertion
ataupun revivalims – Chandra
Muzaffar, seorang intelektual muslim Malaysia, dalam salahsatu tulisannya yang
dimuat dalam buku Islam and Society in
Southest Asia (1986) antara lain menyebutkan bahwa pemilihan kata itu
sedikitnya didasari tiga argumen yang kuat. Pertama, konsep ini merupakan suatu
pandangan dari dalam, di mana kaum Muslimin melihat bertambahnya dampak agama
diantara para penganutnya. Kedua, menunjukkan bahwa keadaan tersebut telah
terjadi sebelumnya. Ketiga, sebagai suatu konsep mengandung paham tentang suatu
tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap pengikut pandangan lain, baik di mata
”penantang” maupun ”yang ditantang”.
Buku Kebangkitan Pengusaha Muslim yang diangkat dari ”Dialog Bisnis
Muktamar Muhamamdiyah ke-42” di Yogyakarta ini menampilkan hasil pemikiran 12
orang tokoh nasional dengan latar belakang beragam: kyai, menteri, birokrat,
sultan, pengusaha. Mereka – Rahimi Sutan, KH. AR Fachruddin, Arifin M. Siregar,
Nasrudin Sumintapura, Karnaen A. Perwataatmadja, Mar’ie Soetrisno Bachir, Harry
Kuntoro, Sri Sultan Hamengku Buwono X – memusatkan kajian pada tema sentral
”pengembangan potensi bisnis di kalangan Muhammadiyah”.
Para pembaca maupun
penulis buku ini, secara implisit, tampaknya menyadari ketiga argumen dalam
konsep ”kebangkitan” tersebut, tetapi memandangnya dalam kaitan khusus, yakni
”kebangkitan” pengusaha muslim. Meskipun demikian, cakrawala gagasan yang
tertuang, baik dalam makalah, presentasi maupun dalam diskusi, tidak terbatas
pada pengusaha di lingkungan Muhammadiyah, melainkan lebih meluas pada wawasan
pengusaha muslim, terutama muslim Indonesia. Manakala Muhammadiyah ”dipotret”,
muslim Indonesia adalah bingkai penyekatnya.
Keragaman latar belakang
pembicara serta cara penyajian yang membentang dari yang sangat serius dan
argumentatif hingga yang to the point
dan terkesan santai, tidak mengurangi semangat yang terkandung di dalamnya.
Potensi Ummat
Kebangkitan pengusaha
muslim Indonesia, sesuai dengan argumen pertama, jelas datang dari dalam
kelompok ini, dan tidak ditiup-tiupkan dari kalangan lain yang mungkin
menyimpan maksud-maksud tertentu. Kalaupun ada pihak-pihak di luar pengusaha
muslim yang ingin melihat kebangkitan pengusaha muslim, tak lain adalah saudara
sendiri, yakni ummat Islam pada umumnya, yang ingin melihat kebangkitan
pengusaha muslim sebagai bagian dari kebangkitan Islam pada umumnya.
Harapan akan kebangkitan
pengusaha muslim secara obyektif bisa didekati paling tidak dari potensinya.
Dari segi ini, Islam tak pelak, adalah agama mayoritas di Indonesia, sehingga
tidak hanya berpotensi untuk melahirkan pengusaha-pengusaha muslim yang cukup
banyak, tapi juga sumber pasar utama bagi produk-produk yang dihasilkan.
Islam adalah agama yang
mengajarkan kepada umatnya untuk tidak meninggalkan soal perekonomian. Dengan
ulasan yang santai namun berbobot filosofis yang berat, KH AR Fachruddin
menguraikan bagaimana masalah perekonomian dikupas dalam Al-Qur’an. Riwayat
Nabi Muhammad pun dijadikan contoh tentang bagaimana penilaian Nabi terhadap
orang yang semata-mata mementingkan ibadat kerokhanian (shalat, puasa, di
mesjid – sampai tidak pernah keluar dari mesjid - ) namun melupakan masalah
keduniawian (halaman 31-33).
Islam juga mengajarkan
kewiraswastaan. Sejarah telah mencatat bahwa salah satu kekuatan ummat Islam
adalah kepiawaian dalam berdagang. Muhammad sendiri adalah seorang pedagang,
sebelum dinobatkan menjadi rasulullah. Dalam kaitan ini Probosoetedjo
(khususnya di halaman 84-88) dan Soetrisno Bachir (khusus di halaman 171-174)
membahasnya, juga, dengan mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Peluang dan Pendukung
Peluang dan faktor pendukung kebangkitan pengusaha muslim antara lain berkaitan
dengan era pembangunan di Indonesia, terutama dengan penekanan pada aspek
pemerataan dalam Trilogi Pembangunan Nasional sekarang ini. Berbagai kegiatan
pemerintah seperti penyaluran Kredit Usaha Kecil (KUK), sistem bapak-angkat,
pelaksanaan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang terdapat pada berbagai
sektor – pertanian, industri, jasa – dapat diartikan sebagai peluang bagi
pengembangan peranan ummat Islam, karena tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian
besar ummat Islam Indonesia masih hidup dalam tingkat kehidupan yang rendah, di
bawah garis kemiskinan.
Peranan pajak yang
”mengambil” sebagian kekayaan orang-orang kaya untuk negara, pada akhirnya juga
memberi dampak positif bagi orang miskin – kaum dhuafa yang masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan.
Pesatnya perkembangan
Islamic Development Bank dan hangatnya pembicaraan mengenai Bank Islam
akhir-akhir ini dapat merupakan peluang dan pendukung alternatif pembiayaan
bagi umat Islam yang dihadapkan pada aspek haramnya riba dalam memahami interest (bunga uang) yang berlaku dalam
perbankan konvensional selama ini. Dalam hal ini bank Islam menawarkan konsep
”bagi hasil”, yang menghilangkan keharusan pembayaran biaya bunga uang (interest sama dengan nol) diganti dengan
bagi hasil yang diperoleh dari hasil usaha. Bank tanpa bunga mensyaratkan
adanya kebersamaan, keterbukaan dan kejujuran antara bank dan nasabahnya,
sehingga kedua belah pihak dapat merasakan adanya keadilan (halaman 224).
Kebangkitan Islam yang
dipercayai akan terjadi pada abad ke-15 juga dapat dianggap sebagai faktor
pendukung yang cukup positif, terutama dalam artinya sebagai penggugah semangat
keislaman. Selanjutnya, kehadiran organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam,
disamping yang sudah ada, dipandang sebagai peluang untuk lebih memperbesar
keberadaan ummat muslim.
Tegasnya, peluang dan
faktor pendukung bagi kebangkitan pengusaha muslim – sebagai bagian dari
kebangkitan Islam – tidak hanya berada dalam lingkaran Muhammadiyah atau ummat
Islam semata-mata tapi juga secara nasional, bahkan internasional.
Kelemahan dan Tantangan
Kelemahan dan tantangan
yang dihadapi, tak lepas dari pengalaman selama ini, karena baik secara
kuantitas maupun kualitas, kemampuan pengusaha muslim Indonesia lebih banyak
tertinggal, terutama yang menyangkut profesionalisme, khususnya ketertinggalan
dibanding pengusaha nonpri. Tentu saja hal ini bisa ditarik jauh ke belakang,
tatkala pada masa penjajahan keberadaan pengusaha muslim mendapat tekanan berat
dari penguasa, sementara pengusaha nonpri justru mendapat angin dan previlise.
Dalam kaitan dengan masa kini pun, bahkan, Probosutedjo berandai-andai ”...
seandainya para pengusaha pribumi juga memperoleh kemudahan yang sama dengan
pedagang-pedagang keturunan Cina, kiranya kelihaian pengusaha pribumi tidak
kalah dengan pengusaha keturunan Cina”, kata Probo (halaman 88). Tak pelak, ini
adalah suatu andaian, yang menantang pembuktian.
Tantangannya, bagaimana
potensi dan peluang yang besar bagi kebangkitan pengusaha muslim tidak malah
berbenturan dengan fakta saat ini, sehingga tanpa pengendaliannya bisa
tergelincir pada masalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Bagaimanapun,
pengusaha muslim Indonesia adalah warga negara Indonesia yang telah berikrar
diri dan bernaung dalam suatu negara kebangsaan Indonesia dengan asas tunggal
Pancasila – dan bukan negara Islam, dengan memberlakukan syariah Islam.
Kesadaran ini bahkan telah ditanamkan pada awal pembentukan negara ini oleh
para founding fathers kita.
Karenanya, tidaklah
berlebihan kalau ”Dialog Bisnis Muhammadiyah” ini antara lain menyimpulkan
perlunya penggalangan solidaritas nasional guna menumbuhkan dan meningkatkan
perekonomian rakyat, serta solidaritas muslim guna menumbuhkan perekonomian
ummat pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya. Juga ditekankan perlunya
digalang dan ditumbuhkan jiwa profesionalisme ummat sesuai tuntutan dan
perkembangan jaman (halaman 20).
Catatan Penutup
Akhirnya, tak ada gading yang tak retak.
Dengan mengacu konsep “kebangkitan kembali” yang dikemukakan Chandra Muzaffar,
satu hal yang kurang dibahas secara cukup luas dalam buku ini adalah latar sejarah
tentang kejayaan pengusaha muslim di masa lalu, yang menyebabkan pengusaha
muslim masa kini ingin melihat “kebangkitannya kembali”. Dalam hal ini,
misalnya, Junus Jahja hanya menyebut beberapa nama saudagar Islam yang kaya,
seperti Djohan Djohor, Tasripin, Nitisemito, Tjokrosuharto, H. Bilal, Dasaad,
Muchsin, Rahman Tamin, H. Sierat, H. Djuned, Hasyim Ning, Gobel (halaman
139-140). Tanpa mengungkapkan, bagaimana perjalanan bisnis mereka hingga dapat
timbul dan memuncak ke tataran wiraswastawan nasional yang berhasil.
Dengan mengacu pendapat Junus Jahya pula,
mungkin kita harus menggali dan mengungkapkan etika pembangunan para saudagar
Islam yang berjaya, baik kini maupun masa lampau. Selain itu, menurut hemat
penulis, hal yang mungkin perlu ditelusuri juga adalah mengapa beberapa
wiraswastawan Islam yang berhasil, dalam perjalanannya, menjadi jatuh dan tak
mampu bangkit kembali. Apakah merka kalah bersaing, atau karena tidak diikutkan dalam persaingan?
Kalau benar sinyalemen SH
Alatas (Mitos Pribumi Malas, LP3ES
Jakarta, 1988) bahwa penyingkiran golongan pedagang Melayu dan Jawa (yang
secara garis besar berarti juga penyingkiran golongan pengusaha muslim, -
penulis) merupakan proses terhadap yang bermula pada abad ke-17 oleh Belanda
... dan – hingga ke suatu tingkatan tertentu – oleh penguasa setempat, maka
mungkinkah kejayaannya bisa dibangkitkan secara bertahap pula? Apakah cara
demikian cukup memadai dalam era perubahan dan informasi yang sedemikian
cepatnya sekarang ini? Lebih menarik lagi, apakah mungkin ”penguasa setempat”
kita saat ini masih melakukan tindakan semacam yang dilakukan para pendahulunya
– selama empat abad yang lalu? Kalau demikian halnya, sungguh ironis dengan
makna kemerdekaan yang ditebus dengan pengorbanan para pahlawan.
Bagaimanapun, dari
keberhasilan dan kegagalan mereka, tampaknya bisa diambil hikmah bagi generasi
kini maupun generasi mendatang. Masalahnya, kapan mereka akan bangkit? Dapatkah
mereka bangkit dengan kekuatan sendiri-sendiri? Kalau tidak, siapa yang akan
membangkitkan?
Tidak cukup hanya dengan
menyelenggarakan satu-dua diskusi atau diungkap dengan senyum seremoni, apalagi
kalau sekadar basa-basi. Kini, perlu aksi!
Langkah Muhammadiyah
untuk menyelenggarakan diskusi bisnis di kalangan pengusaha Muslim ini patut dipuji,
namun masih memerlukan penjabaran program kegiatan nyata. Bukan hanya di kalangan
Muhammadiyah semata-mata, tapi juga pengusaha muslim pada umumnya.
Resensi buku ini dimuat Suara Karya, 20 Agustus 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar