Senin, 11 Mei 2015

Peran Serikat Kerja dan YDP dalam Sebuah Perusahaan

Peran Serikat Kerja dan YDP dalam Sebuah Perusahaan

Oleh Tika Noorjaya

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekarang ini seakan-akan menjadi momok yang setiap saat mengincar dan memangsa karyawan, terutama karyawan swasta. Magnitude-nya pun tak tanggung-tanggung, baik menyangkut jumlah karyawan di-PHK maupun perusahaan yang mem-PHK, dengan melibatkan perusahaan kecil maupun yang masuk dalam jaringan konglomerasi dan perusahaan patungan.
Dalam alam Indonesia yang menganut prinsip Hubungan Industrial Pancasila (HIP), berita di media massa belakangan ini tentang terjadinya PHK atau aksi protes dan pemogokan karyawan sungguh kurang mengenakkan. Bagaimana mungkin suasana kemitraan yang secara ideal ingin digalang dalam alam HIP bisa mendatangkan penderitaan bagi korban PHK – langsung maupun di bawah tangan (pimpinan perusahaan meminta karyawan untuk mengundurkan diri dengan dijanjikan kompensasi tertentu)? Tidakkah diingat bahwa PHK tidak hanya berarti terputusnya hubungan perusahaan dengan karyawan, juga menyangkut penderitaan sanak keluarganya, baik material maupun psikologis? Apakah tidak ada jalan lain yang lebih manusiawi? Apakah serikat pekerja dan dana pensiun tidak mungkin dijadikan bumper untuk menanggulangi PHK yang tidak mengenakkan itu?
PHK dan Upaya Kemanusiaan
Melesunya perekonomian sekarang ini cenderung membawa pengaruh buruk terhadap beberapa jenis industri. Hal ini, akhirnya, bermuara pada penurunan pendapatan, sehingga mengganggu likuiditas perusahaan. Penurunan pendapatan ini telah mengubah keseimbangan perusahaan. Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan pertimbangan yang tidak hanya teknis dan ekonomis, juga sosial dan, bahkan politis.
Sementara itu, ketatnya persaingan pasar, menyebabkan upaya yang ditempuh untuk mencapai keseimbangan baru lebih bersifat ke dalam, yakni mengupayakan penurunan harga pokok dengan berbagai peningkatan efisiensi. Sayangnya, dalam rangka efisiensi ini, perusahaan sering terjebak pada pengertian teknis dan ekonomis semata, sehingga penyelesaiannya pun bersifat teknis dan ekonomis namun kurang memperhatikan efisiensi sosialnya.
Dalam hal ini, tenaga kerjalah yang biasanya mendapat prioritas untuk dikorbankan, melalui PHK atau cara lainnya. Padahal, betapa banyak contoh nyata maupun pustaka yang menilai tenaga kerja sebagai aset utama perusahaan, kalau perusahaan dapat memanfaatkannya secara optimal. Dari sisi ini pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan. Karena itu, perluasan wawasan dan peningkatan keterampilan sumber daya manusia seyogyanya menjadi strategi jangka panjang perusahaan maupun karyawan. Hal ini menjadi penting dalam era Pembangunan Jangka Panjang Tahap (PJPT) II.
Strategi jangka panjang bagi perusahaan dan karyawan sebenarnya cukup terjawab dengan prinsip bekerja seumur hidup. Yakni, hanya bekerja di suatu tempat sampai masa pensiunnya, seperti yang dikembangkan manajemen Jepang di masa lalu.
Bagi perusahaan, jelas, sejak awal harus sudah memperhatikan kemungkinan tidak akan melakukan kebijakan PHK dalam perjalanan usahanya. Dalam kaitan ini termasuk sikap yang tidak terlalu silau oleh fatamorgana keberhasilan sementara. Tidak jarang, karena terperangkap oleh fatamorgana seperti itu, manajemen ingin terus memacu keberhasilannya dengan merekrut sejumlah orang baru – bahkan tak segan membajak dari perusahaan lain – dengan biaya transfer dan tawaran gaji yang tinggi.
Akibatnya, biaya overhead menjadi menggelembung. Hal ini menjadi tak tertahankan bila konjungtur mendepak perusahaan ke lembahnya. Contohnya adalah kasus di bidang perbankan yang beberapa waktu lalu sibuk melakukan pembajakan karyawan dan sekarang justru mengalami kesulitan struktural yang cukup parah.
Sementara itu, bagi orang yang masuk jalur perekrutan seyogyanya segera dirancang peningkatan keterampilan dan jalur kariernya, sehingga penilaian keberhasilan mereka dalam meniti kariernya sangat mudah dilakukan, yaitu ditentukan oleh prestasi dan dedikasinya. Dalam hal ini, strategi jangka panjang bagi karyawan, sebenarnya lebih merupakan peningkatan motivasi bahwa kelak di kemudian hari mereka harus mampu menduduki posisi tertinggi di perusahaan bersangkutan. Dengan demikian, mereka selalu terpacu untuk meningkatkan keterampilan maupun loyalitasnya.
Hal itu kedengarannya memang enteng. Namun, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa agaknya tidak banyak karyawan yang cukup bermotivasi untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Bekerja asal saja adalah fenomena yang sering ditemui, sekalipun hal ini tidak mutlak lahir dari kekurangan karyawan bersangkutan. Kekurangan karyawan dalam hal motivasi ini bisa juga – dan terutama – disebabkan oleh suasana dan kultur perusahaan yang tidak mendukung. Misalnya, primordialisme dan nepotisme yang berkembang di perusahaan.
Kalau memang kondisinya sudah sedemikian sulit, sehingga rasionalisasi tenaga kerja terpaksa dilakukan, apakah tidak lebih baik bila PHK diberi arti lain. Misalnya, PHK dapat merupakan kependekan dari pengurangan hari kerja. Artinya, jumlah tenaga kerja tetap, hanya diadakan pengaturan hari kerja. Konsekuensinya, jelas, penurunan pendapatan karyawan yang kekurangan pembayarannya diperhitungkan dengan pemilikan saham perusahaan oleh karyawan. Hal ini, tentu, sangat tergantung pada niat pemilik perusahaan.
Atau, mungkin dapat ditempuh kebijakan pengurangan gaji komisaris, direksi, staf serta pengeluaran lain yang tidak terkait langsung dengan produksi – misalnya, biaya sewa kantor yang mahal – untuk dikompensasikan kepada upah karyawan. Dapat juga PHK diartikan sebagai peningkatan hasil kerja, yaitu peningkatan produktivitas seluruh faktor produksi, termasuk tenaga kerja, dengan implikasi lanjutan perlunya peningkatan pemasaran untuk memperoleh segmen pasar baru.
Mungkin dapat digali dan dilaksanakan akronim lain di luar pemutusan hubungan kerja, dengan memperhatikan aspek teknis, ekonomis, sosial, dan politik secara menyeluruh. Dalam hal ini, untuk melakukan perubahan tersebut, seyogyanya dilakukan pendekatan yang luwes, sehingga karyawan tidak resah karena dibayangi PHK yang sewaktu-waktu menghempaskannya. Hal ini sekaligus menumbuhkan semangat efisien dan kebersamaan yang menciptakan ruang kerja yang nyaman dengan membukanya jendela kemanusiaan.
Serikat Pekerja
Di beberapa perusahaan, sesungguhnya pembuka jendela kemanusiaan semacam itu telah ada dengan terbentuknya serikat pekerja. Lembaga ini, antara lain, bertujuan untuk memperjuangkan perbaikan nasib dan mempertinggi taraf hidup karyawan dan purnakaryawan, dengan peningkatan dan pengembangan perusahaan.
Dalam menanggapi isu PHK di lingkungan perusahaan, seyogyanya serikat pekerja tampil sebagai penyelamat dengan memperjuangkan kepentingan anggotanya. Dalam jangka panjang, serikat pekerja seyogyanya menyadari pentingnya mengadakan perjanjian kerjasama. Dalam hal ini perlu diupayakan agar persyaratan kerja tidak ditentukan secara sepihak (oleh perusahaan), melainkan ditentukan secara bersama. Hal ini akan menjamin terciptanya hubungan kerja yang serasi, selaras, dan seimbang antarpihak yang terlibat.
Masalahnya, keberadaan serikat pekerja di suatu perusahaan sering tidak mendapat dukungan dari pemilik perusahaan. Bahkan, tidak jarang, dianggap merongrong kewibawaan perusahaan. Mungkin, karena keberadaan serikat pekerja – kawan seiring yang seyogyanya bahu membahu dalam memperjuangkan keberlangsungan perusahaan, termasuk untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya PHK – belum cukup disadari oleh kedua pihak.
Serikat pekerja, sebenarnya, bukanlah wadah untuk adu kuat dalam pertarungan antara karyawan melawan pemilik perusahaan. Dalam hal ini, pemerintah, sebagai koordinator sistem, seyogyanya lebih aktif mendukung kehadiran serikat pekerja di perusahaan dan tidak sekadar menunggu datangnya permohonan pendirian serikat pekerja dari karyawan perusahaan.
YDP
Dana pensiun adalah piranti lain yang seyogyanya juga mampu – bahkan perlu diarahkan – untuk melakukan fungsi sebagai bumper terhadap kemungkinan, misalnya, PHK. Masalah yang perlu dipecahkan adalah bagaimana para karyawan pada saat dihadapkan dengan kesulitan mampu tetap bertahan. Bahkan, mampu terus melanjutkan kiprahnya sebagai karyawan di satu sisi, dan sebagai pencari nafkah bagi keluarga di lain sisi. Lebih dari itu, dana pensiun dapat menumbuhkan kepercayaan diri karyawan yang mungkin tererosi selama menanti dan menjalani PHK.
Dengan mengacu contoh pada sebuah perusahaan konglomerasi yang belakangan melakukan PHK di bawah tangan, adalah aneh kalau terhadap karyawan ter-PHK, pihak pengurus Yayasan Dana Pensiun (YDP) menahan pembayaran uang dana pensiun karyawan, yang nota bene adalah uang tanbungannya. Apalagi, kalau alasan penahanan ini merujuk pada perundang-undangan – yakni UU No.11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Lebih mengherankan lagi, kalau tindakan tersebut mendapat dukungan pemerintah.
Dengan acuan perundang-undangan itu pula bukan mustahil kalau kasus di atas tidak berdiri sendiri. Karena itu, kiranya cukup sahih untuk mengkajinya secara lebih luas. Artinya lebih menegaskan ketentuan yang telah ada dan juga menambahkan wawasan baru, dengan dimensi yang lebih menekankan aspek kemanusiaan serta pemanfaatan potensi asset nasional.
Tanpa bermaksud mengurangi itikad baik para pembuat perundang-undangan serta penyelenggara negara yang ingin mengamankannya, yang mungkin ingin mengaitkan dengan kesejahteraan karyawan (dan keluarga) di hari tua, agaknya pantas dipermasalahkan, manakah yang lebih dipentingkan hari tua yang masih sangat jauh (karena kebanyakan karyawan masih muda) atau masa kini yang sudah jelas di depan mata. Tidakkah terpikirkan bahwa setelah PHK tidak mudah bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan baru. Apalagi kalau kebetulan menyandang predikat sebagai jebolan dari perusahaan yang kadung mempunyai citra negatif di masyarakat.
Selanjutnya, mungkin sudah saatnya dipikirkan agar dana pensiun dijadikan sebagai penyangga agar saat terjadinya gejolak kerja, misalnya PHK, tidak terlalu memukul karyawan dan keluarganya. Pada saat terkena musibah tersebut, Yayasan Dana Pensiun bukannya menahan dana pensiun karyawan, melainkan bisa memberikan subsidi atau, bahkan, bisa memberikan kredit selama karyawan belum mendapat pekerjaan baru. Dana subsidi ini selanjutnya dapat diperhitungkan dengan preminya di kemudian hari, yakni saat karyawan telah mempunyai pekerjaan lagi.

 

Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 7 April 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar