Peran Serikat Kerja
dan YDP dalam Sebuah Perusahaan
Oleh Tika
Noorjaya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekarang ini seakan-akan menjadi momok yang setiap saat mengincar dan memangsa karyawan, terutama karyawan swasta. Magnitude-nya pun tak tanggung-tanggung, baik menyangkut jumlah karyawan di-PHK maupun perusahaan yang mem-PHK, dengan melibatkan perusahaan kecil maupun yang masuk dalam jaringan konglomerasi dan perusahaan patungan.
Dalam alam Indonesia yang menganut
prinsip Hubungan Industrial Pancasila (HIP), berita di media massa belakangan
ini tentang terjadinya PHK atau aksi protes dan pemogokan karyawan sungguh
kurang mengenakkan. Bagaimana mungkin suasana kemitraan yang secara ideal ingin
digalang dalam alam HIP bisa mendatangkan penderitaan bagi korban PHK –
langsung maupun di bawah tangan (pimpinan perusahaan meminta karyawan untuk
mengundurkan diri dengan dijanjikan kompensasi tertentu)? Tidakkah diingat
bahwa PHK tidak hanya berarti terputusnya hubungan perusahaan dengan karyawan,
juga menyangkut penderitaan sanak keluarganya, baik material maupun psikologis?
Apakah tidak ada jalan lain yang lebih manusiawi? Apakah serikat pekerja dan
dana pensiun tidak mungkin dijadikan bumper
untuk menanggulangi PHK yang tidak mengenakkan itu?
PHK dan Upaya Kemanusiaan
Melesunya perekonomian sekarang ini cenderung membawa
pengaruh buruk terhadap beberapa jenis industri. Hal ini,
akhirnya, bermuara pada penurunan pendapatan, sehingga mengganggu likuiditas
perusahaan. Penurunan pendapatan ini telah mengubah keseimbangan perusahaan.
Untuk mencapai keseimbangan baru diperlukan pertimbangan yang tidak hanya
teknis dan ekonomis, juga sosial dan, bahkan politis.
Sementara
itu, ketatnya persaingan pasar, menyebabkan upaya yang ditempuh untuk mencapai
keseimbangan baru lebih bersifat ke dalam, yakni mengupayakan penurunan harga
pokok dengan berbagai peningkatan efisiensi. Sayangnya, dalam rangka efisiensi
ini, perusahaan sering terjebak pada pengertian teknis dan ekonomis semata,
sehingga penyelesaiannya pun bersifat teknis dan ekonomis namun kurang
memperhatikan efisiensi sosialnya.
Dalam
hal ini, tenaga kerjalah yang biasanya mendapat prioritas untuk dikorbankan,
melalui PHK atau cara lainnya. Padahal, betapa banyak contoh nyata maupun
pustaka yang menilai tenaga kerja sebagai aset utama perusahaan, kalau
perusahaan dapat memanfaatkannya secara optimal. Dari sisi ini pengembangan sumber
daya manusia merupakan keharusan. Karena itu, perluasan wawasan dan peningkatan
keterampilan sumber daya manusia seyogyanya menjadi strategi jangka panjang
perusahaan maupun karyawan. Hal ini menjadi penting dalam era Pembangunan
Jangka Panjang Tahap (PJPT) II.
Strategi
jangka panjang bagi perusahaan dan karyawan sebenarnya cukup terjawab dengan
prinsip bekerja seumur hidup. Yakni, hanya bekerja di suatu tempat sampai masa
pensiunnya, seperti yang dikembangkan manajemen Jepang di masa lalu.
Bagi
perusahaan, jelas, sejak awal harus sudah memperhatikan kemungkinan tidak akan
melakukan kebijakan PHK dalam perjalanan usahanya. Dalam kaitan ini termasuk
sikap yang tidak terlalu silau oleh fatamorgana keberhasilan sementara. Tidak
jarang, karena terperangkap oleh fatamorgana seperti itu, manajemen ingin terus
memacu keberhasilannya dengan merekrut sejumlah orang baru – bahkan tak segan
membajak dari perusahaan lain – dengan biaya transfer dan tawaran gaji yang
tinggi.
Akibatnya, biaya overhead menjadi menggelembung. Hal ini menjadi
tak tertahankan bila konjungtur mendepak perusahaan ke lembahnya. Contohnya
adalah kasus di bidang perbankan yang beberapa waktu lalu sibuk melakukan
pembajakan karyawan dan sekarang justru mengalami kesulitan struktural yang
cukup parah.
Sementara
itu, bagi orang yang masuk jalur perekrutan seyogyanya segera dirancang
peningkatan keterampilan dan jalur kariernya, sehingga penilaian keberhasilan
mereka dalam meniti kariernya sangat mudah dilakukan, yaitu ditentukan oleh
prestasi dan dedikasinya. Dalam hal ini, strategi jangka panjang bagi karyawan,
sebenarnya lebih merupakan peningkatan motivasi bahwa kelak di kemudian hari
mereka harus mampu menduduki posisi tertinggi di perusahaan bersangkutan.
Dengan demikian, mereka selalu terpacu untuk meningkatkan keterampilan maupun
loyalitasnya.
Hal itu kedengarannya memang enteng. Namun,
pengalaman selama ini menunjukkan bahwa agaknya tidak banyak karyawan yang
cukup bermotivasi untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Bekerja asal saja adalah
fenomena yang sering ditemui, sekalipun hal ini tidak mutlak lahir dari
kekurangan karyawan bersangkutan. Kekurangan karyawan dalam hal motivasi ini
bisa juga – dan terutama – disebabkan oleh suasana dan kultur perusahaan yang
tidak mendukung. Misalnya, primordialisme dan nepotisme yang berkembang di
perusahaan.
Kalau memang kondisinya sudah sedemikian
sulit, sehingga rasionalisasi tenaga kerja terpaksa dilakukan, apakah tidak
lebih baik bila PHK diberi arti lain. Misalnya, PHK dapat merupakan kependekan
dari pengurangan hari kerja. Artinya, jumlah tenaga kerja tetap, hanya diadakan
pengaturan hari kerja. Konsekuensinya, jelas, penurunan pendapatan karyawan
yang kekurangan pembayarannya diperhitungkan dengan pemilikan saham perusahaan
oleh karyawan. Hal ini, tentu, sangat tergantung pada niat pemilik perusahaan.
Atau, mungkin dapat ditempuh
kebijakan pengurangan gaji komisaris, direksi, staf serta pengeluaran lain yang
tidak terkait langsung dengan produksi – misalnya, biaya sewa kantor yang mahal
– untuk dikompensasikan kepada upah karyawan. Dapat juga PHK diartikan sebagai
peningkatan hasil kerja, yaitu peningkatan produktivitas seluruh faktor
produksi, termasuk tenaga kerja, dengan implikasi lanjutan perlunya peningkatan
pemasaran untuk memperoleh segmen pasar baru.
Mungkin dapat digali dan dilaksanakan
akronim lain di luar pemutusan hubungan kerja, dengan memperhatikan aspek
teknis, ekonomis, sosial, dan politik secara menyeluruh. Dalam hal ini, untuk
melakukan perubahan tersebut, seyogyanya dilakukan pendekatan yang luwes,
sehingga karyawan tidak resah karena dibayangi PHK yang sewaktu-waktu menghempaskannya.
Hal ini sekaligus menumbuhkan semangat efisien dan kebersamaan yang menciptakan
ruang kerja yang nyaman dengan membukanya jendela kemanusiaan.
Serikat Pekerja
Di beberapa
perusahaan, sesungguhnya pembuka jendela kemanusiaan semacam itu telah ada
dengan terbentuknya serikat pekerja. Lembaga ini, antara lain, bertujuan untuk
memperjuangkan perbaikan nasib dan mempertinggi taraf hidup karyawan dan
purnakaryawan, dengan peningkatan dan pengembangan perusahaan.
Dalam
menanggapi isu PHK di lingkungan perusahaan, seyogyanya serikat pekerja tampil
sebagai penyelamat dengan memperjuangkan kepentingan anggotanya. Dalam jangka
panjang, serikat pekerja seyogyanya menyadari pentingnya mengadakan perjanjian
kerjasama. Dalam hal ini perlu diupayakan agar persyaratan kerja tidak
ditentukan secara sepihak (oleh perusahaan), melainkan ditentukan secara
bersama. Hal ini akan menjamin terciptanya hubungan kerja yang serasi, selaras,
dan seimbang antarpihak yang terlibat.
Masalahnya,
keberadaan serikat pekerja di suatu perusahaan sering tidak mendapat dukungan
dari pemilik perusahaan. Bahkan, tidak jarang, dianggap merongrong kewibawaan
perusahaan. Mungkin, karena keberadaan serikat pekerja – kawan seiring yang
seyogyanya bahu membahu dalam memperjuangkan keberlangsungan perusahaan,
termasuk untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya PHK – belum cukup disadari
oleh kedua pihak.
Serikat
pekerja, sebenarnya, bukanlah wadah untuk adu kuat dalam pertarungan antara
karyawan melawan pemilik perusahaan. Dalam hal ini, pemerintah, sebagai
koordinator sistem, seyogyanya lebih aktif mendukung kehadiran serikat pekerja
di perusahaan dan tidak sekadar menunggu datangnya permohonan pendirian serikat
pekerja dari karyawan perusahaan.
YDP
Dana pensiun
adalah piranti lain yang seyogyanya juga mampu – bahkan perlu diarahkan – untuk
melakukan fungsi sebagai bumper
terhadap kemungkinan, misalnya, PHK. Masalah yang perlu dipecahkan adalah
bagaimana para karyawan pada saat dihadapkan dengan kesulitan mampu tetap
bertahan. Bahkan, mampu terus melanjutkan kiprahnya sebagai karyawan di satu
sisi, dan sebagai pencari nafkah bagi keluarga di lain sisi. Lebih dari itu,
dana pensiun dapat menumbuhkan kepercayaan diri karyawan yang mungkin tererosi
selama menanti dan menjalani PHK.
Dengan
mengacu contoh pada sebuah perusahaan konglomerasi yang belakangan melakukan
PHK di bawah tangan, adalah aneh kalau terhadap karyawan ter-PHK, pihak
pengurus Yayasan Dana Pensiun (YDP) menahan pembayaran uang dana pensiun
karyawan, yang nota bene adalah uang
tanbungannya. Apalagi, kalau alasan penahanan ini merujuk pada
perundang-undangan – yakni UU No.11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Lebih
mengherankan lagi, kalau tindakan tersebut mendapat dukungan pemerintah.
Dengan
acuan perundang-undangan itu pula bukan mustahil kalau kasus di atas tidak
berdiri sendiri. Karena itu, kiranya cukup sahih untuk mengkajinya secara lebih
luas. Artinya lebih menegaskan ketentuan yang telah ada dan juga menambahkan
wawasan baru, dengan dimensi yang lebih menekankan aspek kemanusiaan serta
pemanfaatan potensi asset nasional.
Tanpa
bermaksud mengurangi itikad baik para pembuat perundang-undangan serta
penyelenggara negara yang ingin mengamankannya, yang mungkin ingin mengaitkan
dengan kesejahteraan karyawan (dan keluarga) di hari tua, agaknya pantas
dipermasalahkan, manakah yang lebih dipentingkan hari tua yang masih sangat
jauh (karena kebanyakan karyawan masih muda) atau masa kini yang sudah jelas di
depan mata. Tidakkah terpikirkan bahwa setelah PHK tidak mudah bagi seseorang
untuk mendapatkan pekerjaan baru. Apalagi kalau kebetulan menyandang predikat
sebagai jebolan dari perusahaan yang kadung mempunyai citra negatif di
masyarakat.
Selanjutnya,
mungkin sudah saatnya dipikirkan agar dana pensiun dijadikan sebagai penyangga
agar saat terjadinya gejolak kerja, misalnya PHK, tidak terlalu memukul
karyawan dan keluarganya. Pada saat terkena musibah tersebut, Yayasan Dana
Pensiun bukannya menahan dana pensiun karyawan, melainkan bisa memberikan
subsidi atau, bahkan, bisa memberikan kredit selama karyawan belum mendapat
pekerjaan baru. Dana subsidi ini selanjutnya dapat diperhitungkan dengan
preminya di kemudian hari, yakni saat karyawan telah mempunyai pekerjaan lagi.
Artikel ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 7 April
1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar