Kamis, 30 April 2015

UUPA: Masalah yang Sulit Tuntas




26 tahun UUPA: MASALAH YANG SULIT TUNTAS
Oleh Tika Noorjaya

A.T. Mosher pernah mengatakan: "Masalah manusia dan lahan akan  tetap timbul dan terus menerus menjadi hangat dalam semua sistem ekonomi" dan ternyata memang benar.

Seperti tahun-tahun lalu, berita-berita dan tulisan-tulisan mengenai masalah lahan banyak hadir ke permukaan, terlebih pada saat-saat yang berdekatan dengan peringatan hari kelahiran Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Pokok-pokok Agraria (UUPA), seperti  halnya hari-hari terakhir ini.
Kelahiran UUPA 26 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 24 September 1960, tampaknya banyak mengilhami masyarakat dan pemerintah, wartawan, para akar dan politisi untuk menonjolkan masalah lahan, meskipun seringkali kita dapati masalah tersebut menghangat pada satu saat untuk kemudian tenggelam dalam pelukan masalah lain.

 LAHAN YANG LANGKA

Dengan perkembangan pembangunan dan di lain pihak pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, maka lahan menjadi  sesuatu yang langka, baik ditinjau dari segi kuantitas (dalam arti lahan  = land) maupun kualitas kesuburannya (dalam arti tanah = soil).  Agar  lebih memudahkan, dalam uraian selajutnya istilah lahan dan tanah diganti dengan tanah saja, yang pengertiannya disesuaikan dengan konteks permasalahannya.
Ditinjau dari segi kuantitas, tanah menjadi langka antara lain  karena tingginya tingkat kelahiran dan sulitnya mengadakan perluasan,  sehingga man-land ratio, yaitu nisbah antara jumlah penduduk  terhadap luas tanah, semakin tinggi misalnya kepadatan penduduk di  Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1975 baru sekitar 630 jiwa/km2, pada tahun 1983 meningkat menjadi menjadi sekitar 730  jiwa/km2. Sedangkan kemunduran kualitas dan kesuburan tanah antara lain disebabkan oleh tekanan ekologis yang berlebihan, seperti intensifnya pengolahan tanah tanpa mengusahakan perbaikannya, adanya efek sampingan dari pembuangan material sisa industri yang sulit terurai, dan sebagainya.
Akibat kelangkaan tersebut, permintaan terhadap tanah semakin meningkat dengan harga yang semakin tinggi. Sementara itu, kemampuan membeli cenderung dilakukan oleh golongan masyarakat dengan pendapatan tinggi (petani berdasi ?). Hal itu ditunjang dengan  adanya anggapan umum pada masyarakat negara berkembang, bahwa  sebagian kelebihan daya beli pada golongan pendapatan tinggi disalurkan sebagai investasi pada tanah.
Pola demikian menyebabkan pemilikan tanah cenderung semakin dikuasai oleh sebagian kecil orang kaya, sedangkan petani/penduduk miskin terdesak; ada yang ke pedalaman/pegunungan, mengerogoti hutan-hutan yang secara ekologis sangat rawan dan mengkhawatirkan;  ada yang tersingkir dari kehiduan pedesaan mencari  tumpuan harapan di  kota-kota besar;  ada yang memanfaatkan anjuran pemerintah untuk bertransmigrasi; dan ada juga yang tetap tinggal di desa, ... membagi kemiskinan!!!

TANAH TERLANTAR

Dalam kondisi kelangkaan sedemikian, munculnya berita tentang  areal perkebunan terlantar yang sebagian besar terdapat di Jawa Barat bagian Selatan, memang mengejutkan, meskipun luas sesungguhnya  yang dinyatakan pejabat tertentu tidak saling mendukung. Terlepas dari luasnya yang agaknya masih simpang-siur, menelantarkan tanah di Pulau Jawa yang sumpek ini adalah sebuah ironi yang barangkali  dapat digolongkan sebagai pemborosan sumberdaya.
Karena itu kiranya tidak berlebihan andaikata tanah terlantar  tersebut didistribusikan saja kepada para penggarap tanah/petani yang tidak memiliki tanah. Dalam hal ini, apa tidak sebaiknya Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuat program transmigrasi lokal, yakni memindahkan penduduk yang padat di sebelah Utara/Tengah ke daerah-daerah yang jarang penduduknya (termasuk di tempat lahan perkebunan terlantar) di Jawa Barat bagian Selatan ?
Program yang sama juga berlaku bagi provinsi lain yang pola penyebaran penduduknya timpang, seperti halnya di Provinsi Lampung yang tampaknya berhasil memindahkan sebagian penduduk dari Kabupaten Lampung Selatan ke Kabupaten Lampung Utara.

PERLU REFORMASI ATAU TIDAK?
Kalau  kita menengok sejarah, sejak manusia mempertahankan hidupnya dengan perburuan di hutan atau menangkap ikan di sungai atau mengumpulkan hasil hutan, kemudian perladangan berpindah-pindah, sampai sistem bercocok tanam menetap dengan penggunaan teknologi yang canggih, tanah seringkali menimbulkan persengketaan,  yang melalui sejarah panjang menyadarkan manusia tentang perlunya reformasi penguasaan tanah. Karena itu, kita mengenal reformasi tanah sejak berabad-abad yang lalu, misalnya di Yunani sejak enam abad sebelum Masehi dan di Roma sejak dua abad sebelum Masehi.
Akan tetapi, karena hubungan manussia dengan suatu sumberdaya (dalam hal ini: tanah) hanya mempunyai arti jika merupakan hubungan aktivitas, maka tentu saja masalah penguasaan tanah bukan masalah yang sederhana; bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan tanah, tapi juga terlebih-lebih merupakan hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Sehingga, adanya ketentuan yuridis dan teknis saja dalam pelaksanaan reformasi tanah belum merupakan sarana yang tepat, tanpa pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut aspek sosial, ekonoomis maupun psikologis.
Barangkali, itulah antara lain penyebab mengapa UUPA yang sudah diundangkan sejak 26 tahun yang lalu dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan harapan. Dan, land-reform (Undang-undang nomor 56 Prp. tahun 1960) sebagai pelaksanaan dari Pasal UUPA selalu hangat dibicarakan.
Dari "kehangatan" para pakar dan politisi dalam memasalahkan land-reform, secara tajam dapat dipilah menjadi dua kelompok, yakni   pendukung land-reform di satu pihak dan kelompok penolaknya di pihak lain, yang masing-masimg mempunyai alasan.
Para penolak land-reform beranggapan bahwa dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di satu sisi dan jumlah areal tanah yang relatif tidak berubah di sisi lainnya, maka pembagian tanah akan  menciptakan petani-petani yang tanahnya sempit (petani gurem) yang mungkin tidak efisien lagi sebagai unit usahatani; bahkan pada suatu saat tidak mungkin lagi dilakukan pembagian tanah. Sedangkan para pendukung land-reform menilai bahwa land-reform adalah masalah  struktural yang bukan hanya sekedar membagikan tanah semata-mata melainkan merombak penguasaan tanah yang lebih adil sehubungan adanya berbagai ketimpangan dalam masyarakat; lagi pula model land-reform yang diterapkan dapat disesuaikan dengan keadaan maing-masing negara (bahkkan daerah ?).
Alasan kedua yang dikemukakan para penolak adalah bahwa dengan semakin meningkatnya penguasaan teknologi maka potensi sumberdaya alam bukan tanah dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan, sehingga tanah dianggap tidak penting. Pendukung land-reform memang mengakui kemajuan-kemajuan teknologi tersebut, tetapi selama manusia belum mampu membebaskan diri  dari bahan makanan yang berasal dari bumi maka selama itu pula tanah tetap mempunyai arti penting. Bahkan Dr. Burton Onate, seorang pakar dari Filipina belum lama ini menyatakan bahwa teknologi pertanian yang dikenal dengan Revolui Hijau hanya membuat petani miskin di Dunia Ketiga menjadi lebih miskin lagi, karena penguasaan teknologi tidak merata, yang cenderung lebih menguntungkan negara maju.
Alasan ketiga yang dikemukakan para penolak bahwa land-reform "harganya" mahal sekali, di mana diperlukan pemerintahan yang kuat,  organisasi kerja panitia land-reform yang rapi, jujur dan tidak vested interest, memerlukan persiapan lama, biayanya mahal, bahkan harus mampu mengendalikan gejolak yang mungkin berkembang setelah   pelaksanaan land-reform, karena betapa pun dalam pelaksanaan   program tersebut ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Namun, bagi para pendukung land-reform yang optimistis menilai bahwa alasan-alasan itu hanya dibbuat-buat untuk mengukuhkan pendapatnya, karena kalau memang menyadari pentingnya land-reform dikaitkkan dengan masalah struktural maka semua keberatan tersebut akan dapat diselesaikan.
Kalau kita perhatikan keberatan kelompok yang menolak  land-reform, maka kondisi Indonesia saat ini tampaknya menyokong kelompok ini, setidak-tidaknya dalam jangka pendek.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun1987 jelas meminta stabilitas baik  pra maupun paska. Menghangatkan isyu land-reform mungkin hanya akan mengeruhkan suasana, apalagi kalau diingat bahwa pada masa lalu isyu ini secara vokal dilancarkan organisasi terlarang.
Dalam situasi perekonomian yang  lesu, yang diperkirakan masih  akan berlangsung beberapa tahun lagi, dalam jangka pendek barangkali lebih relevan melaksanakan capital reform daripada land-reform, khususnya kalau tanah dan modal dipandang sebagai aset nasional. Sebagai contoh, tanpa melaksanakan land-reform pun, tanah dapat dikenakan pajak yang berarti merupakan pendapatan bagi negara; sedangkan menyimpan uang deposito tidak dikenakan pajak. Masih untung kalau uang tersebut didepositokan di dalam negeri, dapat memutar roda perekonomian negara kita; bagaimana kalau uang tersebut mengendap di luar negeri? Kalau orang memiliki tanah  lebih dari 5 hektar (batas maksimum pemilikan tanah) dihadapkan dengan reformasi tanah, mengapa orang memiliki puluhan, ratusan atau milyaran rupiah tidak dihadapkan dengan reformasi uang? Dan sebagainya.
Lagi pula, apakah masyarakat (Lembaga Swadaya Masyarakat  = LSM) kita sudah siap untuk menghadapi tugas berat tersebut? Apa artinya ketergesaan kalau melahirkan kerumitan di belakang hari!
Meskipun demikian, sesuai dengan yang dirumuskan dalam GBHN,
yaitu "penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan rakyat," maka upaya-upaya untuk mempersiapkan pelaksanaan UUPA secara konsekuen dan konsisten seyogianya terus dimantapkan; tidak hanya sekedar kesepakatan dalam pembicaraan, melainkan yang terutama adalah tindak lanjutnya. Pengalaman beberapa negara lain tampaknya ada baiknya juga dijadikan sebagai bahan perbandingan.
Keberhasilan Nederland dalam melaksanakan land-reform antara lain disebbabkan persiapan yang matang sekali, yang didasarkan pada  penelitian ilmiah yang memakan waktu lama. Selain itu, pelaksanaan   land-reform dilakukan setelah paling sedikit duapertiga dari penduduk suatu desa meminta kepada kepala negara agar didesanya diadakan land-reform.
Taiwan memulai pelaksanaan land-reform dengan penurunan sewa tanah pada akhir tahun 1949 dan redistribusi tanah baru diselesaikan pada tahun 1953, dengan prinsip "tanah untuk tani-penggarap. Kondisi ini berhasil menjadikan pendapatan lebih merata dan peningkatan produktivitas pertanian. Keberhasilan ini antara lain  disebutkan adanya stabilitas dalam seluruh aspek kehidupan, penelitian (termasuk pengukuran dan pendaftaran tanah) yang cermat, penyuluhan yang baik, pengembangan sarana perkreditan yang cepat, dan yang terpenting adanya peran-serta rakyat setempat yang tahu persis tentang penguasaan tanah di daerahnya.
Memang, Indonesia bukan Nederland atau Taiwan, atau negara-negara lain  yang  melaksanakan land-reform dengan berhasil. Tetapi,   tampaknya ada kesamaan permasalahan pokok, yakni kemampuan  dan kebulatan tekad pemerintah yang dijabarkan dalam tindak lanjut operasional didukung dengan peran-serta masyarakat.
Adakah kesiapan kitta (pemerintah dan masyarakat) untuk melaksanakan land-reform, atau lebih luas lagi UUPA, secara konsekuen dan konsisten ?
Pernyataan A.T. Mosher seperti dalam pembuka tulisan ini tampaknya menunjukkan kebenarannya. Tantangnnya, bagaimana  kita menguasai masalah, dan tidak malahan kita yang dikuasai oleh masalah.
 Ayo, siapa berani ? Ngacung!!


Artikel ini dimuat HU PRIORITAS, 23 September 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar