Sabtu, 29 Agustus 2015

Hanoman: Belajar Kemuliaan dari Kisah Pewayangan



HANOMAN, Akhir Bisu Sebuah Perang Besar (Pitoyo Amrih, Diva Press, April 2014, 472 halaman).


Dengan usia 25 abad lebih, konon, Hanoman eksis sejak Wayang Purwa hingga menjelang perang antara Jenggala dengan Panjalu.

Novel ini sebagian besar berkisah tentang masa kejayaannya menumpas Rahwana dalam episode Ramayana. Namun, ia tak mau terlibat dalam Bharata Yudha, karena, menurutnya, peperangan yang semula didasarkan pada semangat perjuangan untuk membela kebenaran, tak lebih dari sekadar benturan kepentingan.

Di bagian akhir novel ini, Kresna menemuinya (halaman 452). Pembicaraan dua orang yang dilakukan dengan mata, mulut, dan telinga batin; jasad mereka diam sedang sukma mereka bersama, bertemu, berpelukan, dan saling menyapa (halaman 453). ... Tampak kemudian Sri Kresna tertunduk malu; perlahan dia menitikkan air mata, meski matanya tetap terpejam (halaman 455). 

Kalau sampai Sri Kresna malu apalagi meteskan air mata berarti ia menyesali keputusan yang salah, padahal selama ini dikesankan bahwa Prabu Kresna juga lambang good leader yang nyaris tak pernah keliru dalam mengambil keputusan, semuanya logis, fair play, adil dan masih banyak lagi. Kehadiran Prabu Kresna adalah sebagai juru pengadil sekaligus pengatur strategi untuk membersihkan sampah dunia, sehingga jika masih ada benturan kepentingan maka Bathara Wisnu belum adil. Memang benar, Kresna adalah good leader dalam rangka mengamankan skenario yang sudah dibuat para dewa. Jadi, para penulis yang muncul belakangan, justru mempertanyakan skenario para dewa itu. 

Perbincangan di halaman 454 memang serba singkat, tapi maksudnya adalah keinginan Kresna (sebagai titisan Bathara Wisnu) untuk membunuh Antasena agar tak terlibat dalam Bharata Yudha. Ketidakadilan juga hadir dalam diri Sri-Rama (yang juga titisan Wisnu) yang mencurigai kesetiaan Sinta dan akibat negatifnya.

Buku karya Miftahul A'la ini juga bercerita tentang Hanoman: Si Buruk Rupa Berjiwa Mulya (200 halaman, Penerbit Garailmu, Jakarta, 2009). Buku ini dikemas bukan dalam versi novel seperti karya Pitoyo Amrih di atas, melainkan dalam format biografi sebagai legenda, sejak kelahiran hingga kematiannya.
 



Hal yang menarik dari buku ini terutama mengenai ajaran hidup Hanoman: pembela kebenaran, pemberani, pantang menyerah, optimistis, pendukung loyalitas, kesatria sejati, kasih sayang, hati-hati dalam bertindak, bertanggung jawab, penuh kesederhanaan, percaya diri, dan tidak silau dengan dunia. 

Jelaslah ke-12 sifat di atas lebih dari cukup untuk mencapai kemuliaan hidup, yang masih relevan hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar