Siang itu, kami pergi ke Teluk Disuk, Kecamatan Kei Kecil, sekitar 18 Km dari Kota Tual, tak lebih dari 30 menit berkendara roda empat, diantar teman lama (Pak Jopie dan Mas Daud), yang bertugas di Bank Indonesia Ambon. Setelah menikmati panorama alam yang mempesona, kami mengunjungi sebuah restoran tak bernama, di pinggiran pantai, sedikit menjorok ke lautan. Meski tak bernama, resto ini lumayan banyak pengunjungnya, termasuk wisatawan asing.
Kami memilih ikan yang akan disantap, dengan cara
mengambilnya dari kolam berjaring: Ikan Jenggot Biji Nangka, Ikan Sukuda, Ikan
Kerapu Napoleon, dan Ikan Durian, -- ikan berduri yang mirip durian. Karena
itu, kesegaran ikannya sungguh terjamin.
Untuk makanan pokoknya, saya lupakan
nasi dan beralih mengambil Enbal, -- makanan asli daerah itu yang terbuat dari
singkong. Air kelapa muda (duwegan) favorit saya juga tersedia di sana. Itulah
makan siang paling eksotis selama lima hari berkelana di Maluku.
Adapun Ikan Durian yang profilnya mirip Ikan Kudu-kudu
(yang sempat dinikmati di Makassar), ternyata rasanya tak sebagus namanya,
terutama karena cara mengolahnya terlalu asam, agaknya.
Belakangan, seorang
teman bahkan mengatakan bahwa ikan tersebut di daerahnya disebut ikan buntal.
Saya kaget bukan alang-kepalang; -- halnya dalam pelajaran biologi tempohari saya
mengenal ikan buntal sebagai ikan beracun, tapi belum pernah melihat bagaimana
bentuknya. Barangkali itulah sebabnya, menu ini tersaji belakangan karena harus
melalui proses detoksifikasi terlebih dulu. Waduh.
Tak apa. Apa pun yang terjadi, tak mengurangi maknanya
sebagai suatu makan siang yang eksotis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar