Sabtu, 29 Agustus 2015

BENGKULU: Itik Talangbenih


Itik Talang Benih terlahir dari perkawinan antara itik dari Cianten, Bogor, Jawa Barat, dan burung belibis. Itik tersebut dibawa dari Jawa Barat bersamaan dengan program kolonisasi (transmigrasi) ke daerah Curup, Bengkulu pada akhir abad ke-19. Itik hasil persilangan itu telah berdomestikasi, hidup, dan berkembang biak di sini. Itik Talang Benih telah melalui seleksi alam dan beradaptasi dengan baik di lingkungan setempat.
 
 

Ketika ratusan ribu itik di 11 provinsi mati karena virus flu burung H5N1 varian 2.3.2, Itik Talangbenih baik-baik saja. Selain tahan terhadap penyakit, ciri kasatmata itik Talang Benih lehernya lebih pendek dibandingkan itik jenis lain dan badannya lebih besar, sehingga dagingnya lebih banyak. Kelebihan lainnya adalah masa bertelurnya yang lama; bisa bertelur setiap hari selama 7-8 bulan nonstop. Itik yang berumur 3 tahun pun masih bisa bertelur. Itu sebabnya, petani jarang menjual itik dewasa karena masih menghasilkan telur.
 
Sdr Nandang dan Sugianto -- keduanya asal Jawa Barat -- dengan bangga memaparkan rencana pengembangan Itik Talang Benih di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Talang Benih memiliki daerah persawahan luas yang menjadi lumbung padi di Kabupaten Rejang Lebong. Pemandangannya asri, dengan latar belakang Bukit Barisan. Air dari hulu Sungai Musi mengalir ke sini untuk mengairi hamparan sawah penduduk. 

 


Tahun 1908 kontrolir Kepahiang, DG Hoeyer, bersama beberapa kepala marga mengusulkan kolonisasi (transmigrasi) ke daerah Bengkulu, agar ilmu yang tinggi di bidang pertanian masyarakat Jawa akan dapat memajukan daerah Bengkulu. Setahun kemudian dibukalah tiga desa kolonisasi di daerah Rejang, termasuk Talang Benih. Mereka mayoriritas didatangkan dari Sunda. Tak heran kalau saya bertemu dengan Kang Nandang asal Jelekong, Majalaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar