Tanggal 15 Januari 1998, Suharto, yang
berkuasa hampir 32 tahun menyerahkan kedaulatan ekonomi Indonesia kepada
IMF. Michael Camdessus berdiri pongah menyaksikan Suharto menyerah.
Saat itu, US$ memang perkasa di seluruh buana, seperti pomeo "USA
bersin, negara lain demam".
Kini, bukan hanya USA sedang bersin dan batuk, bahkan ada
raksasa baru China yang sedang menebar jurus "babah ngamuk", seperti
dalam film-film laga mandarin.
"Ketika dua gajah berlaga, pelanduk mati di tengah-tengah." Itulah analogi yang diderita negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Masih untung, Indonesia bukanlah negeri terparah, meskipun terasa sangat menyakitkan.
Nah, kalau 17 tahun lalu penguasa otoriter sekuat Suharto saja
terpaksa menyerah, maka sekarang ini penguasa macam apa yang akan mampu
menepis petaka yang ditebar sekaligus oleh dua negara adikuasa?
Kebersamaan kita sebagai bangsa besar, itulah jawabannya.
Dan itu sudah kita buktikan di masa lalu, yang berkali-kali teruji
keluar dari kemelut. Lupakan perseteruan waktu Pemilu/Pilpres dan suburkan
perdamaian dalam kebersamaan. Kini, yang harus diselamatkan adalah Indonesia, bukan si ini atau si itu; bukan koalisi sini atau koalisi situ. Kalaupun Jokowi dianggap lemah, maka bersatulah untuk
memperkuatnya. Bukan malah digoyah sehingga menguras energi bangsa untuk
memperuncing perbedaan pendapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar