Sabtu, 25 April 2015

Ekonomi Pancasila: Dari Persemaian ke Lapangan


Ekonomi Pancasila:
Dari Persemaian ke Lapangan

Resensi Buku oleh Tika Noorjaya
Dimuat HU Kompas, 13 November 1988

Judul Buku: Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia
Penulis: Mubyarto
Penerbit: LP3ES, Jakarta
ISBN 979-8015-44-4
Cetakan Pertama: Juni 1988
Tebal: (xi + 263) halaman. 



Membaca buku Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (SMEI) ini agaknya kurang "pas" tanpa mengaitkannya dengan buku Mubyarto terdahulu, terutama IESK (Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan  Agro  Ekonomika, 1980) dan EPGK (Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, 1987). Halnya, tampak jelas bahwa SMEI merupakan perkembangan terakhir dari lembaga yang telah ditanam Mubyarto sejak awal tahun 1980-an. Demikianlah, dalam ketiga buku di atas Mubyarto seakan meretas benang merah dengan moral, keadilan ekonomi dan keadilan sosial sebagai simpul yang ingin lebih ditonjolkan.

Kalau pada IESK gagasannya lebih bersifat abstrak-filosofis; dalam EPGK mulai dimasukkan unsur pengukuran efisiensi yang dikaitkan dengan keadilan ekonomi pada beberapa jenis usaha; maka dalam SMEI kita melihat upaya Mubyarto untuk mencoba memasuki kancah yang lebih operasional. Tiga contoh studi kasus dalam SMEI -- yakni dalam bangun usaha koperasi, perusahaan negara dan swasta -- barangkali dapat kita nilai sebagai bukti ketegaran Mubyarto untuk berpegang teguh pada gagasannya dan ketekunan untuk melacaknya lebih lanjut.    

Melihat ketekunan Mubyarto, agakya bisa diharapkan suatu saat pemikiran abstrak-filosofis tentang SEP akan terkristalisasikan dengan mantap, serta akan semakin diwarnai dengan berbagai kajian empiris, sehingga bukan tidak mungkin kalau tesis utamanya akan terjawab cukup lengkap dari pengalaman lapangan.

Perihal penekanan ketiga buku Mubyarto terhadap keadilan dan moral, sesungguhnya bukanlah isyu baru, seperti tampak dari beberapa pandangan pakar lain yang dirujuk Mubyarto. Di samping demikian banyak pakar lain yang dapat dirujuk, para perumus Deklarasi Cocoyok, Oktober 1974, misalnya membuang pemikiran tentang pertumbuhan dahulu, ... keadilan kemudian; demikian pula Raul Prebisch dalam konferensi UNCTAD di Nairobi, 1976, menyatakan bahwa tidak ada teori ekonomi yang secara fair dapat menentukan siapa yang boleh memiliki hasil tersebut ... permasalahan itu harus dipecahkan dengan dasar prinsip moral.

Meskipun tidak baru, pemikiran Mubyarto tentang pentingnya keadilan dan moral dalam sistem ekonomi Indonesia tersebut menjadi menarik karena ia berangkat dari keinginan untuk mewujudkan suatu sistem ekonomi yang memiliki akar sosial budaya sendiri. Pribumisasi ilmu, yang demikian digandrungi para ilmuwan!

Karena itu, menjadi pertanyaan, mengapa pencetusan gagasan yang berlatar belakang pribumisasi ilmu ini masih harus berhadapan dengan penentangnya yang berpendapat bahwa ilmu ekonomi sebaiknya tidak dikaitkan dengan hal-hal lain. Sedemikian kudus­kah ilmu ekonomi untuk tidak terjamah tangan-tangan lain ?

Dalam SMEI, hal-hal yang menyangkut idiologi dan sistem ekonomi seperti di atas dibahas dalam Bagian Satu (berisi 4 bab) dan sedikit dalam Bagian Empat (berisi 2 bab). Bagian Tiga merupakan kapita selekta dengan 6 masalah (bab), yakni industrialisasi, kemiskinan, transmigrasi, Koperasi Unit Desa, Perkebunan Inti Rakyat dan Perekonomian Daerah; yang bagaimanapun keenam masalah yang diangkat di sini agaknya "terlepas" dari ketiga bagian lainnya, sekalipun, memang, di dalamnya kita temu­kan juga aspek pertumbuhan dan pemerataan, atau aspek efisiensi dan keadilan. 

Bagian Dua (Bangun-bangun Usaha) barangkali merupakan bagian yang paling menarik, karena di sini dipaparkan peranan ketiga bangun usaha yang dikenal di Indonesia, yakni koperasi, perusa­haan negara dan usaha swasta, yang masing-masing dilengkapi dengan studi kasus: AJB Bumi Putera 1912 untuk koperasi; PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) untuk BUMN; dan PT Mercu Buana untuk usaha swasta.

Dari ketiga studi kasus tersebut, tampak jelas betapa Mubyarto ingin menonjolkan semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam menilai kerja ketiganya. Ditinjau dari sisi lain, agaknya inilah upaya Mubyarto untuk tidak hanya sekedar mengimbau pihak lain melakukan kajian empiris, melainkan dimulai dari dirinya.

Sebagai seorang pakar yang telah banyak makan asam-garam dalam melakukan penelitian, agaknya sulit untuk meragukan keandalan hasil penelitian ketiga kasus tersebut. Saya kira, pemilihan AJB Bumi putera 1912 bukan hanya karena "menonjol di antara gedung-gedung raksasa, baik milik swasta maupun milik pemerintah" (hal.79); demikian pula pemilihan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) bukan hanya karena "dalam beberapa tahun terakhir ini ia menarik perhatian banyak pihak karena beberapa kali memenangkan kejuaraan tidak saja di dalam negeri tetapi bahkan juga di luar negeri" (hal.105). Pemilihan PT Mercu Buana pun kiranya bukan hanya karena perusahaan ini merupakan "suatu perusahaan induk (holding company) dengan belasan anak perusahaan" (hal. 122). Dan yang terakhir, tentu bukan karena ketiga perusahaan ini menjadi sponsor bagi penelitiannya (hal.X). 

Sekalipun demikian, dari ketiga studi kasus tersebut kiranya dapat dipertanyakan: Apakah ketiganya diajukan sebagai "model" bagi penelitian lebih lanjut "untuk memberikan ilustrasi konkret bagaimana mekanisme kerja masing-masing bangun usaha" (hal.IX-X)? Halnya, sebagai studi kasus tidaklah mungkin dipandang mewakili kinerja usaha sejenisnya, apalagi agaknya kita sepakat bahwa ketiga studi kasus tersebut berbias ke atas, karena, seperti kita ketahui, kecuali bagi perusahaan negara yang pada umumnya berskala besar, kedua bangun usaha lainnya -- yakni koperasi dan swasta -- pada umumnya menempati posisi menengah ke bawah.

Karena itu, agaknya SMEI masih perlu ditindaklanjuti dengan kajian-kajian empiris pada berbagai strata (golongan ekonomi lemah, menengah dan kuat) dan jenis usaha (bukan hanya dikelompokkan berdasar sektor dan subsektor saja, melainkan pada kegiatan usaha yang lebih spesifik), yang boleh saja dikelompok­kan di bawah naungan ketiga bangun usaha seperti yang diajukan Mubyarto. Pengelompokkan seperti ini kiranya akan bermanfaat untuk melihat manakah di antara ketiganya yang paling "pas" dengan -- atau paling sedikit mendekati -- perumusan SEP. Bisa juga, hasil penelitian itu justru memperkaya wawasan SEP.

Demikianlah, melalui SMEI, kini SEP telah dicoba diangkat dari persemaian untuk diujicoba di kancah operasional, yakni di lapangan. (Tika Noorjaya)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar