Ekonomi Pancasila:
Dari Persemaian ke Lapangan
Dimuat HU Kompas, 13 November 1988
Judul Buku: Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia
Penulis: Mubyarto
Penerbit: LP3ES, Jakarta
ISBN 979-8015-44-4
Cetakan Pertama: Juni 1988
Tebal: (xi + 263) halaman.
Membaca buku Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (SMEI) ini agaknya kurang "pas" tanpa mengaitkannya dengan buku Mubyarto terdahulu, terutama IESK (Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika, 1980) dan EPGK (Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, 1987). Halnya, tampak jelas bahwa SMEI merupakan perkembangan terakhir dari lembaga yang telah ditanam Mubyarto sejak awal tahun 1980-an. Demikianlah, dalam ketiga buku di atas Mubyarto seakan meretas benang merah dengan moral, keadilan ekonomi dan keadilan sosial sebagai simpul yang ingin lebih ditonjolkan.
Kalau
pada IESK gagasannya lebih bersifat abstrak-filosofis; dalam EPGK mulai dimasukkan unsur pengukuran
efisiensi yang dikaitkan dengan keadilan ekonomi pada beberapa jenis usaha;
maka dalam SMEI kita melihat upaya Mubyarto untuk mencoba memasuki kancah yang
lebih operasional. Tiga contoh studi kasus dalam SMEI -- yakni dalam bangun
usaha koperasi, perusahaan negara
dan swasta -- barangkali dapat kita nilai sebagai bukti ketegaran
Mubyarto untuk berpegang teguh pada gagasannya dan ketekunan untuk melacaknya lebih lanjut.
Melihat
ketekunan Mubyarto, agakya bisa diharapkan suatu saat pemikiran
abstrak-filosofis tentang SEP akan terkristalisasikan dengan mantap, serta akan semakin diwarnai dengan
berbagai kajian empiris, sehingga bukan tidak mungkin kalau tesis
utamanya akan terjawab cukup lengkap dari pengalaman lapangan.
Perihal
penekanan ketiga buku Mubyarto terhadap keadilan dan moral, sesungguhnya
bukanlah isyu baru, seperti tampak dari beberapa pandangan pakar lain yang
dirujuk Mubyarto. Di samping demikian banyak pakar lain yang dapat dirujuk, para perumus Deklarasi
Cocoyok, Oktober 1974, misalnya
membuang pemikiran tentang pertumbuhan dahulu, ... keadilan kemudian; demikian
pula Raul Prebisch dalam konferensi UNCTAD di Nairobi, 1976, menyatakan bahwa tidak ada teori ekonomi
yang secara fair dapat menentukan siapa yang boleh memiliki hasil tersebut ... permasalahan itu harus dipecahkan dengan
dasar prinsip moral.
Meskipun
tidak baru, pemikiran Mubyarto tentang pentingnya keadilan dan moral dalam
sistem ekonomi Indonesia tersebut menjadi menarik karena ia berangkat dari
keinginan untuk mewujudkan suatu sistem ekonomi yang memiliki akar sosial
budaya sendiri. Pribumisasi ilmu, yang demikian digandrungi para ilmuwan!
Karena
itu, menjadi pertanyaan, mengapa pencetusan gagasan yang berlatar belakang
pribumisasi ilmu ini masih harus berhadapan dengan penentangnya
yang berpendapat bahwa ilmu ekonomi sebaiknya tidak dikaitkan dengan hal-hal
lain. Sedemikian kuduskah ilmu ekonomi untuk tidak terjamah tangan-tangan lain
?
Dalam SMEI,
hal-hal yang menyangkut idiologi dan sistem ekonomi
seperti di atas dibahas dalam Bagian Satu (berisi 4 bab) dan sedikit dalam
Bagian Empat (berisi 2 bab). Bagian Tiga merupakan kapita selekta dengan 6 masalah (bab),
yakni industrialisasi, kemiskinan, transmigrasi, Koperasi Unit Desa, Perkebunan Inti Rakyat dan Perekonomian
Daerah; yang bagaimanapun keenam masalah yang diangkat di sini agaknya "terlepas"
dari ketiga bagian lainnya, sekalipun, memang,
di dalamnya kita temukan juga aspek pertumbuhan dan pemerataan, atau aspek
efisiensi dan keadilan.
Bagian
Dua (Bangun-bangun Usaha) barangkali merupakan bagian yang paling menarik, karena di sini dipaparkan
peranan ketiga bangun usaha yang dikenal di Indonesia, yakni koperasi, perusahaan
negara dan usaha swasta, yang masing-masing dilengkapi dengan studi kasus: AJB
Bumi Putera 1912 untuk koperasi; PT Rajawali Nusantara
Indonesia (Persero) untuk BUMN; dan PT
Mercu Buana untuk usaha swasta.
Dari
ketiga studi kasus tersebut, tampak jelas betapa Mubyarto ingin menonjolkan
semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam menilai kerja ketiganya. Ditinjau
dari sisi lain, agaknya inilah upaya Mubyarto untuk tidak hanya sekedar
mengimbau pihak lain melakukan kajian empiris, melainkan dimulai dari dirinya.
Sebagai
seorang pakar yang telah banyak makan asam-garam dalam melakukan
penelitian, agaknya sulit untuk meragukan keandalan hasil penelitian ketiga kasus tersebut. Saya
kira, pemilihan AJB Bumi putera 1912 bukan hanya karena "menonjol di
antara gedung-gedung raksasa, baik milik swasta maupun milik pemerintah" (hal.79);
demikian pula pemilihan PT Rajawali
Nusantara Indonesia (Persero) bukan hanya karena "dalam beberapa tahun terakhir ini ia menarik
perhatian banyak pihak karena beberapa kali memenangkan kejuaraan tidak saja di
dalam negeri tetapi bahkan juga di luar negeri" (hal.105). Pemilihan PT
Mercu Buana pun kiranya bukan hanya
karena perusahaan ini merupakan "suatu perusahaan induk
(holding company) dengan belasan anak perusahaan" (hal. 122). Dan yang terakhir, tentu bukan karena
ketiga perusahaan ini menjadi sponsor bagi penelitiannya (hal.X).
Sekalipun
demikian, dari ketiga studi kasus tersebut kiranya dapat dipertanyakan: Apakah ketiganya diajukan
sebagai "model" bagi penelitian lebih lanjut "untuk memberikan
ilustrasi konkret bagaimana mekanisme kerja masing-masing bangun usaha"
(hal.IX-X)? Halnya, sebagai studi kasus tidaklah mungkin dipandang mewakili
kinerja usaha sejenisnya, apalagi agaknya kita sepakat bahwa ketiga studi kasus
tersebut berbias ke atas, karena,
seperti kita ketahui, kecuali bagi perusahaan negara yang pada umumnya berskala besar, kedua bangun usaha
lainnya -- yakni koperasi dan swasta
-- pada umumnya menempati posisi menengah ke bawah.
Karena
itu, agaknya SMEI masih perlu ditindaklanjuti dengan kajian-kajian empiris pada
berbagai strata (golongan ekonomi lemah, menengah
dan kuat) dan jenis usaha (bukan hanya dikelompokkan berdasar sektor dan subsektor
saja, melainkan pada kegiatan usaha yang lebih spesifik), yang
boleh saja dikelompokkan di bawah naungan ketiga bangun usaha seperti yang diajukan Mubyarto. Pengelompokkan
seperti ini kiranya akan bermanfaat untuk melihat manakah di antara ketiganya
yang paling "pas" dengan -- atau paling sedikit mendekati --
perumusan SEP. Bisa juga, hasil penelitian itu justru memperkaya wawasan SEP.
Demikianlah,
melalui SMEI, kini SEP telah dicoba diangkat dari
persemaian untuk diujicoba di kancah operasional, yakni di lapangan. (Tika Noorjaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar