Sabtu, 11 April 2015

Sejarah Pemikiran dan Proses Pembentukan P3UKM (4)



15.      Berakhir Agustus 2006, Namun Kerjasama Tetap Berlanjut
Meskipun dalam Kesepakatan Bersama antara P3UKM dengan Swisscontact dinyatakan bahwa masa laku kesepakatan adalah hingga akhir 2004, dalam perjalanannya atas permohonan dari pihak Bank Indonesia, saya baru mengakhiri tugas sebagai Manajer P3UKM pada awal Agustus 2006, digantikan oleh Aceng Abdullah. Demikian pula, terjadi kerjasama lanjutan antara Swisscontact dengan P3UKM, antara lain untuk penyelesaian beberapa program kerja yang harus difinalisasi hingga akhir tahun 2006.
Kepindahan saya dari P3UKM dan kembali ke Swisscontact pada akhir Agustus 2006 hanya bersifat sementara, dan terakhir mendapat penugasan untuk melakukan impact assessment atas kinerja program PEAC (Promoting Enterprises Access to Credit), termasuk P3UKM sampai dengan akhir September 2006. Kegiatan pada masa itu pun masih tetap berhubungan dengan P3UKM Bandung, hanya saja ditambahkan dengan evaluasi kienerja PEAC secara keseluruhan.
Pada awal Oktober 2006 hingga November 2007, saya kembali bekerja di lingkungan Bank Indonesia, yakni di Biro Kredit sebagai Advisor P3UKM, yang secara umum dimaksudkan untuk mereplikasi keberhasilan P3UKM di Indonesia Timur. Secara eksplisit, tugas saya antara lain: (a) Mengidentifikasi kebutuhan stakeholders dalam rangka pembentukan P3UKM Indonesia Bagian Timur; (b) Membantu Bank Indonesia dalam berkoordinasi dengan stakeholders setempat dalam rangka pembentukan P3UKM Indonesia Bagian Timur; (c) Membantu Bank Indonesia dalam rangka pembentukan P3UKM Indonesia Bagian Timur: (d) Membantu Bank Indonesia dalam operasional P3UKM Indonesia Bagian Timur; dan (e) Melaksanakan tugas lainnya yang diminta oleh Bank Indonesia sepanjang terkait dengan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Dari perjalanan singkat tersebut, dapatlah dikatakan bahwa kepindahan saya dari P3UKM hanyalah perpindahan secara fisik, karena ditinjau dari segi pekerjaan hampir sama saja. Bahkan, tatkala saya sudah keluar dari Bank Indonesia dan Swisscontact secara tetap sekalipun, saya masih diminta untuk melakukan evaluasi Program PEAC secara keseluruhan bersama Peter Ebehard Baerenz dan Ed Canela pada 7-17 Desember 2009, termasuk mengevaluasi P3UKM (14 Desember 2009).

16.      Menatap P3UKM ke Depan[1]
Harus diakui bahwa kondisi saat ini, sepuluh tahun kemudian, P3UKM tidak lagi gemebyar seperti di masa lalu, yang mendapat penguatan dan diminati berbagai pihak, antara lain karena kemandirian yang dicanangkan sejak awal belum pernah terwujudkan, seperti yang telah dirumuskan dalam Business Plan P3UKM 2005-2008. Dana cadangan yang cukup besar – yang diakumulasi dari berbagai sumbangan dan hasil usaha secara adhoc, dan yang semula didedikasikan untuk menjadi dana awal dalam perubahan status ke arah independen, sejauh ini belum bisa dimanfaatkan. Hal yang sama saya kira terjadi pada program lain, seperti KKMB dan PEAC.
Di sisi lain, latar belakang yang menjadi dasar pendirian P3UKM kini telah berubah, antara lain kegiatan dukungan untuk intermediasi perbankan ke UMKM telah dialihkan, karena pengawasan perbankan tidak lagi berada di Bank Indonesia melainkan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK); -- padahal, tak bisa dipungkiri, bahwa eksistensi P3UKM selama ini didukung oleh Bank Indonesia, yang secara langsung mempengaruhi loyalitas, khususnya dari kalangan perbankan. Dengan demikian, kegiatan lembaga pendampingan semacam P3UKM akan tetap di Bank Indonesia atau pindah juga ke OJK? Atau perlu dialihkan? Atau dibentuk lembaga lain? Keberadaan program Financial Inclusion di Bank Indonesia, dapatkah melibatkan lembaga semacam P3UKM dalam pelaksanaannya, termasuk mendukung program bank tanpa kantor, branchless banking?
Terkait dengan dukungan dari Pemda Provinsi Jawa Barat terhadap P3UKM, yang sampai kini terus bertahan, kemana nantinya akan dilanjutkan? Hal yang sama berlaku untuk dukungan Pemda di provinsi lain, karena diyakini bahwa dalam jangka panjang sekalipun, pengembangan UMKM akan menjadi prioritas bagi pemerintah daerah mana pun.
Di sisi lain berbagai peraturan juga telah mengalami penyesuaian yang secara langsung mempengaruhi kinerja UMKM, seperti adanya Undang-undang tentang UMKM, Undang-undang tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan lain-lain. Bagaimana mengoptimakan kegiatan P3UKM dengan perubahan-perubahan tersebut? Misalnya, bagaimana mengembangkan layanan untuk LKM yang kini jumlahnya semakin banyak dan beberapa di antaranya telah ada yang berhasil dengan nasabah ribuan orang. Reformulasi kegiatan seperti yang pernah dilakukan P3UKM di masa lalu (lihat uraian pada butir 13), kiranya perlu dilanjutkan sebagai upaya penyempurnaan untuk menangkap berbagai perubahan tersebut menjadi peluang.
Keberadaan pendamping seperti BDS, KKMB dan PUKM dalam berbagai varian kegiatan, kini telah menyebar hampir di seluruh Indonesia, dan sebagian para pelakunya telah melengkapi diri dengan berbagai keahlian dan keterampilan, termasuk pemanfaat teknologi informasi. Dalam hal ini, produk P3UKM yang berbasis informasi teknologi, misalnya Program KasKu dapatkah direformulasi, dengan mengeliminasi berbagai kelemahan yang pada saat pelaksanaannya dulu menjadi penyebab kegagalan. Program KasKu juga dapat menjadi bagian dalam mendukung program branchless banking.
Karena itu, secara mendasar, untuk memahami masalah UMKM, kita perlu melihat basic nature dan karakteristik UMKM menyangkut peranannya dalam perekonomian secara keseluruhan. Perlu dilakukan pemetaan UMKM secara komprehensif, baik karakteristik secara generik maupun secara sektoral dan lokasinya. Pemetaan tersebut juga perlu dikaitkan dalam jangka yang lebih panjang, misalnya 25 tahun ke depan.
Berdasarkan pemetaan UMKM yang komprehensif itu, perlu dibuat kebijakan yang juga bersifat generik dan spesifik, dengan tahapan perencanaan yang jelas dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Sebagai konsekuensinya, pemetaan juga harus dilakukan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) di Bank Indonesia atau di OJK, atau di lembaga lain yang akan menampung kegiatan semacam P3UKM.

a.     Piramida Jasa P3UKM
P3UKM memposisikan diri ikut serta dalam menata struktur ekonomi kerakyatan dengan menjadi fasilitator untuk menghubungkan ketiga sumbu utama menjadi satu piramida yaitu, Perbankan, PUKM serta UMKM, seperti tampak pada Gambar 4.
Sebagai upaya untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka P3UKM perlu mengindentifikasi 5 (lima) faktor kunci sukses, yaitu: (1) Networking, (2) Branding, (3) Sumber Daya Manusia, (4) Produk, serta (5) Sistem Manajemen dan Organisasi.

Gambar 4. Piramida P3UKM
Network: Penguatan jejaring P3UKM dengan mengembangkan metode jejaring yang dapat mengikat dan mengintegrasikan anggota potensial yaitu sejumlah PUKM, Perbankan, Non-bank maupun UMKM. Hal ini juga tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi terutama teknologi komunikasi secara efisien.
Branding: Penguatan branding P3UKM sebagai lembaga yang terpandang di dalam jasa pelatihan, sertifikasi, dan network (jejaring). Dengan pola ini dapat dikembangkan ekspansi kegiatan maupun kelembagaan ke beberapa provinsi, yang sekaligus dapat memperluas daya jangkau (outreach), dampak (impact) dan keberlanjutannya (sustainable).
Sumber Daya Manusia: Evaluasi, penempatan dan pengembangan sumberdaya manusia terus menerus dilakukan seiring dengan pemantapan organisasi yang solid dan fleksibel di dalam mengantisipasi perubahan.
Sistem Manajemen dan Organisasi: Sistem manajemen yang solid dan tanggap terhadap perubahan disertai dengan pengembangan pola hirarki yang lentur untuk mencapai tujuan organisasi maupun para stakeholders-nya.
Produk: Mengembangkan produk yang marketable sehingga benar-benar mencerminkan kebutuhan pelanggan, bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut dan bagaimana memuaskan pelanggan (pre-services, delivery and customer satisfaction).

b.    Perluasan Bidang Garapan
Kesulitan UMKM belum tentu masalah kredit. Kredit bukan merupakan peringkat utama dalam keseluruhan struktur biaya UMKM. Pengembangan UMKM tak cukup hanya dengan memfasilitasi kredit. Demikian pula kita perlu memahami expenditure structure UMKM menyangkut business reinvestment dan pemeliharaannya. Setelah itu baru melangkah ke business development, dan finance packaging-nya. Semua itu harus didasarkan pada pemahaman, bahwa UMKM adalah economic animal yang responsif terhadap sistem insentif yang disediakan pasar. Kalau dipandang menguntungkan, mereka tak keberatan dengan beban bunga kredit yang tinggi sekalipun, seperti yang selama ini mereka dapatkan dari para pelepas uang (rentenir).
Penjelasan di atas merupakan perluasan wawasan dan pengayaan pemahaman terhadap kompleksitas masalah UMKM, khususnya untuk melihat relevansi P3UKM di masa depan. Demikian pula, isyu komprehensif tentang pengembangan UMKM mengemuka pada beberapa kali diskusi awal serta pelaksanaan Lokakarya Logical Framework Approach (LFA)[2] sebelum pendirian P3UKM di masa lalu, yang menyoroti pentingnya aspek lain di luar keuangan, seperti aspek pasar, aspek produksi, aspek teknologi, dan lain-lain.[3]
Agar P3UKM tetap relevan di masa depan, dan untuk menyikapi isyu tentang pendirian suatu Badan Otorita UMKM (BO-UMKM) secara nasional, maka gagasan ini perlu lebih dieksplorasi dalam suatu diskusi yang intens dengan stakeholder P3UKM (misalnya dalam Rapat Dewan P3UKM) untuk melakukan reformulasi terhadap gagasan awal. Demikian pula perlu dibahas dengan calon stakeholder lain yang akan dilibatkan di masa depan, untuk merumuskan peranan masing-masing, antara lain menjadi anggota Dewan P3UKM.
Dengan demikian, di masa depan yang tidak terlalu lama, P3UKM akan menjadi lembaga yang komprehensif dalam memecahkan masalah UMKM – tidak semata-mata memfasilitasi akses UMKM ke lembaga keuangan seperti sekarang ini.
Sambil menunggu pembentukan BO-UMKM yang mungkin memerlukan waktu cukup lama, P3UKM yang telah direformulasi berdasarkan ide-ide di atas, kiranya bisa diharapkan menjadi contoh di tempat lain, sehingga kehadiran BO-UMKM secara bertahap akan mendapat dukungan di seluruh Indonesia. Untuk lebih memahami BO-UMKM di tempat asalnya, yakni Malaysia, mungkin perlu dipertimbangkan untuk melakukan studi banding, khususnya tentang sistem dan mekanisme yang dikembangkan serta sejarah pembentukannya.

c.      Kemandirian dan Pembentukan Dana Abadi (Trust Funds)
Dalam konteks kemandirian, sejak awal P3UKM diharapkan telah mandiri dalam waktu tiga tahun. Demikian pula, PUKM bisa mandiri dari penerimaan hasil yang diperoleh dari jasa-jasa yang diberikan kepada UMKM maupun perbankan. Namun demikan, dalam perjalanannya, kemandirian P3UKM sulit dicapai dalam masa tiga tahun, karena sejauh ini P3UKM dipersepsi oleh para stakeholders sebagai public service. Berbagai kegiatan P3UKM selama ini umumnya dalam bentuk public service – dan hanya sebagian kecil saja berupa kegiatan bisnis. Demikian pula, pelatihan kepada PUKM masih bersubsidi, yang secara bertahap persentasenya dikurangi.
Berdasarkan pengalaman ini, Business Plan P3UKM 2005-2008 mengidekan perlunya pembentukan Dana Abadi (Trust Fund). Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling mengait satu-sama-lain. Pertama, dan yang terutama, terkait dengan tingginya biaya overhead, karena selama ini kegiatan lembaga lebih berperan sebagai laboratorium dan pelaksana program (sesuai anggaran), yang dalam implementasinya bukan hanya telah melaksanakan program dan pengembangan sistem seperti yang direncanakan, melainkan telah pula melaksanakan berbagai kegiatan tambahan di luar program kerja, khususnya mengakomodasi keinginan berbagai pihak untuk melihat P3UKM sebagai percontohan untuk kemungkinan mengembangkan kegiatan semacam P3UKM di daerah lain. Jasa yang telah diberikan kepada berbagai pihak tersebut, belum dinilai secara finansial, bahkan produk-produk bagi PUKM diberikan dengan subsidi.
Kedua, kegiatan bisnis baru dilakukan secara adhock mulai akhir tahun kedua, sebagai wahana pembelajaran untuk penetapan Standard Operating Procedure (SOP). Kegiatan bisnis perlu terus dikembangkan, tetapi tetap dengan koridor pengembangan UMKM.
Ketiga, orientasi pemberian dana dari sumber dana utama cenderung bersifat program (bahkan aktivitas demi aktivitas), dan belum dikaitkan dengan kemungkinan mengakumulasi dana secara memadai, sehingga pada suatu saat lembaga ini dapat menutupi biaya non-bisnis, yang masih tetap harus dilaksanakan oleh lembaga ini, karena pada tujuan akhirnya lembaga ini bertugas untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kredit UMKM yang dalam prosesnya mendapat bantuan atau jasa dari PUKM.
Karena itu, untuk menutupi berbagai kekurangan dalam rangka menutupi kebutuhan non-bisnis, perlu dibentuk dana abadi (trust fund) pengembangan UMKM pada tingkat nasional. Lembaga ini mengelola dana yang bersumber dari dalam maupun luar negeri, serta menyalurkannya secara efektif dan efisien kepada lembaga fasilitasi semacam P3UKM, dalam mewujudkan dukungan terhadap UMKM, yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan masyarakan miskin dan UMKM. Dana abadi ini berada pada tingkat nasional dan tingkat lokal, yang dapat digunakan untuk: (a) Dana awal pendirian unit fasilitasi semacam P3UKM di provinsi lain; (b) Kontribusi untuk insentif bagi jasa-jasa PUKM/BDSP yang menghubungkan UMKM ke perbankan; (c) Kontribusi untuk membiayai lembaga fasilitasi sebelum mencapai kemandirian; dan (d) Pemantauan kinerja. Implementasi Dana abadi ini didelegasikan kepada pihak profesional pada tingkat nasional dan provinsi, yang menjamin transparansi dan efisiensi dana.

17.      Penutup
Dengan luasnya perspektif pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di satu sisi, sementara di sisi lain tantangan akan selalu muncul di sepanjang waktu, maka pengembangan UMKM haruslah merupakan kegiatan perennial, berlangsung terus-menerus yang tak lekang oleh waktu, serta menumbuhkan semangat untuk selalu memperbaiki diri, sehingga pada gilirannya UMKM tidak hanya berjaya di dalam negeri tetapi juga mampu bersaing di tataran global.
Jangan menyerah, hanya karena banyak masalah. Semoga.

Bogor, 11 Juni 2013


[1] Meskipun judul bab ini menyangkut P3UKM, pada dasarnya saran untuk penyempurnaannya berlaku juga bagi program sejenis, yakni KKM dan PEAC.
[2] Dilaksanakan di Jatinangor, 13-14 Desember 2002.
[3] Tetapi, pada saat itu semua peserta membuat pilihan untuk hanya fokus pada akses keuangan, karena yang dirasakan mendesaka kala itu adalah aspek keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar