KEMBALI KE DESA
Oleh Tika Noorjaya
“Gerakan Kembali ke
Desa” (GKD). Begitu lekat “idiom” atau akronim ini di kalangan masyarakat Jawa
Timur, terlebih di kalangan pejabat. Begitu lekatnya, hingga hampir dapat
dipastikan setiap pejabat akan mengeluarkan mantera ini dalam berbagai
kesempatan. GKD seakan-akan telah menjadi suatu dogma atau paradogma. Buktinya, aparat di bawahnya pun dengan
bangga, lantang dan sukacita, menyanyikan koor semacam. Dan, slogan GKD pun
marak di mana-mana. Di kota maupun desa; intelektual maupun awam; atasan maupun
bawahan; dewasa maupun anak sekolah, hapal di luar kepala -- bukan hanya
akronimnya, tapi juga slogan-slogannya.
Lima
Proses Adopsi
Gejala tersebut,
tentu saja, merupakan keberhasilan dalam pemasaran suatu ide. Tetapi,
keberhasilan suatu ide untuk mengejawantah menjadi sikap, perilaku, dan
tindakan, kiranya tak kan terlepas dari lima tahap proses adopsi. Dalam kaitan ide GKD, berarti dua tahap
proses adopsi, yakni penyadaran (awareness)
dan perhatian (interest) telah dapat
dilalui dengan nilai summa-cumlaude.
Tapi, itu saja tidak cukup. Masyarakat tidak butuh akronim. Tidak juga
membutuhkan slogan, karena yang lebih mereka butuhkan adalah kenyataan.
Memangnya,
kenyataannya bagaimana ? Lihat saja, bagaimana animo masya-rakat terhadap
pameran produk unggulan (bagian dari GKD) di daerah masing-masing atau yang
digelar di Balai Pemuda Surabaya -- yang, konon, biayanya mencapai dua milyar
itu. Atau, simak dan cermatilah pendapat para pengamat, yang muncul di media-massa
belakangan ini.
Sebagai bagian dari
lima tahap proses adopsi, agaknya GKD masih menghadapi batu-uji pada tiga tahap
lanjutan, yang memerlukan pembuktian. Ketiga proses tersebut, seperti kita
maklumi, adalah evaluasi (evaluation),
percobaan (trial) dan adopsi (adoption). Masyarakat akan mengevaluasi
sejauh mana pengenalannya terhadap idiom GKD -- yang dihembuskan oleh pejabat,
dan dikutip oleh aparatnya -- dapat dilihat hasilnya. Tanpa itu, jangan harap
proses adopsi berlanjut. Kalau memang positif, mereka baru melangkah untuk
melakukan percobaan sendiri. Baru setelah yakin, masyarakat akan mengadopsi
GKD. Itu pun, dengan kemungkinan berulangnya proses adopsi di kemudian hari.
Dalam proses lanjutan, untuk direplikasi oleh khalayak yang lebih luas, bisa saja
suatu adopsi mengalami proses adaptasi. Kalau sudah dirasakan manfaatnya, GKD
tak perlu digembar-gembor, karena akan dirasakan sebagai kebutuhan. Hal
sebaliknyalah yang akan dialami, kalau masyarakat tidak merasakan manfaatnya.
Dengan berlalunya
waktu, serta menghadapi masa depan dengan sejumlah agen-da di atas, ada baiknya
kalau sebelum memasuki tahapan lima-tahunan berikutnya di-lakukan evaluasi
bermatra ganda. Bukan hanya evaluasi dalam kaitan dengan tahapan proses adopsi
GKD sebagai suatu ide seperti dipaparkan di muka, tapi juga evaluasi sebagai
bagian dari siklus manajemen (perencanaan -- pelaksanaan -- evaluasi).
Sudah saatnya kita
mengaso, merenung: Di manakah saat ini kita berada; apakah perjalanan yang
sudah ditempuh telah berada pada jurusan yang benar ? Tentu saja, sekali-sekali
perlu juga direnung-ulang, apakah “jurusan yang benar” secara lokal tersebut
telah sesuai dengan cita-cita yang lebih luas -- terintegrasi secara nasional
-- dan hakiki untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kembali
Renungan pertama, bersumber dari kata di dalam
ide GKD itu sendiri. Kenapa mesti “kembali”. Kenapa mesti “ke
desa”. Kenapa pula mesti dijadikan “gerakan”.
Kata “kembali”
menyiratkan bahwa sebelumnya telah terjadi “keberangkatan”. Tanpa mengabaikan penataan pembangunan di
masa Orde Lama, dalam konteks pembangunan ekonomi bangsa, “keberangkatan”
agaknya dimulai awal PELITA I. Dengan kata “kembali”, tersirat pengakuan bahwa
sejak “keberangkatan” sampai dengan saat tertentu -- yakni, menjelang ide GKD dilontarkan
-- dirasakan ada yang kurang cocok dengan niat semula: Dalam perjalanan yang
telah ditempuh, dirasakan ada “yang tertinggal” di belakang, sehingga kita
merasa harus kembali. Solidaritas kebangsaan kita mengharuskan untuk menjemput
yang tertinggal di belakang itu. Andaikata, “yang tertinggal” itu
disederhanakan dengan hanya merujuk pada “orang-orang miskin”, maka pertanyaan
yang krusial adalah: Siapakah mereka ?
Seperti disimpulkan oleh Soetjipto Wirosardjono (1992), orang miskin
umumnya bertempat tinggal di kantong-kantong yang sangat rawan terlupakan,
daerah pedesaan terpencil, di lereng pegunungan sebagai petani lahan kering dan
tegalan atau keluarga-keluarga yang tinggal di daerah pantai sebagai nelayan
kecil.
Merekalah --
orang-orang miskin itu -- yang seyogianya menjadi sasaran utama keberpihakan
GKD; karena orang-orang yang tidak miskin sudah sejak lama mampu memanfaatkan
momentum pembangunan. Ini berarti, program GKD yang antara lain mematok program
“satu desa, satu produk unggulan” seyogianya lebih berpijak pada kemungkinan
pelibatan orang-orang miskin, atau yang tertinggal itu, sebanyak mung-kin untuk
meningkatkan pendapatan, yang bersumber dari produk yang diunggulkan tersebut.
Dengan demikian, acuan dasar untuk pengembangan produk unggulan bukan hanya
keunggulan komparatif atau keunggulan kompetitif produk, melainkan
keung-gulannya dalam menampung kemungkinan peningkatan pendapatan orang
miskin.
Renungan kedua, terkait dengan kenyataan bahwa
menurut data statistik, sekitar duapertiga dari orang miskin terdapat di
pedesaan. Karena itu, pilihan untuk kembali “ke desa” terdukung bukan hanya
oleh solidaritas kebangsaan, tapi juga realistis. Masalahnya, desa masa kini
bukanlah desa seperti yang digambarkan oleh nyanyian puja-puji tempoe-doeloe.
Ada ulur-tarik (trade-off) antara
gaya penarik (pull) dan gaya
pendorong (push) -- untuk menuju,
ataupun ke luar dari desa. Tanpa keberpihakan, dan hanya mengandalkan proses
alami, sulit mengharapkan investor pergi ke desa, atau menahan masyarakat desa
untuk pergi ke kota. Karena itu, agenda
yang tersisa dari GKD adalah perlunya menciptakan kebijakan operasional yang
memungkinkan orang untuk membangun desa -- menarik orang kota, sekaligus
menahan orang desa untuk tinggal di desa.
Dalam konteks inilah,
renungan ketiga, kembali ke desa
memang perlu dijadi-kan gerakan.
Tapi, perlu dicatat, gerakan (massal) dimaksud seyogianya lebih berori-entasi
pada tindakan nyata, bukan pada slogan. Sekecil apa pun tindakan nyata, akan
lebih baik daripada slogan yang menggebu-gebu. Lebih penting dari itu, sebagai
gerakan, GKD harus didukung oleh berbagai pihak yang terkait secara konkret.
Paradigma,
Bukan Paradogma
Kalau di awal
tulisan ini, digambarkan seakan-akan GKD telah menjadi dogma atau paradogma di
kalangan aparat, sekaranglah saatnya untuk melakukan pemurnian-ulang dengan
menjadikannya sebagai paradigma, sehingga akan mewarnai pikiran dalam
merumuskan tindakan yang seharusnya dilakukan. Sebagai paradigma, GKD menjadi
luwes dan terbuka terhadap kreativitas lokal, serta memungkinkan tumbuhnya
perencanaan dari bawah (bottom-up
planning), serta menumbuhkembangkan desentralisasi.
Dengan menjadikan
GKD sebagai paradogma, tak heran kalau ada aparat di suatu instansi teknis yang
merasa memiliki data di instansinya (ini fakta, lho). Data dilindungi sedemikian rupa, sehingga untuk
mendapatkannya perlu ada “hitam di atas putih”; yang harus disetujui Pimpinan.
Dengan menjadikan GKD sebagai paradigma, data di suatu instansi, sejauh mungkin
dimasyarakatkan, diminta ataupun tidak. Lebih diutamakan lagi, bahwa aparat
instansi bukan hanya tidak pelit data, tapi juga mengemasnya sedemikian rupa
sehingga para pelaku usaha akan menangkapnya sebagai peluang.
Malang, 24 Agustus 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar