Sabtu, 25 April 2015

Kembali ke Desa



KEMBALI KE DESA
Oleh Tika Noorjaya
            “Gerakan Kembali ke Desa” (GKD). Begitu lekat “idiom” atau akronim ini di kalangan masyarakat Jawa Timur, terlebih di kalangan pejabat. Begitu lekatnya, hingga hampir dapat dipastikan setiap pejabat akan mengeluarkan mantera ini dalam berbagai kesempatan. GKD seakan-akan telah menjadi suatu dogma atau paradogma.  Buktinya, aparat di bawahnya pun dengan bangga, lantang dan sukacita, menyanyikan koor semacam. Dan, slogan GKD pun marak di mana-mana. Di kota maupun desa; intelektual maupun awam; atasan maupun bawahan; dewasa maupun anak sekolah, hapal di luar kepala -- bukan hanya akronimnya, tapi juga slogan-slogannya.
Lima Proses Adopsi
            Gejala tersebut, tentu saja, merupakan keberhasilan dalam pemasaran suatu ide. Tetapi, keberhasilan suatu ide untuk mengejawantah menjadi sikap, perilaku, dan tindakan, kiranya tak kan terlepas dari lima tahap proses adopsi.  Dalam kaitan ide GKD, berarti dua tahap proses adopsi, yakni penyadaran (awareness) dan perhatian (interest) telah dapat dilalui dengan nilai summa-cumlaude. Tapi, itu saja tidak cukup. Masyarakat tidak butuh akronim. Tidak juga membutuhkan slogan, karena yang lebih mereka butuhkan adalah kenyataan.
            Memangnya, kenyataannya bagaimana ? Lihat saja, bagaimana animo masya-rakat terhadap pameran produk unggulan (bagian dari GKD) di daerah masing-masing atau yang digelar di Balai Pemuda Surabaya -- yang, konon, biayanya mencapai dua milyar itu. Atau, simak dan cermatilah pendapat para pengamat, yang muncul di media-massa belakangan ini.
            Sebagai bagian dari lima tahap proses adopsi, agaknya GKD masih menghadapi batu-uji pada tiga tahap lanjutan, yang memerlukan pembuktian. Ketiga proses tersebut, seperti kita maklumi, adalah evaluasi (evaluation), percobaan (trial) dan adopsi (adoption). Masyarakat akan mengevaluasi sejauh mana pengenalannya terhadap idiom GKD -- yang dihembuskan oleh pejabat, dan dikutip oleh aparatnya -- dapat dilihat hasilnya. Tanpa itu, jangan harap proses adopsi berlanjut. Kalau memang positif, mereka baru melangkah untuk melakukan percobaan sendiri. Baru setelah yakin, masyarakat akan mengadopsi GKD. Itu pun, dengan kemungkinan berulangnya proses adopsi di kemudian hari. Dalam proses lanjutan, untuk direplikasi oleh khalayak yang lebih luas, bisa saja suatu adopsi mengalami proses adaptasi. Kalau sudah dirasakan manfaatnya, GKD tak perlu digembar-gembor, karena akan dirasakan sebagai kebutuhan. Hal sebaliknyalah yang akan dialami, kalau masyarakat tidak merasakan manfaatnya.
            Dengan berlalunya waktu, serta menghadapi masa depan dengan sejumlah agen-da di atas, ada baiknya kalau sebelum memasuki tahapan lima-tahunan berikutnya di-lakukan evaluasi bermatra ganda. Bukan hanya evaluasi dalam kaitan dengan tahapan proses adopsi GKD sebagai suatu ide seperti dipaparkan di muka, tapi juga evaluasi sebagai bagian dari siklus manajemen (perencanaan -- pelaksanaan -- evaluasi).
            Sudah saatnya kita mengaso, merenung: Di manakah saat ini kita berada; apakah perjalanan yang sudah ditempuh telah berada pada jurusan yang benar ? Tentu saja, sekali-sekali perlu juga direnung-ulang, apakah “jurusan yang benar” secara lokal tersebut telah sesuai dengan cita-cita yang lebih luas -- terintegrasi secara nasional -- dan hakiki untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kembali 
            Renungan pertama, bersumber dari kata di dalam ide GKD itu sendiri. Kenapa mesti “kembali”. Kenapa mesti “ke desa”. Kenapa pula mesti dijadikan “gerakan”.
            Kata “kembali” menyiratkan bahwa sebelumnya telah terjadi “keberangkatan”.  Tanpa mengabaikan penataan pembangunan di masa Orde Lama, dalam konteks pembangunan ekonomi bangsa, “keberangkatan” agaknya dimulai awal PELITA I. Dengan kata “kembali”, tersirat pengakuan bahwa sejak “keberangkatan” sampai dengan saat tertentu -- yakni, menjelang ide GKD dilontarkan -- dirasakan ada yang kurang cocok dengan niat semula: Dalam perjalanan yang telah ditempuh, dirasakan ada “yang tertinggal” di belakang, sehingga kita merasa harus kembali. Solidaritas kebangsaan kita mengharuskan untuk menjemput yang tertinggal di belakang itu. Andaikata, “yang tertinggal” itu disederhanakan dengan hanya merujuk pada “orang-orang miskin”, maka pertanyaan yang krusial adalah: Siapakah mereka ?  Seperti disimpulkan oleh Soetjipto Wirosardjono (1992), orang miskin umumnya bertempat tinggal di kantong-kantong yang sangat rawan terlupakan, daerah pedesaan terpencil, di lereng pegunungan sebagai petani lahan kering dan tegalan atau keluarga-keluarga yang tinggal di daerah pantai sebagai nelayan kecil. 
            Merekalah -- orang-orang miskin itu -- yang seyogianya menjadi sasaran utama keberpihakan GKD; karena orang-orang yang tidak miskin sudah sejak lama mampu memanfaatkan momentum pembangunan. Ini berarti, program GKD yang antara lain mematok program “satu desa, satu produk unggulan” seyogianya lebih berpijak pada kemungkinan pelibatan orang-orang miskin, atau yang tertinggal itu, sebanyak mung-kin untuk meningkatkan pendapatan, yang bersumber dari produk yang diunggulkan tersebut. Dengan demikian, acuan dasar untuk pengembangan produk unggulan bukan hanya keunggulan komparatif atau keunggulan kompetitif produk, melainkan keung-gulannya dalam menampung kemungkinan peningkatan pendapatan orang miskin. 
            Renungan kedua, terkait dengan kenyataan bahwa menurut data statistik, sekitar duapertiga dari orang miskin terdapat di pedesaan. Karena itu, pilihan untuk kembali “ke desa” terdukung bukan hanya oleh solidaritas kebangsaan, tapi juga realistis. Masalahnya, desa masa kini bukanlah desa seperti yang digambarkan oleh nyanyian puja-puji tempoe-doeloe. Ada ulur-tarik (trade-off) antara gaya penarik (pull) dan gaya pendorong (push) -- untuk menuju, ataupun ke luar dari desa. Tanpa keberpihakan, dan hanya mengandalkan proses alami, sulit mengharapkan investor pergi ke desa, atau menahan masyarakat desa untuk pergi ke kota.  Karena itu, agenda yang tersisa dari GKD adalah perlunya menciptakan kebijakan operasional yang memungkinkan orang untuk membangun desa -- menarik orang kota, sekaligus menahan orang desa untuk tinggal di desa.
            Dalam konteks inilah, renungan ketiga, kembali ke desa memang perlu dijadi-kan gerakan. Tapi, perlu dicatat, gerakan (massal) dimaksud seyogianya lebih berori-entasi pada tindakan nyata, bukan pada slogan. Sekecil apa pun tindakan nyata, akan lebih baik daripada slogan yang menggebu-gebu. Lebih penting dari itu, sebagai gerakan, GKD harus didukung oleh berbagai pihak yang terkait secara konkret.
Paradigma, Bukan Paradogma
          Kalau di awal tulisan ini, digambarkan seakan-akan GKD telah menjadi dogma atau paradogma di kalangan aparat, sekaranglah saatnya untuk melakukan pemurnian-ulang dengan menjadikannya sebagai paradigma, sehingga akan mewarnai pikiran dalam merumuskan tindakan yang seharusnya dilakukan. Sebagai paradigma, GKD menjadi luwes dan terbuka terhadap kreativitas lokal, serta memungkinkan tumbuhnya perencanaan dari bawah (bottom-up planning), serta menumbuhkembangkan desentralisasi.
            Dengan menjadikan GKD sebagai paradogma, tak heran kalau ada aparat di suatu instansi teknis yang merasa memiliki data di instansinya (ini fakta, lho). Data dilindungi sedemikian rupa, sehingga untuk mendapatkannya perlu ada “hitam di atas putih”; yang harus disetujui Pimpinan. Dengan menjadikan GKD sebagai paradigma, data di suatu instansi, sejauh mungkin dimasyarakatkan, diminta ataupun tidak. Lebih diutamakan lagi, bahwa aparat instansi bukan hanya tidak pelit data, tapi juga mengemasnya sedemikian rupa sehingga para pelaku usaha akan menangkapnya sebagai peluang.
Malang, 24 Agustus 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar