Minggu, 26 April 2015

Implikasi Penjualan Perkebunan Milik Negara




Implikasi Penjualan Perkebunan Milik Negara
Oleh Tika Noorjaya

Sebulan sudah berlalu sejak munculnya berita rencana penjualan asset perkebunan yang rugi di Kalimantan Barat, Kalimatan Timur, dan Irian Jaya, yang 50.000 hektar lebih di antaranya adalaa kelapa sawit. Rencani ini sempat mengundang pro dan kontra. Bukan hanya karena arealnya yang cukup luas dengan berbagai sarana penunjangnya, tapi juga kebun-kebun tersebut merupakan kebun inti dari ribuan hektar tanaman milik ribuan petani plasma, yang mengharap perbaikan hidup di masa mendatang.
Pernah dikabarkan bahwa Salim Group berniat membeli asset tersebut (Bisnis Indonesia, 30 Juli 1992). Namun, sampai kini kita tidak tahu persis bagaimana kelanjutan ceritanya. Adakah pihak swasta lain yang berminat serius?. Atau,  adakah terjadi perubahan kebijakan?
Tulisan ini mencoba menelusuri berbagai latar belakang kemungkinan serta beberapa gagasan, yang mungkin di antaranya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk melanjutkan penjualan ataupun mengkaji-ulangnya sekali lagi.

Agen Pembangunan
Sejak awal 1980-an, kelapa sawit dinobatkan menjadi komoditi primadona perkebunan. Tak mengherankan kalau kemudian pengembangannya dipacu sedemikian rupa, sehingga pada 1991 luas tanamannya lebih dari 1,3 juta hektar, jauh meningkat dibanding 1973, yang baru 155.689 hektar. Pengembangan areaa ini menjadi demikian bermakna dengaa ditemukannya teknologi biologis berupa serangga penyerbuk kelapa sawit (Elaedubous kamerunicus  Fst). Menurut penelitian di lapangan serangga itu dapat meningkatkan produktivitas tanaman per hektar sekitar 10-30%.
Akibatnya, produksi pun meningkat dengan amat cepat. Kalau pada 1974 produksi minyak sawit Indonesia hanya sedikit di atas 350.000 ton, pada 1990 telah mencapai sekitar 2,4 juta ton ­­ dari perkebunan swasta dan perkebunan negara saja. Ekspornya pun melonjak dari 262.700 ton pada 1973 menjadi 1.167.700 ton pada 1991.
Kinerja yang demikian membanggakan kiranya tak terlepas dari semangat yang begitu berkobar untuk memajukan perkebunan, melalui berbagai pola ­­ antara lain pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN). Di  sana ada semangat ideologis untuk mengangkat harkat orang miskin ke luar dari garis kemiskinan. Ada pula semangat untuk mengumpulkan devisa sebagai bagian dari penggalakan ekspoņ non-migas. Dan, tak ketinggalan semangat untuk meratakan pembangunan ke daerah-daerah terpencil.
Dengan semangat sebagai agen pembangunan, beberapa perusahaan perkebunan milik negara mendapat tugas suci dari induk semangnya untuk melaksanakan pembangunan perkebunan melalui pola PIRBUN, sekaligus sebagai kebun intinya. Dengan landasan keikutsertaan meratakan pembangunan ke daerah terpencil, tak jarang proyek-proyek tersebut harus dikelola dengan manajemen jarak-jauh.
Pada masa pembangunannya, biaya transfer tenaga ahli serta manajemen jarak-jauh ini, jelas terbebankan pada biaya proyek, sehingga biaya per hektar di proyek-proyek ini lebih besar dibanding kalau tanpa transfer tenaga ahli dan manajemen jarak-jauh. Dan, biaya manajemen jarak-jauh ini tentunya masih diperlukan sekalipun tanaman telah menghasilkan, sebagai konsekuensi logis dari fungsi  pengawasan yang harus dilaksanakan manajemen. Karena itu, tidak mengherankan kalau biaya penggarapan suatu proyek kebun kelapa sawit yang akan dijual itu cukup tinggi, mencapai Rp 15 juta per hektar, hingga tanaman berproduksi.
Karena itu, bersediakah calon pembeli membeli asset dengan harga yang lebih tinggi tersebut. Sebaliknya, kalau ternyata calon pembeli menawar dengan harga rendah, bersediakah pemerintah melepaskan assetnya dengan harga yang diinginkan calon pembeli.

Libatkan Petani
Dalam perjanjian kerjasama kebun inti dengan petani plasma ada berbagai ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan kata lain, penjualan asset kebun inti tidak sekadar menyangkut kebun inti dan calon pembeli, tapi juga para petani plasma, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pola PIRBUN. Dengan demikian, apakah calon pembeli mau menerima dan melanjutkan kesepakatan dalam perjanjian itu? Di sisi lain, apakah petani peserta mau menerima kehadiran perusahaan inti yang baru tersebut? Bagaimana perlakuannya terhadap mereka?
Karena itu, seyogianya dalam jual beli asset negara itu petani plasma juga dilibatkan dalam mengambil keputusan. Kalau di lokasi tersebut para petani plasma sudah bergabung dalam koperasi ­­ lembaga ini memang merupakan bagian tak terpisahkan dari pola PIRBUN, seperti dikemukakan dalam Buku II Pelita II ­­ kiranya lembaga ini dapat mewakili kepentingan petani plasma, sekalipun tentu saja diperlukan penengah lain, misalnya pemerintah daerah.
Pada saat pemerintah belum memutuskan bahwa asset perkebunan yang merugi akan dijual, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lewat Ketuanya, Soerjadi, menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana tersebut. "Kami yakin perusahaan itu masih layak. Jika tidak, tidak akaa ada yang mau beli. Dan, kalau masih layak, kenapa harus dijual", katanya (Kompas, 31 Juli 1992).
Tentu saja, hal itu juga merupakan pertimbangan calon pembeli. Dengan kata lain, bagaimanakah prospek pembelian asset tersebut di kemudian hari. Dalam hal ini, tentunya harus cukup jelas ­­ baginya ataupun bagi pemerintah yang akan menjual asset ­­ dipandang dari berbagai aspek, teknis, ekonomis, bahkan tinjauan strategis keusahaan dalam kerangka makra usahanya.
Dari segi teknis, konon, di dalam dunia perkebunan "tempo doeloe” ada pomeo bahwa kelapa sawit secara teknis akan layak usaha kalau lokasinya terbentang di Pulau Sumatera, makin ke utara, makin layak diusahakan. Kebetulan, pada masa itu perkebunan yang besar dan merupakan PTP terkemuka di Indonesia adalah PTP dari Sumatera Utara, yang budidaya utamanya kelapa sawit. Kebetulan, produktivitas kelapa sawit di Sumatera Selatan (termasuk Lampung) lebih rendah dibanding di Sumatera Utara. Juga kebetulan, produktivitas kelapa sawit di Banten belum menandingi produktivitas di Lampung sekalipun. Bahkan, keunggulaa kelapa sawit di Malaysia pun seringkali dikaitkan dengan pomeo ini.
Tentu saja, pomeo tersebut tidak harus dipercaya seratus persen. Bahkan, keberhasilan pembangunan kebun kelapa sawit (dan keberhasilan usahanya) di daerah lain akan membongkar pomeo diŠatas. Hanya saja, apakah latar sejarah penanaman kelapa sawit di Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat ­­ lokasi asset-asset yang akan dijual itu ­­ lebih berangkat dari ideologi pemerataan pembangunan wilayah dengan sedikit  mengabaikan masalah teknis, atau sebaliknya. Tanpa ragu sedikit pun, kiranya perlu ada penelitian ulang tentang kelayakan teknisnya, terutama menyangkut mutu tanah dan curah hujan yang dipersyaratkan secara ketat oleh tanaman manja seperti kelapa sawit. Tentu saja hal ini akan berakibat lanjut pada perhitungan biaya proyek, produksi, dan biaya produksinya.
Selain itu, yang juga pantas menjadi pertimbangan adalah berfluktuasinya harga di pasar internasional, yang merupakan ciri khas komoditi pertanian, termasuk minyak sawit. Bahkan, dari tinjauan yang lebih makro, dengan menganalisis perbandingan harga minyak sawit dengan minyak nabati lainnya, Dr. Ridwan Dereinda sampai pada kesimpulan bahwa harga rata-rata minyak sawit lebih rendah dibanding harga rata-rata minyak nabati saingannya. Karena itu, dinilainya bahwa keunggulan minyak sawit justeru menjadi bumerang (Bisnis Indonesia, 3-5 Agustuó 1992).
Patut dipertimbangkan juga, apakah infrastruktur di lokasi proyek telah menunjang. Misalnya, kalau komoditi yang dihasilkan berorientasi ekspor, apakah prasarana jalan, pelabuhan, dan sebagainya telah cukup menunjang.
Dengan demikian, calon pembeli seyogianya telah mempunyai rencana jangka panjang perusahaan, yang mengaitkan pembelian asset perkebunan negara ini dengan strategi perusahaannya secara menyeluruh, baik masa kini maupun di kemudian hari. Lebih baik lagi kalau calon pembeli telah memulai kegiatannya di sana dengan bisnis yang bisa dikaitkan dengan pembelian asset ini.
Keterkaitan dengan usaha lain secara "makro” perusahaan inilah yang mungkin kurang mendukung PTP pelaksana proyek yang assetnya akan dijual tersebut. Tetapi, kalau diingat bahwa sesungguhnya setiap PTP berada di bawah koordinasi departemen teknis, mengapa tidak digabungkan saja pengelolaan beberapa PTP yang berdekatan, sehingga dalam rencana strategis jangka panjang di antara PTP ­­ yang bergabung ­­ itu dapat saling menunjang.

Perlu Koordinasi
Kalau memang penjualan asset tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi, maka karena siapa pun pemiliknya adalah asset nasional juga, demi kesinambungan harapan para petani plasma untuk menggapai masa depan yang cerah di kemudian hari, agar calon pembeli lebih tertarik untuk membeli, serta agar pemerintah tidak terlalu merugi, maka dalam penjualan asset tersebut perlu ada koordinasi antarinstansi. Misalnya, dari  segi perpajakan, pihak pembeli dapat diberi fasilitas sehubungan dengan lokasinya yang berada di daerah terpencil. Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan kelayakan infrastuktur dan kebijaksanaan lain yang menunjang.
Selain itu, semangat untuk memajukan Indonesia Bagian Timur,  kiranya memungkinkan bagi pemerintah untuk menganggap pihak pembeli sebagai perusahaan pelopor ­­ dan karenanya pembeli bisa memperoleh berbagai fasilitas. 


Artikel ini dimuat Bisnis Indonesia, 14 September 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar