Implikasi Penjualan Perkebunan
Milik Negara
Oleh Tika Noorjaya
Sebulan sudah berlalu sejak munculnya berita rencana penjualan
asset perkebunan yang rugi di Kalimantan Barat, Kalimatan Timur, dan Irian Jaya,
yang 50.000 hektar lebih di antaranya adalaa kelapa sawit. Rencani ini sempat
mengundang pro dan kontra. Bukan hanya karena arealnya yang cukup luas dengan berbagai
sarana penunjangnya, tapi juga kebun-kebun tersebut merupakan kebun inti dari
ribuan hektar tanaman milik ribuan petani plasma, yang mengharap perbaikan
hidup di masa mendatang.
Pernah dikabarkan bahwa Salim Group berniat membeli asset tersebut
(Bisnis Indonesia, 30 Juli 1992). Namun, sampai kini kita tidak tahu persis
bagaimana kelanjutan ceritanya. Adakah pihak swasta lain yang berminat serius?.
Atau, adakah terjadi perubahan kebijakan?
Tulisan ini mencoba menelusuri berbagai latar belakang kemungkinan
serta beberapa gagasan, yang mungkin di antaranya dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk melanjutkan penjualan ataupun mengkaji-ulangnya sekali lagi.
Agen Pembangunan
Sejak
awal 1980-an, kelapa sawit dinobatkan menjadi komoditi primadona perkebunan. Tak
mengherankan kalau kemudian pengembangannya dipacu sedemikian rupa, sehingga
pada 1991 luas tanamannya lebih dari 1,3 juta hektar, jauh meningkat dibanding
1973, yang baru 155.689 hektar. Pengembangan areaa ini menjadi demikian bermakna
dengaa ditemukannya teknologi biologis berupa serangga penyerbuk kelapa sawit (Elaedubous kamerunicus Fst).
Menurut
penelitian
di lapangan serangga itu dapat meningkatkan produktivitas tanaman per
hektar sekitar 10-30%.
Akibatnya,
produksi pun meningkat dengan amat cepat. Kalau pada 1974 produksi minyak sawit
Indonesia hanya sedikit di atas 350.000 ton, pada 1990 telah mencapai sekitar 2,4
juta ton dari perkebunan swasta dan perkebunan negara saja. Ekspornya pun melonjak
dari 262.700 ton pada 1973 menjadi 1.167.700 ton pada 1991.
Kinerja
yang demikian membanggakan kiranya tak terlepas dari semangat yang begitu
berkobar untuk memajukan perkebunan, melalui berbagai pola antara lain pola
Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN). Di sana ada semangat ideologis
untuk mengangkat harkat orang miskin ke luar dari garis kemiskinan. Ada pula
semangat untuk mengumpulkan devisa sebagai bagian dari penggalakan ekspoņ non-migas.
Dan, tak ketinggalan semangat untuk meratakan pembangunan ke daerah-daerah
terpencil.
Dengan
semangat sebagai agen pembangunan, beberapa perusahaan perkebunan milik negara
mendapat tugas suci dari induk semangnya untuk melaksanakan pembangunan
perkebunan melalui pola PIRBUN, sekaligus sebagai kebun intinya. Dengan landasan
keikutsertaan meratakan pembangunan ke daerah terpencil, tak jarang proyek-proyek
tersebut harus dikelola dengan manajemen jarak-jauh.
Pada
masa pembangunannya, biaya transfer tenaga ahli serta manajemen jarak-jauh ini,
jelas terbebankan pada biaya proyek, sehingga biaya per hektar di proyek-proyek
ini lebih besar dibanding kalau tanpa transfer tenaga ahli dan manajemen jarak-jauh. Dan,
biaya manajemen jarak-jauh ini tentunya masih diperlukan sekalipun tanaman telah
menghasilkan, sebagai konsekuensi logis dari fungsi pengawasan yang harus dilaksanakan manajemen.
Karena itu, tidak mengherankan kalau biaya penggarapan suatu proyek kebun kelapa
sawit yang akan dijual itu cukup tinggi, mencapai Rp 15 juta per hektar, hingga
tanaman berproduksi.
Karena
itu, bersediakah calon pembeli membeli asset dengan harga yang lebih tinggi
tersebut. Sebaliknya, kalau ternyata calon pembeli menawar dengan harga rendah,
bersediakah pemerintah melepaskan assetnya dengan harga yang diinginkan calon
pembeli.
Libatkan Petani
Dalam
perjanjian kerjasama kebun inti dengan petani plasma ada berbagai ketentuan yang
mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan kata lain, penjualan
asset kebun inti tidak sekadar menyangkut kebun inti dan calon pembeli, tapi
juga para petani plasma, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pola PIRBUN.
Dengan demikian, apakah calon pembeli mau menerima dan melanjutkan kesepakatan
dalam perjanjian itu? Di sisi lain, apakah petani peserta mau menerima kehadiran
perusahaan inti yang baru tersebut? Bagaimana perlakuannya terhadap mereka?
Karena
itu, seyogianya dalam jual beli asset negara itu petani plasma juga dilibatkan
dalam mengambil keputusan. Kalau di lokasi tersebut para petani plasma sudah
bergabung dalam koperasi lembaga ini memang merupakan bagian tak terpisahkan
dari pola PIRBUN, seperti dikemukakan dalam Buku II Pelita II kiranya lembaga
ini dapat mewakili kepentingan petani plasma, sekalipun tentu saja diperlukan
penengah lain, misalnya pemerintah daerah.
Pada
saat pemerintah belum memutuskan bahwa asset perkebunan yang merugi akan dijual,
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) lewat Ketuanya, Soerjadi, menyatakan
ketidaksetujuannya atas rencana tersebut. "Kami yakin perusahaan itu masih
layak. Jika tidak, tidak akaa ada yang mau beli. Dan, kalau masih layak, kenapa
harus dijual", katanya (Kompas, 31 Juli 1992).
Tentu
saja, hal itu juga merupakan pertimbangan calon pembeli. Dengan kata lain, bagaimanakah
prospek pembelian asset tersebut di kemudian hari. Dalam hal ini, tentunya harus
cukup jelas baginya ataupun bagi pemerintah yang akan menjual asset
dipandang dari berbagai aspek, teknis, ekonomis, bahkan tinjauan strategis
keusahaan dalam kerangka makra usahanya.
Dari
segi teknis, konon, di dalam dunia perkebunan "tempo doeloe” ada pomeo
bahwa kelapa sawit secara teknis akan layak usaha kalau lokasinya terbentang di
Pulau Sumatera, makin ke utara, makin layak diusahakan. Kebetulan, pada masa
itu perkebunan yang besar dan merupakan PTP terkemuka di Indonesia adalah PTP
dari Sumatera Utara, yang budidaya utamanya kelapa sawit. Kebetulan, produktivitas
kelapa sawit di Sumatera Selatan (termasuk Lampung) lebih rendah dibanding di
Sumatera Utara. Juga kebetulan, produktivitas kelapa sawit di Banten belum
menandingi produktivitas di Lampung sekalipun. Bahkan, keunggulaa kelapa sawit
di Malaysia pun seringkali dikaitkan dengan pomeo ini.
Tentu
saja, pomeo tersebut tidak harus dipercaya seratus persen. Bahkan, keberhasilan
pembangunan kebun kelapa sawit (dan keberhasilan usahanya) di daerah lain akan
membongkar pomeo diatas.
Hanya
saja, apakah
latar
sejarah
penanaman
kelapa
sawit di Irian
Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat lokasi asset-asset yang akan
dijual itu lebih berangkat dari ideologi pemerataan pembangunan wilayah dengan
sedikit mengabaikan masalah teknis, atau sebaliknya. Tanpa ragu sedikit
pun, kiranya perlu ada penelitian ulang tentang kelayakan teknisnya, terutama menyangkut
mutu tanah dan curah hujan yang dipersyaratkan secara ketat oleh tanaman manja
seperti kelapa sawit. Tentu saja hal ini akan berakibat lanjut pada perhitungan
biaya proyek, produksi, dan biaya produksinya.
Selain
itu, yang juga pantas menjadi pertimbangan adalah berfluktuasinya harga di
pasar internasional, yang merupakan ciri khas komoditi pertanian, termasuk
minyak sawit. Bahkan, dari tinjauan yang lebih makro, dengan menganalisis
perbandingan harga minyak sawit dengan minyak nabati lainnya, Dr. Ridwan Dereinda
sampai pada kesimpulan bahwa harga rata-rata minyak sawit lebih rendah dibanding
harga rata-rata minyak nabati saingannya. Karena itu, dinilainya bahwa
keunggulan minyak sawit justeru menjadi bumerang (Bisnis Indonesia, 3-5 Agustuó
1992).
Patut
dipertimbangkan juga, apakah infrastruktur di lokasi proyek telah menunjang. Misalnya,
kalau komoditi yang dihasilkan berorientasi ekspor, apakah prasarana jalan, pelabuhan,
dan sebagainya telah cukup menunjang.
Dengan
demikian, calon pembeli seyogianya telah mempunyai rencana jangka panjang
perusahaan, yang mengaitkan pembelian asset perkebunan negara ini dengan
strategi perusahaannya secara menyeluruh, baik masa kini maupun di kemudian
hari. Lebih baik lagi kalau calon pembeli telah memulai kegiatannya di sana dengan
bisnis yang bisa dikaitkan dengan pembelian asset ini.
Keterkaitan
dengan usaha lain secara "makro” perusahaan inilah yang mungkin kurang mendukung
PTP pelaksana proyek yang assetnya akan dijual tersebut. Tetapi, kalau diingat bahwa
sesungguhnya setiap PTP berada di bawah koordinasi departemen teknis, mengapa
tidak digabungkan saja pengelolaan beberapa PTP yang berdekatan, sehingga dalam
rencana strategis jangka panjang di antara PTP yang bergabung itu dapat
saling menunjang.
Perlu Koordinasi
Kalau
memang penjualan asset tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi, maka karena siapa
pun pemiliknya adalah asset nasional juga, demi kesinambungan harapan para petani
plasma untuk menggapai masa depan yang cerah di kemudian hari, agar calon
pembeli lebih tertarik untuk membeli, serta agar pemerintah tidak terlalu
merugi, maka dalam penjualan asset tersebut perlu ada koordinasi antarinstansi.
Misalnya, dari segi perpajakan, pihak pembeli dapat diberi fasilitas
sehubungan dengan lokasinya yang berada di daerah terpencil. Pemerintah daerah perlu
mempertimbangkan kelayakan infrastuktur dan kebijaksanaan lain yang menunjang.
Selain
itu, semangat untuk memajukan Indonesia Bagian Timur, kiranya memungkinkan bagi pemerintah untuk menganggap
pihak pembeli sebagai perusahaan pelopor dan karenanya pembeli bisa memperoleh
berbagai fasilitas.
Artikel
ini dimuat Bisnis Indonesia, 14
September 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar