Artikel
Tika Noorjaya ini dimuat HU Pikiran Rakyat, 26 Februari 1987:
Koperasi Perkebunan, Konsepsi yang Terlupakan ?
Oleh Tika Noorjaya
BERBAGAI cara untuk
mengukur keberhasilan (dan kegagalan) dari suatu kegiatan telah dikembangkan
orang, dan yang paling umum tampaknya adalah membandingkan sasaran dengan
realisasinya. Cara ini biasa dilakukan oleh pihak intern, tetapi dapat juga
oleh pihak ekstern. Dalam fungsi terakhir inilah tampaknya media massa cukup
banyak menyebarkan informasi bagi masyarakat luas. Tidak terkecuali laporan
wartawan "Pikiran Rakyat" tentang Daerah Pirbun Banten yang dimuat
"PR" tiga hari berturut-turut (25-27 November 1986).
Akan tetapi, sampai
akhir laporannya yang panjang, lebar dan luas tersebut tidak sedikit pun
menyinggung tentang koperasi perkebunan. Padahal, membicarakan proyek
Perkebunan Inti Rakyat (PIR Perkebunan) tanpa koperasi perkebunan tampaknya
belum lengkap, kalau kita kembali ke landasan pembentukkan proyek itu, yang
antara lain dapat disimak dalam Buku II Repelita II. Antara lain
disebutkan bahwa perkebunan inti, yang merupakan perkebunan negara, dimaksudkan
untuk menjadi inti perkebunan rakyat di sekitarnya. Kemudian, "Kegiatan
perkebunan inti diharapkan akan membantu perkembangan koperasi perkebunan
rakyat". Nah !
Saya kurang tahu,
apakah hal itu disebabkan upaya wartawan "PR" untuk melokalisasikan
permasalahan, ataukah memang masalah koperasi perkebunan kurang mendapat
perhatian pelaksana proyek. Hal pertama kiranya masih dapat dimaklumi; tetapi,
kalau yang sesungguhnya terjadi adalah hal yang kedua, maka sepantasnyalah dipertanyakan,
apakah koperasi sebagai konsepsi dasar sudah dilupakan ?
Meskipun saya
kurang begitu yakin dengan terjadinya hal yang kedua, yakni kurangnya perhatian
pelaksana proyek untuk mengembangkan koperasi perkebunan, kiranya tidak terlalu
salah bila dalam tulisan ini diungkapkan peranan koperasi perkebunan, khususnya
dalam proyek PIR Perkebunan.
Peranan Koperasi
Perkebunan
Peranan koperasi
yang dicanangkan sebagai sokoguru perekonomian Indonesia sudah sedemikian luas
dibahas para pakar, bahkan kadang-kadang menjurus ke arah
"klobotisme" yang berbunyi nyaring namun hampa. Berbeda halnya dengan
pembahasan koperasi pada tingkat operasional, apalagi koperasi perkebunan,
terasa cukup langka. Kalaupun ada, publikasinya tidak tersebar luas. Padahal, kesempatan
koperasi untuk berkembang dalam bidang perkebunan terbuka luas, apalagi dalam
proyek PIR Perkebunan yang sejak awal memang dimaksudkan sebagai upaya mencapai
efisiensi pengelolaan, yakni melalui pemusatan kegiatan pada areal lahan yang
terkonsolidasi, demikian pula para petaninya terkonsentrasi pada pemukimam yang
kompak. Lebih dari itu, keperluan petani relatif sama, sehingga sesungguhnya
landasan untuk berdiri kokohnya koperasi telah tersedia.
Dalam bidang
konsumsi, jelas akan lebih efisien apabila dalam permukiman petani tersedia
barang-barang keperluan sehari-hari, yang karena jumlahnya besar maka
memungkinkan memperoleh harga yang lebih rendah. Lain dari itu, dengan
tersedianya keperluan sehari-hari, di tempat permukiman maka tidak terlalu
banyak waktu yang terbuang, sehingga pemeliharaan tanaman pokok dapat
dilaksanakn dengan intensif, bahkan sisa waktu dapat digunakan untuk
mengoptimalkan hasil dari lahan pangan dan lahan pekarangan.
Dalam bidang
produksi pun demikian; bahkan peranannya semakin penting. Kebutuhan terhadap
sarana produksi, seperti pupuk, obat-obatan, alat-alat pemeliharaan tanaman,
alat panen, dan sebagainya serta pengangkutan sarana produksi maupun produksi
merupakan kegiatan yang harus dikelola dengan baik, terutama agar keperluan
terhadap sarana-sarana tersebut tersedia dengan tepat waktu dan tepat jumlah.
Karena, seperti kita maklumi, kegiatan dalam bidang perkebunan khususnya dan
bidang pertanian umumnya sangat dibatasi oleh waktu. Tanpa ketaatan terhadap
waktu bukan mustahil dapat mengganggu pencapaian produktivitas dan mutu yang
maksimal. Padahal, produktivitas dan mutu tidak diragukan lagi merupakan faktor
yang penting dalam pencapaian pendapatan yang diharapkan, seperti ditunjukkan
dengan asumsi-asumsi dalam studi kelayakannya.
Penanganan yang
intensif dalam bidang produksi, sekarang ini terasa menjadi sedemikian penting
mengingat perkembangan harga komoditi perkebunan sekarang ini kurang begitu
menggembirakan, seperti yang dilaporkan "PR" tanggal 27 November 1986
(halaman 8), persis di belakang halaman laporan wartawan "PR"
tentang Pirbun Banten, yang antara lain menyatakan bahwa komoditi perkebunan
mengalami saingan yang semakin meningkat. Meskipun menurut para pakar prospek
jangka panjangnya masih tetap cerah.
Penanganan masalah
produksi itu, khususnya dalam hal kelapa sawit (Elaistica guinensis) di Banten menjadi lebih menarik sekaligus
melahirkan tantangan, mengingat meskipun budidaya ini pada awal kedatangannya
ke Indonesia ditanam di Pulau Jawa, yakni di Kebun Raya Bogor, tetapi
perkembangan selanjutnya lebih berpusat di Pulau Sumatera, khususnya Sumatera
Utara, sedangkan di Pulau Jawa sendiri penanaman kelapa sawit yang diusahakan
dengan sistem perkebunan agaknya merupakan pengalaman pertama. Dan, seperti
pengalaman pertama lain pada umumnya, memerlukan proses pengenalan yang cukup
memakan waktu, terutama bagi para petani, apalagi dengan cepatnya perkembangan
teknologi dalam bidang ini, misalnya dengan telah ditemukannya
serangga penyerbuk kelapa sawit(SPKS)Elaedubous
Kamerunicus Fst, yang mampu meningkatkan produksi sekitar 20% lebih banyak
daripada sebelum dilepaskan SPKS, yang tentu saja melahirkan masalah lainnya,
misalnya dalam pengolahan.
Demikian pula dalam
hal pengumpulan hasil dan pengangkutan. Pengumpulan hasil lewat tempat
pengumpulan hasil (TPH) yang ditangani koperasi dapat diharapkan meningkatkan
efisiensi biaya pengangkutan dan menjaga mutu hasil panen pada kondisi yang
baik. Terbukanya peluang bagi koperasi perkebunan untuk memasuki unit usaha
pengangkutan ini, juga tercermin dalam laporan "PR" tanggal 2
Desember 1986, yang antara lain mengungkapkan adanya kesulitan untuk mengangkut
hasil panen (tandan buah segar = TBS) kelapa sawit proyek PIR V Banten dari
kebun petani ke tempat pengolahan. Padahal, bagi budidaya ini keterlambatan
pengolahan akan menurunkan mutu hasil olah disebabkan meningkatknya asam lemak
bebas (ALB), sebagai salah-satu syarat yang penting dalam pemasarannya.
Berdasarkan
pengalaman di salah satu koperasi perkebunan, ternyata unit usaha pengangkutan
ini cukup memberikan keuntungan bagi koperasi, di samping perusahaan (PTP) pun
mendapat bantuan karena biaya per satuan hasilnya (terhadap harga pokok) tidak
jauh berbeda dengan apabila dilaksanakan oleh kendaraan PTP sendiri, yang tidak
selamanya mampu mengangkut seluruh produksinya. Dalam hal PIR Perkebunan,
karena produksi yang akan diangkut "milik sendiri" (bukan milik PTP)
maka pemanfaatan kendaraan pengangkut dapat berkesinambungan, tidak lagi
tergantung pada kemampuan (kapasitas) angkut kendaraan PTP.
Sedangkan manfaat
dari cara penjualan yang diantarai oleh koperasi sebelum diserahkan kepada
perkebunan inti (perkebunan negara atau perkebunan besar swasta) memungkinkan terjadinya
transaksi yang paling menguntungkan, yang antara lain perlu ditunjang dengan
upaya pengurus (manajer) koperasi untuk selalu memantau harga pasar, sehingga
koperasi perkebunan (sebagai wakil dari para petani) mempunyai posisi
tawar-menawar yang baik.
Selain itu, dalam
koperasi juga memungkinkan adanya kesepakatan agar pada waktu harga baik ada
sebagian hasil penjualan (setelah dikurangi untuk membayar cicilan kredit) yang
disisihkan (ditabung) untuk menutupi kekurangan pendapatan apabila harga jual
rendah; bahkan bukan mustahil melalui koperasi dapat juga disisihkan dana untuk
rehabilitasi tanaman setelah selesainya satu siklus produkssi. Adanya koperasi
juga memungkinkan cicilan kredit dapat diamankan, yakni dengan pemotongan
langsung oleh koperasi, setelah memperhitungkan kebutuhan hidup petani, dan sebagainya.
Tentu saja, selain
manfaat khusus ini dapat pula diraih manfaat koperasi pada umumnya, seperti pembagian
sisa hasil usaha (SHU), proses pendidikan, dan sebagainya, yang secara
keseluruhan kiranya mampu mendukung tujuan dikembangkannya Proyek PIR
Perkebunan, yakni mewujudkan pola hubungan PIR ("perusahaan" Inti
Rakyat), yaitu suatu perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial ekonomi
peserta yang didukung oleh suatu sistem pengelolaan usaha yang
memadukan berbagai kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran dengan
menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu sistem kerjasama yang
saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Tujuan besar ini jelas tidak mungkin
sepenuhnya diserahkan pada kebun inti, yang tampaknya telah menggeser
prioritasnya dari penghasil devisa menjadi wahana pembangunan.
Namun, membentuk
koperasi perkebunan yang seperti diharapkan tidaklah semudah menulis dan mengucapkannya.
Boleh jadi pembentukan koperasi dengan tujuan memperoleh status badan hukum
tidak terlalu sulit; tetapi untuk menghadirkan koperasi yang benar-benar
mengakar, tampaknya dihadapkan pada kendala dan hambatan yang tidak sedikit. Karenanya,
mungkin dapat didekati dengan bentuk koperasi-antara, yakni usaha bersama,
misalnya pengelompokkan petani yang lahannya berdekatan sekitar 20-25 KK. Usaha
bersama itu misalnya dapat dimulai dengan pemeliharaan tanaman bersama, yang
mungkin dapat berlanjut dengan panen bersama. Upaya terakhir ini barangkali
dapat dilaksanakan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan karena perbedaan
kondisi tanah yang ditunjukkan dengan perbedaan keragaman produktivitas dan
biaya produksi yang terpaut jauh meskipun dengan satuan luas yang sama.
Selanjutnya, kalau
sudah terbentuk koperasi pun tidak terlepas dari masalah. Pengalaman sebuah PTP
yang melakukan kerjasama dengan sebuah KUD penghasil bahan-baku bagi pabrik
PTP, barangkali dapat dijadikan gambaran. Berdasarkan kesepakatan, PTP membeli
bahan baku dari KUD dengan harga yang didasarkan pada pasar yang dipantau oleh
instansi yang berwewenang untuk itu. Tetapi, karena KUD menetapkan potongan
untuk biaya administrasi terlalu tinggi (10% dari penerimaan petani
anggotanya), maka harga yang diterima petani menjadi rendah, sehingga tidak
sedikit para petani yang menjual hasil panennya ke pihak swasta.
Kalau hal ini
terjadi pada proyek PIR Perkebunan, maka kelancaran pengembalian kredit dapat
dipertanyakan, dan jelas kebun inti akan menderita rugi karena harus menanggung
beban menganggurnya aktiva, bunga bank, dan sebagainya. Dalam hal ini, karena
skala produksi proyek PIR Perkebunan cukup besar, seyogianyalah tidak
menetapkan biaya administrasi terlalu tinggi, di samping menetapkan perangsang
lainnya bagi para petani (misalnya penetapan premi bagi produksi atau
mutu yang baik), sehingga para petani tidak menjual produksinya ke pihak luar.
Ada juga pengurus
koperasi yang memanipulasikan mutu hasil panenan, sehingga para petanilah yang
menjadi korbannya. Dalam hal ini, fungsi pengawasan baik dari Badan Pemeriksa
Koperasi, pihak kebun inti maupun instansi lain yang berhubungan seyogianya ditingkatkan.
Selanjutnya, dari
paparan di muka, tampak bahwa kegiatan usaha yang dapat dilakukan koperasi
perkebunan terbuka luas yang tidak mustahil akan melahirkan masalah klasik
koperasi pada umumnya, yakni kekurangan modal, karena mengharapkan penggalangan
dana dari "dalam" tampaknya belum cukup mampu, setidak-tidaknya dalam
jangka pendek, sehingga pemanfaatan dana pinjaman dari pihak luar (misalnya
perbankan) kiranya dapat dipertimbangkan. Dalam hal ini, barangkali bagi bank
cukup menguntungkan, karena dana kredit tersebut dapat langsung dijalankan,
sehingga memungkinkan pengembalian kredit yang lebih cepat.
Lebih lanjut dapat
dikemukakan bahwa kalau semasa pembangunan proyek, bank mau menyediakan kredit
dengan masa tenggang(grace period)
yang cukup lama (3 tahun untuk kelapa sawit, 7 tahun untuk karet, dan
sebagainya) dan suku bunga yang rendah, kiranya cukup alasan bagi bank untuk
melanjutkan kreditnya dengan memenuhi kebutuhan kredit bagi koperasi
perkebunan, terutama setelah masa konversi, yaki setelah tanaman menghasilkan.
Dari sisi lain, kredit lanjutan itu dapat diharapkan menjadi faktor pelancar
bagi pengembalian kredit terdahulu (pada masa pembangunan proyek).
Memang, pengalaman
koperasi dalam PIR Perkebunan belum banyak terungkap, karena proyeknya sendiri
belum genap sepuluh tahun. Namun, berdasarkan pengalaman yang ada ditambah
dengan pengalaman koperasi pada umumnya, kiranya jelas bahwa penanganan koperasi
perkebunan pada masa sekarang maupun masa datang memerlukan ketelatenan,
profesionalisme dan persiapan yang matang. Sehingga pada gilirannya, ukuran
keberhasilan proyek PIR Perkebunan tidak hanya diukur dari luasnya tanaman yang
telah direalisasikan (dan produksinya), tetapi juga sejauh mana koperasi
perkebunan berperan dalam meningkatkan perekonomian para petani, bahkan
masyarakat di sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar