Jumat, 24 April 2015

Koperasi Perkebunan, Konsepsi yang Terlupakan ?



Artikel Tika Noorjaya ini dimuat HU Pikiran Rakyat, 26 Februari 1987:

Koperasi Perkebunan, Konsepsi yang Terlupakan ?

Oleh Tika Noorjaya

BERBAGAI cara untuk mengukur keberhasilan (dan kegagalan) dari suatu kegiatan telah dikembangkan orang, dan yang paling umum tampaknya adalah membandingkan sasaran dengan realisasinya. Cara ini biasa dilakukan oleh pihak intern, tetapi dapat juga oleh pihak ekstern. Dalam fungsi terakhir inilah tampaknya media massa cukup banyak menyebarkan informasi bagi masyarakat luas. Tidak terkecuali laporan wartawan "Pikiran Rakyat" tentang Daerah Pirbun Banten yang dimuat "PR" tiga hari berturut-turut (25-27 November 1986).

Akan tetapi, sampai akhir laporannya yang panjang, lebar dan luas tersebut tidak sedikit pun menyinggung tentang koperasi perkebunan. Padahal, membicarakan proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR Perkebunan) tanpa koperasi perkebunan tampaknya belum leng­kap, kalau kita kembali ke landasan pembentukkan proyek itu, yang antara lain dapat disimak dalam Buku II Repelita II. Antara  lain disebutkan bahwa perkebunan inti, yang merupakan perkebunan negara, dimaksudkan untuk menjadi inti perkebunan rakyat di sekitarnya. Kemudian, "Kegiatan perkebunan inti diharapkan akan membantu perkembangan koperasi perkebunan rakyat". Nah !

Saya kurang tahu, apakah hal itu disebabkan upaya wartawan "PR" untuk melokalisasikan permasalahan, ataukah memang masalah koperasi perkebunan kurang mendapat perhatian pelaksana proyek. Hal pertama kiranya masih dapat dimaklumi; tetapi, kalau yang sesungguhnya terjadi adalah hal yang kedua, maka sepantasnyalah dipertanyakan, apakah koperasi sebagai konsepsi dasar sudah dilupakan ?

Meskipun saya kurang begitu yakin dengan terjadinya hal yang kedua, yakni kurangnya perhatian pelaksana proyek untuk mengembangkan koperasi perkebunan, kiranya tidak terlalu salah bila dalam tulisan ini diungkapkan peranan koperasi perkebunan, khu­susnya dalam proyek PIR Perkebunan.

Peranan Koperasi Perkebunan

Peranan koperasi yang dicanangkan sebagai sokoguru pereko­nomian Indonesia sudah sedemikian luas dibahas para pakar, bahkan kadang-kadang menjurus ke arah "klobotisme" yang berbunyi nyaring namun hampa. Berbeda halnya dengan pembahasan koperasi pada tingkat operasional, apalagi koperasi perkebunan, terasa cukup langka. Kalaupun ada, publikasinya tidak tersebar luas. Padahal, kesempatan koperasi untuk berkembang dalam bidang perkebunan terbuka luas, apalagi dalam proyek PIR Perkebunan yang sejak awal memang dimaksudkan sebagai upaya mencapai efisiensi pengelolaan, yakni melalui pemusatan kegiatan pada areal lahan yang terkonsolidasi, demikian pula para petaninya terkonsentrasi pada pemukimam yang kompak. Lebih dari itu, keperluan petani relatif sama, sehingga sesungguhnya landasan untuk berdiri kokohnya koperasi telah tersedia.

Dalam bidang konsumsi, jelas akan lebih efisien apabila dalam permukiman petani tersedia barang-barang keperluan sehari-hari, yang karena jumlahnya besar maka memungkinkan memperoleh harga yang lebih rendah. Lain dari itu, dengan tersedianya keperluan sehari-hari, di tempat permukiman maka tidak terlalu banyak waktu yang terbuang, sehingga pemeliharaan tanaman pokok dapat dilaksanakn dengan intensif, bahkan sisa waktu dapat digunakan untuk mengoptimalkan hasil dari lahan pangan dan lahan pekaran­gan.

Dalam bidang produksi pun demikian; bahkan peranannya semakin penting. Kebutuhan terhadap sarana produksi, seperti pupuk, obat-obatan, alat-alat pemeliharaan tanaman, alat panen, dan sebagainya serta pengangkutan sarana produksi maupun produksi merupakan kegiatan yang harus dikelola dengan baik, terutama agar keperluan terhadap sarana-sarana tersebut tersedia dengan tepat waktu dan tepat jumlah. Karena, seperti kita maklumi, kegiatan dalam bidang perkebunan khususnya dan bidang pertanian umumnya sangat dibatasi oleh waktu. Tanpa ketaatan terhadap waktu bukan mustahil dapat mengganggu pencapaian produktivitas dan mutu yang maksimal. Padahal, produktivitas dan mutu tidak diragukan lagi merupakan faktor yang penting dalam pencapaian pendapatan yang diharapkan, seperti ditunjukkan dengan asumsi-asumsi dalam studi kelayakannya. 

Penanganan yang intensif dalam bidang produksi, sekarang ini terasa menjadi sedemikian penting mengingat perkembangan harga komoditi perkebunan sekarang ini kurang begitu menggembirakan, seperti yang dilaporkan "PR" tanggal 27 November 1986  (halaman 8), persis di belakang halaman laporan wartawan "PR" tentang Pirbun Banten, yang antara lain menyatakan bahwa komoditi perkebunan mengalami saingan yang semakin meningkat. Meskipun menurut para pakar prospek jangka panjangnya masih tetap cerah.

Penanganan masalah produksi itu, khususnya dalam hal  kelapa sawit (Elaistica guinensis) di Banten menjadi lebih menarik sekaligus melahirkan tantangan, mengingat meskipun budidaya ini pada awal kedatangannya ke Indonesia ditanam di Pulau Jawa, yakni di Kebun Raya Bogor, tetapi perkembangan selanjutnya lebih berpusat di Pulau Sumatera, khususnya Sumatera Utara, sedangkan di Pulau Jawa sendiri penanaman kelapa sawit yang diusahakan dengan sistem perkebunan agaknya merupakan pengalaman pertama. Dan, seperti pengalaman pertama lain pada umumnya, memerlukan proses pengenalan yang cukup memakan waktu, terutama bagi para petani, apalagi dengan cepatnya perkembangan teknologi dalam bidang ini, misalnya  dengan  telah ditemukannya serangga penyerbuk kelapa sawit(SPKS)Elaedubous Kamerunicus Fst, yang mampu meningkatkan produksi sekitar 20% lebih banyak daripada sebelum dilepaskan SPKS, yang tentu saja melahirkan masalah lainnya, misalnya dalam pengolahan.

Demikian pula dalam hal pengumpulan hasil dan pengangkutan. Pengumpulan hasil lewat tempat pengumpulan hasil (TPH) yang ditangani koperasi dapat diharapkan meningkatkan efisiensi biaya pengangkutan dan menjaga mutu hasil panen pada kondisi yang baik. Terbukanya peluang bagi koperasi perkebunan untuk memasuki unit usaha pengangkutan ini, juga tercermin dalam laporan "PR" tanggal 2 Desember 1986, yang antara lain mengungkapkan adanya kesulitan untuk mengangkut hasil panen (tandan buah segar = TBS) kelapa sawit proyek PIR V Banten dari kebun petani ke tempat pengolahan. Padahal, bagi budidaya ini keterlambatan pengolahan akan menurunkan mutu hasil olah disebabkan meningkatknya asam lemak bebas (ALB), sebagai salah-satu syarat yang penting dalam pemasarannya.

Berdasarkan pengalaman di salah satu koperasi perkebunan, ternyata unit usaha pengangkutan ini cukup memberikan keuntungan bagi koperasi, di samping perusahaan (PTP) pun mendapat bantuan karena biaya per satuan hasilnya (terhadap harga pokok) tidak jauh berbeda dengan apabila dilaksanakan oleh kendaraan PTP sendiri, yang tidak selamanya mampu mengangkut seluruh produksinya. Dalam hal PIR Perkebunan, karena produksi yang akan diangkut "milik sendiri" (bukan milik PTP) maka pemanfaatan kendaraan pengangkut dapat berkesinambungan, tidak lagi tergantung pada kemampuan (kapasitas) angkut kendaraan PTP.

Sedangkan manfaat dari cara penjualan yang diantarai oleh koperasi sebelum diserahkan kepada perkebunan inti (perkebunan negara atau perkebunan besar swasta) memungkinkan terjadinya transaksi yang paling menguntungkan, yang antara lain perlu ditunjang dengan upaya pengurus (manajer) koperasi untuk selalu memantau harga pasar, sehingga koperasi perkebunan (sebagai wakil dari para petani) mempunyai posisi tawar-menawar yang baik.

Selain itu, dalam koperasi juga memungkinkan adanya kesepakatan agar pada waktu harga baik ada sebagian hasil penjualan (setelah dikurangi untuk membayar cicilan kredit) yang disisihkan (ditabung) untuk menutupi kekurangan pendapatan apabila harga jual rendah; bahkan bukan mustahil melalui koperasi dapat juga disisihkan dana untuk rehabilitasi tanaman setelah selesainya satu siklus produkssi. Adanya koperasi juga memungkinkan cicilan kredit dapat diamankan, yakni dengan pemotongan langsung oleh koperasi, setelah memperhitungkan kebutuhan hidup petani, dan sebagainya.

Tentu saja, selain manfaat khusus ini dapat pula diraih manfaat koperasi pada umumnya, seperti pembagian sisa hasil usaha (SHU), proses pendidikan, dan sebagainya, yang secara keseluruhan kiranya mampu mendukung tujuan dikembangkannya Proyek PIR Perkebunan, yakni mewujudkan pola hubungan PIR ("perusahaan" Inti Rakyat), yaitu suatu perpaduan usaha dengan sasaran perbaikan keadaan sosial ekonomi peserta yang didukung oleh  suatu  sistem pengelolaan usaha yang memadukan berbagai kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran dengan menggunakan perusahaan besar sebagai inti dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntung­kan, utuh dan berkesinambungan. Tujuan besar ini jelas tidak mungkin sepenuhnya diserahkan pada kebun inti, yang tampaknya telah menggeser prioritasnya dari penghasil devisa menjadi wahana pembangunan.

Namun, membentuk koperasi perkebunan yang seperti diharapkan tidaklah semudah menulis dan mengucapkannya. Boleh jadi pembentukan koperasi dengan tujuan memperoleh status badan hukum tidak terlalu sulit; tetapi untuk menghadirkan koperasi yang benar-benar mengakar, tampaknya dihadapkan pada kendala dan hambatan yang tidak sedikit. Karenanya, mungkin dapat didekati dengan bentuk koperasi-antara, yakni usaha bersama, misalnya pengelompokkan petani yang lahannya berdekatan sekitar 20-25 KK. Usaha bersama itu misalnya dapat dimulai dengan pemeliharaan tanaman bersama, yang mungkin dapat berlanjut dengan panen bersama. Upaya terakhir ini barangkali dapat dilaksanakan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan karena perbedaan kondisi tanah yang ditunjukkan dengan perbedaan keragaman produktivitas dan biaya produksi yang terpaut jauh meskipun dengan satuan luas yang sama.

Selanjutnya, kalau sudah terbentuk koperasi pun tidak terlepas dari masalah. Pengalaman sebuah PTP yang melakukan kerjasama dengan sebuah KUD penghasil bahan-baku bagi pabrik PTP, barangkali dapat dijadikan gambaran. Berdasarkan kesepakatan, PTP membeli bahan baku dari KUD dengan harga yang didasarkan pada pasar yang dipantau oleh instansi yang berwewenang untuk itu. Tetapi, karena KUD menetapkan potongan untuk biaya administrasi terlalu tinggi (10% dari penerimaan petani anggotanya), maka harga yang diterima petani menjadi rendah, sehingga tidak sedikit para petani yang menjual hasil panennya ke pihak swasta.

Kalau hal ini terjadi pada proyek PIR Perkebunan, maka kelancaran pengembalian kredit dapat dipertanyakan, dan jelas kebun inti akan menderita rugi karena harus menanggung beban menganggurnya aktiva, bunga bank, dan sebagainya. Dalam hal ini, karena skala produksi proyek PIR Perkebunan cukup besar, seyogianyalah tidak menetapkan biaya administrasi terlalu tinggi, di samping menetapkan perangsang lainnya bagi para  petani (misalnya penetapan premi bagi produksi atau mutu yang baik), sehingga para petani tidak menjual produksinya ke pihak luar.

Ada juga pengurus koperasi yang memanipulasikan mutu hasil panenan, sehingga para petanilah yang menjadi korbannya. Dalam hal ini, fungsi pengawasan baik dari Badan Pemeriksa Koperasi, pihak kebun inti maupun instansi lain yang berhubungan seyogianya ditingkatkan.

Selanjutnya, dari paparan di muka, tampak bahwa kegiatan usaha yang dapat dilakukan koperasi perkebunan terbuka luas yang tidak mustahil akan melahirkan masalah klasik koperasi pada umumnya, yakni kekurangan modal, karena mengharapkan penggalangan dana dari "dalam" tampaknya belum cukup mampu, setidak-tidaknya dalam jangka pendek, sehingga pemanfaatan dana pinjaman dari pihak luar (misalnya perbankan) kiranya dapat dipertimbangkan. Dalam hal ini, barangkali bagi bank cukup menguntungkan, karena dana kredit tersebut dapat langsung dijalankan, sehingga memung­kinkan pengembalian kredit yang lebih cepat.

Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa kalau semasa pembangunan proyek, bank mau menyediakan kredit dengan masa tenggang(grace period) yang cukup lama (3 tahun untuk kelapa sawit, 7 tahun untuk karet, dan sebagainya) dan suku bunga yang rendah, kiranya cukup alasan bagi bank untuk melanjutkan kreditnya dengan memenuhi kebutuhan kredit bagi koperasi perkebunan, terutama setelah masa konversi, yaki setelah tanaman menghasilkan. Dari sisi lain, kredit lanjutan itu dapat diharapkan menjadi faktor pelancar bagi pengembalian kredit terdahulu (pada masa pembangu­nan proyek).

Memang, pengalaman koperasi dalam PIR Perkebunan belum banyak terungkap, karena proyeknya sendiri belum genap sepuluh tahun. Namun, berdasarkan pengalaman yang ada ditambah dengan pengalaman koperasi pada umumnya, kiranya jelas bahwa penanganan koperasi perkebunan pada masa sekarang maupun masa datang memerlukan ketelatenan, profesionalisme dan persiapan yang matang. Sehingga pada gilirannya, ukuran keberhasilan proyek PIR Perkebunan tidak hanya diukur dari luasnya tanaman yang telah direalisasikan (dan produksinya), tetapi juga sejauh mana koperasi perkebunan berperan dalam meningkatkan perekonomian para petani, bahkan masyarakat di sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar