Jumat, 24 April 2015

Ratu Adil




Ratu Adil
Oleh Tika Noorjaya
Ratu Adil nampaknya selalu hadir tatkala rasa keadilan masyarakat dibenamkan oleh sistem dan kekuasaan. Sedalam apa pun gagasan ini dikubur, dan dikunci dalam peti-mati, ia tetap dorman, untuk pada saatnya tampil dalam format yang menyesuaikan zaman.
Kini, gagasan tentang Ratu Adil agaknya perlu diwacanakan, tapi dalam format dan perspektif yang berbeda.

Ratu Adil Masa Lalu
Dalam buku Sukarno and the Struggle for Indonesian Independence, Bernhard Dahm (1969) memulai paparannya tentang Ratu Adil sebagai Messias Jawa. Alkisah, pada 10 Februari 1924 Bapak Kajah dan para pengiringnya bergerak dari Tangerang menuju Batavia. Dia bermaksud mendirikan negara baru, karena tak puas dengan keadaan, tak tahan penderitaan. Dia berjuang berbekal azimat dan kesaktian bagi dirinya dan para pengikutnya. Namun, gerakan massa ini berakhir tragis, berhadapan dengan serdadu Belanda yang dipersenjati kelewang dan peluru. Pada tahun 1924 itu, sedikitnya ada tiga percobaan lainnya untuk mendirikan kerajaan baru di daerah lain. Semua kasus itu melibatkan kepercayaan mengenai ramalan akan munculnya Ratu Adil, yang akan memimpin sebuah negeri sejahtera, yang rakyatnya hidup makmur, bebas pajak, memiliki rumah tembok, dan sebagainya.
Dalam periode kebangkitan menggapai negeri merdeka, gagasan tentang Ratu Adil juga mengemuka. Sedikitnya ada tujuh gerakan yang mengusung nama Ratu Adil dan usaha-usaha untuk mendirikan kerajaan. Pernah pula Ratu Adil dikonotasikan dengan almarhum H.O.S. Tjokroaminoto, karena nama Pimpinan Sarekat Islam ini mirip dengan Erutjakra, tokoh yang dipadankan dengan Ratu Adil dalam mitologi Jawa.
Yang menarik, pada paruh akhir 1949, Raymond “Turk” Westerling, seorang Belanda petualang dan mantan kapten KNIL, juga memproklamasikan dirinya sebagai Ratu Adil, dan menghimpun kekuatan sebuah legiun dengan nama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) – suatu gerakan yang dengan cepat dapat diredam Pasukan Siliwangi, baik ketika mau menguasai Bandung, maupun tatkala hendak menduduki ibukota Jakarta, karena pasukan Siliwangi sudah bersiaga di pinggiran kota (Ulf Sundhaussen, 1986).

Ratu Adil Masa Kini
Di masa kini Sang Ratu Adil mewujud sebagai Hakim Marzuki, ketika mengadili seorang nenek yang dituduh mencuri singkong di suatu kota. Hakim Marzuki menghela nafas, sambil memandang nenek itu. “Maafkan saya”, katanya, “Saya tak dapat membuat pengecualian hukum. Saya mendenda anda 1 juta rupiah dan jika anda tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara dua-setengah tahun”. Setelah itu Hakim Marzuki mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian memasukkan uang 1 juta rupiah ke topi toganya itu serta berkata kepada hadirin: “Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang ini sebesar 50 ribu rupiah, sebab menetap di kota ini tapi membiarkan seorang nenek kelaparan sampai harus mencuri untuk makan cucunya. Saudara Panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini, lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa." Setelah palu diketuk dan Hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, sang nenek mengantongi 3,5 juta rupiah, termasuk Rp50 ribu dari Manajer PT AK (B Group), yang tersipu malu karena telah menuntutnya.
Warta mencerahkan yang muncul di jejaring sosial belakangan. Sayang sekali, dalam penelusuran kemudian terbukti bahwa kabar itu hanyalah fiksi-mini yang kurang teliti; dikais dari mimpi-mimpi. Cerita fiksi semacam itu ternyata pula telah lebih dulu hadir dalam bahasa negeri lain; jadi dalam hal mimpi pun, kita hanya menjadi pengekor semata. Sesungguhnyalah, kisah itu rekaan belaka; pelipur lara dari rasa kehilangan Sang Dewi Pro-Justisia yang pergi entah kemana.
Di luar mimpi, kita menyaksikan meluasnya ketidakpuasan rakyat, yang mengundang kerinduan akan kehadiran Sang Ratu Adil. Di-amplified oleh media-massa, setiap hari kita disuguhi berita kekecewaan terhadap pengelola negeri. Wibawa pemerintah menurun drastis, terlebih dalam bidang hukum, karena sejumlah petinggi negeri ditengarai terlibat skandal mega korupsi, termasuk rekening gendut polisi dan karyawan muda. Otonomi daerah turut menyuburkan korupsi, terbukti dari banyaknya kepala daerah yang diseret ke pengadilan tindak pidana korupsi.  
Selain hiruk-pikuk itu, korupsi di lapis bawah merajalela. Memang transaksinya kecil-kecilan, namun magnitude-nya pastilah besar-besaran karena menyentuh masyarakat luas. Sangat boleh jadi kasus-kasus pertanahan yang menumpah darah, dipicu oleh birokrasi yang mengecewakan di lapis bawah. Pengunjuk rasa yang membakar diri atau menjahit mulut, barisan buruh yang memblokade jalan, adalah bagian permukaan dari luka yang menganga dan kekecewaan yang menggumpal di sana. Belum lagi ketidakadilan hukum bagi masyarakat kecil yang acapkali dikontraskan dengan hukuman bagi koruptor yang mendapat pengampunan. Belakangan, kita juga menyaksikan unjuk rasa yang bergelora di mana-mana untuk menolak kenaikan harga BBM, yang berakhir dengan kesia-siaan, … setidaknya untuk sementara.
Keadilan tampaknya menjadi amat terasa, ketika yang dibicarakan adalah hal yang sebaliknya, yakni: Ketidakadilan – yang kini beritanya menyerbu setiap hari, tanpa henti. Ratu Adil di masa kini agaknya hanya hadir dalam mimpi, dan belum lagi menunjukkan jatidiri.

Ratu Adil Masa Depan
Di masa depan, tentunya kita tak ingin mengulang kisah tragis Bapak Kajah; pun terninabobo fiksi-mini Hakim Marzuki. Demikian pula, rasa keadilan masyarakat tak bisa diharapkan dari figur semacam Suyudana, yang terhasut Patih Sangkuni untuk mengucilkan Pandawa melalui kelicikan judi dadu di pendopo negeri Astina. Bukan pula pada Citrayudha yang lantang di medan citra, namun ciut di palagan yudha.
Lalu, kepada siapa kita berharap?
Kepada Ratu Adil Kontemporer ! Bukan pada azimat dan kesaktiannya, melainkan pada visi, obsesi, integritas, keberanian untuk mengambil risiko, serta daya tahan dan handal untuk bekerja keras menjawab tantangan zaman yang penuh transisi dan mengglobal. Calon pemimpin yang shiddiq dan mampu memimpin perubahan dengan amanah dan fathanah, agar proses transisi tetap berada pada jalurnya, efektif, tidak kehilangan orientasi, mampu mengadopsi cara baru, identitas baru, dan tujuan yang baru. Calon pemimpin yang banyak akal, namun tak mengakali rakyatnya dengan janji-janji tak bertepi. Calon pemimpin nasional yang rasional, karena kalau masih percaya pada Ratu Adil masa lalu dan Ratu Adil masa kini, maka kekecewaanlah yang akan datang menjelang.
Dalam waktu yang tak terlalu lama, kita memerlukan pemimpin nasional, Ratu Adil Kontemporer, yang mengakar di hati rakyat, yang bisa meningkatkan martabat sebagai bangsa yang pernah berjaya. Pemimpin yang membangkitkan rasa bangga karena kinerjanya disegani dan dihormati di kancah internasional. Pemimpin yang mungkin sekarang belum lagi masuk hitungan dalam survey-survey penjajagan, karena konon akan muncul dari rakyat kebanyakan, atau figur yang pernah ternistakan.
Kinilah saatnya bagi anak bangsa untuk merumuskan kriteria pemimpin dan kepemimpinan yang dibutuhkan di masa depan.
Selamat datang Ratu Adil Kontemporer.

CATATAN:
Artikel ini terbit pada Majalah KARSA, Edisi 1, April 2012.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar