Ratu Adil
Oleh
Tika Noorjaya
Ratu
Adil nampaknya selalu hadir tatkala rasa keadilan masyarakat dibenamkan oleh sistem
dan kekuasaan. Sedalam apa pun gagasan ini dikubur, dan dikunci dalam
peti-mati, ia tetap dorman, untuk pada saatnya tampil dalam format yang menyesuaikan
zaman.
Kini,
gagasan tentang Ratu Adil agaknya perlu diwacanakan, tapi dalam format dan perspektif
yang berbeda.
Ratu Adil Masa Lalu
Dalam
buku Sukarno and the Struggle for
Indonesian Independence, Bernhard Dahm (1969) memulai paparannya tentang Ratu
Adil sebagai Messias Jawa. Alkisah, pada 10 Februari 1924 Bapak Kajah dan para
pengiringnya bergerak dari Tangerang menuju Batavia. Dia bermaksud mendirikan
negara baru, karena tak puas dengan keadaan, tak tahan penderitaan. Dia
berjuang berbekal azimat dan kesaktian bagi dirinya dan para pengikutnya.
Namun, gerakan massa ini berakhir tragis, berhadapan dengan serdadu Belanda
yang dipersenjati kelewang dan peluru. Pada tahun 1924 itu, sedikitnya ada tiga
percobaan lainnya untuk mendirikan kerajaan baru di daerah lain. Semua kasus
itu melibatkan kepercayaan mengenai ramalan akan munculnya Ratu Adil, yang akan
memimpin sebuah negeri sejahtera, yang rakyatnya hidup makmur, bebas pajak,
memiliki rumah tembok, dan sebagainya.
Dalam
periode kebangkitan menggapai negeri merdeka, gagasan tentang Ratu Adil juga mengemuka.
Sedikitnya ada tujuh gerakan yang mengusung nama Ratu Adil dan usaha-usaha
untuk mendirikan kerajaan. Pernah pula Ratu Adil dikonotasikan dengan almarhum H.O.S.
Tjokroaminoto, karena nama Pimpinan Sarekat Islam ini mirip dengan Erutjakra, tokoh
yang dipadankan dengan Ratu Adil dalam mitologi Jawa.
Yang
menarik, pada paruh akhir 1949, Raymond “Turk” Westerling, seorang Belanda petualang
dan mantan kapten KNIL, juga memproklamasikan dirinya sebagai Ratu Adil, dan
menghimpun kekuatan sebuah legiun dengan nama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
– suatu gerakan yang dengan cepat dapat diredam Pasukan Siliwangi, baik ketika
mau menguasai Bandung, maupun tatkala hendak menduduki ibukota Jakarta, karena
pasukan Siliwangi sudah bersiaga di pinggiran kota (Ulf Sundhaussen, 1986).
Ratu Adil Masa Kini
Di
masa kini Sang Ratu Adil mewujud sebagai Hakim Marzuki, ketika mengadili seorang
nenek yang dituduh mencuri singkong di suatu kota. Hakim Marzuki menghela
nafas, sambil memandang nenek itu. “Maafkan saya”, katanya, “Saya tak dapat
membuat pengecualian hukum. Saya mendenda anda 1 juta rupiah dan jika anda
tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara dua-setengah tahun”. Setelah itu
Hakim Marzuki mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian memasukkan uang
1 juta rupiah ke topi toganya itu serta berkata kepada hadirin: “Saya atas nama
pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang ini
sebesar 50 ribu rupiah, sebab menetap di kota ini tapi membiarkan seorang nenek
kelaparan sampai harus mencuri untuk makan cucunya. Saudara Panitera, tolong
kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini, lalu berikan semua hasilnya kepada
terdakwa." Setelah palu diketuk
dan Hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, sang nenek mengantongi 3,5 juta
rupiah, termasuk Rp50 ribu dari Manajer PT AK (B Group), yang tersipu malu
karena telah menuntutnya.
Warta
mencerahkan yang muncul di jejaring sosial belakangan. Sayang sekali, dalam
penelusuran kemudian terbukti bahwa kabar itu hanyalah fiksi-mini yang kurang
teliti; dikais dari mimpi-mimpi. Cerita fiksi semacam itu ternyata pula telah
lebih dulu hadir dalam bahasa negeri lain; jadi dalam hal mimpi pun, kita hanya
menjadi pengekor semata. Sesungguhnyalah, kisah itu rekaan belaka; pelipur lara
dari rasa kehilangan Sang Dewi Pro-Justisia yang pergi entah kemana.
Di
luar mimpi, kita menyaksikan meluasnya ketidakpuasan rakyat, yang mengundang
kerinduan akan kehadiran Sang Ratu Adil. Di-amplified
oleh media-massa, setiap hari kita disuguhi berita kekecewaan terhadap
pengelola negeri. Wibawa pemerintah menurun drastis, terlebih dalam bidang
hukum, karena sejumlah petinggi negeri ditengarai terlibat skandal mega korupsi,
termasuk rekening gendut polisi dan karyawan muda. Otonomi daerah turut
menyuburkan korupsi, terbukti dari banyaknya kepala daerah yang diseret ke
pengadilan tindak pidana korupsi.
Selain
hiruk-pikuk itu, korupsi di lapis bawah merajalela. Memang transaksinya kecil-kecilan,
namun magnitude-nya pastilah
besar-besaran karena menyentuh masyarakat luas. Sangat boleh jadi kasus-kasus
pertanahan yang menumpah darah, dipicu oleh birokrasi yang mengecewakan di
lapis bawah. Pengunjuk rasa yang membakar diri atau menjahit mulut, barisan
buruh yang memblokade jalan, adalah bagian permukaan dari luka yang menganga
dan kekecewaan yang menggumpal di sana. Belum lagi ketidakadilan hukum bagi
masyarakat kecil yang acapkali dikontraskan dengan hukuman bagi koruptor yang mendapat
pengampunan. Belakangan, kita juga menyaksikan unjuk rasa yang bergelora di
mana-mana untuk menolak kenaikan harga BBM, yang berakhir dengan kesia-siaan, …
setidaknya untuk sementara.
Keadilan
tampaknya menjadi amat terasa, ketika yang dibicarakan adalah hal yang
sebaliknya, yakni: Ketidakadilan – yang kini beritanya menyerbu setiap hari,
tanpa henti. Ratu Adil di masa kini agaknya hanya hadir dalam mimpi, dan belum lagi
menunjukkan jatidiri.
Ratu Adil Masa Depan
Di
masa depan, tentunya kita tak ingin mengulang kisah tragis Bapak Kajah; pun terninabobo
fiksi-mini Hakim Marzuki. Demikian pula, rasa keadilan masyarakat tak bisa
diharapkan dari figur semacam Suyudana, yang terhasut Patih Sangkuni untuk
mengucilkan Pandawa melalui kelicikan judi dadu di pendopo negeri Astina. Bukan
pula pada Citrayudha yang lantang di medan citra, namun ciut di palagan yudha.
Lalu,
kepada siapa kita berharap?
Kepada
Ratu Adil Kontemporer ! Bukan pada azimat dan kesaktiannya, melainkan pada visi,
obsesi, integritas, keberanian untuk mengambil risiko, serta daya tahan dan
handal untuk bekerja keras menjawab tantangan zaman yang penuh transisi dan mengglobal.
Calon pemimpin yang shiddiq dan mampu
memimpin perubahan dengan amanah dan fathanah,
agar proses
transisi tetap berada pada jalurnya, efektif, tidak kehilangan
orientasi, mampu mengadopsi cara baru, identitas baru, dan tujuan yang baru. Calon
pemimpin yang banyak akal, namun tak mengakali rakyatnya dengan janji-janji tak
bertepi. Calon pemimpin nasional yang rasional,
karena kalau masih percaya pada Ratu Adil masa lalu dan Ratu Adil masa kini, maka
kekecewaanlah yang akan datang menjelang.
Dalam
waktu yang tak terlalu lama, kita memerlukan pemimpin nasional, Ratu Adil
Kontemporer, yang mengakar di hati rakyat, yang bisa meningkatkan martabat
sebagai bangsa yang pernah berjaya. Pemimpin yang membangkitkan rasa bangga
karena kinerjanya disegani dan dihormati di kancah internasional. Pemimpin yang
mungkin sekarang belum lagi masuk hitungan dalam survey-survey penjajagan,
karena konon akan muncul dari rakyat kebanyakan, atau figur yang pernah ternistakan.
Kinilah
saatnya bagi anak bangsa untuk merumuskan kriteria pemimpin dan kepemimpinan
yang dibutuhkan di masa depan.
Selamat
datang Ratu Adil Kontemporer.
CATATAN:
Artikel ini terbit pada Majalah KARSA, Edisi 1, April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar