Resensi Buku oleh Tika Noorjaya
Dimuat HU Kompas, 2 Mei 1993
Judul Buku: Pemimpin Bangsa Masa Depan: Kriteria, Pandangan dan Harapan
Penyunting: Djudjuk Juyoto ST, Nung Runua
Penerbit: PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.
ISBN 979-8175-08-5
Cetakan Pertama: Maret 1993
Tebal: 275 halaman (termasuk Indeks dan Daftar Istilah)
John
Naisbitt (Megatrends 2000)
boleh meramal, dan wanita Indonesia boleh berharap, bahwa abad ke-21 di Asia Pasifik,
termasuk Indonesia, adalah era kebangkitan kaum wanita -- karenanya akan ada
figur wanita yang menjadi pemimpin bangsa. Namun, tidak demikian menurut
beberapa penulis buku Pemimpin Bangsa
Masa Depan (PBMD). Kaum pria
dinilai masih tetap akan mendominasi kepemimpinan bangsa. Katanya, di
Indonesia, hingga memasuki abad ke-21, kemungkinan untuk memunculkan figur
pimpinan wanita masih terlalu jauh. Secara kultural masih ada hambatan bagi wanita
untuk mampu menyamai kedudukan pria: Di satu sisi, kultur kaum pria agak sulit
menerima wanita sebagai pemimpin tertinggi; di sisi lain, wanita masih
enggan menonjolkan diri untuk menjadi pemimpin. Satu pihak ingin mempertahankan
status-quo; pihak lainnya kurang
berusaha. Bahkan, kalau dulu kaum wanita disebut kaum perempuan, karena yang
menonjol adalah ke-empu-annya, kini yang
lebih menonjol adalah ke-empuk-annya.
Kini, perempuan menjadi sasaran empuk nafsu laki-laki. Sex is
just commodity !
Kelompok
sipil pun, untuk sementara kurang masuk hitungan -- meskipun bukan berarti
tidak perlu diperhitungkan. Katanya, dalam masa depan yang dekat, setidaknya
sampai Presiden Ketiga, atau dalam masa sepuluh tahun mendatang, wakil dari
ABRI masih dinilai sebagai calon kuat untuk menduduki jabatan pemimpin bangsa.
Karena, proses kaderisasi atau proses pendidikan kader yang paling
terorganisasi dengan baik selama ini ada di jajaran ABRI. Mereka lebih baik
dalam mengantisipasi proses perubahan sosial. Mereka terlatih dengan disiplin.
Mereka selalu disegani masyarakat -- bahkan sejak proklamasi kemerdekaan.
Selain itu, manajemen administrasi ABRI juga jauh lebih bagus dibanding
kelompok sipil.
***
PBMD menampilkan
hasil pemikiran sejumlah pakar pengamat, pelaku politik dan teknokrat, yang gagasannya
merentang dari gemuruh atmosfer Pemilu 1992 hingga ke masa depan -- sedikitnya menjangkau
ke masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Tulisan yang tampil,
karenanya, mampu memadukan realitas dan ideal-ideal, terutama karena sebagian
besar gagasan diungkap penggagas pada saat-saat dan sesudah Pemilu 1992 berlangsung -- ketika janji-janji
politik diutarakan; ketika harapan-harapan mengemuka; serta ketika para pelaku
menampakkan perangai aslinya.
Bagian
I membahas kepemimpinan nasional dan dinamika Pemilu 1992, dilanjutkan dengan
Bagian II yang membahas proyeksi kepemimpinan bangsa, dan terakhir, Bagian III,
membahas figur negarawan idaman -- seluruhnya 24 tulisan plus kata pengantar
dari Dr. Nazaruddin Syamsuddin.
Dengan
pembabakan seperti itu, Pemilu 1992 tidak sekadar ditangkap gelora dan
evaluasinya, tetapi sekaligus menjadi bahan kajian ke masa depan, terutama dengan
menyoroti kepemimpinan bangsa di masa depan, bahkan sampai pada figurnya. Dan, justeru
bagian terakhir itulah yang banyak mendapat sorotan.
Ternyata,
sebagian besar narasumber menilai bahwa untuk menjadi pemimpin di masa depan
yang diwarnai era globalisasi dalam suasana masyarakat industri dan demokratisasi,
dibutuhkan pemimpin kaliber berat. Bayangkan saja, dia harus memiliki kepemimpinan
Hasta Brata, yakni pemimpin yang memiliki sifat bumi, matahari, angin, laut,
bintang, api, bulan dan mendung. Dia sebaiknya mempunyai karakter yang bisa
diandalkan untuk mengkombinasikan kemampuan ketiga orang pemimpin besar kita:
Bung Karno sebagai solidarity maker;
Pak Harto sebagai administrator-strategist;
dan Bung Hatta sebagai teknokrat.
Selain
berbagai harapan ideal lainnya, yang mungkin agak kontroversial, adalah pendapat
bahwa figur pemimpin masa depan haruslah seorang yang berwibawa di depan para pengusaha
dan konglomerat. Ini, diberikan aba-aba, karena dalam masyarakat indusri sering
terjadi penetrasi pengaruh elite ekonomi dalam bidang politik -- karenanya
mereka harus berusaha memperoleh dana untuk mendukung kegiatan politik mereka.
Tentu
saja, itu adalah harapan ideal. Akhirnya, toh kita juga akan dihadapkan dengan
kenyataan bahwa tidaklah mudah untuk menemukan tipologi semacam itu. Apalagi,
kita sadari, rumusan pemimpin bangsa secara baku di Indonesia belumlah ada.
Kalau kita juga kaitkan dengan Pemilu sebagai ajang pencarian kader pemimpin,
hingga saat ini Indonesia belum sampai pada standar minimal Pemilu yang riil.
Karena itu, kalau memang terpaksa harus tampil orang yang kharismanya di bawah
Bung Karno atau Pak Harto, bangsa Indonesia akan tetap menerima -- tepo selira.
Meskipun
demikian, dalam buku ini cukup argumen bahwa calon pemimpin bangsa masa depan
adalah bukan wanita, bukan pula sipil.
***
***
Secara
metodologis, ada dua hal yang dapat kita masalahkan. Pertama, "format" wawancara terhadap narasumber agaknya
membatasi "ruang gerak" bagi mereka untuk memaparkan
pikirannya. Tak terhindarkan, ada pengulangan gagasan, terutama menyangkut konsep-konsep
dasar ataupun materi yang disoroti. Mungkin akan lebih baik apabila di
masing-masing bagian (atau bahkan bab) ada ulasan atau pengantar oleh
penyunting, yang memungkinkan mengungkapkan gagasan makro, persamaan atau
bahkan perbedaan pandangan para narasumber. Ulasan singkat dimaksud, dalam kaitan
terbatas, misalnya, pernah dilakukan oleh Herbert Feith dan Lance Castles selaku
editor buku Indonesian Political Thinking
1945-1965.
Kedua,
sejumlah narasumber yang dimunculkan, apakah cukup "mewakili" ? Misalnya,
dari kubu yang sama, kenapa dipilih A; kenapa kubu P diwakili sekian orang;
kenapa tidak ada wanita yang mewakili kaumnya; kenapa tak satu pun menampilkan menteri
atau mantan menteri; dan seterusnya. Bahkan, kalau dimaksudkan mencari kriteria,
pandangan dan harapan tentang pemimpin bangsa masa depan, ada baiknya digali
dari para pendahulu dan pendiri republik. Seperti ditulis dalam buku ini, para pemimpin
pergerakan kemerdekaan kita adalah cendikiawan, intelektual yang
terlibat. Kenapa kita tidak belajar dan berguru kepada mereka ?
Beruntung,
berbagai kekurangan itu ditutupi oleh Dr. Nazaruddin Syamsuddin dalam "Pengantar". Tetapi, justeru dari kajian pengantar inilah kita
menangkap ada beberapa pihak yang sesungguhnya diperlukan sumbangan
pemikirannya, kalau diingat di masa depan para pemimpin bangsa akan dihadapkan
dengan masalah yang lebih rumit. Bangsa kita akan mengalami perubahan besar, sekalipun
kita tidak tahu ke arah mana perubahan itu akan bergulir, serta bagaimanakah
bentuk masyarakat kita dalam abad mendatang.
Ulasan,
komentar, dan kritik yang mungkin mengikuti kehadiran buku ini kiranya dapat
menjadi pemicu untuk sebuah dialog nasional tentang pemimpin bangsa di masa depan:
Sumbangan untuk pemahaman yang lebih mendalam.
(Tika Noorjaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar