Kamis, 23 April 2015

Bukan Wanita, Bukan Sipil


Resensi Buku oleh Tika Noorjaya
Dimuat HU Kompas, 2 Mei 1993

Judul Buku: Pemimpin Bangsa Masa Depan: Kriteria, Pandangan dan Harapan
Penyunting: Djudjuk Juyoto ST, Nung Runua
Penerbit: PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.
ISBN 979-8175-08-5
Cetakan Pertama: Maret 1993
Tebal: 275 halaman (termasuk Indeks dan Daftar Istilah)

John Naisbitt (Megatrends 2000) boleh meramal, dan wanita Indonesia boleh berharap, bahwa abad ke-21 di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, adalah era kebangkitan kaum wanita -- karena­nya akan ada figur wanita yang menjadi pemimpin bangsa. Namun, tidak demikian menurut beberapa penulis buku Pemimpin Bangsa Masa Depan (PBMD). Kaum pria dinilai masih tetap akan mendominasi kepemimpinan bangsa. Katanya, di Indonesia, hingga memasuki abad ke-21, kemungkinan untuk memunculkan figur pimpinan wanita masih terlalu jauh. Secara kultural masih ada hambatan bagi wanita untuk mampu menyamai kedudukan pria: Di satu sisi, kultur kaum pria agak sulit menerima wanita sebagai pemimpin tertinggi; di sisi lain, wanita masih enggan menonjolkan diri untuk menjadi pemimpin. Satu pihak ingin mempertahankan status-quo; pihak lainnya kurang berusaha. Bahkan, kalau dulu kaum wanita disebut kaum perempuan, karena yang menonjol adalah ke-empu-annya, kini yang lebih menonjol adalah ke-empuk-annya. Kini, perempuan menja­di sasaran empuk nafsu laki-laki.  Sex is just commodity !

Kelompok sipil pun, untuk sementara kurang masuk hitungan -- meskipun bukan berarti tidak perlu diperhitungkan. Katanya, dalam masa depan yang dekat, setidaknya sampai Presiden Ketiga, atau dalam masa sepuluh tahun mendatang, wakil dari ABRI masih dinilai sebagai calon kuat  untuk menduduki jabatan pemimpin bangsa. Karena, proses kaderisasi atau proses pendidikan kader yang paling terorganisasi dengan baik selama ini ada di jajaran ABRI. Mereka lebih baik dalam mengantisipasi proses perubahan sosial. Mereka terlatih dengan disiplin. Mereka selalu disegani masyara­kat -- bahkan sejak proklamasi kemerdekaan. Selain itu, manajemen administrasi ABRI juga jauh lebih bagus dibanding kelompok sipil.
 
***
 
PBMD menampilkan hasil pemikiran sejumlah pakar pengamat, pelaku politik dan teknokrat, yang gagasannya merentang dari gemuruh atmosfer Pemilu 1992 hingga ke masa depan -- sedikitnya menjangkau ke masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Tulisan yang tampil, karenanya, mampu memadukan realitas dan ideal-ideal, terutama karena sebagian besar gagasan diungkap penggagas pada saat-saat dan sesudah Pemilu 1992 berlangsung -- ketika janji-janji politik diutarakan; ketika harapan-harapan mengemuka; serta ketika para pelaku menampakkan perangai aslinya. 

Bagian I membahas kepemimpinan nasional dan dinamika Pemilu 1992, dilanjutkan dengan Bagian II yang membahas proyeksi kepemimpinan bangsa, dan terakhir, Bagian III, membahas figur negara­wan idaman -- seluruhnya 24 tulisan plus kata pengantar dari  Dr. Nazaruddin Syamsuddin. 

Dengan pembabakan seperti itu, Pemilu 1992 tidak sekadar ditangkap gelora dan evaluasinya, tetapi sekaligus menjadi bahan kajian ke masa depan, terutama dengan menyoroti kepemimpinan bangsa di masa depan, bahkan sampai pada figurnya. Dan, justeru bagian terakhir itulah yang banyak mendapat sorotan.

Ternyata, sebagian besar narasumber menilai bahwa untuk menjadi pemimpin di masa depan yang diwarnai era globalisasi dalam suasana masyarakat industri dan demokratisasi, dibutuhkan pemimpin kaliber berat. Bayangkan saja, dia harus memiliki kepemimpinan Hasta Brata, yakni pemimpin yang memiliki sifat bumi, matahari, angin, laut, bintang, api, bulan dan mendung. Dia sebaiknya mempunyai karakter yang bisa diandalkan untuk mengkom­binasikan kemampuan ketiga orang pemimpin besar kita: Bung  Karno sebagai solidarity maker; Pak Harto sebagai administrator-strategist; dan Bung Hatta sebagai teknokrat.

Selain berbagai harapan ideal lainnya, yang mungkin agak kontroversial, adalah pendapat bahwa figur pemimpin masa depan haruslah seorang yang berwibawa di depan para pengusaha dan konglomerat. Ini, diberikan aba-aba, karena dalam masyarakat indusri sering terjadi penetrasi pengaruh elite ekonomi dalam bidang politik -- karenanya mereka harus berusaha memperoleh dana untuk mendukung kegiatan politik mereka. 

Tentu saja, itu adalah harapan ideal. Akhirnya, toh kita juga akan dihadapkan dengan kenyataan bahwa tidaklah mudah untuk menemukan tipologi semacam itu. Apalagi, kita sadari, rumusan pemimpin bangsa secara baku di Indonesia belumlah ada. Kalau kita juga kaitkan dengan Pemilu sebagai ajang pencarian kader pemim­pin, hingga saat ini Indonesia belum sampai pada standar minimal Pemilu yang riil. Karena itu, kalau memang terpaksa harus tampil orang yang kharismanya di bawah Bung Karno atau Pak Harto, bangsa Indonesia akan tetap menerima -- tepo selira.

Meskipun demikian, dalam buku ini cukup argumen bahwa calon pemimpin bangsa masa depan adalah bukan wanita, bukan pula sipil. 
                                                                                         ***
 
Secara metodologis, ada dua hal yang dapat kita masalahkan. Pertama, "format" wawancara terhadap narasumber agaknya membatasi "ruang gerak" bagi mereka untuk memaparkan pikirannya. Tak ter­hindarkan, ada pengulangan gagasan, terutama menyangkut konsep-konsep dasar ataupun materi yang disoroti. Mungkin akan lebih baik apabila di masing-masing bagian (atau bahkan bab) ada ulasan atau pengantar oleh penyunting, yang memungkinkan mengungkapkan gagasan makro, persamaan atau bahkan perbedaan pandangan para narasumber. Ulasan singkat dimaksud, dalam kaitan terbatas, misalnya, pernah dilakukan oleh Herbert Feith dan Lance Castles selaku editor buku Indonesian Political Thinking 1945-1965

Kedua, sejumlah narasumber yang dimunculkan, apakah cukup "mewakili" ? Misalnya, dari kubu yang sama, kenapa dipilih A; kenapa kubu P diwakili sekian orang; kenapa tidak ada wanita yang mewakili kaumnya; kenapa tak satu pun menampilkan menteri atau mantan menteri; dan seterusnya. Bahkan, kalau dimaksudkan mencari kriteria, pandangan dan harapan tentang pemimpin bangsa masa depan, ada baiknya digali dari para pendahulu dan pendiri republik. Seperti ditulis dalam buku ini, para pemimpin pergerakan kemerdekaan kita adalah cendikiawan, intelektual yang  terlibat. Kenapa kita tidak belajar dan berguru kepada mereka ?

Beruntung, berbagai kekurangan itu ditutupi oleh Dr. Naza­ruddin Syamsuddin dalam "Pengantar". Tetapi, justeru dari kajian pengantar inilah kita menangkap ada beberapa pihak yang sesungguhnya diperlukan sumbangan pemikirannya, kalau diingat di masa depan para pemimpin bangsa akan dihadapkan dengan masalah yang lebih rumit. Bangsa kita akan mengalami perubahan besar, sekalipun kita tidak tahu ke arah mana perubahan itu akan bergulir, serta bagaimanakah bentuk masyarakat kita dalam abad mendatang.

Ulasan, komentar, dan kritik yang mungkin mengikuti kehadiran buku ini kiranya dapat menjadi pemicu untuk sebuah dialog nasional tentang pemimpin bangsa di masa depan: Sumbangan untuk pemahaman yang lebih mendalam.  (Tika Noorjaya).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar