MASYARAKAT YANG SAKIT DAN PENYEMBUHANNYA
Oleh Aan Hasanuddin dan Tika Noorjaya
BARANGKALI terlalu
gegabah untuk menuding bahwa masyarakat kita sekarang ini sedang mengidap
penyakit. Kalaupun benar, kita pun tak tahu
sudah sampai stadium apa. Dan, lebih
dari itu, upaya apakah yang dapat kita lakukan agar penyakit itu hilang dan
sembuh seperti sediakala.
Dapatkah isyu pemilu tahun 1987 dijadikan
jampi-jampi atau obat mujarab untuk
menyembuhkan penyakit masyarakat itu ?
Masyarakat yang Sakit
Dokter, atau
setidak-tidaknya paramedis, tentu memahami benar tentang definisi sakit. Sedangkan kita, orang awam,
barangkali hanya mengetahui bahwa sakit adalah keadaan tubuh yang kurang beres
yang pengaruh gangguannya, besar
atau kecil, dirasakan oleh tubuh secara
keseluruhan.
Dalam hal
masyarakat sakit, memang sulit dideteksi, karena apabila salah satu bagian dari "tubuh" masyarakat
tertimpa penyakit belum tentu bagian tubuh yang lain ikut merasakannya (ini
banyak kita saksikan kebenarannya!).
Dalam hal begini,
tentunya yang mengidap penyakit bukan hanya
masyarakat yang benar-benar "sakit", tapi juga masyarakat
lainnya yang tidak merasakan sakit itu.
Dalam hubungan ini, barangkali tidak terlalu salah untuk menyatakan bahwa masyarakat kita sedang mengidap penyakit.
Bila demikian,
tentu dapat dibuat klasifikasi berdasarkan stadiannya, yang secara ekstrim
dapat dipilih dua, yaitu sakit biasa dan sakit
kronis. Yang terakhir ini
dimaksudkan untuk menunjukan keadaan, dimana bagian masyarakat yang sehat masih juga "memamfaatkan"
bagian masyarakat yang sakit untuk kepentingan dirinya sendiri; sehingga bukan
hanya tidak ikut-serta dalam proses penyembuhan, tetapi juga memperparahnya.
Apabila contoh yang
sedang "top hit" saat ini, yakni kelesuan ekonomi, yang tampaknya membedakan Pemilu tahun 1982
dengan Pemilu tahun 1987. Seperti kita
maklumi, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1986 diramalkan akan lebih rendah lagi
dibandingkan dengan tahun 1985 yang mencapai
1,9 persen, yang mungkin belum banyak berubah sampai dengan pelaksanaan Pemilu
tahun 1987 nanti.
Dalam hal ini,
tidak usah ekonom kelas satu, orang yang baru mengenal ilmu ekonomi pun tahu bagaimana angka itu
berbicara banyak dalam kehidupan.
Bahkan, orang awam
lebih mudah lagi mengukurnya: "dulu saya kerja, sekarang tertimpa PHK ;
dulu dagangan kangkung saya setiap hari laku 100 ikat, sekarang 75 ikat pun
sulit, dan sebagainya ".
Penyakit "lesu
ekonomi" ini tampaknya dialami sebagian besar mesyarakat kita, terutama
yang tidak mempunyai pendapatan tetap. Di
sisi lain, masyarakat yang
mengidap penyakit kronis bahkan memeras orang-orang yang tidak beruntung tersebut untuk kepentingan dirinya.
Memang, dalam keadaan terdesak
barangkali orang akan mencari selamat sendiri-sendiri, tetapi kualat namanya
apabila mencari selamat di atas penderitaan orang lain, yang contohnya
barangkali dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari.
Harapan Lebih Tinggi
Barangkali benar,
hal yang hampir sama juga dialami menjelang dan sekitar pelaksanaan Pemilu
tahun 1982, dimana pada waktu itu pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 2,3
persen. Tetapi, waktu itu perekonomian kita belum seberat sekarang; dulu Debit Service Ratio (DSR) masih dibawah
20 persen, sekarang hampir dua kali lipat; dulu harga minyak bumi masih sekitar
US $ 30 per barrel, sekarang setengahnya
pun tidak; dan lain-lain.
Satu hal yang
kiranya tidak dilupakan, bahwa harapan masyarakat terhadap hasil-hasil
pembangunan sekarang ini sudah lebih tinggi, sehingga rasa
"sakit" yang dalam tahun 1982 ditanggapi
dengan wajah meringis, sekarang ini mungkin
menangis menjerit-jerit. Halnya, karena tingkat kepuasan telah bergeser
ke arah yang lebih tinggi, yang tidak
lain karena selama ini kita dibuai oleh hasil pembangunan yang mengapung diatas
minyak dan gas bumi.
Dalam hal politik pun
tampaknya ada juga gejala mengidap penyakit.
Seperti kita ketahui, politik dalam sosoknya sebagai kekuatan mempunyai
daya-tarik yang menakjubkan, sekaligus menakutkan. Dengan politik orang
dapat meroketkan nama dan kekuasaan baik
dikarbit maupun melewati jenjang bertahap. Namun, tak urung, dengan politik
orang dapat jatuh dan tersungkur ke bumi
yang semakin panas.
Meskipun demikian,
hampir tidak ada yang mampu mengelakan diri dari politik, karena politik dan
berpolitik tampaknyya sudah menjadi sebagian dari kebutuhan manusia dalam bernegara dan
bermasyarakat.
Akan halnya
perilaku politik yang muncul ke permukaan, sampai saat ini tampaknya masih kita
saksikan kekisruhan dalam sarana kekuatan politik. Tidak jarang kita
menyaksikan perang dingin, bahkan sekali-sekali perang "terbuka"
antara para pelaku politik tertentu di dalam wadah yang seharusnya dapat dipercaya untuk menyalurkan aspirasi
masyarakat pendukungnya; demikian pula saling mendiskriditkan antara sesama
mitra politik sempat mewarnai peta politik.
Demikian pula dalam
hal sosial budaya, masyarakat kita masih ditandai dengan sikap cari selamat sendiri-sendiri,
merasa diri yang paling penting dan terbelenggu dalam kotak-kotak profesi, yang
disumpekkan dengan mental bbirokrasi rendahan, nasionalisme lokal, dan
sebagainya. Ada juga yang memperlakukan sesama manusia dengan tindakan kejam ;
bahkan ada yang tega menghilangkan nyawa orang hanya karena tidak mampu
mengendalikan nafsu hewani, sehingga menghilangkan citra
kelebihan manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna.
Demikianlah,
barangkali dapat diurutkan penyakit-penyakit masyarakat lainnya dari berbagai sudut pandang dengan
contoh-contoh yang dapat ditemukan dalam menelusuri profesi dan kegiatan masing-masing;
yang apabila dipaparkan mungkin
akan merupakan daftar yang terus
memanjang.
Namun, betapapun
panjangnya daftar tersebut, kiranya satu hal sudah jelas. Bahwa penyakit-penyakit tersebut
tidak selayaknya dibiarkan semakin
kronis, dan seyogyanyalah kita melakukan upaya-upaya penyembuhannya
dalam sikap kebersamaan.
Upaya Penyembuhan
Dalam hal
kebersamaan, bangsa ini memiliki obat mujarab, yakni gotong-royong, yang dapat
diharapkan mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Sayangnya, citra
"obat" tradisional ini belakangan seringkali terkikis oleh
"obat-obatan" impor yang memiliki "rumus kimia" lebih rumit
serta dikemas rapi dalam berbagai bentuk ilmu-ilmu pembangunan dan sikap
"modern" yang menjanjikan kesembuhan penyakit dengan segera, bahkan
katanya dapat mempertinggi pertumbuhan.
Padahal, seperti
telah banyak diungkapkan para pakar, "obat-obatan" impor tersebut belum tentu cocok dengan
kondisi dan situasi kita.
Salah-salah bisa alergi ! Kalau
demikian, apa salahnya kalau "obat" tradisional yang kita miliki, kita tingkatkan lagi peranannya.
Dalam hal
penyembuhan penyakit ekonomi, rasanya kita telah begitu gencar disuguhi menu efisiensi, penghematan
atau peningkatan produktivitas nasional
sebagai upaya keluar dari kemelut kelesuan ekonomi, meskipun hasilna tidak
terlepas dari saling ketergantungan dengan dunia secara keseluruhan yang sama-sama mengalami kelesuan ekonomi.
Gerakan efisiensi,
penghematan dan peningkatan produktivitas nasional kiranya akan mengambang di
awang-awang andaikata gerakan ini hanya
ditanggapi sendiri-sendiri tanpa keselarasan dengan yang lain. Belum
lagi adanya kesimpangsiuran pemahaman tentang konsep-konsep ini, sehingga
konsep yang semula dimaksudkan untukk meningkatkan martabat manusia lebih dari
sekedar faktor produksi, ada yang disalahtafsirkan dengan menghempas tenaga
kerja di bawah martabat faktor produksi lainya (misalnya PHK).
Karenanya,
konsep-konsep semacam ini tampaknya perlu diwujudkan dalam bentuk operasional, yang pada
gilirannya diperlukan keteladanan; sehingga, dengan modal pola hubungan yang Patron-Klient kiranya kehadiran
kebersamaan sebagai upaya penyembuhan masyarakatpun dapat terwujud.
Menghadapi PEMILU
Lalu bagaimana wujud
gotong-royong dalam politik, terlebih lagi dalam uupaya menyukseskan Pemilu
tahun 1987 ? Dalam hubungan dengan Pemilu tahun 1987, kata sukses dapat
menjelma menjadi tiga sosok dari satu
kesatuan. Sukses bagi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) paling tidak
bisa berarti terpeliharanya bahkan kalau mungkin bertambahnya proporsi kursi di
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
terhormat itu. Sedangkan bagi Golongan Karya (GOLKAR) mungkin mengarah pada upaya melanggengkan dominasi peranan di
lembaga terhormat itu. Dan, dalam arti satu kesatuan negeri tercinta ini,
sukses Pemilu berarti
terpeliharanya bahkan
meningkatkan upaya-upaya pembangunan secara utuh dan menyeluruh demi mencapai
cita-cita bangsa.
Dalam situasi dan
kondisi masyarakat yang sakit seperti dipaparkan di muka, tentunya di Pemilu tahun 1987
diharapkan merupakan suatu sarana untuk penyembuhannya, tidak hanya sebatas
politik, tapi juga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Kiranya Pemilu tahun
1987 cukup sebagai "pesta" demokrasi
bernilai 132 milyar rupiah, dan tidak ditambah dengan jatuhnya korban,
baik fisik dan mental, yang notabene
akan memperparah penyakit masyarakat.
Artikel
ini dimuat HU Pelita, 24 Maret 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar