Senin, 27 April 2015

Masyarakat yang Sakit dan Penyembuhannya




MASYARAKAT YANG SAKIT DAN PENYEMBUHANNYA
Oleh Aan Hasanuddin dan Tika Noorjaya

BARANGKALI terlalu gegabah untuk menuding bahwa masyarakat kita sekarang ini sedang mengidap penyakit. Kalaupun benar,  kita pun tak tahu sudah sampai stadium apa. Dan,  lebih dari itu, upaya apakah yang dapat kita lakukan agar penyakit itu hilang dan sembuh seperti sediakala.
Dapatkah  isyu pemilu tahun 1987 dijadikan jampi-jampi  atau obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit masyarakat itu ?

Masyarakat yang Sakit

Dokter, atau setidak-tidaknya paramedis, tentu memahami benar tentang  definisi sakit. Sedangkan kita, orang awam, barangkali hanya mengetahui bahwa sakit adalah keadaan tubuh yang kurang beres yang pengaruh gangguannya,  besar atau  kecil, dirasakan oleh tubuh secara keseluruhan.
Dalam hal masyarakat sakit, memang sulit dideteksi, karena apabila salah  satu bagian dari "tubuh" masyarakat tertimpa penyakit belum tentu bagian tubuh yang lain ikut merasakannya (ini banyak kita saksikan kebenarannya!).
Dalam hal begini, tentunya yang mengidap penyakit bukan hanya  masyarakat yang benar-benar "sakit", tapi juga masyarakat lainnya yang tidak  merasakan sakit itu. Dalam hubungan ini, barangkali tidak terlalu salah untuk menyatakan bahwa  masyarakat kita sedang mengidap penyakit.
Bila demikian, tentu dapat dibuat  klasifikasi  berdasarkan stadiannya, yang secara ekstrim dapat dipilih dua, yaitu sakit biasa dan sakit  kronis. Yang terakhir  ini dimaksudkan untuk menunjukan keadaan, dimana bagian masyarakat yang  sehat masih juga "memamfaatkan" bagian masyarakat yang sakit untuk kepentingan dirinya sendiri; sehingga bukan hanya tidak ikut-serta dalam proses penyembuhan, tetapi juga memperparahnya.
Apabila contoh yang sedang "top hit" saat ini, yakni kelesuan ekonomi,  yang tampaknya membedakan Pemilu tahun 1982 dengan Pemilu tahun 1987.  Seperti kita maklumi, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1986  diramalkan akan lebih rendah lagi dibandingkan dengan tahun 1985 yang  mencapai 1,9 persen, yang mungkin belum banyak berubah sampai dengan pelaksanaan Pemilu tahun 1987 nanti.
Dalam hal ini, tidak usah ekonom kelas satu, orang yang baru mengenal  ilmu ekonomi pun tahu bagaimana angka itu berbicara banyak dalam kehidupan.
Bahkan, orang awam lebih mudah lagi mengukurnya: "dulu saya kerja, sekarang tertimpa PHK ; dulu dagangan kangkung saya setiap hari laku 100 ikat, sekarang 75 ikat pun sulit, dan sebagainya ".
Penyakit "lesu ekonomi" ini tampaknya dialami sebagian besar mesyarakat kita, terutama yang tidak mempunyai pendapatan tetap. Di  sisi  lain, masyarakat yang mengidap penyakit kronis bahkan memeras orang-orang yang tidak  beruntung tersebut untuk kepentingan dirinya. Memang, dalam keadaan  terdesak barangkali orang akan mencari selamat sendiri-sendiri, tetapi kualat namanya apabila mencari selamat di atas penderitaan orang lain, yang contohnya barangkali dapat kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari.

Harapan Lebih Tinggi

Barangkali benar, hal yang hampir sama juga dialami menjelang dan sekitar pelaksanaan Pemilu tahun 1982, dimana pada waktu itu pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 2,3 persen. Tetapi, waktu itu perekonomian kita belum seberat sekarang; dulu Debit Service Ratio (DSR) masih dibawah 20 persen, sekarang hampir dua kali lipat; dulu harga minyak bumi masih sekitar US $ 30  per barrel, sekarang setengahnya pun tidak; dan lain-lain.
Satu hal yang kiranya tidak dilupakan, bahwa harapan masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan sekarang ini sudah lebih tinggi, sehingga rasa "sakit"  yang dalam tahun 1982 ditanggapi dengan wajah meringis, sekarang ini mungkin  menangis menjerit-jerit. Halnya, karena tingkat kepuasan telah bergeser ke arah  yang lebih tinggi, yang tidak lain karena selama ini kita dibuai oleh hasil pembangunan yang mengapung diatas minyak  dan gas bumi.
Dalam hal politik pun tampaknya ada juga gejala mengidap penyakit.  Seperti kita ketahui, politik dalam sosoknya sebagai kekuatan mempunyai daya-tarik yang menakjubkan, sekaligus menakutkan. Dengan politik orang dapat  meroketkan nama dan kekuasaan baik dikarbit maupun melewati jenjang bertahap. Namun, tak urung, dengan politik orang dapat jatuh dan tersungkur  ke bumi yang semakin panas.
Meskipun demikian, hampir tidak ada yang mampu mengelakan diri dari politik, karena politik dan berpolitik tampaknyya sudah menjadi sebagian dari  kebutuhan manusia dalam bernegara dan bermasyarakat.
Akan halnya perilaku politik yang muncul ke permukaan, sampai saat ini tampaknya masih kita saksikan kekisruhan dalam sarana kekuatan politik. Tidak jarang kita menyaksikan perang dingin, bahkan sekali-sekali perang "terbuka" antara para pelaku politik tertentu di dalam wadah yang seharusnya dapat  dipercaya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat pendukungnya; demikian pula saling mendiskriditkan antara sesama mitra politik sempat mewarnai peta politik.
Demikian pula dalam hal sosial budaya, masyarakat kita masih ditandai  dengan sikap cari selamat sendiri-sendiri, merasa diri yang paling penting dan terbelenggu dalam kotak-kotak profesi, yang disumpekkan dengan mental bbirokrasi rendahan, nasionalisme lokal, dan sebagainya. Ada juga yang memperlakukan sesama manusia dengan tindakan kejam ; bahkan ada yang tega menghilangkan nyawa orang hanya karena tidak mampu mengendalikan  nafsu  hewani, sehingga menghilangkan citra kelebihan manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna.
Demikianlah, barangkali dapat diurutkan penyakit-penyakit masyarakat  lainnya dari berbagai sudut pandang dengan contoh-contoh yang dapat ditemukan dalam menelusuri profesi dan kegiatan masing-masing; yang apabila dipaparkan mungkin  akan  merupakan daftar yang terus memanjang.
Namun, betapapun panjangnya daftar tersebut, kiranya satu hal sudah   jelas. Bahwa penyakit-penyakit tersebut tidak selayaknya dibiarkan semakin  kronis, dan seyogyanyalah kita melakukan upaya-upaya penyembuhannya dalam sikap kebersamaan.

Upaya Penyembuhan

Dalam hal kebersamaan, bangsa ini memiliki obat mujarab, yakni gotong-royong, yang dapat diharapkan mampu menyembuhkan berbagai penyakit.
Sayangnya, citra "obat" tradisional ini belakangan seringkali terkikis oleh "obat-obatan" impor yang memiliki "rumus kimia" lebih rumit serta dikemas rapi dalam berbagai bentuk ilmu-ilmu pembangunan dan sikap "modern" yang menjanjikan kesembuhan penyakit dengan segera, bahkan katanya dapat   mempertinggi pertumbuhan.
Padahal, seperti telah banyak diungkapkan para pakar, "obat-obatan"  impor tersebut belum tentu cocok  dengan  kondisi  dan situasi  kita.  Salah-salah  bisa alergi ! Kalau demikian, apa salahnya kalau "obat" tradisional yang kita  miliki, kita tingkatkan lagi peranannya.
Dalam hal penyembuhan penyakit ekonomi, rasanya kita telah begitu   gencar disuguhi menu efisiensi, penghematan atau peningkatan produktivitas  nasional sebagai upaya keluar dari kemelut kelesuan ekonomi, meskipun hasilna tidak terlepas dari saling ketergantungan dengan dunia secara keseluruhan yang  sama-sama mengalami kelesuan ekonomi.
Gerakan efisiensi, penghematan dan peningkatan produktivitas nasional kiranya akan mengambang di awang-awang andaikata gerakan ini hanya  ditanggapi sendiri-sendiri tanpa keselarasan dengan yang lain. Belum lagi adanya kesimpangsiuran pemahaman tentang konsep-konsep ini, sehingga konsep yang semula dimaksudkan untukk meningkatkan martabat manusia lebih dari sekedar faktor produksi, ada yang disalahtafsirkan dengan menghempas tenaga kerja di bawah martabat faktor produksi lainya (misalnya PHK).
Karenanya, konsep-konsep semacam ini tampaknya perlu diwujudkan  dalam bentuk operasional, yang pada gilirannya diperlukan keteladanan; sehingga, dengan modal pola hubungan yang Patron-Klient kiranya kehadiran kebersamaan sebagai upaya penyembuhan masyarakatpun dapat terwujud.

Menghadapi PEMILU

Lalu bagaimana wujud gotong-royong dalam politik, terlebih lagi dalam uupaya menyukseskan Pemilu tahun 1987 ? Dalam hubungan dengan Pemilu tahun 1987, kata sukses dapat menjelma menjadi tiga sosok dari satu  kesatuan.  Sukses bagi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) paling tidak bisa berarti terpeliharanya bahkan kalau mungkin bertambahnya proporsi kursi di Majelis Permusyawaratan Rakyat yang  terhormat itu. Sedangkan bagi Golongan Karya (GOLKAR) mungkin mengarah  pada upaya melanggengkan dominasi peranan di lembaga terhormat itu. Dan, dalam arti satu kesatuan negeri tercinta ini, sukses Pemilu berarti  terpeliharanya   bahkan meningkatkan upaya-upaya pembangunan secara utuh dan menyeluruh demi mencapai cita-cita bangsa.
Dalam situasi dan kondisi masyarakat yang sakit seperti dipaparkan di  muka, tentunya di Pemilu tahun 1987 diharapkan merupakan suatu sarana untuk penyembuhannya, tidak hanya sebatas politik, tapi juga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Kiranya Pemilu tahun 1987 cukup sebagai "pesta" demokrasi  bernilai 132 milyar rupiah, dan tidak ditambah dengan jatuhnya korban, baik fisik  dan mental, yang notabene akan memperparah penyakit masyarakat.


Artikel ini dimuat HU Pelita, 24 Maret 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar