Penulis: Mohtar Mas'oed
Penerjemah: M. Rusli Karim
Penerbit: LP3ES, Jakarta
ISBN 979-8015-49-5
Cetakan Pertama: Juni 1989
Tebal: (xxi + 248) halaman
ELIT MENENTUKAN PILIHAN POLITIK
ORBA
Oleh Tika Noorjaya
Orba tak
bisa dikaji melalui hipotesa teori modernis. Seorang ilmuwan Indonesia
mengajukkan modelnya sendiri.
|
Masa
kajian buku ini meliputi beberapa fakta yang sebenarya sudah menjadi pengetahuan umum. Yakni bagaimana timbulnya
krisis pada akhir masa Orde Lama serta bagaimana kemunculan gerakan pembaruan
pada periode 1966-1971. Banyak sudah pakar yang mengkaji masa intevregnum antara tatanan politik lama
dan tatanan politik baru tersebut.
Namun, ketidakpuasan akademis Mohtar Mas'oed (MM) terhadap kondisi studi
politik di Indonesia dan interpretasi ilmuwan membawa kita berwisata ilmiah suatu
pemahaman baru.
MM sedikitnya mendaftar empat kelemahan berbagai kajian ilmu politik selama ini. Yakni anggapan bahwa masyarakat senantiasa menncari keseimbangan politik, pengabaian peranan peting negara, kecenderungan analisis yang memisahkan politik dari matra sosial lain, serta kurangnya perhatian pada variabel internasional dalam memahami politik dalam negeri Indonesia. Karenanya, untuk memahami masalah politik dalam masyarakat seperti Indonesia "mengharuskan setiap analisis untuk memahami dengan baik isyu tentang perubahan, peranan negara, kaitan antara politik dan ekonomi dalam negeri dan iternasional" katanya. Dan, itulah yang dilakukan MM dalam buku ini.
Melihat cara penyajiannya yang mengkaji banding dengan beberapa negara Dunia Ketiga, buku ini agaknya merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk memahami berbagai masalah yang dihadapi negara-negara Dunia Ketiga dalam proses pembangunan. Penolakan MM terhadap hipotesis yang dikembangkan oleh para teoritis modernis, penerapan fenomena otoritarianisme, korporatisme dan (terutama) model "otoritarianisme-birokratis" (OB) dari Guillermo O’Donnell serta beberapa kritiknya terhadap berbagai konsep tersebut memapah MM untuk menjawab berbagai pertanyaan "keras" yang diajukannya sejak halaman-halaman awal.
Namun, disamping itu, MM mengajukan satu ciri lain pemerintah Orde Baru yang tidak tercakup dalam model O'Donnell, yakni peranan independe Kantor Kepresidenan, yang dapat ditelusuri sejak pertengahan 1966 yakni sebagai upaya memindahkan mesin politik kecil dari Markas Besar Angkatan Darat. Dalam perjalanannya, Kantor Kepresidenan telah berkembang menjadi suatu birokrasi yang otonom serta menjadi pelaku politik yang penting. Dalam praktek, Sekretariat Negara, sebagai inti Kantor tersebut telah menjadi suatu supra-birokrasi yang selama tahap awal pembangunan ekonomi merupakan pihak pertama yang menikmati hasil-hasilnya berupa pembinaan kekuasaan. Kantor ini selain mengkoordinasikan fungsi-fungsi kesekretariatan untuk presiden, juga dibebani tugas penting yang lebih politis, dengan berbagai kesempatan pembinaan sumber-dana untuk mendukungnya.
Hal lainya, ternyata demikian lekat kaitan antara ekonomi dan politik. Gawatnya krisis ekonomi, perlunya menanggapi tuntutan rakyat akan kebutuhan dasar secepat mungkin. Urgennya memperoleh bantuan asing, serta sifat koalisi inti Orde Baru untuk memilih strategi stabilitas dan pembangunan ekonomi yang "berorientasi ke luar." Ini memasukkan kembali ekonomi Indonesia ke dalam jaringan kapitalis yang memang berhasil. Namun, strategi ini telah mengakibatkan krisis lain yang mengancam integrasi koalisi Orde Baru dan menimbulkan dampak penting terhadap strategi pemerintah dalam restrukturisasi politik. Dalam hal ini MM berpedapat bahwa kalau saja pemerintah tidak menerapkan strategi ekonomi yang "berorientasi ke luar" maka pengorbanan yang dituntut dari rakyat tidak akan begitu berat. Juga, lanjutnya, seandainya pemerintah memilih strategi ekonomi "berorientasi ke dalam", akan jauh lebih mudah bagi elite yang berkuasa untuk mengerahkan dukungan rakyat melalui koalisi dengan para politisi partai yang antikomuis. Dan ... membuka kemungkinan untuk melakukan reformasi sistem politik dengan cara lebih demokratis.
Sementara itu, banjir uang minyak selama akhir tahun 1970-an telah memberikan sumber baru kepada Indonesia untuk membiayai program pembangunan dengan caranya sendiri. Tetapi peranan para manajer perusahaan negara yang besar dan para pengusaha lain yang terkait dengan negara masih penting. Perubahan-perubahan ini memungkinkan pemerintah Orde Baru menanggapi tututan rakyat dengan sedikit mengkompromikan strategi ekonominya dan menerapkan beberapa kebijaksanaan "berorientasi ke dalam", dalam bentuk pengalihan modal dari pihak asing ke warganegara Indonesia. Pengalihan keahlian manajemen dan teknis, pembatasan operasi perusahaan asing. Kontrak pekerjaan pemerintah dan perubahan arah program. Repelita (dalam hal ini: Repelita III) yang secara khusus menjanjikan pemerataan kegiatan dalam hasil pembangunan. Selain itu berorientasi ke arah nasionalisme ini juga disertai program-program khusus yang dirancang untuk membawa kegiatan dan hasil pembangunan ke daerah pedesaan. Tetapi, reorientasi strategi ekonomi ini tidak diikuti dengan perubahan yang sama dalam strategi politik. (Tika Noorjaya)
Resensi Buku ini dimuat WARTA EKONOMI No.06/TH.I/14 Agustus
1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar