Artikel
ini dimuat HU Kompas, 6 Februari 1986:
Gerakan Efisiensi Nasional
Oleh Tika Noorjaya dan Aan Hasanuddin
DALAM literatur
tahun 1960-an, banyak orang membicarakan soal bantuan yang harus
dilakukan negara-negara industri maju terhadap negara belum/sedang berkembang, sesuai
dengan Resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa. Pada tahua 1970-an, para cerdik pandai dan
penyelenggara negara tertarik untuk mempermasalahkan kemiskinan dan distribusi
dalam hubungan dengan perekonomian yang sedang tumbuh. Hal ini disebabkan oleh
kenyataan, bahwa meskipun perekonomian dunia pada waktu itu relatif baik, tetapi
ternyata tidak mampu mengurangi kemiskinan, bahkan cenderung semakin meningkat.
Pada tahun 1980-an,
masalah efisiensi dalam kaitan dengan kemandegan perekonomian dunia mendapat
giliran untuk dikaji. Resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menjadi
momok yang menakutkan di ujung abad ke-20 ini. Untuk menanggulangi masalah ini,
berbagai upaya dilakukan agar perekonomian dapat bertahan, antara lain melalui
kebijakan proteksi dan gerakan efisiensi.
Bagi kita, Gerakan
Efisiensi Nasional (GEN) yang diamanatkan Presiden Soeharto pada peresmian 9 pabrik
industri dasar di zona industri Cilegon, yang kemudian lebih ditegaskan
lagi dalam pidato politiknya di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat
baru-baru ini, merupakan suatu keharusan. Karena, apabila hal tersebut tidak
dilakukan, maka dengan semakin merosotnya nilai tukar (terms of trade) mata dagangan Indonesia dalam perdagangan
internasional, keadaan perekonomian kita akan semakin sulit. Di samping itu, tentu
saja hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya alokasi rasional sumber daya.
Dalam hubungan
dengan situasi perekonomian global dan perekonomian nasional, GEN agaknya tidak
dapat dipisahkan dari gerakan efisiensi internasional. Karena, dalam
situasi perekonomian yang lesu, yang menurut ramalan para ahli masih akan berlangsung
sampai waktu yang belum dapat dipastikan, gerakan efisiensi telah merupakan
keputusan politik se jagat raya.
Itulah sebabnya, GEN
Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan gerakan yang sama di tingkat
internasional yang keberhasilannya akan ditentukan oleh gaya tarik-menarik kekuatan
masing-masing. Dalam kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang, kelihatannya akan menanggung beban yang
lebih berat dibandingkan dengan negara-negara maju dalam perlombaan berefisiensi.
Bahwa kita menerima pujian yang cukup membanggakan dalam upaya menanggulangi
kelesuan perekonomian, tentu merupakan modal politik yang baik untuk menarik
kepercayaan negara lain. Hal itu juga berarti bahwa di dalam negeri kita harus
lebih waspada, sehingga kepercayaan yang sudah diperoleh tidak menjadi pudar,
bahkan mungkin dapat lebih ditingkatkan. Untuk itula, GEN mau tidak mau harus
dilaksanakan.
Persepsi tentang
Efisiensi
Pengertian efisiensi bagi
sebagian orang tampaknya masih rancu, sehingga terjadi kesalahpahaman dalam
penerapannya. Bagi orang yang mengerti rumusan efisiensi pun, banyak yang masih
terbelenggu oleh penjara pikirannya sendiri, sehingga seolah-olah efisiensi
hadir hanya dalam konteks ekonomi semata-mata. Kalau sudah demikian, biasanya
konsep efisiensi diikuti dengan usaha penghematan, yang pelaksanaannya lahir
dalam wujud penurunan tingkat konsumsi.
Salah satu rumusan
efisiensi dalam konteks ekonomi dikemukakan oleh Yotopoulos dan Nugent, yang
menyatakan bahwa pengertian yang intuitif tentang efisiensi mengacu pada
pencapaian output yang maksimum
dari sekumpulan sumber daya tertentu; semakin besar ratio output terhadap input, berarti
semakin tinggi efisiensinya.
Untuk menilai
efisiensi, kita memerlukan kejelian lain, agar dapat melepaskan diri dari kekangan kesempitan persepsi.
Dalam kaitan ini, ada benarnya kalau dikatakan bahwa sebelum visi ekonomi
muncul, mungkin perlu dibahas dahulu visi politiknya, karena untuk sebagian
efisiensi adalah keputusan politik; dengan kata lain, efisiensi ekonomi
merupakan produk lanjutan dari kebijakan politik. Yang dimaksud dengan visi
politik adalah kebijakan-kebijakan yang menentukan perlu atau tidaknya sesuatu
dilakukan.
Kalau kita mengamati
gerak langkah masyarakat, kiranya tidak terlalu salah apabila dikemukakan
hal-hal yang dapat dilihat dalam kehidupan bermasyarakat yang ada kaitannya
dengan keputusan perlu atau tidaknya sesuatu serta efisien tidaknya dalam pelaksanaannya.
Pertama, kita sering melihat
masyarakat melakukan hal yang tidak perlu secara tidak efisien, umpamanya
pembuatan gapura di tiap gang di perkampungan, yang dibuat secara
berlebihan, untuk meramaikan perayaan-perayaan tertentu, yang bahkan
kadang-kadang mengganggu lalu lintas. Kedua,
kita sering menyaksikan masyarakat melakukan sesuatu yang tidak
perlu, tetapi efisien; umpamanya pemakaian baju seragam (di luar seragam
ABRI/hansip/Satpam), seperti berseragam safari, berbatik, berbaret atau
berkebaya warna dan corak tertentu pada kelompok-kelompok
masyarakat tertentu. Hal itu tidak perlu, tetapi dengan adanya seragam tersebut
menjadi efisien karena mungkin bagi yang bersangkutan dalam seminggu
cukup menggunakan pakaian dua stel saja. Ketiga,
kita kerapkali melihat masyarakat melakukan hal-hal yang perlu secara tidak
efisien. Contoh tentang hal itu cukup banyak dan menyangkut hampir segala macam urusan,
baik dalam penyelenggaraan pemerintahan, penanganan proyek, dunia usaha,
produksi dan perdagangan sampai ke soal-soal olah raga dan kesenian. Keempat, kita hanya kadang-kadang
saja menyaksikan masyarakan melakukan hal yang perlu secara efisien; umpamanya
dalam pemanfaatan waktu, atau lebih kecil lagi pemanfaatan kertas bekas untuk
membuat konsep surat atau untuk maksud lain. Contoh tersebut sebagian dari daftar yang apabila diperiksa akan semakin
memanjang.
Dari keempat hasil
pengamatan tersebut, maka yang menjadi tantangan dalam mengikuti imbauan Presiden Soeharto untuk
melakukan GEN adalah bagaimana kita menempatkan prioritas
keperluan pribadi (instansi) masyarakat seketat-ketatnya dan kemudian
melaksanakannya seefisien mungkin.
Budaya Efisiensi
Barangkali kurang
kita sadari bahwa sebenarnya apabila kita selidiki lebih jauh dengan pikiran yang
jernih, nenek moyang kita telah menempatkan efisiensi sebagai budaya.
Kalau kita periksa
kembali masa lalu, akan tampak nilai-nilai yang seyogianya kita lestarikan. Hal
ini dilakukan bukan sekadar merupakan ungkapan rasa hormat terhadap
pendahulu kita, melainkan karena esensinya masih kita perlukan.
Beberapa contoh
mungkin dapat dikemukakan di sini. Misalnya, teracering yang akhir-akhir ini
diakui para pakar pertanian sebagai teknologi tinggi karena adanya pemanfaatan
sumberdaya lahan secara maksimal di samping
memperhatikan kelestarian tanah dan lingkungan hidup telah dilakukan nenek
moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Pemeo "banyak anak
banyak rezeki", yang sekarang ini dianggap menghambat pembangunan, pada
zamannya merupakan tindakan yang efisien, mengingat lahan yang luas
memerlukan penggarap yang banyak, yang tentu lebih baik daripada membuang sebagian
harta kepada orang lain, karena mungkin waktu itu sistem barter
dinilai mahal. Contoh yang lainnya adalah pakaian harian orang Jawa/Sunda yang
longgar dan berwarna gelap, dapat
berfungsi jamak, untuk kerja, untuk
santai, bahkan untuk tidur.
Esensi dari semua
contoh kecil itu adalah bahwa efisiensi tidak lain daripada
pemanfaatan sumber daya secara fungsional untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Dari paparan
tersebut, sesungguhnya cikal bakal GEN sudah
lama kita miliki. Kalau begitu, ajakan untuk melakukan GEN dapat diartikan
sebagai upaya untuk mengembalikan nilai-nilai yang sudah terlindas
zaman. Mungkin saja pudarnya nilai itu disebabkan oleh peningkatan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang telah menguasai cara berpikir sebagian umat manusia.
Karena modal budaya
efisiensi sudah kita miliki, maka dalam menanggapi GEN sewajarnyalah kita
bertanya; dalam bentuk apa dan bagaimana melaksanakan efisiensi itu ?¨
Sebelum menjawab
kedua pertanyaan di atas, untuk memudahkan kiranya perlu dibuat dahulu
pemisahan masyarakat menjadi dua kelompok, yaitu golongan mampu/kaya dan golongan tidak mampu/miskin.
Bagi golongan kaya/mampu, melakukan hal-hal yang perlu secara
efisien bukan hanya merupakan penurunan tingkat konsumsi, tetapi juga merupakan
pemanfaatan sumber daya secara tepat arah. Tidak perlu seluruh tingkat
komsumsi diturunkan, karena pada gilirannya penurunan konsumsi
tertentu akan mematikan kegiatan usaha masyarakat. Kalaulah misalnya, orang
beruntung ini secara serentak menghentikan makan buah melon, bagaimana nasib
petani melon? Tentu saja, penurunan konsumsi barang-barang produksi luar negeri
perlu. Kemudian, apabila masih ada uang lebih, investasikanlah pada
bidang usaha di dalam negeri yang banyak menyerap tenaga kerja, seperti industri kecil/industri
rakyat, karena mendepositokan uang di luar negeri akan
kuwalat.
Bagi golongan yang
tidak mampu/miskin dalam hubungannya dengan konsumsi, tidak ada lagi
hal-hal yang perlu, dan sudah sangat efisien, bahkan kekurangan. Akan tetapi,
dalam hal lain banyak yang perlu mereka lakukan. Misalnya, mereka perlu
memamfaatkan waktu secara efisien agar produktivitas dan kemudian balas jasanya
meningkat.
Dari seluruh paparan
di muka, kelihatan ternyata pelaksanaan GEN akan kembali pada masing-masing
individu. Sehingga apabila kita memulai melakukan hal-hal yang perlu
secara efisien dari diri sendiri yang diawali dari hal-hal yang kecil,
dapat diduga GEN bukan merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan.
Gerakan Efisiensi Nasional
(GEN) diduga merupakan bagian dari Gerakan Efisiensi Internasional
(GEI). Karenanya, GEN akan berhadapan dengan gerakan yang sama dari negara
lain.
Di dalam negeri, GEN sebenarnya merupakan budaya para
leluhur. Karena itulah, anjuran GEN
dapat diartikan sebagai pengembalian nilai-nilai yang sudah terlindas
zaman. Ada pun pelaksanaan dari gerakan tersebut pada akhirnya kembali
kepada masing-masing individu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar