Sabtu, 25 April 2015

Gerakan Efisiensi Nasional


 Artikel ini dimuat HU Kompas, 6 Februari 1986:


Gerakan Efisiensi Nasional
Oleh Tika Noorjaya dan Aan Hasanuddin

DALAM literatur tahun 1960-an, banyak orang  membicarakan soal  bantuan yang harus dilakukan negara-negara industri maju terhadap negara belum/sedang berkembang, sesuai dengan Resolusi Persatuan Bangsa-Bangsa.  Pada tahua 1970-an, para cerdik pandai dan penyelenggara negara tertarik untuk mempermasalahkan kemiskinan dan distribusi dalam hubungan dengan perekonomian yang sedang tumbuh. Hal ini disebabkan oleh kenyataan, bahwa meskipun perekonomian dunia pada waktu itu relatif baik, tetapi ternyata tidak mampu mengurangi kemiskinan, bahkan cenderung semakin meningkat.
Pada tahun 1980-an, masalah efisiensi dalam kaitan dengan kemandegan perekonomian dunia mendapat giliran untuk dikaji. Resesi ekonomi dunia yang berkepanjangan telah menjadi momok yang menakutkan di ujung abad ke-20 ini. Untuk menanggulangi masalah ini, berbagai upaya dilakukan agar perekonomian dapat bertahan, antara lain melalui kebijakan proteksi dan gerakan efisiensi.
Bagi kita, Gerakan Efisiensi Nasional (GEN) yang diamanatkan Presiden Soeharto pada peresmian 9 pabrik industri dasar di zona industri Cilegon, yang kemudian lebih ditegaskan lagi dalam pidato politiknya di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat baru-baru ini, merupakan suatu keharusan. Karena, apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka dengan semakin merosotnya nilai tukar (terms of trade) mata dagangan Indonesia dalam perdagangan internasional, keadaan perekonomian kita akan semakin sulit. Di samping itu, tentu saja hal tersebut harus dilakukan sebagai upaya alokasi rasional sumber daya.
Dalam hubungan dengan situasi perekonomian global dan perekonomian nasional, GEN agaknya tidak dapat dipisahkan dari gerakan efisiensi internasional. Karena,  dalam situasi perekonomian yang lesu, yang menurut ramalan para ahli masih akan berlangsung sampai waktu yang belum dapat dipastikan, gerakan efisiensi telah merupakan keputusan politik se jagat raya.
Itulah sebabnya, GEN Indonesia pada gilirannya harus berhadapan dengan gerakan yang sama di tingkat internasional yang keberhasilannya akan ditentukan oleh gaya tarik-menarik kekuatan masing-masing. Dalam kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang, kelihatannya akan menanggung beban yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara maju dalam perlombaan berefisiensi. Bahwa kita menerima pujian yang cukup membanggakan dalam upaya menanggulangi kelesuan perekonomian, tentu merupakan modal politik yang baik untuk menarik kepercayaan negara lain. Hal itu juga berarti bahwa di dalam negeri kita harus lebih waspada, sehingga kepercayaan yang sudah diperoleh tidak  menjadi pudar, bahkan mungkin dapat lebih ditingkatkan. Untuk itula, GEN mau tidak mau harus dilaksanakan.

Persepsi tentang Efisiensi
Pengertian efisiensi bagi sebagian orang tampaknya masih rancu, sehingga terjadi kesalahpahaman dalam penerapannya. Bagi orang yang mengerti rumusan efisiensi pun, banyak yang masih terbelenggu oleh penjara pikirannya sendiri, sehingga seolah-olah efisiensi hadir hanya dalam konteks ekonomi semata-mata. Kalau sudah demikian, biasanya konsep efisiensi diikuti dengan usaha penghematan, yang pelaksanaannya lahir dalam wujud penurunan tingkat konsumsi.
Salah satu rumusan efisiensi dalam konteks ekonomi dikemukakan oleh Yotopoulos dan Nugent, yang menyatakan bahwa pengertian yang intuitif tentang efisiensi mengacu pada pencapaian output yang maksimum dari sekumpulan sumber daya tertentu; semakin besar ratio output terhadap input, berarti semakin tinggi efisiensinya.
Untuk menilai efisiensi, kita memerlukan kejelian lain, agar dapat melepaskan diri dari kekangan kesempitan persepsi. Dalam kaitan ini, ada benarnya kalau dikatakan bahwa sebelum visi ekonomi muncul, mungkin perlu dibahas dahulu visi politiknya, karena untuk sebagian efisiensi adalah keputusan politik; dengan kata lain, efisiensi ekonomi merupakan produk lanjutan dari kebijakan politik. Yang dimaksud dengan visi politik adalah kebijakan-kebijakan yang menentukan perlu atau tidaknya sesuatu dilakukan.
Kalau kita mengamati gerak langkah masyarakat, kiranya tidak terlalu  salah apabila dikemukakan hal-hal yang dapat dilihat dalam kehidupan bermasyarakat yang ada kaitannya dengan keputusan perlu atau tidaknya sesuatu serta efisien tidaknya dalam pelaksanaannya. Pertama, kita sering melihat masyarakat melakukan hal yang tidak perlu secara tidak efisien, umpamanya pembuatan gapura di tiap gang di perkampungan, yang dibuat secara berlebihan, untuk meramaikan perayaan-perayaan tertentu, yang bahkan kadang-kadang mengganggu lalu lintas. Kedua, kita sering menyaksikan masyarakat melakukan sesuatu yang tidak perlu, tetapi efisien; umpamanya pemakaian baju seragam (di luar seragam ABRI/hansip/Satpam), seperti berseragam safari, berbatik, berbaret atau berkebaya warna dan corak tertentu pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Hal itu tidak perlu, tetapi dengan adanya seragam tersebut menjadi efisien karena mungkin bagi yang bersangkutan dalam seminggu cukup menggunakan pakaian dua stel saja. Ketiga, kita kerapkali melihat masyarakat melakukan hal-hal yang perlu secara tidak efisien. Contoh tentang hal itu cukup banyak dan menyangkut hampir segala  macam urusan, baik dalam  penyelenggaraan pemerintahan, penanganan proyek, dunia usaha, produksi dan perdagangan sampai ke soal-soal olah raga dan kesenian. Keempat, kita hanya kadang-kadang saja menyaksikan masyarakan melakukan hal yang perlu secara efisien; umpamanya dalam pemanfaatan waktu, atau lebih kecil lagi pemanfaatan kertas bekas untuk membuat konsep surat atau untuk maksud lain. Contoh tersebut sebagian dari daftar yang apabila diperiksa akan semakin memanjang.
Dari keempat hasil pengamatan tersebut, maka yang menjadi tantangan dalam mengikuti imbauan Presiden Soeharto  untuk melakukan GEN adalah bagaimana kita menempatkan prioritas keperluan pribadi (instansi) masyarakat seketat-ketatnya dan kemudian melaksanakannya seefisien mungkin.

Budaya Efisiensi
Barangkali kurang kita sadari bahwa sebenarnya apabila kita selidiki lebih jauh dengan pikiran yang jernih, nenek moyang kita telah menempatkan efisiensi sebagai budaya.
Kalau kita periksa kembali masa lalu, akan tampak nilai-nilai yang seyogianya kita lestarikan. Hal ini dilakukan bukan sekadar merupakan ungkapan rasa hormat terhadap pendahulu kita, melainkan karena esensinya masih kita perlukan.
Beberapa contoh mungkin dapat dikemukakan  di  sini. Misalnya, teracering yang akhir-akhir ini diakui para pakar pertanian  sebagai teknologi tinggi ­­ karena adanya pemanfaatan sumberdaya lahan secara maksimal di samping memperhatikan kelestarian tanah dan lingkungan hidup ­­ telah dilakukan nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu. Pemeo "banyak anak banyak rezeki", yang sekarang ini dianggap menghambat pembangunan, pada zamannya merupakan tindakan yang efisien, mengingat lahan yang luas memerlukan penggarap yang banyak, yang tentu lebih baik daripada membuang sebagian harta kepada orang lain, karena mungkin waktu itu sistem barter dinilai mahal. Contoh yang lainnya adalah pakaian harian orang Jawa/Sunda yang longgar dan berwarna gelap, dapat berfungsi jamak, untuk kerja, untuk santai, bahkan untuk tidur.
Esensi dari semua contoh kecil itu adalah bahwa efisiensi tidak lain daripada pemanfaatan sumber daya secara fungsional untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Dari paparan tersebut, sesungguhnya cikal bakal GEN sudah lama kita miliki. Kalau begitu, ajakan untuk melakukan GEN dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembalikan nilai-nilai yang sudah terlindas zaman. Mungkin saja pudarnya nilai itu disebabkan oleh peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang  telah menguasai cara berpikir sebagian umat manusia.
Karena modal budaya efisiensi sudah kita miliki, maka dalam menanggapi GEN sewajarnyalah kita bertanya; dalam bentuk  apa dan bagaimana melaksanakan efisiensi itu ?¨
Sebelum menjawab kedua pertanyaan di atas, untuk memudahkan kiranya perlu dibuat dahulu pemisahan masyarakat menjadi dua kelompok, yaitu golongan mampu/kaya dan golongan tidak mampu/miskin.
Bagi golongan kaya/mampu, melakukan hal-hal yang perlu secara efisien bukan hanya merupakan penurunan tingkat konsumsi, tetapi juga merupakan pemanfaatan sumber daya secara tepat arah. Tidak perlu seluruh tingkat komsumsi diturunkan, karena pada gilirannya penurunan konsumsi tertentu akan mematikan kegiatan usaha masyarakat. Kalaulah misalnya, orang beruntung ini secara serentak menghentikan makan buah melon, bagaimana nasib petani melon?  Tentu saja, penurunan konsumsi barang-barang produksi luar negeri perlu. Kemudian, apabila masih ada uang lebih, investasikanlah pada bidang usaha di dalam negeri yang banyak menyerap tenaga kerja, seperti industri kecil/industri rakyat, karena mendepositokan uang di luar  negeri akan kuwalat.
Bagi golongan yang tidak mampu/miskin dalam hubungannya dengan konsumsi, tidak ada lagi hal-hal yang perlu, dan sudah sangat efisien, bahkan kekurangan. Akan tetapi, dalam hal lain banyak yang perlu mereka lakukan. Misalnya, mereka perlu memamfaatkan waktu secara efisien agar produktivitas dan kemudian balas jasanya meningkat.
Dari seluruh paparan di muka, kelihatan ternyata pelaksanaan GEN akan kembali pada masing-masing individu. Sehingga apabila kita memulai melakukan hal-hal yang perlu secara efisien dari diri sendiri yang diawali dari hal-hal yang kecil, dapat diduga GEN bukan merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan.
Gerakan Efisiensi Nasional (GEN) diduga merupakan bagian dari Gerakan Efisiensi Internasional (GEI). Karenanya, GEN akan berhadapan dengan gerakan yang sama dari negara lain.
Di dalam negeri, GEN sebenarnya merupakan budaya para leluhur. Karena itulah, anjuran GEN dapat diartikan sebagai pengembalian nilai-nilai yang sudah terlindas zaman. Ada pun pelaksanaan dari gerakan tersebut pada akhirnya kembali kepada masing-masing individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar