Judul Buku: Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa-Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial.
Pengarang: S.H. Alatas.
Penerjemah: Akhmad Rofi'ie.
Penerbit: LP3ES, Jakarta, Maret 1988, (x + 358 halaman).
ISBN 979-8015-40-1
ALKISAH
seorang turis asing bertemu dengan seorang penduduk miskin yang sedang santai di pantai, dan terjadilah dialog berikut:
"Kenapa anda tidak bekerja
?", tanya sang turis.
"Buat apa bekerja ?", orang miskin itu balik bertanya.
"Ya, agar anda kaya, banyak uang, kemudian berlibur, tinggal di hotel dan santai di
pantai", jawab sang turis.
"Ya, itulah yang sedang saya kerjakan !", jawab si miskin itu sambil terus bermalas-malasan.
Orang miskin itu tidak menyadari kemiskinan yang dideritanya, bahkan seakan dia terlelap dielus
kemiskinannya.
Memang benar, "dongeng” Paul Streeten dalam pengantar bukunya tentang model penderitaan di atas tidak terdapat dalam buku “Mitos Pribumi Malas” (MPM) karya Prof. S.H. Alatas (SHA) ini. Tetapi, kalau kita menyimak buku MPM ini, kita dapat menduga bahwá kalau saja SHA sebelum menulis buku ini membaca
"dongeng” di atas, niscaya
"dongeng” tersebut tak lepas dari kajiannya sekaligus didampratnya sebagai upayi yang ditiup-tiupkan oleh penjajah "untuk membenarkan praktek-praktek penindasan dan
ketidakadilan dalam memobilisasi tenaga kerja di koloninya, membenarkan dan mencari alasan penaklukan dan penguasaan atas wilayah tersebut dan membelokkan unsur-unsur kenyataan sosial untuk menjamin bangunan ideologi yang sesuai dengan kebutuhan mereka” (hal.2-3). Itulah ideologi kolonial yang memamfaatkan gagasan tentang pribumi malas.
Dugaan seperti itu bukan tanpa alasan kalau diingat betapa dalam buku ini SHA menggali berbagai mitos kemalasan pribumi Melayu, Jawa dan Filipina, sekaligus membeberkan pembuktian untuk membantahnya.
Demikianlah, kemalasan tukang arang, tukang delman (sais), pelayan toko, pendayung, nelayan, pekerja perkebunan, pekerja pertambangan, adalah daftar contoh kajian -- yang sekaligus dibantahnya -- yang dapat
diperpanjang.
Dalam haì ini, agaknya SHA sependapat dengan M.A.W. Brower (1987), bahwa semua mitos adalah kebohongan, dan karenanya perlu dibongkar. Dan, memang, itulah "inti” dari buku ini.
SHA berkelit dari tuduhan tentang mitos kemalasan pribumi sekaligus menuding para penuduhnya bahwa sesungguhnya kaum merekalah yang pemalas. "Orang-orang Eropa di daerah tropis bahkan lebih malas. Mereka dikelilingi oleh banyak pembantu tidak hanya untuk melepaskan sepatu tetapi bahkan untuk mengipasnya !", katanya (hal.136).
KEMALASAN
Untuk mendukung gagasannya, tak lupa SHA juga mengutip Jose Rizal yang membandingkan kemalasan masyarakat Filipina dengan para pegawai Spanyol dan pendeta Filipina.
”... keinginan seseorang untuk menyerahkan tugasnya kepada orang lain dengan paksaan, adalah kemalasan yang sebenarnya,"
katanya
(hal.154). Hal terakhir ini mirip dengan kesimpulan SHA ketika membahas sistem jual paksa dan tanam paksa yang diterapkan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Jawa, di mana diperlukan pengabsahan moral yang selanjutnya dilengkapi dengan mitos tentang masyarakat Jawa yang malas, padahal
sesungguhnya merekalah (kolonial) yang pemalas.
Dalam hal ini, SHA banyak merujuk pendapat oposan pemerintah kolonial, seperti Dirk van Hogendorp, H.W. van Ijseldijk dan, tentu saja, Douwes Dekker atau Multatuli yang terkenal dengan Max Havelaar-nya itu.
Lalu, bagaimana dengan pribumi yang dituduh pemalas itu ?
Dalam hal ini jelas SHA membela. Mereka "adalah pekerja keras (hal.99) ... sebab kalau tidak, mereka tidak akan dapat hidup sebagai manusia (hal.111). Mereka rajin di
bidangnya, namun kebanyakan tidak bersedia menjadi alat produksi kapitalis (hal.113) ..., untuk menghindari kerja sebagai budak” (hal.115). Agaknya memang demikian, sebab bagi orang terjajah yang selalu dicekam kecemasan karena ulah penjajahnya, mereka tidak dapat bermalas-malas dan membiarkan dirinya bodoh.
Mereka harus bekerja keras, kapan saja dan dengan cara
bagaimanapun. Dalam hal ini benarlah apa yang dikatakan John Hatch (dalam Robert Chambers, 1987), bahwa orang-orang miskin itu layaknya seperti bidak-bidak dalam permainan catur. Satu-satunya langkah yang dapat mereka lakukan adalah langkah maju !
Selain itu, sesungguhnya buku ini bukan hanya mengkaji mitos tentang kemalasan pribumi itu saja sebagiai kajian utama sekaligus judul bukunya karena SHA juga mengkaji dan membantah berbagai citra negatif pribumi lainnya, seperti penghianat, suka ingkar janji, pendendam, jorok, tidak sopan, senang mengganggu istri orang, dan sebagainya, yang terdapat dalam berbagai laporan para pelancong dan pejabat kolonial di Melayu, Jawa dan Filipina.
MENGENA
Membaca buku ini memang mempunyai keasyikan tersendiri. Tidak hanya karena nama besar SHA dalam bidang sosiologi modernisasi di Asia Tenggara, melainkan karena materi yang
diungkapkannya mengena pada diri kita sendiri, pada lingkungan kita sendiri, yang seringkali terlepas dari perhatian kita dalam mengejar
ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa
"maju".
Karena itu, pada tempatnyalah kalau kita
berterimakasih kepada penulis buku ini dengan paparannya yang berupaya
membangkitkan semangat, sekalipun beberapa hal perlu dicatat. Selain banyak mengutip pendapat orang lain secara langsung dan
"pementahan” kajian pada Bab Penutup dengan
mengungkapkan informasi "baru” bukannya merupakan refleksi dari bab-bab sebelumnya ada dua hal yang agaknya menarik untuk dikaji lanjut.
Pertama, buku ini tampak seperti “pledoi” tertuduh dalam suatu perkara pengadilan, sehingga sedikit-banyak agaknya unsur subyektif tak terhindar masuk kedalamnya dengan hanya
memilih bidang-bidang bahasan (tema) yang dianggap akan memperkukuh pembelaannya, sekalipun sejak awal tampaknya penulis ingin menghindar dari prasangka (bias) ini. Kalau SHA menuduh para penulis kolonial diwarnai ideologi kolonialnya dalam menjelaskan mitos tentang kemalasan pribumi, maka pemaparan SHA pun tampaknya tak luput dari ideologinya yang anti kolonial.
Hal kedua, sesungguhnya berada di luar jangkauan buku ini, yang hanya menganalisis asal-usul dan fungsi mitos tentang pribumi malas yang berkembang pada abad ke-16 hingga awal abad ke-20. Masalahnya berkaitan
dengan kondisi kekinian sebagai upaya untuk menarik refleksi setelah kita membaca buku yang menarik ini.
Setelah membongkar mitos kemalasan pribumi, kemudian menunjukan bahwa pribumi itu pekerja keras, maka satu hal yang agaknya menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bagaimana hasil dari "kerja keras” itu. Apakah ungkapan “kerja keras” itu tidak tertukar dengan "kerja
kasar", sehingga sesungguhnya pribumi itu bukanlah pekerja keras melainkan pekerja kasar ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut penting untuk dijawab agar pembongkaran mitos lama tidak malah diikuti dengan mitos baru yang goyah. Dalam hal ini, penumbangan mitos kemalasan pribumi dan pembuktian bahwa pribumi itu pekerja keras seyogyanya ditata menjadi etos kerja, yakni etos tentang kerja keras dan kerja cerdas. Dan, itulah masalahnya, agar kita tidak terus menjadi bangsa yang senantiasa ada di belakang.
Buku yang baik memang tidak sekedar berhasil menjawab tesis utama yang diajukannya, tetapi juga melahirkan pertanyaan baru yang lebih menantang. Dan, itulah buku ini. (Tika
Noorjaya).
Resensi Buku ini dimuat HU Suara Pembaruan, Senin, 20 Juni 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar