Minggu, 26 April 2015

Upaya Reformasi Struktural Bisnis Perkebunan di Indonesia





Upaya Reformasi Struktural Bisnis Perkebunan di Indonesia
Oleh Tika Noorjaya

       Kalau tidak ada aral melintang, Departemen Pertanian akan memiliki sebuah direktorat jenderal baru, yakni Direktorat Jenderal Agribisnis. Sementara itu, PT Perkebunan (PTP) telah membentuk suatu asosiasi, yang bahkan telah memiliki badan usaha sendiri yang terutama bergerak di bidang agroindustri.

Dengan mengaitkan kedua hal itu, di masa depan dunia perkebunan kiranya akan mendapat momentum baru: Suatu integrasi  dari sejumlah aspek agribisnis perkebunan. Hal ini diharapkan tidak semata-mata memperbesar yang sudah besar, tetapi terintegrasi dengan bagian terbanyak dari dunia perkebunan kita, yakni para pekebun kecil. Untuk itu, perlu reinterpretasi tentang pola pengembangan agribisnis perkebunan yang selama ini berlangsung. Pola  PIRBUN (Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan) akan dijadikan contoh kasus, mengingat pola ini tampaknya dapat segera diintegrasikan ke dalam pola baru pengembangan agribisnis perkebunan.
 
Pola Lama 
 
Dengan komitmen yang kuat untuk mengembangkan pola PIRBUN selama ini, maka perkebunan rakyat yang sejak semula mempunyai pangsa yang besar dalam berbagai segi dan magnitude-nya, kini menjadi semakin besar lagi. Hasilnya: Jutaan hektar budidaya perkebunan dan sejumlah produksi yang dihasilkannya.
Hal itu, jelaslah, memberikan sumbangan yang cukup berati pada penerimaan devisa serta -- yang tidak kalah pentingnya -- penyerapan jutaan tenaga kerja, baik langsung sebagai petani plasma maupun efek penggandanya dalam seluruh bidang dan yang terkait. 
Masalahnya, dalam pola PIRBUN yang ada selama ini, secara sederhana fungsinya tak lebih dari petani plasma sebagai pemasok bahan baku dan kebun inti sebagai pembeli, yang kemudian mengolah dan memasarkannya. Memang, tugas kebun inti tidaklah sesederhana itu. Bahkan, tugas berat justeru mempersiapkan tanaman serta mental petani plasma untuk menjadi pekebun yang andal.
Semua kerja keras itu, tidak lain, dimaksudkan untuk akhirnya membina hubungan di atas -- yakni petani plasma sebagai pemasok kebutuhan bahan baku bagi kebun inti. Perlu ditambahkan, bahan baku yang dimaksud di sini betul-betul dalam arti produk primer -- misal­nya, lateks atau lump dalam PIRBUN karet, tandan buah segar (TBS) dalam PIRBUN kelapa sawit, dan sebagainya.
 
Pola Baru
Dalam perjalanan, ternyata pola di atas sering mendatangkan friksi karena besarnya ketergantungan petani plasma terhadap kebun inti. Ketergantungan itu bukan hanya dilegitimasi dalam bentuk pemilikan pabrik oleh kebun inti serta perjanjian yang mengharuskan penjualan produk kepada kebun inti, tetapi juga ketidakberdayaan petani plasma untuk menerima keputusan petugas kebun inti dalam penilaian produksinya, baik fisik ataupun harga.

Misalnya, dalam hal PIRBUN karet. Dalam hal ini friksi timbul terkait dengan penilaian kadar karet kering atau mutu produk akhir yang dijadikan standar penilaian harga. Dalam PIRBUN Kelapa Sawit terkait dengan penilaian rendemen, seperti juga hal yang diamati Prof. Dr. Nurimansjah Hasibuan (1990) dalam industri gula melalui pola TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi).
Kecurigaan yang menyertai pola di atas, di masa depan seyogianya dapat dihilangkan, apalagi sejalan dengan peningkatan pemahaman petani plasma terhadap masalah teknis, kemampuan mereka untuk memperjuangkan "demokrasi" juga akan semakin  meningkat.
Salahsatu cara untuk menghilangkan kecurigaan dan friksi tersebut adalah dengan melibatkan petani plasma PIRBUN dalam dunia agribisnis perkebunan. Mereka seyogianya tidak lagi sekadar penghasil produksi primer di lapangan. Mereka diberi kesempatan untuk -- pada suatu saat -- dapat memiliki pabrik, yang secara organisatoris berada dalam pengelolaan koperasi perkebunan plasma -- menggantikan fungsi kebun inti. Karena itu, sejak awal koperasi perkebunan plasma harus sudah dirancang dan disiapkan. Konsentrasi penanganannya pun setara dengan penyiapan sarana dan prasarana fisik.
Dalam hal ini, keterkaitan dengan pendanaan memang sangat erat. Pernah terjadi, dalam suatu rapat koordinasi suatu proyek PIRBUN karet, pada 1984, wakil Departemen Koperasi mempertanyakan, kapan pabrik karet akan diserahkan kepada koperasi plasma perkebunan.
Waktu itu, pertanyaan demikian terasa janggal dan naif. Bagaimana mungkin hal itu dipertanyakan, padahal koperasinya masih sangat lemah dalam segala hal, sementara pembiayaan pabrik adalah bagian dari kredit kebun inti.
Di sisi lain, produk yang dihasilkan petani plasma sedemikian rendahnya, sehingga kapasitas pabrik sebagian besar menganggur, dengan akibat kerugian yang terbebankan kepada kebun inti.
Bagaimana mungkin petani plasma -- sekalipun secara bersama-sama -- mampu membeli dan mengelola pabrik, sedangkan cicilan kreditnya saja belum lunas. Para petani plasma pun tidak ada yang secara khusus ditatar menjadi pegawai pabrik, karena memang semuanya disiapkan untuk menjadi produsen karet mentah.
Pertanyaan yang dulu terasa janggal dan naif, kini mungkin dapat memperoleh jawabannya. Dalam hal ini, barangkali, ada baiknya kalau pembiayaan pabrik tidak seluruhnya menjadi beban kebun inti, melainkan merupakan suatu paket yang terkait dengan calon koperasi perkebunan plasma -- yang juga berarti kredit bagi petani plasma. Dengan demikian, fungsi kebun inti sebagai wahana pembangunan (agent of development) dapat dipertahankan, tanpa harus mengorbankan fung­sinya sebagai lembaga usaha.
Memang, dengan demikian, fungsinya menjadi bertambah, karena selain menyiapkan petani plasma untuk andal di kebun, juga harus andal di pabrik -- yang nantinya akan dikelola oleh koperasi perkebunan plasma. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa alih teknologi dari kebun inti kepada petani plasma tidak mandek sekadar sampai pada tingkat kebun.
Selanjutnya, hasil olahannya dijual kepada perusahaan agro-industri yang akan mengolah lebih lanjut. Perusahaan agroindustri dimaksud, antara lain, adalah perusahaan-perusahaan milik asosiasi PTP, yang saat ini sudah terbentuk, dan di kemudian hari diharapkan bisa lebih diperbanyak dan diperluas cakupannya. Misalnya, dengan melibatkan perusahaan swasta besar.
Dalam hal jual-beli, bedanya dengan perusahaan PIRBUN saat ini, transaksi tidak lagi dilakukan antara seorang petani plasma (yang harus "merunduk" kalau berhadapan) dengan petugas kebun inti, melainkan dalam  suatu  posisi tawar menawar yang lebih baik. Karena, yang melakukan transaksi adalah antarlembaga bisnis, dengan standar, ukuran dan penilaian yang lebih terbuka. Dengan posisi demikian, peluang untuk menjual produk di pasar secara lebih bersaing -- kalau memang hal itu lebih menguntungkan – juga terbuka.
 
Mengaitkan Dua Pola
Pengaitannya – pabrik yang dimiliki kebun inti secara bertahap dijual kepada koperasi -- terhadap pola yang sudah ada, memang memungkinkan. Sebelumnya, koperasi harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan kualitas pengelola dan me-magang-kan anggotanya.
Dana pembelian pabrik tersebut bisa diperoleh dari bank. Sementara, dana yang diperoleh kebun inti (lama) bisa dialihkan untuk membangun perusahaan agroindustri yang lain, yang mengolah lebih lanjut hasil olahan dari koperasi perkebunan plasma.
Contoh berikut mungkin bisa ditiru. Menurut Revrisond Baswir (1993), di PIRBUN Kelapa sawit di Pariaman, kebun plasma dipecah ke dalam kelompok-kelompok pekebun yang terbagi menjadi empat koperasi pekebun. Keempat koperasi ini tergabung lagi ke dalam Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUB), semacam PUSKUD.
Dalam kasus ini, salahsatu perkembangan yang menarik adalah banyak fungsi inti yang sudah digantikan oleh KJUB. Misalnya, truk pengangkut sawit dari kebun petani ke pabrik sekarang sudah dibeli oleh koper­asi. Belakangan, mereka menawar pabrik milik inti. Bahkan mereka merencanakan  membeli seluruh kebun inti. Harapan mereka, suatu saat koperasi itulah yang akan menjadi inti.


Artikel ini dimuat Bisnis Indonesia, 24 Mei 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar