Upaya Reformasi Struktural Bisnis
Perkebunan di Indonesia
Oleh Tika Noorjaya
Kalau tidak ada aral melintang, Departemen Pertanian akan memiliki sebuah direktorat jenderal baru, yakni Direktorat Jenderal Agribisnis. Sementara itu, PT Perkebunan (PTP) telah membentuk suatu asosiasi, yang bahkan telah memiliki badan usaha sendiri yang terutama bergerak di bidang agroindustri.
Kalau tidak ada aral melintang, Departemen Pertanian akan memiliki sebuah direktorat jenderal baru, yakni Direktorat Jenderal Agribisnis. Sementara itu, PT Perkebunan (PTP) telah membentuk suatu asosiasi, yang bahkan telah memiliki badan usaha sendiri yang terutama bergerak di bidang agroindustri.
Dengan
mengaitkan kedua hal itu, di masa depan dunia perkebunan kiranya akan mendapat
momentum baru: Suatu integrasi dari sejumlah aspek agribisnis perkebunan.
Hal ini diharapkan tidak semata-mata memperbesar yang sudah besar, tetapi terintegrasi
dengan bagian terbanyak dari dunia perkebunan kita, yakni para pekebun kecil. Untuk
itu, perlu reinterpretasi tentang pola pengembangan agribisnis perkebunan yang
selama ini berlangsung. Pola PIRBUN (Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan) akan
dijadikan contoh kasus, mengingat pola ini tampaknya dapat segera diintegrasikan
ke dalam pola baru pengembangan agribisnis perkebunan.
Pola
Lama
Dengan
komitmen yang kuat untuk mengembangkan pola PIRBUN selama ini, maka perkebunan
rakyat yang sejak semula mempunyai pangsa yang besar dalam berbagai segi dan magnitude-nya, kini menjadi semakin besar
lagi. Hasilnya: Jutaan hektar budidaya perkebunan dan sejumlah produksi yang dihasilkannya.
Hal
itu, jelaslah, memberikan sumbangan yang cukup berati pada penerimaan devisa serta
-- yang tidak kalah pentingnya -- penyerapan jutaan tenaga kerja, baik langsung
sebagai petani plasma maupun efek penggandanya dalam seluruh bidang dan yang
terkait.
Masalahnya,
dalam pola PIRBUN yang ada selama ini, secara sederhana fungsinya tak lebih
dari petani plasma sebagai pemasok bahan baku dan kebun inti sebagai pembeli,
yang kemudian mengolah dan memasarkannya. Memang, tugas kebun inti tidaklah
sesederhana itu. Bahkan, tugas berat justeru mempersiapkan tanaman serta mental
petani plasma untuk menjadi pekebun yang andal.
Semua
kerja keras itu, tidak lain, dimaksudkan untuk akhirnya membina hubungan di
atas -- yakni petani plasma sebagai pemasok kebutuhan bahan baku bagi kebun
inti. Perlu ditambahkan, bahan baku yang dimaksud di sini betul-betul dalam
arti produk primer -- misalnya, lateks atau lump
dalam PIRBUN karet, tandan buah segar (TBS) dalam PIRBUN kelapa sawit, dan
sebagainya.
Pola
Baru
Dalam perjalanan, ternyata pola di atas sering mendatangkan friksi karena besarnya ketergantungan petani plasma terhadap kebun inti. Ketergantungan itu bukan hanya dilegitimasi dalam bentuk pemilikan pabrik oleh kebun inti serta perjanjian yang mengharuskan penjualan produk kepada kebun inti, tetapi juga ketidakberdayaan petani plasma untuk menerima keputusan petugas kebun inti dalam penilaian produksinya, baik fisik ataupun harga.
Dalam perjalanan, ternyata pola di atas sering mendatangkan friksi karena besarnya ketergantungan petani plasma terhadap kebun inti. Ketergantungan itu bukan hanya dilegitimasi dalam bentuk pemilikan pabrik oleh kebun inti serta perjanjian yang mengharuskan penjualan produk kepada kebun inti, tetapi juga ketidakberdayaan petani plasma untuk menerima keputusan petugas kebun inti dalam penilaian produksinya, baik fisik ataupun harga.
Misalnya,
dalam hal PIRBUN karet. Dalam hal ini friksi timbul terkait dengan penilaian kadar
karet kering atau mutu produk akhir yang dijadikan standar penilaian harga. Dalam
PIRBUN Kelapa Sawit terkait dengan penilaian rendemen, seperti juga hal yang diamati
Prof. Dr. Nurimansjah Hasibuan (1990) dalam industri gula melalui pola TRI
(Tebu Rakyat Intensifikasi).
Kecurigaan
yang menyertai pola di atas, di masa depan seyogianya dapat dihilangkan, apalagi
sejalan dengan peningkatan pemahaman petani plasma terhadap masalah teknis,
kemampuan mereka untuk memperjuangkan "demokrasi" juga akan semakin
meningkat.
Salahsatu
cara untuk menghilangkan kecurigaan dan friksi tersebut adalah dengan
melibatkan petani plasma PIRBUN dalam dunia agribisnis perkebunan. Mereka
seyogianya tidak lagi sekadar penghasil produksi primer di lapangan. Mereka
diberi kesempatan untuk -- pada suatu saat -- dapat memiliki pabrik, yang
secara organisatoris berada dalam pengelolaan koperasi perkebunan plasma -- menggantikan
fungsi kebun inti. Karena itu, sejak awal koperasi perkebunan plasma harus
sudah dirancang dan disiapkan. Konsentrasi penanganannya pun setara dengan penyiapan
sarana dan prasarana fisik.
Dalam
hal ini, keterkaitan dengan pendanaan memang sangat erat. Pernah terjadi, dalam
suatu rapat koordinasi suatu proyek PIRBUN karet, pada 1984, wakil Departemen
Koperasi mempertanyakan, kapan pabrik karet akan diserahkan kepada koperasi plasma
perkebunan.
Waktu
itu, pertanyaan demikian terasa janggal dan naif. Bagaimana mungkin hal itu
dipertanyakan, padahal koperasinya masih sangat lemah dalam segala hal, sementara
pembiayaan pabrik adalah bagian dari kredit kebun inti.
Di
sisi lain, produk yang dihasilkan petani plasma sedemikian rendahnya, sehingga
kapasitas pabrik sebagian besar menganggur, dengan akibat kerugian yang
terbebankan kepada kebun inti.
Bagaimana
mungkin petani plasma -- sekalipun secara bersama-sama -- mampu membeli dan
mengelola pabrik, sedangkan cicilan kreditnya saja belum lunas. Para petani
plasma pun tidak ada yang secara khusus ditatar menjadi pegawai pabrik, karena memang
semuanya disiapkan untuk menjadi produsen karet mentah.
Pertanyaan
yang dulu terasa janggal dan naif, kini mungkin dapat memperoleh jawabannya. Dalam
hal ini, barangkali, ada baiknya kalau pembiayaan pabrik tidak seluruhnya menjadi
beban kebun inti, melainkan merupakan suatu paket yang terkait dengan calon
koperasi perkebunan plasma -- yang juga berarti kredit bagi petani plasma.
Dengan demikian, fungsi kebun inti sebagai wahana pembangunan (agent of development) dapat
dipertahankan, tanpa harus mengorbankan fungsinya sebagai lembaga usaha.
Memang,
dengan demikian, fungsinya menjadi bertambah, karena selain menyiapkan petani
plasma untuk andal di kebun, juga harus andal di pabrik -- yang nantinya akan
dikelola oleh koperasi perkebunan plasma. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa alih
teknologi dari kebun inti kepada petani plasma tidak mandek sekadar sampai pada
tingkat kebun.
Selanjutnya,
hasil olahannya dijual kepada perusahaan agro-industri yang akan mengolah lebih
lanjut. Perusahaan agroindustri dimaksud, antara lain, adalah
perusahaan-perusahaan milik asosiasi PTP, yang saat ini sudah terbentuk, dan di
kemudian hari diharapkan bisa lebih diperbanyak dan diperluas cakupannya. Misalnya,
dengan melibatkan perusahaan swasta besar.
Dalam
hal jual-beli, bedanya dengan perusahaan PIRBUN saat ini, transaksi tidak lagi
dilakukan antara seorang petani plasma (yang harus "merunduk" kalau
berhadapan) dengan petugas kebun inti, melainkan dalam suatu posisi
tawar menawar yang lebih baik. Karena, yang melakukan transaksi adalah
antarlembaga bisnis, dengan standar, ukuran dan penilaian yang lebih terbuka.
Dengan posisi demikian, peluang untuk menjual produk di pasar secara lebih bersaing
-- kalau memang hal itu lebih menguntungkan – juga terbuka.
Mengaitkan
Dua Pola
Pengaitannya – pabrik yang dimiliki kebun inti secara bertahap dijual kepada koperasi -- terhadap pola yang sudah ada, memang memungkinkan. Sebelumnya, koperasi harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan kualitas pengelola dan me-magang-kan anggotanya.
Pengaitannya – pabrik yang dimiliki kebun inti secara bertahap dijual kepada koperasi -- terhadap pola yang sudah ada, memang memungkinkan. Sebelumnya, koperasi harus mempersiapkan diri dengan meningkatkan kualitas pengelola dan me-magang-kan anggotanya.
Dana
pembelian pabrik tersebut bisa diperoleh dari bank. Sementara, dana yang
diperoleh kebun inti (lama) bisa dialihkan untuk membangun perusahaan agroindustri
yang lain, yang mengolah lebih lanjut hasil olahan dari koperasi perkebunan
plasma.
Contoh
berikut mungkin bisa ditiru. Menurut Revrisond Baswir (1993), di
PIRBUN Kelapa sawit di Pariaman, kebun plasma dipecah ke dalam kelompok-kelompok
pekebun yang terbagi menjadi empat koperasi pekebun. Keempat koperasi ini
tergabung lagi ke dalam Koperasi Jasa Usaha Bersama (KJUB), semacam PUSKUD.
Dalam
kasus ini, salahsatu perkembangan yang menarik adalah banyak fungsi inti yang
sudah digantikan oleh KJUB. Misalnya, truk pengangkut sawit dari kebun petani
ke pabrik sekarang sudah dibeli oleh koperasi. Belakangan, mereka menawar
pabrik milik inti. Bahkan mereka merencanakan membeli seluruh kebun inti.
Harapan mereka, suatu saat koperasi itulah yang akan menjadi inti.
Artikel ini dimuat Bisnis
Indonesia, 24 Mei 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar