Kamis, 23 April 2015

Agribisnis: Tuntutan



AGRIBISNIS: TUNTUTAN
Oleh Tika Noorjaya

Ketika arus dollar dari kran minyak dan gas bumi (migas) mulai seret, bukan tanpa alasan kalau kemudian orang berpaling kembali ke sektor nonmigas. Berbagai argumen pada dasarnya ber­muara pada pernyataan bahwa di antara sektor nonmigas yang dapat dijadikan alternatif yang baik untuk menggaet dollar antara  lain adalah penggalakan agribisnis. Namun demikian, pemahaman terhadap kata agribisnis ada kalanya rancu. Ada anggapan seolah-olah agribisnis adalah bisnis di bidang pertanian dengan modal besar, teknologi tinggi dan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan bertani subsisten, yakni cara bertani yang hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Padahal, agribisnis adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pembuatan dan penyaluran kebutuhan usahatani (sarana produksi), kegiatan produksi, penyimpanan,  pengolahan,  serta  penyaluran  hasil-hasilnya (Drillon, 1970). Tampak bahwa agribisnis merupakan suatu sistem.

Penjernihan semantik di atas bukan terlahir dari sikap cerewet, melainkan kekhawatiran untuk terus berpikir yang besar-besar, canggih, modern, dan yang serba "wah", sementara potensi dan kebutuhan untuk mendapat penanganan yang intensif sebagian besar terletak pada bidang-bidang yang sebaliknya: teknologi rendah, pemilikan lahan yang sempit, terpencil, tradisional, subssisten, miskin, dan sebagainya. Demikian pula, dengan memandang agribisnis sebagai sistem, maka masalah setiap subsistem seyogyanyalah dikuasai, dikenal sifat-sifatnya serta diketahui pula kaitan dan ketergantungan antara persoalan yang satu dengan persoalan yang lainnya.

Dengan pemahaman seperti itu, kita tidak dapat hanya berkutat untuk menghasilkan produksi pertanian yang dipasarkan sebagai mata-dagangan primer saja, tapi juga melangkah lebih jauh dalam bidang pengolahan sehingga diperoleh nilai tambah yang maksimum. Juga pengembangan sarana produksi yang diantaranya masih ada yang diimpor. Demikian pula, bidang-bidang pertanian (agro) yang harus dibisniskan seyogyanyalah lebih menyeluruh, tidak hanya diasosiasikan pada bidang-bidang yang lebih  besar, canggih, modern, dan semacamnya. Merekalah kelompok besar petani kita yang jauh dari penglihatan, belum begitu akrab dengan informasi, apalagi hiruk-pikuknya pasar modern. Dalam kaitan ini,  ada baiknya kalau kita ingat pula sejarah kehadiran penjajah di negeri ini, yang antara lain bermula dari ketertarikan mereka pada mata-dagangan rempah-rempah tradisional. Adakah kita seka­rang lebih berminat untuk melanjutkan keberhasilan pengembangan cengkeh dengan lebih mengintensifkan pengembangan rempah-rempahan lainnya seperti lada, pala, jahe, kayu manis, ketumbar, dan sema­camnya, yang notebene sebagian besar dihasilkan rakyat  kecil. 

Kita memang mengutuk penjajahan, tetapi kiranya bukan alasan untuk membenci berbagai mata-dagangan yang pernah berjaya  tersebut, yang sekarang pun prospek pasarnya masih tetap baik. Pada sisi  lain, rebung bambu, buah-buahan dan bunga-bungaan tanaman tropis, agaknya mempunyai peluang pasar yang baik juga.

Namun  demikian, kita tidak boleh terjerumuss pada ekstrem lainnya, yakni melupakan unit bisnis yang besar-besaran dengan berbagai kelebihan. Bahkan, dalam strategi pola pengembangan yang mengaitkan pihak yang kuat dengan yang lemah, seperti dalam pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang antara lain dilandasi pemerataan dan alih-teknologi, peranan perusahaan inti -- yang tak lain adalah perusahaan besar -- sangat penting untuk mempercepat tercapainya pertanian yang tangguh.

Demikian banyak masalah, namun demikian banyak harapan tertumpu. Sehingga Frans Seda -- dalam wawasan yang lebih luas -- pernah menyarankan agar dalam Pelita V Direktorat Jendral Perkeb­unan ditingkatkan statusnya menjadi Departemen. Barangkali, saran ini adalah sebuah alternatif, meskipun pembentukan Direktorat Jendral Pertanian Rakyat (Ditjentanra) di bawah menteri Pertani­an, barangkali dapat dijadikan alternatif lainnya.Pembentukan Ditjentanra yang khusus menangani pengembangan pertanian rakyat (bukan hanya perkebunan, tapi juga  peternakan, pangan, dan perikanan) diharapkan menjadi langkah koordinatif untuk merealisasikkan dan merupakan langkah nyata menuju terca­painya Tri Matra Pembangunan Pertanian, yang meliputi usahatani terpadu, komoditi terpadu dan wilayah terpadu.

Dengan keterpaduan ini agaknya agribisnis dapat menjadi tumpuan perekonomian Indonesia kalau diingat besarnya peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, penghasil devisa dan unsur yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto; sehingga penggalakannya diharapkan dapat mengulangi kejayaan masa lalu. Namun, penggalakan agribisnis menghadirkan berbagai tuntu­tan, kalau diingat demikian banyak masalah yang harus  ditangani. 

Masalahnya, bagaimanakah agar tumpuan dan tuntutan ini  dapat dipertemukan ?


CATATAN:
Artikel ini terbit pada Majalah Dwimingguan Jakarta-Jakarta Nomor 84, 12-18 Februari 1988 dalam rubrik Debat Gagasan, yang merupakan arena bagi perdebatan atau polemik dengan tema yang diajukan Redaksi Jakarta-Jakarta kepada cendekiawan Indonesia. Saat itu, artikel ini ditanggapi oleh DR. Ir. M. Amin Aziz dengan judul Agribisnis dan Kendala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar