AGRIBISNIS: TUNTUTAN
Oleh Tika Noorjaya
Ketika
arus dollar dari kran minyak dan gas bumi (migas) mulai seret, bukan tanpa
alasan kalau kemudian orang berpaling kembali ke sektor nonmigas. Berbagai
argumen pada dasarnya bermuara pada pernyataan bahwa di antara sektor nonmigas
yang dapat dijadikan alternatif yang baik untuk menggaet dollar antara
lain adalah penggalakan agribisnis. Namun demikian, pemahaman terhadap kata
agribisnis ada kalanya rancu. Ada anggapan seolah-olah agribisnis adalah bisnis
di bidang pertanian dengan modal besar, teknologi tinggi dan nilai tambah yang
lebih besar dibandingkan bertani subsisten, yakni cara bertani yang hanya
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Padahal, agribisnis adalah semua kegiatan
yang berhubungan dengan pembuatan dan penyaluran kebutuhan usahatani (sarana produksi),
kegiatan produksi, penyimpanan, pengolahan, serta penyaluran
hasil-hasilnya (Drillon, 1970). Tampak bahwa agribisnis merupakan suatu
sistem.
Penjernihan
semantik di atas bukan terlahir dari sikap cerewet, melainkan kekhawatiran
untuk terus berpikir yang besar-besar, canggih, modern, dan yang serba
"wah", sementara potensi dan kebutuhan untuk mendapat penanganan yang
intensif sebagian besar terletak pada bidang-bidang yang sebaliknya: teknologi rendah,
pemilikan lahan yang sempit, terpencil, tradisional, subssisten, miskin, dan
sebagainya. Demikian pula, dengan memandang agribisnis sebagai sistem, maka
masalah setiap subsistem seyogyanyalah dikuasai, dikenal sifat-sifatnya serta
diketahui pula kaitan dan ketergantungan antara persoalan yang satu dengan
persoalan yang lainnya.
Dengan
pemahaman seperti itu, kita tidak dapat hanya berkutat untuk menghasilkan
produksi pertanian yang dipasarkan sebagai mata-dagangan primer saja, tapi juga
melangkah lebih jauh dalam bidang pengolahan sehingga diperoleh nilai tambah yang
maksimum. Juga pengembangan sarana produksi yang diantaranya masih ada yang diimpor.
Demikian pula, bidang-bidang pertanian (agro) yang harus dibisniskan
seyogyanyalah lebih menyeluruh, tidak hanya diasosiasikan pada bidang-bidang
yang lebih besar, canggih, modern, dan semacamnya. Merekalah kelompok
besar petani kita yang jauh dari penglihatan, belum begitu akrab dengan informasi,
apalagi hiruk-pikuknya pasar modern. Dalam kaitan ini, ada baiknya kalau
kita ingat pula sejarah kehadiran penjajah di negeri ini, yang antara lain
bermula dari ketertarikan mereka pada mata-dagangan rempah-rempah tradisional.
Adakah kita sekarang lebih berminat untuk melanjutkan keberhasilan
pengembangan cengkeh dengan lebih mengintensifkan pengembangan rempah-rempahan
lainnya seperti lada, pala, jahe, kayu manis, ketumbar, dan semacamnya, yang notebene
sebagian besar dihasilkan rakyat kecil.
Kita
memang mengutuk penjajahan, tetapi kiranya bukan alasan untuk membenci berbagai
mata-dagangan yang pernah berjaya tersebut, yang sekarang pun prospek
pasarnya masih tetap baik. Pada sisi lain, rebung bambu, buah-buahan dan
bunga-bungaan tanaman tropis, agaknya mempunyai peluang pasar yang baik juga.
Namun
demikian, kita tidak boleh terjerumuss pada ekstrem lainnya, yakni
melupakan unit bisnis yang besar-besaran dengan berbagai kelebihan. Bahkan,
dalam strategi pola pengembangan yang mengaitkan pihak yang kuat dengan yang
lemah, seperti dalam pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang antara lain
dilandasi pemerataan dan alih-teknologi, peranan perusahaan inti -- yang tak
lain adalah perusahaan besar -- sangat penting untuk mempercepat tercapainya
pertanian yang tangguh.
Demikian
banyak masalah, namun demikian banyak harapan tertumpu. Sehingga Frans Seda --
dalam wawasan yang lebih luas -- pernah menyarankan agar dalam Pelita V
Direktorat Jendral Perkebunan ditingkatkan statusnya menjadi Departemen.
Barangkali, saran ini adalah sebuah alternatif, meskipun pembentukan Direktorat
Jendral Pertanian Rakyat (Ditjentanra) di bawah menteri Pertanian, barangkali
dapat dijadikan alternatif lainnya.Pembentukan Ditjentanra yang
khusus menangani pengembangan pertanian rakyat (bukan hanya perkebunan, tapi
juga peternakan, pangan, dan perikanan) diharapkan menjadi langkah
koordinatif untuk merealisasikkan dan merupakan langkah nyata menuju tercapainya
Tri Matra Pembangunan Pertanian, yang meliputi usahatani terpadu, komoditi
terpadu dan wilayah terpadu.
Dengan
keterpaduan ini agaknya agribisnis dapat menjadi tumpuan perekonomian Indonesia
kalau diingat besarnya peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, penghasil
devisa dan unsur yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto; sehingga
penggalakannya diharapkan dapat mengulangi kejayaan masa lalu. Namun,
penggalakan agribisnis menghadirkan berbagai tuntutan, kalau diingat demikian
banyak masalah yang harus ditangani.
Masalahnya,
bagaimanakah agar tumpuan dan tuntutan ini dapat dipertemukan ?
CATATAN:
Artikel ini terbit pada Majalah
Dwimingguan Jakarta-Jakarta Nomor 84,
12-18 Februari 1988 dalam rubrik Debat
Gagasan, yang merupakan arena bagi perdebatan atau polemik dengan tema yang
diajukan Redaksi Jakarta-Jakarta
kepada cendekiawan Indonesia. Saat itu, artikel ini ditanggapi oleh DR. Ir. M.
Amin Aziz dengan judul Agribisnis dan
Kendala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar