Dimuat Harian Umum Kompas,
MINGGU, 20 MARET 1988.
Penulis: Syed Husein Alatas.
Penerjemah: Nirwono .
Penerbit: LP3ES, Jakarta.
ISBN 979-8015-37-1
Cetakan Pertama: Desember 1987.
Tebal: xx + 323 halaman.
KORUPSI.
Demikian lekat kata ini dalam kehidupan kita. Sedemikian lekatnya, sehingga
kadang-kadang kita alpa bahwa sesungguhnya concern
kita terhadap masalah korupsi
demikian dangkal dan sementara. Coba simak masa lampau. Demikian sering
dibahas, demikian banyak perangkat dan aparat digelar untuk mengenyahkannya,
namun demikian cepat pula raib untuk kemudian kita terperangah manakala
mendengar korupsi tahap berikutnya.
Benar
pula tercekalnya banyak koruptor belakangan ini merupakan keberhasilan
aparat dalam menunaikan tugasnya; tetapi
- dari sisi lain itu juga berarti
keberhasilan koruptor yang lepas dari pengawasan aparat, sehingga sempat melaksanakan hajatnya. Karena itu, agaknya
benar bahwa dalam hal korupsi sampai kini kita baru mampu menanganinya secara
kuratif dan bukannya preventif. Karena itulah gebrakan Kepala Negara dalam
mengawali tahun ini dengan mengungkapkan
(kembali) tekadnya untuk memberantas korupsi secara fundamental dengan upaya
dan tindakan preventif, menjadi sangat bermakna. Dalam kaitan ini, kita
berharap gebrakan ini akan merupakan inspirasi yang mendalam bagi
para penguasa, karena seperti diungkapkan dalam buku ini, "Kelompok yang memerintah
adalah angin, dan rakyat adalah semacam alang-alang. Ke mana angin bertiup, ke
sanalah alang-alang meliuk"
(hal.66).
ANALISA
Buku
ini, yang
hadir hampir bertepatan dengan gebrakan Kepala Negara tersebut, seakan gayung bersambut.
Betapa tidak. Walaupun buku ini tidak menyarankan program antikorupsi untuk
negara-negara tertentu (tidak juga bagi Indoonesia), tetapi dengan jernih dan
otoritatif Prof. S.H, Alatas (SHA) menawarkan analisa serta renungan yang mendalam
tentang
latar belakanç korupsi dan petunjuk bagi langkah yang praktis dan terencana melawan korupsi, yang terutama
ditinjau dari segi kultural, sosial dan historis,
serta pemerintahan. Cara mengkajinya juga sistematis. "Kajian korupsi”, tuturnya, "seperti
penyakit. Syarat pertamanya ialah mengetahui sifat penyakit, lalu
penyebarannya, lalu sebab musabab dan kondisinya, kemudian akibat dan pada
akhirnya obatnya" hal. xxiv.
Pembagian kedelapan bab yang ada dalam buku ini menunjukan hal itu: Pendahuluan (1); Korupsi di Kekaisaran Romawi
(2); Korupsi di Cina Kuno (3); Korupsi di Asia Dewasa Ini (4); Sebab-sebab
Korupsi di Masyarakat Asia (5); Pengaruh-pengaruh Korupsi (6); Ideologi Korupsi
(7); dan Penutup (8), yang banyak membicarakan pemberantasan korupsi
dalam pemerintahan.
Dengan
cara kajian seperti itu, tak mengherankan kalau kemudian kita diajak
menjelajahi persoalan korupsi secara panjang-lebar sebelum sampai padá terapinya, sehingga
kerancuan terhadap watak dan fungsi
korupsi tersibak, yang memungkinkan kita lebih mudah menilai sebab-sebab dan
akibat-akibat korupsi. Demikianlah, pelacakan jejak korupsi di Kekaisaran
Romawi dan Cina Kuno, misalnya, meskipun
terasa berkepanjangan, namun ternyata begitu banyak pelajaran yang dapat diperoleh mengenai seluk-beluk
korupsi. Dari pengalaman Kekaisaran Romawi misalnya, kita dapat bercermin
bagaimana korupsi telah menyebabkan keruntuhan kekaisaran yang selanjutnya
mengakibatkan penindasan terhadap rakyat miskin. Dari pengalaman Cina Kuno,
kita misalnya, disodori bagaimana pandangan
orang-orang bijak Cina dan pejabat pemerintah yang berkepentingan tentang
korupsi di mana meskipun "… mereka mengutuknya (korupsi) sebagai
kejahatan, namun pemahaman mereka mengenai sebab-musabab dan cara pencegahannya
berbeda-beda (hal.165), yang secara garis besar bermuara pada
perdebatan mengenai "… apakah hukum ataukah orang yang lebih penting (hal)
291), yang masing-masing Konfusius di satu pihak dan Han Fee Tzo di pihak lain sebagai wakilnya
memberikan penjelasan yang kongkret, praktis, dan masuk akal.
Masalah
ini menjadi jelas pada zaman Wang An Sie
negarawan besar dan pembaru Cina
yang dengan bersemangat berusaha mengikis kejahatan korupsi di
zamannya. "Sejarah membuktikan
mustahil untuk memastikan tegaknya pemerintahan yang baik dengan hanya
mengandalkan kekuatan hukum untuk mengawasi para pejabat, apabila mereka ini
tidak terdiri dari orang-orang yang tepat
untuk jabatan mereka, katanya (hal.77). Tidak hanya itu, tetapi juga bagaimana "membina orang-orang jujur
dalam jumlah yang cukup (hal.78).
Dari
pelacakan korupsi di Asia, kita disodori kajian historis tentang berbagai
sebab-akibat cara dan bentuk korupsi dengan mengemukakan contoh terutama dari
Indonesia, India, Pakistan, dan Rusia, serta perbandingannya dengan Amerika
Serikat. Namun, hal yang agaknya menarik dari pembahasan di sini adalah ketika
SHA memaparkan penjelasan struktural mengenai asal-usul korupsi. "Dalam konteks Asia dewasa ini,
berpaling kepada individu tampaknya lebih besar daripada kepada struktur. Jika
kita perhatikan pada Pemerintah Indonesia bukanlah undang-undang dan peraturan
yang tidak ada melainkan faktor-faktor yang ada di luar struktur pemerintah
(hal. 165). Pernyataan ini agaknya konsisten dengan pendapatnya baru-baru ini
ketika SHA diwawancarai majalah Editor (2 Januari 1988). Katanya, "Korupsi
di Indonesia bisa diberantas. Peraturan sudah cukup, tinggal menjalankan. Yang
diperlukan (adalah) pimpinan yang bersih dan ada kemauan yang kuat. Kemauan itu
mesti lebih kuat lagi di kalangan yang berkuasa. Kemauan itu sudah ada, tapi
tidak menyeluruh.
Kenapa
tidak menyeluruh ? Apakah ini karena korupsi telah menjadi budaya kita, seperti
telah disinyalir almarhum Bung Hatta beberapa waktu lalu ? Kalau demikian,
pemberantasan korupsi agaknya sudah sepantasnya dijadikan gerakan budaya. Dalam
hal ini, antara lain kita perlu "membangkitkan sebanyak mungkin orang
untuk melawan korupsi, membangun kesadaran intelektual melawan korupsi,
memperingatkan para pemuda akan bahaya korupsi bagi masyarakat manusia, menjadikan korupsi sebagai inti
percakapan, membuang rasa hormat dan kepercayaan kepada orang yang korup, menghubungkan
korupsi mereka dengan masalah-masalah kenegaraan, dan menulis sebanyak mungkin
tentang korupsi. (hal.291).
Satu
hal yang agaknya kurang disinggung oleh SHA adalah pemberian penghargaan
kepada pihak-pihak atau perorangan
(terutama pejabat yang tidak mau menerima atau terbebas dari korupsi padahal,
cara begini selain menumbuhkan rasa bangga bagi yang bersangkutan dan
diharapkan yang bersangkutan malu untuk melakukan korupsi juga dapat menjadi
teladan bagi yang lain. Orang yang bersalah patut mendapat hukuman, tetapi
sebaliknya, orang yang baik patut diberi
imbalan.
Gabungan
upaya-upaya tersebut dengan tekad pemerintah untuk memberantas korupsi agaknya
mampu memberi sebersit harap. Namun, harapan itu juga menghujamkan pertanyaan
ke jantung kita, adakah kita telah
meneliti diri bahwa kita terbebas dari korupsi. Sebagai bahan pembanding dalam
penelitian diri ini, coba simak definisi, ciri-ciri dan tipologi korupsi
yang demikian rinci dibahas dalam buku
ini. Adakah kita termasuk di dalamnya ?
Hal
lain yang menarik dari buku ini adalah ketekunan SHA untuk menggeluti
kepustakaan lama maupun mutakhir, termasuk karya orang-orang yang tidak sepaham
dengannya. Kepada yang terakhir ini, SHA
tak segan-segan untuk "mendamprat" seperti kepada Samuel P. Huntington, Robert K. Merton, Nathaniel
H.Leff, Henry J. Ford, Edward A. Roso
dan lain-lain, yang dipandangnya merupakan penyumbang utama dalam
menciptakan ideologi korupsi yang terselubung, serta menilainya sebagai iblis
pembela (defentio diabolica) yang
paling maju.
Dalam
dampratannya itu antara lain SHA membabat-habis pandangan yang menganggap bahwa
korupsi memberikan fungsi fositif dalam pembangunan. “Mereka yang main-main
dengan gagasan korupsi sebagai sesuatu yang fungsional dalam pembangunan
mengabaikan bukti-bukti yang terkumpul
hampir selama setengah abad dari negara-negara Dunia Ketiga, yaitu bahwa
korupsilah yang menghalangi pembangunan mereka (hal. 287).
Caranya
mendamprat dalam buku ini mengingatkan saya akan cara yang sama dalam karya SHA
yang terdahulu seperti dalam The Myth of the Lazy Native dan Intellectuals in Developing Societies –
yang keduanya terbit tahun 1977 : tegas dan memerahkan telinga yang
didampratnya. Sulit dinilai, apakah cara begini merupakan kelemahan atau
jusrtru keunggulan buku ini.
Sayangnya,
buku yang informatif dan penuh gagasan kritis ini tidak memiliki subjudul di
bawah judul bab untuk mengelompokan gagasan tertentu, sehingga "rasa
lelah” untuk membaca halaman-halaman tertentu tak terhindarkan. Meskipun
demikian, buku ini tidak dapat diabaikan bukan hanya bagi
"moralis-rasional” yang menilai korupsi sebagai aib, tapi juga bagi para
penentangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar