Sabtu, 18 April 2015

KORUPSI: Melacak Jejak, Meneliti Diri

Resensi Buku oleh Tika Noorjaya

Dimuat Harian Umum Kompas, MINGGU, 20 MARET 1988.

Judul Buku: Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi.
Penulis: Syed Husein Alatas. 
Penerjemah: Nirwono .
Penerbit: LP3ES, Jakarta.
ISBN 979-8015-37-1
Cetakan Pertama: Desember 1987.
Tebal:  xx + 323 halaman.


KORUPSI. Demikian lekat kata ini dalam kehidupan kita. Sedemikian lekatnya, sehingga kadang-kadang kita alpa bahwa sesungguhnya concern kita terhadap masalah korupsi demikian dangkal dan sementara. Coba simak masa lampau. Demikian sering dibahas, demikian banyak perangkat dan aparat digelar untuk mengenyahkannya, namun demikian cepat pula raib untuk kemudian kita terperangah manakala mendengar korupsi tahap berikutnya.

Benar pula tercekalnya banyak koruptor belakangan ini merupakan keberhasilan aparat  dalam menunaikan tugasnya; tetapi -­  dari sisi lain ­­ itu juga berarti keberhasilan koruptor yang lepas dari pengawasan aparat, sehingga sempat  melaksanakan hajatnya. Karena itu, agaknya benar bahwa dalam hal korupsi sampai kini kita baru mampu menanganinya secara kuratif ­­ dan bukannya preventif. Karena itulah gebrakan Kepala Negara dalam mengawali tahun ini dengan  mengungkapkan (kembali) tekadnya untuk memberantas korupsi secara fundamental dengan upaya dan tindakan preventif, menjadi sangat bermakna. Dalam kaitan ini, kita berharap gebrakan ini akan merupakan inspirasi yang mendalam bagi para penguasa, karena seperti diungkapkan dalam buku ini, "Kelompok yang memerintah adalah angin, dan rakyat adalah semacam alang-alang. Ke mana angin bertiup, ke sanalah alang-alang meliuk" (hal.66).

ANALISA

Buku ini, yang hadir hampir bertepatan dengan gebrakan Kepala Negara tersebut, seakan gayung bersambut. Betapa tidak. Walaupun buku ini tidak menyarankan program antikorupsi untuk negara-negara tertentu (tidak juga bagi Indoonesia), tetapi dengan jernih dan otoritatif Prof. S.H, Alatas (SHA) menawarkan analisa serta renungan yang mendalam tentang latar belakanç korupsi dan petunjuk bagi langkah yang  praktis dan terencana melawan korupsi, yang terutama ditinjau  dari segi kultural, sosial dan historis, serta pemerintahan. Cara mengkajinya juga sistematis. "Kajian korupsi, tuturnya, "seperti penyakit. Syarat pertamanya ialah mengetahui sifat penyakit, lalu penyebarannya, lalu sebab musabab dan kondisinya, kemudian akibat dan pada akhirnya obatnya" hal. xxiv. Pembagian kedelapan bab yang ada dalam buku ini menunjukan hal itu:  Pendahuluan (1); Korupsi di Kekaisaran Romawi (2); Korupsi di Cina Kuno (3); Korupsi di Asia Dewasa Ini (4); Sebab-sebab Korupsi di Masyarakat Asia (5); Pengaruh-pengaruh Korupsi (6); Ideologi Korupsi (7); dan Penutup (8), yang  banyak membicarakan pemberantasan korupsi dalam pemerintahan.

Dengan cara kajian seperti itu, tak mengherankan kalau kemudian kita diajak menjelajahi persoalan korupsi secara panjang-lebar sebelum sampai padá terapinya, sehingga kerancuan  terhadap watak dan fungsi korupsi tersibak, yang memungkinkan kita lebih mudah menilai sebab-sebab dan akibat-akibat korupsi. Demikianlah, pelacakan jejak korupsi di Kekaisaran Romawi dan  Cina Kuno, misalnya, meskipun terasa berkepanjangan, namun ternyata begitu banyak pelajaran  yang dapat diperoleh mengenai seluk-beluk korupsi. Dari pengalaman Kekaisaran Romawi misalnya, kita dapat bercermin bagaimana korupsi telah menyebabkan keruntuhan kekaisaran yang selanjutnya mengakibatkan penindasan terhadap rakyat miskin. Dari pengalaman Cina Kuno, kita  misalnya, disodori bagaimana pandangan orang-orang bijak Cina dan pejabat pemerintah yang berkepentingan tentang korupsi di mana meskipun "… mereka mengutuknya (korupsi) sebagai kejahatan, namun pemahaman mereka mengenai sebab-musabab dan cara pencegahannya berbeda-beda (hal.165), yang secara garis besar bermuara pada perdebatan mengenai "… apakah hukum ataukah orang yang lebih penting (hal) 291), yang masing-masing ­­ Konfusius di satu pihak dan Han Fee  Tzo di pihak lain sebagai wakilnya ­­ memberikan penjelasan yang kongkret, praktis, dan masuk akal.

Masalah ini menjadi jelas pada zaman Wang An Sie  ­­ negarawan besar dan pembaru Cina  ­­ yang dengan bersemangat berusaha mengikis kejahatan korupsi di zamannya. "Sejarah  membuktikan mustahil untuk memastikan tegaknya pemerintahan yang baik dengan hanya mengandalkan kekuatan hukum untuk mengawasi para pejabat, apabila mereka ini tidak terdiri dari  orang-orang yang tepat untuk jabatan mereka, katanya (hal.77). Tidak hanya itu, tetapi juga   bagaimana "membina orang-orang jujur dalam jumlah yang cukup (hal.78).

Dari pelacakan korupsi di Asia, kita disodori kajian historis tentang berbagai sebab-akibat cara dan bentuk korupsi dengan mengemukakan contoh terutama dari Indonesia, India, Pakistan, dan Rusia, serta perbandingannya dengan Amerika Serikat. Namun, hal yang agaknya menarik dari pembahasan di sini adalah ketika SHA memaparkan penjelasan struktural mengenai asal-usul  korupsi. "Dalam konteks Asia dewasa ini, berpaling kepada individu tampaknya lebih besar daripada kepada struktur. Jika kita perhatikan pada Pemerintah Indonesia bukanlah undang-undang dan peraturan yang tidak ada melainkan faktor-faktor yang ada di luar struktur pemerintah (hal. 165). Pernyataan ini agaknya konsisten dengan pendapatnya baru-baru ini ketika SHA diwawancarai majalah Editor (2 Januari 1988). Katanya, "Korupsi di Indonesia bisa diberantas. Peraturan sudah cukup, tinggal menjalankan. Yang diperlukan (adalah) pimpinan yang bersih dan ada kemauan yang kuat. Kemauan itu mesti lebih kuat lagi di kalangan yang berkuasa. Kemauan itu sudah ada, tapi tidak menyeluruh.

Kenapa tidak menyeluruh ? Apakah ini karena korupsi telah menjadi budaya kita, seperti telah disinyalir almarhum Bung Hatta beberapa waktu lalu ? Kalau demikian, pemberantasan korupsi agaknya sudah sepantasnya dijadikan gerakan budaya. Dalam hal ini, antara lain kita perlu "membangkitkan sebanyak mungkin orang untuk melawan korupsi, membangun kesadaran intelektual melawan korupsi, memperingatkan para pemuda akan bahaya korupsi bagi masyarakat  manusia, menjadikan korupsi sebagai inti percakapan, membuang rasa hormat dan kepercayaan  kepada orang yang korup, menghubungkan korupsi mereka dengan masalah-masalah kenegaraan, dan menulis sebanyak mungkin tentang korupsi. (hal.291).

Satu hal yang agaknya kurang disinggung oleh SHA adalah pemberian penghargaan kepada  pihak-pihak atau perorangan (terutama pejabat yang tidak mau menerima atau terbebas dari korupsi padahal, cara begini selain menumbuhkan rasa bangga bagi yang bersangkutan ­­ dan diharapkan yang bersangkutan malu untuk melakukan korupsi ­­ juga dapat menjadi teladan bagi yang lain. Orang yang bersalah patut mendapat hukuman, tetapi sebaliknya, orang yang baik patut diberi  imbalan.     

Gabungan upaya-upaya tersebut dengan tekad pemerintah untuk memberantas korupsi agaknya mampu memberi sebersit harap. Namun, harapan itu juga menghujamkan pertanyaan ke  jantung kita, adakah kita telah meneliti diri bahwa kita terbebas dari korupsi. Sebagai bahan pembanding dalam penelitian diri ini, coba simak definisi, ciri-ciri dan tipologi korupsi yang  demikian rinci dibahas dalam buku ini. Adakah kita termasuk di dalamnya ? 

Hal lain yang menarik dari buku ini adalah ketekunan SHA untuk menggeluti kepustakaan lama maupun mutakhir, termasuk karya orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Kepada  yang terakhir ini, SHA tak segan-segan untuk "mendamprat" seperti kepada Samuel  P. Huntington, Robert K. Merton, Nathaniel H.Leff, Henry J. Ford, Edward A. Roso  dan lain-lain, yang dipandangnya merupakan penyumbang utama dalam menciptakan ideologi korupsi yang terselubung, serta menilainya sebagai iblis pembela (defentio diabolica) yang paling  maju.

Dalam dampratannya itu antara lain SHA membabat-habis pandangan yang menganggap bahwa korupsi memberikan fungsi fositif dalam pembangunan. “Mereka yang main-main dengan gagasan korupsi sebagai sesuatu yang fungsional dalam pembangunan mengabaikan bukti-bukti  yang terkumpul hampir selama setengah abad dari negara-negara Dunia Ketiga, yaitu bahwa korupsilah yang menghalangi pembangunan mereka (hal. 287).

Caranya mendamprat dalam buku ini mengingatkan saya akan cara yang sama dalam karya SHA yang terdahulu ­­  seperti dalam The Myth of the Lazy Native dan Intellectuals in Developing Societies – yang keduanya terbit tahun 1977 ­­: tegas dan memerahkan telinga yang didampratnya. Sulit dinilai, apakah cara begini merupakan kelemahan atau jusrtru keunggulan buku ini.

Sayangnya, buku yang informatif dan penuh gagasan kritis ini tidak memiliki subjudul di bawah judul bab untuk mengelompokan gagasan tertentu, sehingga "rasa lelah” untuk membaca halaman-halaman tertentu tak terhindarkan. Meskipun demikian, buku ini tidak dapat diabaikan bukan hanya bagi "moralis-rasional” yang menilai korupsi sebagai aib, tapi juga bagi para penentangnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar