Sabtu, 25 April 2015

Memutus Laju Tumbuh Rentenir

Memutus Laju Tumbuh Rentenir
Oleh Tika Noorjaya
 
Membicarakan rentenir ingatan kita seakan tidak terlepas dari bayangan, betapa keparatnya homo economicus yang satu itu. Halnya, barangkali karena demikian gencar kita dijejali dengan informasi tentang kerakusan rentenir, baik dari buku, surat kabar, tetangga, saudara, atau mungkin kita sendiri pernah beru­rusan dengannya dan terkena perangkapnya.

Caci maki, sumpah serapah dan semacamnya, barangkali akan tetap berkumandang, karena nampaknya situasi dan kondisi kelemba­gaan kita saat ini belum mampu memutus laju tumbuh akar permasa­lahannya. Kalau demikian, di mana kita dapat menemukan titik tumbuhnya; dan yang lebih penting lagi, bagaimana melakukan upaya nyata untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya menghambat laju tumbuhya.
 
Bank Terlalu Elite
 
Sejak uang dijadikan sebagai alat penukar yang sah, kebutu­han manusia akan uang terus meningkat, baik dalam rangka produksi maupun konsumsi. Sementara di sisi lain, sumberdaya untuk mempe­rolehnya selain terbatas, juga penguasaannya tidak merata, terma­suk akses yang rendah akan informasi mengenai seluk-beluk dunia perbankan formal bagi sebagian besar yang memerlukan bantuannya.

Masyarakat kita sebagai bagian dari negara berkembang, memang majemuk dalam berbagai hal, tidak terkecuali pengenalannya terha­dap dunia perbankan. Ada yang sudah akrab, baru akrab, mulai mengenal, baru tahu dan tak kurang pula yang tidak tahu. Bagi orang yang "tahu" sekalipun diantaranya masih ada yang menganggap bank telalu elite, sehingga hanya untuk mendatanginya saja tidak cukup keberanian, apalagi untuk urusan pengajuan kredit. Karena itu kiranya tidak mengherankan adaikata calo bank tumbuh subur sebagai lembaga perantara, yang kadang-kadang meminta balas-jasa yang tidak sedikit, yang dipotong langsung pada saat menerima uang, di samping saat-saat pengurusannya. Sehingga, secara rela­tif bunga uang menjadi lebih tinggi dari ketentuan perbankan.

Mereka adalah sebagian sebagian masyarakat yang beruntung, karena tidak didorong kebutuhan yang mendesak, memiliki akses terhadap kredit serta mempunyai sedikit pengetahuan/kemampuan untuk menembus syarat-syarat perbankan. Namun, di samping itu, ada juga masyarakat kita yang karena berbagai keterbatasannya menjadi terjerat oleh rentenir dengan beban bunga yang sangat tinggi, padahal mungkin bermula dari kebaikan, yakni kebaikan sang rentenir "menolong" kesulitan "nasabahnya" yang mendesak untuk mengobati anggota keluarga yag sakit, membayar SPP anak sekolah, memberan­tas hama/penyakit tanaman, menambah modal usaha, menyumbang selamatan tetangga, ... atau bahkan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka pada hari itu. Minta Kredit dari Bank ? Wow!, jangan harap; untuk mengurusinya saja tidak cukup dua atau tiga hari, bahkan mungkin tidak cukup dua atau tiga bulan.

Memang perbankan sebagai salah satu dari lembaga keuangan formal, dalam usahanya perlu mengamankan uangnya, yang dalam prosesnya memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit (?), untuk mengurus persyaratan adminitrasi, menganalisa kelayakan, membubuhkan paraf, membubuhkan tanda tangan, dan sebagainya. Apa boleh buat, birokrasi yang panjang harus dilewati. Tanpa itu ? Sorry! Lain dari itu, kalau kita menengok ke pedesaan di mana sebagian besar penduduk kita berdesakan, maka kita temui juga kenyataan bahwa bank formal yang ada di sana sedemikian terbatas­nya, sehingga orang-orang yang memerlukannya terpaksa mencari alternatif lain.

Seperti kita maklumi, di pedesaan kita mengenal kelembagaan keuangan formal lainnya, yaitu koperasi dan bank pasar. Bagi sebagian desa yang berdekatan dengan kota ada juga pegadaian.

Sebagai bangun usaha yang dijadikan sokoguru perekonomian Indonesia, koperasi telah menampakkan kemajuan dalam beberapa kegiatan ekonomi atara lain dalam keterlibatannya untuk menyalur­kan kredit dari pemerintah serta adanya unit usaha simpan pinjam; walaupun kabarnya lebih banyak anggota/pegawai yang meminjam daripada yang menyimpan; tak lupa sebagian menunggak! (rasanya sangat sulit untuk melupakan berita-berita yang melaporkan tung­gakan-tunggakan kredit yang disalurkan oleh koperasi yang jum­lahnya mencapai milyaran rupiah). Demikiam pula, kekurangan modal koperasi seakan telah merupakan alasan klasik, yang kembali menunjukkan masih kurangnya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit. Meskipun demikian, dengan adanya kredit yang disalurkan koperasi serta adanya unit simpan pinjam telah banyak menyentuh dan membantu masyarakat lapisan bawah, yang karenanya upaya semacam itu seyogianya mendapat perhatian yang lebih besar, dengan menggali kemungkinan lainnya.

Kelembagaan lainnya adalah pegadaian yang sudah beroperasi sejak lama. Akan tetapi, lembaga ini sering disinyalir orang kurang efektif, karena sistem penilaian barangnya kurang sepadan, dalam arti besarnya pinjaman jauh lebih kecil daripada nilai barang yang sesungguhnya; sehingga kiranya cukup alasan apabila para rentenir cukup rajin "mangkal" di tempat ini. Bahkan, ada pula yang mensinyalir adanya aparat kantor pegadaian yang merangkap sebagai rentenir (lelucon macam apa pula ini ?). Lagi pula, tidak semua desa mempunyai kantor pegadaian.

Sedangkan  bank pasar, kurang banyak dirasakan manfaatnya, karena biasanya modal kerjanya rendah dan hanya "melayani" orang-orang pasar tertentu. (BERSABUNG)

Barangkali,  kita perlu mengakui kenyataan bahwa perbankan dan kelembagaan keuangan lainnya secara keseluruhan masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit dalam jumlah dan waktu yang tepat dan cepat. Karenanya, sumber kredit dari kelembagaan non-formal seperti keluarga, kawan, arisan, pedagang besar, tuan tanah, pelepas uang, termasuk rentenir, masih diper­lukan. Dengan kata lain, kehadiran sumber kredit dari kelembagaan  non-formal bukanlah merupakan substitusi, melainkan komplemen bagi sumber kredit dari kelembagaan formal. Untuk membatasi permasalahan, dalam hal ini hanya akan dibahas masalah rentenir.

Nampaknya, perlu kita akui bahwa rentenir adalah wiraswasta yang mempunyai berbagai "keunggulan" (kata "keunggulan" perlu diberi tanda petik, karena keunggulan tersebut malahan menyudut­kan para nasabahnya). Mereka bersifat "ramah" serta selalu berse­dia membantu nasabahnya di mana saja, kapan saja dan siapa saja (yang memiliki jaminan, tentu), dan sebagainya. Mereka berkelil­ing dari satu pelosok ke pelosok lain untuk mencari nasabahnya; mereka ada di kantor pos tempat pembayaran tunjangan pensiun; mereka ada di kantor pegadaian; mereka ada di pematang sawah; lepas jam kerja mereka "mangkal" di warung-warung, atau ada juga yang seharian berada di pasar-pasar. Tegasnya merekalah yang aktif mencari nasabah, dan bukan sebaliknya (ini, berbeda dengan lembaga keuangan formal yang bersifat "menunggu").

Demikian pula sikap mereka terhadap ketentuan administratif. Mereka menentukan persyarata yang mudah; ada jaminan, buat per­janjian, uang diserahkan, selesai. Itu yang sudah moderen. Dalam hal khusus, bahkan tanpa jaminan; perjanjian pun cukup dengan lisan.

Demikianlah, dengan kemudahan, kecepatan, hubungan dekat dan berbagai cara lainnya, di satu sisi, serta kebutuhan peminjam yang mendesak di sisi lain, mereka menentukan tingkat suku bunga yang sangat tinggi, yaitu sekitar 150-200 persen setahun, bahkan dapat lebih tinggi lagi. Itulah kehidupan berbunga rentenir. Bunga bank resmi yang sekitar 15 persen setahun, di tangan rente­nir dapat berbunga-bunga sehingga menjadi berlipat-lipat. Bunga yang merupakan lambang keindahan, di tangan rentenir menjadi momok yang menakutkan!

Bukan hanya itu. Katanya, ada juga beberapa rentenir yang menarik keuntungan dari jaminan yang mereka terima dari nasabah­nya, yaitu dengan menjaminkannya kembali ke bank untuk memperoleh uang dengan bunga resmi. Uang tersebut kemudian mereka pinjamkan lagi dengan tarif bunga mereka yang tinggi. Demikian selanjutnya.

Kalau kita tinjau dari sudut distribusi, sekarang ini kita melihat kecenderungan pemberian prioritas yang tinggi bagi kredit produktif, tanpa perhatian yang memadai bagi kredit komsumtif; demikian pula kredit yang bersumber pada pemerintah dewasa ini sebagian besar adalah kredit bernilai besar, dan sedikit sekali jenis kredit yang nilainya kecil, sehingga agunan kreditnya sulit dipenuhi (pengertian kecil dan besar seyogianya dipandang dari sudut orang kecil, di mana mungkin Kredit Investasi Kecil sekali­pun bagi mereka merupakan Kredit Investasi Besar).

Dari paparan di muka, tampak bahwa kokoh dan berakarnya keberadaan rentenir karena disebabkan berbagai kondisi yang memberi peluang, di samping sang rentenir sendiri dengan "keung­gulannya" mampu memanfaatkan peluang tersebut.
 
Upaya-upaya
 
Tanpa mempertimbangkan aspek lain yang tidak dibahas di sini, dua hal kini sudah nampak jelas tentang keberadaan rente­nir, yakni adanya peluang dan pemanfaatan peluang. Karenanya, barangkali upaya untuk memutus laju tumbuh retenir antara lain dapat didekati dari kedua hal tersebut.

Upaya pertama yang dapat ditempuh adalah memperbanyak jenis kredit yang nilainya kecil-kecil dengan daya jangkau yang lebih luas serta meliputi kredit produktif dan kredit konsumtif secara tepat sasaran dan tepat waktu. Kalau selama ini prioritas tinggi diberikan pada kredit produktif, maka dalam pengembangannya kredit konsumtif seyogianya mendapat perhatian memadai, karena bagi masyarakat berpenghasilan rendah, peminjaman kredit bukan hanya untuk investasinya dalam rangka berproduksi (misalnya membeli pupuk, obat-obatan hama dan penyakit, dsb.), tapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok mereka yang mendesak akan makanan  dan pakaian, yang selanjutnya dimaksudkan untuk berpro­duksi. Bagi sektor ini, produksi dan konsumsi merupakkan keping uang bermata ganda; tidak dapat dipisah satu sama lainnya. Karena itu pula, pemberian prioritas yang tinggi pada kredit produktif tanpa ada alokasi yang memadai untuk kredit konsumtif, tampaknya perlu dipertanyakan lagi.

Kedua, kehadiran perbankan formal di pedesaan kiranya tidak dibatasi hanya dengan salah-satu bank pemerintah saja, agar selain menambah sumber kredit, juga diharapkan mampu menggali dana menganggur yang ada di pedesaan. Telah banyak disinyalir bahwa sumber dana pada masyarakatpedesaan selama ini belum diefektifkan dan dianggap kurang potensial, padahal bantuan sumbangan dana pembangunan dari pemerintah cukup besar setiap tahunnya; sementara banyak orang yang memperkirakan besarnya "uang nganggur" yang bertumpuk di pedesaan, walaupun tidak ada orang yang tahu berapa jumlahnya.

Dalam hal ini, hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Suse­nas) tahun 1980 kiranya dapat kita pertimbangkan, di mana 14% dari 25% hasrat/kecenderungan menabung berasal dari masyarakat pedesaan, walaupun sebagian masih dalam bentuk natura. Upaya menggali potensi ini cukup penting, dengan catatan hasil galian dana ini kiranya tidak "lari" ke kota, melainkan dimanfaatkan oleh orang desa.

Sejalan dengan itu, seyogianya ditempuh juga upaya ketiga, yaitu meningkatkan penyebaran informasi mengenai seluk-beluk perbankan dan kelembagaan keuangan formal lainnya, terutama bagi masyarakat lapisan bawah. Kalau selama ini kita kenal Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) atau Penyuluh Koperasi Lapangan (PKL), maka mungkin sudah saatnya untuk membentuk Penyuluh Bank Lapangan (PBL), yang bertugas memberikan penyuluhan mengenai peranan dan tata-cara berhubungan dengan bank, dan sebagainya.

Juga yang tidak kalah pentingnya adalah upaya Keempat, yakni meningkatkan kemampuan kewiraswastaan bagi para petugas kelembagaan keuangan formal, dengan mengubah strategi pelayanan yang pasif selama ini menjadi aktif, yang dalam pelaksanaanya barangkali dapat dibantu dengan melaksanakan upaya Kelima, yakni mem­bentuk lembaga perantara sebagai perpanjangan tangan dari bank, yang para pelaksananya adalah orang-orang yang cukup dekat dengan masyarakat serta kemampuannya dalam berwiraswasta tidak kalah ligat daripada para rentenir; atau mungkin para rentenir dapat bergabung dalam kelembagaan baru ini. Lembaga ini diberi pinjaman (kredit) dari bank sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku, tetapi dikenakan berbagai ketentuan, antara lain mereka tetap menanggung risiko atas para nasabahnya, diwajibkan mengenakan suku bunga maksimal tertentu yang rendah bagi nasabahnya, mempunyai wilayah kerja tertentu, mendapat premi untuk setiap penyalu­ran kredit seperti layaknya petugas asuransi, dan sebagainya. Untuk itu, seyogianya dibentuk lembaga pengawasannya.

Dengan beberapa upaya seperti yang telah dipaparkan di muka, tentu saja sumber kredit yang ada sekarang, baik dari perbankan, koperasi simpan pinjam, pegadaian dan sebagainya tidak perlu dihapus, bahkan seyogianya peranannya lebih ditingkatkan, sehing­ga pasar uang, baik di kota maupun di kampung-kampung akan lebih banyak tersedia serta bervariasi, yang karenanya mungkin dapat bersaing dalam memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, kiranya dapat diharapkan suku bunga di pasar uang  non-formal menurun sampai pada tingkat yang wajar.
 
 Nah. Semoga!***

Artikel ini dimuat PRIORITAS, 3-4 September 1986 (bersambung).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar