Memutus Laju Tumbuh Rentenir
Oleh Tika Noorjaya
Membicarakan
rentenir ingatan kita seakan tidak terlepas dari bayangan, betapa keparatnya homo economicus yang satu itu. Halnya, barangkali
karena demikian gencar kita dijejali dengan informasi tentang kerakusan rentenir,
baik dari buku, surat kabar, tetangga, saudara, atau mungkin kita sendiri
pernah berurusan dengannya dan terkena perangkapnya.
Caci
maki, sumpah serapah dan semacamnya, barangkali akan tetap berkumandang, karena
nampaknya situasi dan kondisi kelembagaan kita saat ini belum mampu memutus
laju tumbuh akar permasalahannya. Kalau demikian, di mana kita dapat menemukan
titik tumbuhnya; dan yang lebih penting lagi, bagaimana melakukan upaya nyata untuk
menghilangkan atau setidak-tidaknya menghambat laju tumbuhya.
Bank
Terlalu Elite
Sejak
uang dijadikan sebagai alat penukar yang sah, kebutuhan manusia akan uang
terus meningkat, baik dalam rangka produksi maupun konsumsi. Sementara di sisi
lain, sumberdaya untuk memperolehnya selain terbatas, juga penguasaannya tidak
merata, termasuk akses yang rendah akan informasi mengenai seluk-beluk dunia perbankan
formal bagi sebagian besar yang memerlukan bantuannya.
Masyarakat
kita sebagai bagian dari negara berkembang, memang majemuk dalam berbagai hal,
tidak terkecuali pengenalannya terhadap dunia perbankan. Ada yang sudah akrab,
baru akrab, mulai mengenal, baru tahu dan tak kurang pula yang tidak tahu. Bagi
orang yang "tahu" sekalipun diantaranya masih ada yang menganggap bank
telalu elite, sehingga hanya untuk
mendatanginya saja tidak cukup keberanian, apalagi untuk urusan pengajuan kredit.
Karena itu kiranya tidak mengherankan adaikata calo bank tumbuh subur sebagai
lembaga perantara, yang kadang-kadang meminta balas-jasa yang tidak sedikit,
yang dipotong langsung pada saat menerima uang, di samping saat-saat pengurusannya.
Sehingga, secara relatif bunga uang menjadi lebih tinggi dari ketentuan
perbankan.
Mereka
adalah sebagian sebagian masyarakat yang beruntung, karena tidak didorong
kebutuhan yang mendesak, memiliki akses terhadap kredit serta mempunyai sedikit
pengetahuan/kemampuan untuk menembus syarat-syarat perbankan. Namun, di samping
itu, ada juga masyarakat kita yang karena berbagai keterbatasannya menjadi terjerat
oleh rentenir dengan beban bunga yang sangat tinggi, padahal mungkin bermula
dari kebaikan, yakni kebaikan sang rentenir "menolong" kesulitan
"nasabahnya" yang mendesak untuk mengobati anggota keluarga yag
sakit, membayar SPP anak sekolah, memberantas hama/penyakit tanaman, menambah modal
usaha, menyumbang selamatan tetangga, ... atau bahkan untuk menjaga kelangsungan
hidup mereka pada hari itu. Minta Kredit dari Bank ? Wow!, jangan harap; untuk mengurusinya
saja tidak cukup dua atau tiga hari, bahkan mungkin tidak cukup dua atau tiga
bulan.
Memang
perbankan sebagai salah satu dari lembaga keuangan formal, dalam usahanya perlu
mengamankan uangnya, yang dalam prosesnya memerlukan waktu dan biaya yang tidak
sedikit (?), untuk mengurus persyaratan adminitrasi, menganalisa kelayakan, membubuhkan
paraf, membubuhkan tanda tangan, dan sebagainya. Apa boleh buat, birokrasi yang
panjang harus dilewati. Tanpa itu ? Sorry! Lain dari itu, kalau kita menengok ke
pedesaan di mana sebagian besar penduduk kita berdesakan, maka kita temui juga kenyataan
bahwa bank formal yang ada di sana sedemikian terbatasnya, sehingga orang-orang
yang memerlukannya terpaksa mencari alternatif lain.
Seperti
kita maklumi, di pedesaan kita mengenal kelembagaan keuangan formal lainnya,
yaitu koperasi dan bank pasar. Bagi sebagian desa yang berdekatan dengan kota
ada juga pegadaian.
Sebagai
bangun usaha yang dijadikan sokoguru perekonomian Indonesia, koperasi telah
menampakkan kemajuan dalam beberapa kegiatan ekonomi atara lain dalam
keterlibatannya untuk menyalurkan kredit dari pemerintah serta adanya unit
usaha simpan pinjam; walaupun kabarnya lebih banyak anggota/pegawai yang meminjam
daripada yang menyimpan; tak lupa sebagian menunggak! (rasanya sangat sulit
untuk melupakan berita-berita yang melaporkan tunggakan-tunggakan kredit yang
disalurkan oleh koperasi yang jumlahnya mencapai milyaran rupiah). Demikiam
pula, kekurangan modal koperasi seakan telah merupakan alasan klasik, yang kembali
menunjukkan masih kurangnya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kredit. Meskipun demikian, dengan adanya kredit yang disalurkan koperasi serta
adanya unit simpan pinjam telah banyak menyentuh dan membantu masyarakat lapisan
bawah, yang karenanya upaya semacam itu seyogianya mendapat perhatian yang lebih
besar, dengan menggali kemungkinan lainnya.
Kelembagaan
lainnya adalah pegadaian yang sudah beroperasi sejak lama. Akan tetapi, lembaga
ini sering disinyalir orang kurang efektif, karena sistem penilaian barangnya
kurang sepadan, dalam arti besarnya pinjaman jauh lebih kecil daripada nilai barang
yang sesungguhnya; sehingga kiranya cukup alasan apabila para rentenir cukup
rajin "mangkal" di tempat ini. Bahkan, ada pula yang mensinyalir
adanya aparat kantor pegadaian yang merangkap sebagai rentenir (lelucon macam
apa pula ini ?). Lagi pula, tidak semua desa mempunyai kantor pegadaian.
Sedangkan
bank pasar, kurang banyak dirasakan manfaatnya, karena biasanya modal
kerjanya rendah dan hanya "melayani" orang-orang pasar tertentu. (BERSABUNG)
Barangkali,
kita perlu mengakui kenyataan bahwa perbankan dan kelembagaan keuangan
lainnya secara keseluruhan masih belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan
kredit dalam jumlah dan waktu yang tepat dan cepat. Karenanya, sumber kredit
dari kelembagaan non-formal seperti keluarga, kawan, arisan, pedagang besar,
tuan tanah, pelepas uang, termasuk rentenir, masih diperlukan. Dengan kata
lain, kehadiran sumber kredit dari kelembagaan
non-formal bukanlah merupakan substitusi, melainkan komplemen bagi sumber
kredit dari kelembagaan formal. Untuk membatasi permasalahan, dalam hal ini
hanya akan dibahas masalah rentenir.
Nampaknya,
perlu kita akui bahwa rentenir adalah wiraswasta yang mempunyai berbagai
"keunggulan" (kata "keunggulan" perlu diberi tanda petik,
karena keunggulan tersebut malahan menyudutkan para nasabahnya). Mereka bersifat
"ramah" serta selalu bersedia membantu nasabahnya di mana saja,
kapan saja dan siapa saja (yang memiliki jaminan, tentu), dan sebagainya.
Mereka berkeliling dari satu pelosok ke pelosok lain untuk mencari nasabahnya;
mereka ada di kantor pos tempat pembayaran tunjangan pensiun; mereka ada di
kantor pegadaian; mereka ada di pematang sawah; lepas jam kerja mereka
"mangkal" di warung-warung, atau ada juga yang seharian berada di
pasar-pasar. Tegasnya merekalah yang aktif mencari nasabah, dan bukan
sebaliknya (ini, berbeda dengan lembaga keuangan formal yang bersifat
"menunggu").
Demikian
pula sikap mereka terhadap ketentuan administratif. Mereka menentukan
persyarata yang mudah; ada jaminan, buat perjanjian, uang diserahkan, selesai.
Itu yang sudah moderen. Dalam hal khusus, bahkan tanpa jaminan; perjanjian pun cukup
dengan lisan.
Demikianlah,
dengan kemudahan, kecepatan, hubungan dekat dan berbagai cara lainnya, di satu
sisi, serta kebutuhan peminjam yang mendesak di sisi lain, mereka menentukan
tingkat suku bunga yang sangat tinggi, yaitu sekitar 150-200 persen setahun, bahkan
dapat lebih tinggi lagi. Itulah kehidupan berbunga rentenir. Bunga bank resmi
yang sekitar 15 persen setahun, di tangan rentenir dapat berbunga-bunga
sehingga menjadi berlipat-lipat. Bunga yang merupakan lambang keindahan, di tangan
rentenir menjadi momok yang menakutkan!
Bukan
hanya itu. Katanya, ada juga beberapa rentenir yang menarik keuntungan dari
jaminan yang mereka terima dari nasabahnya, yaitu dengan menjaminkannya
kembali ke bank untuk memperoleh uang dengan bunga resmi. Uang tersebut
kemudian mereka pinjamkan lagi dengan tarif bunga mereka yang tinggi. Demikian
selanjutnya.
Kalau
kita tinjau dari sudut distribusi, sekarang ini kita melihat kecenderungan
pemberian prioritas yang tinggi bagi kredit produktif, tanpa perhatian yang
memadai bagi kredit komsumtif; demikian pula kredit yang bersumber pada
pemerintah dewasa ini sebagian besar adalah kredit bernilai besar, dan sedikit sekali
jenis kredit yang nilainya kecil, sehingga agunan kreditnya sulit dipenuhi
(pengertian kecil dan besar seyogianya dipandang dari sudut
orang kecil, di mana mungkin Kredit Investasi Kecil sekalipun bagi mereka
merupakan Kredit Investasi Besar).
Dari
paparan di muka, tampak bahwa kokoh dan berakarnya keberadaan rentenir karena disebabkan
berbagai kondisi yang memberi peluang, di samping sang rentenir sendiri dengan "keunggulannya"
mampu memanfaatkan peluang tersebut.
Upaya-upaya
Tanpa
mempertimbangkan aspek lain yang tidak dibahas di sini, dua hal kini sudah
nampak jelas tentang keberadaan rentenir, yakni adanya peluang dan pemanfaatan
peluang. Karenanya, barangkali upaya untuk memutus laju tumbuh retenir antara lain
dapat didekati dari kedua hal tersebut.
Upaya
pertama yang dapat ditempuh adalah
memperbanyak jenis kredit yang nilainya kecil-kecil dengan daya jangkau yang lebih
luas serta meliputi kredit produktif dan kredit konsumtif secara tepat sasaran
dan tepat waktu. Kalau selama ini prioritas tinggi diberikan pada kredit produktif,
maka dalam pengembangannya kredit konsumtif seyogianya mendapat perhatian memadai,
karena bagi masyarakat berpenghasilan rendah, peminjaman kredit bukan hanya untuk
investasinya dalam rangka berproduksi (misalnya membeli pupuk, obat-obatan hama
dan penyakit, dsb.), tapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok mereka yang
mendesak akan makanan dan pakaian, yang selanjutnya dimaksudkan untuk berproduksi.
Bagi sektor ini, produksi dan konsumsi merupakkan keping uang bermata ganda;
tidak dapat dipisah satu sama lainnya. Karena itu pula, pemberian prioritas
yang tinggi pada kredit produktif tanpa ada alokasi yang memadai untuk kredit
konsumtif, tampaknya perlu dipertanyakan lagi.
Kedua,
kehadiran perbankan formal di pedesaan kiranya tidak dibatasi hanya dengan salah-satu
bank pemerintah saja, agar selain menambah sumber kredit, juga diharapkan mampu
menggali dana menganggur yang ada di pedesaan. Telah banyak disinyalir bahwa sumber
dana pada masyarakatpedesaan selama ini belum diefektifkan dan dianggap kurang potensial,
padahal bantuan sumbangan dana pembangunan dari pemerintah cukup besar setiap tahunnya;
sementara banyak orang yang memperkirakan besarnya "uang nganggur"
yang bertumpuk di pedesaan, walaupun tidak ada orang yang tahu berapa
jumlahnya.
Dalam
hal ini, hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1980 kiranya
dapat kita pertimbangkan, di mana 14% dari 25% hasrat/kecenderungan menabung
berasal dari masyarakat pedesaan, walaupun sebagian masih dalam bentuk natura. Upaya
menggali potensi ini cukup penting, dengan catatan hasil galian dana ini kiranya
tidak "lari" ke kota, melainkan dimanfaatkan oleh orang desa.
Sejalan
dengan itu, seyogianya ditempuh juga upaya ketiga,
yaitu meningkatkan penyebaran informasi mengenai seluk-beluk perbankan dan
kelembagaan keuangan formal lainnya, terutama bagi masyarakat lapisan bawah.
Kalau selama ini kita kenal Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) atau Penyuluh
Koperasi Lapangan (PKL), maka mungkin sudah saatnya untuk membentuk Penyuluh
Bank Lapangan (PBL), yang bertugas memberikan penyuluhan mengenai peranan dan tata-cara
berhubungan dengan bank, dan sebagainya.
Juga
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya Keempat,
yakni meningkatkan kemampuan kewiraswastaan bagi para petugas kelembagaan keuangan
formal, dengan mengubah strategi pelayanan yang pasif selama ini menjadi aktif,
yang dalam pelaksanaanya barangkali dapat dibantu dengan melaksanakan upaya Kelima, yakni membentuk lembaga
perantara sebagai perpanjangan tangan dari bank, yang para pelaksananya adalah
orang-orang yang cukup dekat dengan masyarakat serta kemampuannya dalam
berwiraswasta tidak kalah ligat daripada para rentenir; atau mungkin para
rentenir dapat bergabung dalam kelembagaan baru ini. Lembaga ini diberi
pinjaman (kredit) dari bank sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku, tetapi dikenakan
berbagai ketentuan, antara lain mereka tetap menanggung risiko atas para
nasabahnya, diwajibkan mengenakan suku bunga maksimal tertentu yang rendah bagi
nasabahnya, mempunyai wilayah kerja tertentu, mendapat premi untuk setiap penyaluran
kredit seperti layaknya petugas asuransi, dan sebagainya. Untuk itu, seyogianya
dibentuk lembaga pengawasannya.
Dengan
beberapa upaya seperti yang telah dipaparkan di muka, tentu saja sumber kredit
yang ada sekarang, baik dari perbankan, koperasi simpan pinjam, pegadaian dan sebagainya
tidak perlu dihapus, bahkan seyogianya peranannya lebih ditingkatkan, sehingga
pasar uang, baik di kota maupun di kampung-kampung akan lebih banyak tersedia
serta bervariasi, yang karenanya mungkin dapat bersaing dalam memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, kiranya dapat diharapkan suku bunga
di pasar uang non-formal menurun sampai pada tingkat yang wajar.
Nah. Semoga!***
Artikel ini dimuat PRIORITAS, 3-4 September 1986 (bersambung).
Artikel ini dimuat PRIORITAS, 3-4 September 1986 (bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar