Masalah Pembagian Saham Karyawan Perkebunan
Oleh Tika Noorjaya
Setelah
tertangguhkan sejak 1990, kalau tidak ada lagi aral melintang, pada Februari
1993 PT Perkebunan XXIV-XXV akan go
public. Kalau benar, babakan baru dunia perkebunan akan dimulai.
Hal ini
kiranya tak lepas dari kerjasama para eksekutif dan dewan komisaris. Sementara
eksekutif melakukan penghematan besar-besaran dan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan karyawan, dewan komisaris
melakukan pengawasan tanpa mencampuri urusan yang menjadi wewenang
eksekutif (Bisnis Indonesia, 14
September 1992).
Hasilnya,
hapus sudah citra inefisiensi dan ketidakprofesionalan yang sering dialamatkan
pada BUMN di lingkungan Departemen Pertanian. Hapus pula citra departemen
teknis yang terlalu jauh mencampuri BUMN di lingkungannya. Dan, selama tiga tahun
berturut-turut, laba perusahaan pun meningkat pesat. Dari Rp 31 milyar (1989)
menjadi Rp 49 milyar (1990), dan Rp 52 milyar (1991). Konon, tahun ini akan
lebih meningkat lagi.
Tentu
saja, kinerja yang baik ini harus terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan, terlebih
kalau sudah go public. Dan itu, tidak hanya
akan tergantung pada kerjasama yang baik di antara dewan komisaris dengan
eksekutif, tapi juga dukungan penuh dari para karyawan.
Halnya,
yang ingin kita tingkatkan dengan pemerataan adalah kesejahteraan, bukan pemerataan penderitaan,
apalagi kalau nilai saham melorot sampai di bawah nilai perdananya
seperti banyak terjadi di bursa saham saat ini.
Dalam kasus
PT Perkebunan XXIV-XXV ini, kita mungkin bisa berharap mendapatkan perusahaan
go public yang menguntungkan karena
penangguhannya untuk go public adalah
alasan pemeriksaaan laporan keuangan, sehingga hasil laba dan posisi keuangan yang
dicantumkam dalam prospektus bukanlah hasih rekayasa.
Di antara 10
juta lembar saham yang akan dijual, dengan nilai nominal Rp 1.000 itu, separuhnya
dijatahkan untuk petani TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dan KUD (Koperasi
Unit Desa), serta separuhnya lagi dijual kepada umum. Kalau demikian bagaimana
halnya dengan karyawan perusahaan yang telah menunjukkan prestasinya selama ini?
Apakah tidak dimungkinkan bagi mereka untuk ikut mencicipi manisnya "gula”
hasil jerih payahnya? Bukankah mereka kita perlukan untuk menjaga kelangsungan
prestasi baik yang telah dicapai selama ini?
Tulisan
ini mencoba melihat berbagai manfaat pemilikan saham oleh karyawan, serta
menggali berbagai potensi dan peluang untuk merealisasikan gagasan tersebut. Bukan
semata-mata terkait dengan PT Perkebunan XXIV-XXV yang hendak membuka sejarah
baru, tapi juga sekaligus sebagai atisipasi terhadap kemungkinan langkah semacam
yang akan dilakukan PT Perkebunan, atau bahkan BUMN lain. Dan, memang seyogianyalah
kita memberi ruang gerak yang luas bagi karyawan untuk memiliki saham
perusahaan.
Keunggulan
Pemilikan saham
perusahaan perkebunan dalam jangka panjang agaknya akan besar manfaatnya, baik
bagi perusahaan maupun bagi karyawan, bahkan pada gilirannya bagi pertumbuhan
perekonomian nasional. Pengaitannya dengan penggalakan kegiatan koperasi untuk mengurus
manajemen pemilikan saham tersebut, di sisi lain, juga penting, apalagi dengan
tekad pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian
nasional.
Pemilikan
saham perusahaan oleh karyawan perkebunan dapat menimbulkan motivasi bagi
karyawan untuk lebih bekerja keras, lebih produktif, dan lebih bertanggungjawab
dalam pekerjaannya, karena apa yang dikerjakannya tak lain adalah bagi
perusahaan "miliknya". Dengan demikian perusahaan beruntung memperoleh
laba yang tinggi, yang pada gilirannya juga keuntungan bagi karyawan melalui
mekanisme pembagian dividen yang diperoleh dari pemilikan sahamnya, sehingga
secara umum karyawan lebih sejahtera.
Keunggulan
pemilikan saham perusahaan oleh karyawan sebenarnya sudah dapat kita simak dari
pengalaman di Amerika Serikat, bahkan di negara-negara berkembang seperti
Malaysia dan Meksiko. Di Amerika Serikat, misalnya, perusahaan yang dimiliki oleh
karyawan dapat meraih keuntungan rata-rata 50 persen lebih besar daripada
perusahaan yang tidak dimiliki oleh karyawannya. Sedangkan produktivitas
karyawan tiga kali lebih besar dibanding sebelum perusahaan itu dimiliki
karyawan. Demikian pula konflik antara pemilik, manajemen, dan karyawan serta
tuntutan perbaikan gaji dan fasilitas umumnya dapat teratasi dengan baik. Dengan
demikian, Hubungan Industrial Pancasila (HIP) tidak perlu dipaksa-paksakan, karena
sistem dan mekanismenya sudah berjalan dengan sendirinya.
Dalam
wawasan yang lebih luas, pemilikan saham oleh karyawan perkebunan juga berarti
pelaksanaan demokrasi ekonomi seperti diamanatkan UUD-1945, di mana keterlibatan
karyawan dalam proses produksi tidak lagi sebagai obyek, melainkan subyek yang
berhak "menentukan” jalannya perusahaan lewat "kepemilikannya".
Pemerataan
Hanya, kalau
pemilikan saham itu pada saatnya nanti akan dilaksanakan, seyogianyalah lebih
memperhatikan aspek pemerataan. Penjualan saham kiranya bukan didasarkan pada pendapatan karyawan/staf, melainkan pada
gaji karyawan/staf atau dasar lain yang lebih adil. Hal ini penting mengingat walaupun
gaji karyawan/staf perusahaan perkebunan tidak terpaut terlalu jauh, namun tidak demikian halnya dengan pendapatan.
Dengan adanya tambahan
tunjangan yang beraneka-ragam sesuai dengan golongan daī jabatan maka
pendapatan seseorang bisa membengkak berkali lipat dari gajinya. Karena
itu, penjualam saham tersebut barangkali perlu dibatasi hanya kepada karyawan
golongan tertentu yang berpendapatan rendah, sehingga wajah pemerataan akan
lebih menampakkan sosoknya.
Secara umum, pola
pembagian laba perusahaan atau pemilikan saham ini agak berbeda dengan pola
pembagian tantieme/gratifikasi yana selama ini berlaku, di mana besarnya
"pembagian” didasarkan pada golongan dan jabatan seseorang sehingga
sesungguhnya hanya memperbesar kesenjangaa antara karyawan berpendapatan rendah
dan karyawan berpendapatan tinggi.
Lalu, dari mana
karyawan berpendapatan rendah itu mempunyai dana untuk membeli saham? Tidak
mudah, memang. Karena, bagi karyawan nilai uangnya cukup material. Lebih-lebih
bagi karyawan rendahan yang ingin kita bantu. Memang, yang diperluka perusahaan
saat ini adalah dana segar, sesuai dengan maksud utamanya pengembangan usaha.
Namun, kalau saja niat untuk mengangkat harkat karyawan terus menyala, serta dengan
melihat pengalaman positif pemilikan
saham oleh karyawan, maka kiranya bisa diatur agar dalam penjualan saham
tersebut sebagian disisihkan khusus untuk karyawan. Jadi, lebih pada soal niat.
Salah satu caranya
adalah dengan mengaitkan penjualan saham tersebut dengan yayasan dana pensiun
atau koperasi. Uang Yayasan Dana Pensiun Perkebunan (YDPP) yang jumlahnya cukup
besar, mungkin bisa digunakaa (sebagian) untuk pembeliam saham tersebut, yang
selanjutnya oleh YDPP diserahkan kepada para karyawan, sesuai dengan
"jatah” masing-masing.
Pada akhir masa kerja,
karyawan dipersilakan memilih tetap memiliki saham tersebut atau menjualnya
kembali ke YDPP untuk selanjutnya disalurkan kembali kepada karyawan lain. Hal
semacam ini bisa juga dikaitkan dengan pembelian saham oleh koperasi yang ada di
perusahaan yang bersangkutan.
Kalau tidak
demikian, bisa juga dikaitkan dengan bonus/tantiem/gratifikasi tahunan. Dengan
cara ini, hanya sebagian saja bonus/tantieme/gratifikasi yang diserahkan kepada
karyawan dalam bentuk uang, sedangkan sisanya dalam bentuk saham.
Masalahnya,
yakni tentang besarnya jumlah saham yang dapat dijual. Meskipun demikian, seperti
telah dipaparkan di muka, kalau pengurusan manajemen pemilikan saham ini ditangani
koperasi maka jumlah saham yang dapat dimiliki koperasi (untuk kemudial dijual
kepada para anggotanya yang berpendapatan rendah) sebesar minimum 20 persen dari
total saham perusahaan, kiranya dapat dipertimbangkan. Meskipun angka yang tepat
barangkali masih harus dikaji lebih teliti. Kalau terlalu kecil tentunya tidak
akan memberi manfaat yang berarti.
Adapun
tentang koperasi yang menangani pemilikan saham ini, bagi kebanyakan PT
Perkebunan agaknya tidak akan terlalu banyak menemui kesulitan, karena koperasi
dimaksud tinggal dikembangkan dari koperasi yana ada selamį ini, baik di kebun-kebun
maupun di kantor pusat.
Dana yang
diperoleh dari penjualam saham tersebut tentunya dapat diarahkan untuk membangun
proyek-proyek baru atau proyek lanjutan dari proyek yang sudaa ada. Misalnya, pembuatan
pabrik yang tidak semata-mata menghasilkan bahan baku atau barang madya (intermediate goods), melainkan produk
akhir yang dapat lebih meningkatkan nilai tambah.
Dalam
hal kelapa sawit, misalnya, kita sebaiknya tidak cukup puas hanya dengan
menghasilkan minyak sawit dan inti sawit saja, tapi melangkah untuk menghasilkan
olein, stearin dan asam lemak, atau bahkan produk yang lebih ke hilir lagi (down-stream industry). Demikian pula
halnya dengan komoditas lain, seperti karet, coklat, teh, dan
sebagainya.
Mendesak
Pemberian kesejahteraan
yang lebih besar kepada karyawan perkebunan sesungguhnya sudah mendesak. Kalau saja
proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN) berhasil seperti dalam kelayakannya,
bukan mustahil akan merupakan sumber kecemburuan bagi karyawan kebun inti.
Betapa tidak, kalau
semula mereka bersusah payah membangun kebun untuk petani plasma, setelah
berhasil orang lainlah yang menikmatinya.
Kalau petani plasma
minimal memiliki 2,0 hektar tanaman utama, 0,25 hektar tanaman pangan, serta sebuah
rumah tempat tinggal (sekalipun berupa kredit), karyawan kebun inti hanyalah
pegawai yang digaji dengan kemungkinan mendapat pensiun yang mungkin tidak sesejahtera
petani plasma.
Demikianlah, perluasan
pengembangan peranan PNP/PTP dengan bertindak sebagai agen pembangunan ternyata
tidak hanya meminta pengerahan pikiran dan upaya untuk menangani tambahan
peranan itu saja (yakni, meningkatkan pendapatan petani peserta PIRBUN, tapi
juga perlu upaya untuk menyerasikannya dengan penataan di dalam diri perkebunan
induk/inti sendiri. Pemilikan saham oleh karyawan perkebunan adalah salah satu
alternatifnya.
Artikel
ini dimuat Bisnis Indonesia, 26
September 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar