Sabtu, 25 April 2015

Masalah Pembagian Saham Karyawan Perkebunan




Masalah Pembagian Saham Karyawan Perkebunan
Oleh Tika Noorjaya

Setelah tertangguhkan sejak 1990, kalau tidak ada lagi aral melintang, pada Februari 1993 PT Perkebunan XXIV-XXV akan go public. Kalau benar, babakan baru dunia perkebunan akan dimulai.
Hal ini kiranya tak lepas dari kerjasama para eksekutif dan dewan komisaris. Sementara eksekutif melakukan penghematan besar-besaran dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan karyawan, dewan komisaris melakukan pengawasan tanpa mencampuri urusan yang menjadi wewenang eksekutif (Bisnis Indonesia, 14 September 1992).
Hasilnya, hapus sudah citra inefisiensi dan ketidakprofesionalan yang sering dialamatkan pada BUMN di lingkungan Departemen Pertanian. Hapus pula citra departemen teknis yang terlalu jauh mencampuri BUMN di lingkungannya. Dan, selama tiga tahun berturut-turut, laba perusahaan pun meningkat pesat. Dari Rp 31 milyar (1989) menjadi Rp 49 milyar (1990), dan Rp 52 milyar (1991). Konon, tahun ini akan lebih meningkat lagi.
Tentu saja, kinerja yang baik ini harus terus dipertahankan, bahkan ditingkatkan, terlebih kalau sudah go public. Dan itu, tidak hanya akan tergantung pada kerjasama yang baik di antara dewan komisaris dengan eksekutif, tapi juga dukungan penuh dari para karyawan.
Halnya, yang ingin kita tingkatkan dengan pemerataan adalah kesejahteraan, bukan pemerataan penderitaan, apalagi kalau nilai saham melorot sampai di bawah nilai perdananya ­­ seperti banyak terjadi di bursa saham saat ini.
Dalam kasus PT Perkebunan XXIV-XXV ini, kita mungkin bisa berharap mendapatkan perusahaan go public yang menguntungkan karena penangguhannya untuk go public adalah alasan pemeriksaaan laporan keuangan, sehingga hasil laba dan posisi keuangan yang dicantumkam dalam prospektus bukanlah hasih rekayasa.
Di antara 10 juta lembar saham yang akan dijual, dengan nilai nominal Rp 1.000 itu, separuhnya dijatahkan untuk petani TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dan KUD (Koperasi Unit Desa), serta separuhnya lagi dijual kepada umum. Kalau demikian bagaimana halnya dengan karyawan perusahaan yang telah menunjukkan prestasinya selama ini? Apakah tidak dimungkinkan bagi mereka untuk ikut mencicipi manisnya "gula” hasil jerih payahnya? Bukankah mereka kita perlukan untuk menjaga kelangsungan prestasi baik yang telah dicapai selama ini?
Tulisan ini mencoba melihat berbagai manfaat pemilikan saham oleh karyawan, serta menggali berbagai potensi dan peluang untuk merealisasikan gagasan tersebut. Bukan semata-mata terkait dengan PT Perkebunan XXIV-XXV yang hendak membuka sejarah baru, tapi juga sekaligus sebagai atisipasi terhadap kemungkinan langkah semacam yang akan dilakukan PT Perkebunan, atau bahkan BUMN lain. Dan, memang seyogianyalah kita memberi ruang gerak yang luas bagi karyawan untuk memiliki saham perusahaan.

Keunggulan
Pemilikan saham perusahaan perkebunan dalam jangka panjang agaknya akan besar manfaatnya, baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan, bahkan pada gilirannya bagi pertumbuhan perekonomian nasional. Pengaitannya dengan penggalakan kegiatan koperasi untuk mengurus manajemen pemilikan saham tersebut, di sisi lain, juga penting, apalagi dengan tekad pemerintah untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional.
Pemilikan saham perusahaan oleh karyawan perkebunan dapat menimbulkan motivasi bagi karyawan untuk lebih bekerja keras, lebih produktif, dan lebih bertanggungjawab dalam pekerjaannya, karena apa yang dikerjakannya tak lain adalah bagi perusahaan "miliknya". Dengan demikian perusahaan beruntung memperoleh laba yang tinggi, yang pada gilirannya juga keuntungan bagi karyawan melalui mekanisme pembagian dividen yang diperoleh dari pemilikan sahamnya, sehingga secara umum karyawan lebih sejahtera.
Keunggulan pemilikan saham perusahaan oleh karyawan sebenarnya sudah dapat kita simak dari pengalaman di Amerika Serikat, bahkan di negara-negara berkembang seperti Malaysia dan Meksiko. Di Amerika Serikat, misalnya, perusahaan yang dimiliki oleh karyawan dapat meraih keuntungan rata-rata 50 persen lebih besar daripada perusahaan yang tidak dimiliki oleh karyawannya. Sedangkan produktivitas karyawan tiga kali lebih besar dibanding sebelum perusahaan itu dimiliki karyawan. Demikian pula konflik antara pemilik, manajemen, dan karyawan serta tuntutan perbaikan gaji dan fasilitas umumnya dapat teratasi dengan baik. Dengan demikian, Hubungan Industrial Pancasila (HIP) tidak perlu dipaksa-paksakan, karena sistem dan mekanismenya sudah berjalan dengan sendirinya.
Dalam wawasan yang lebih luas, pemilikan saham oleh karyawan perkebunan juga berarti pelaksanaan demokrasi ekonomi seperti diamanatkan UUD-1945, di mana keterlibatan karyawan dalam proses produksi tidak lagi sebagai obyek, melainkan subyek yang berhak "menentukan” jalannya perusahaan lewat "kepemilikannya".

Pemerataan
Hanya, kalau pemilikan saham itu pada saatnya nanti akan dilaksanakan, seyogianyalah lebih memperhatikan aspek pemerataan. Penjualan saham kiranya bukan didasarkan pada pendapatan karyawan/staf, melainkan pada gaji karyawan/staf atau dasar lain yang lebih adil. Hal ini penting mengingat walaupun gaji karyawan/staf perusahaan perkebunan tidak terpaut terlalu jauh, namun tidak demikian halnya dengan pendapatan.
Dengan adanya tambahan tunjangan yang beraneka-ragam ­­ sesuai dengan golongan daī jabatan ­­ maka pendapatan seseorang bisa membengkak berkali  lipat dari  gajinya. Karena itu, penjualam saham tersebut barangkali perlu dibatasi hanya kepada karyawan golongan tertentu yang berpendapatan rendah, sehingga wajah pemerataan akan lebih menampakkan sosoknya.
Secara umum, pola pembagian laba perusahaan atau pemilikan saham ini agak berbeda dengan pola pembagian tantieme/gratifikasi yana selama ini berlaku, di mana besarnya "pembagian” didasarkan pada golongan dan jabatan seseorang ­­ sehingga sesungguhnya hanya memperbesar kesenjangaa antara karyawan berpendapatan rendah dan karyawan berpendapatan tinggi.
Lalu, dari mana karyawan berpendapatan rendah itu mempunyai dana untuk membeli saham? Tidak mudah, memang. Karena, bagi karyawan nilai uangnya cukup material. Lebih-lebih bagi karyawan rendahan yang ingin kita bantu. Memang, yang diperluka perusahaan saat ini adalah dana segar, sesuai dengan maksud utamanya ­­ pengembangan usaha. Namun, kalau saja niat untuk mengangkat harkat karyawan terus menyala, serta dengan melihat pengalaman  positif pemilikan saham oleh karyawan, maka kiranya bisa diatur agar dalam penjualan saham tersebut sebagian disisihkan khusus untuk karyawan. Jadi, lebih pada soal niat.
Salah satu caranya adalah dengan mengaitkan penjualan saham tersebut dengan yayasan dana pensiun atau koperasi. Uang Yayasan Dana Pensiun Perkebunan (YDPP) yang jumlahnya cukup besar, mungkin bisa digunakaa (sebagian) untuk pembeliam saham tersebut, yang selanjutnya oleh YDPP diserahkan kepada para karyawan, sesuai dengan "jatah” masing-masing.
Pada akhir masa kerja, karyawan dipersilakan memilih tetap memiliki saham tersebut atau menjualnya kembali ke YDPP ­­ untuk selanjutnya disalurkan kembali kepada karyawan lain. Hal semacam ini bisa juga dikaitkan dengan pembelian saham oleh koperasi yang ada di perusahaan yang bersangkutan.
Kalau tidak demikian, bisa juga dikaitkan dengan bonus/tantiem/gratifikasi tahunan. Dengan cara ini, hanya sebagian saja bonus/tantieme/gratifikasi yang diserahkan kepada karyawan dalam bentuk uang, sedangkan sisanya dalam bentuk saham.
Masalahnya, yakni tentang besarnya jumlah saham yang dapat dijual. Meskipun demikian, seperti telah dipaparkan di muka, kalau pengurusan manajemen pemilikan saham ini ditangani koperasi maka jumlah saham yang dapat dimiliki koperasi (untuk kemudial dijual kepada para anggotanya yang berpendapatan rendah) sebesar minimum 20 persen dari total saham perusahaan, kiranya dapat dipertimbangkan. Meskipun angka yang tepat barangkali masih harus dikaji lebih teliti. Kalau terlalu kecil tentunya tidak akan memberi manfaat yang berarti.
Adapun tentang koperasi yang menangani pemilikan saham ini, bagi kebanyakan PT Perkebunan agaknya tidak akan terlalu banyak menemui kesulitan, karena koperasi dimaksud tinggal dikembangkan dari koperasi yana ada selamį ini, baik di kebun-kebun maupun di kantor pusat.
Dana yang diperoleh dari penjualam saham tersebut tentunya dapat diarahkan untuk membangun proyek-proyek baru atau proyek lanjutan dari proyek yang sudaa ada. Misalnya, pembuatan pabrik yang tidak semata-mata menghasilkan bahan baku atau barang madya (intermediate goods), melainkan produk akhir yang dapat lebih meningkatkan nilai tambah.
Dalam hal kelapa sawit, misalnya, kita sebaiknya tidak cukup puas hanya dengan menghasilkan minyak sawit dan  inti sawit saja, tapi melangkah untuk menghasilkan olein, stearin dan asam lemak, atau bahkan produk yang lebih ke hilir lagi (down-stream industry). Demikian pula  halnya  dengan komoditas lain, seperti karet, coklat, teh, dan sebagainya.

Mendesak
Pemberian kesejahteraan yang lebih besar kepada karyawan perkebunan sesungguhnya sudah mendesak. Kalau saja proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIRBUN) berhasil seperti dalam kelayakannya, bukan mustahil akan merupakan sumber kecemburuan bagi karyawan kebun inti.
Betapa tidak, kalau semula mereka bersusah payah membangun kebun untuk petani plasma, setelah berhasil orang lainlah yang menikmatinya.
Kalau petani plasma minimal memiliki 2,0 hektar tanaman utama, 0,25 hektar tanaman pangan, serta sebuah rumah tempat tinggal (sekalipun berupa kredit), karyawan kebun inti hanyalah pegawai yang digaji dengan kemungkinan mendapat pensiun yang mungkin tidak sesejahtera petani plasma.
Demikianlah, perluasan pengembangan peranan PNP/PTP dengan bertindak sebagai agen pembangunan ternyata tidak hanya meminta pengerahan pikiran dan upaya untuk menangani tambahan peranan itu saja (yakni, meningkatkan pendapatan petani peserta PIRBUN, tapi juga perlu upaya untuk menyerasikannya dengan penataan di dalam diri perkebunan induk/inti sendiri. Pemilikan saham oleh karyawan perkebunan adalah salah satu alternatifnya.


Artikel ini dimuat Bisnis Indonesia, 26 September 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar