Resensi
Buku oleh Tika Noorjaya
Dimuat
HU Suara Pembaruan, 2 Oktober 1988
Pengarang: Jochen Ropke.
Penerbit: Yayasan Bhina Bhakti dan Penerbit PT. Gramedia, Jakarta, 1988.
Tebal: 337 halaman.
Berbeda dengan sejarah politik dan sosial Indonesia, sampai sekarang kajian tentang sejarah perekonomian Indonesia merupakan hal yang langka. Padahal, sudah sejak tahun 1954 Joseph A. Schumpeter demikian lantang mempromosikan pentingnya mengkaji sejarah ekonomi.
Dia bilang,
diantara ketiga bidang yang fundamental dalam analisa ekonomi (yakni: sejarah,
statistik dan "teori") yang paling penting adalah sejarah ekonomi.
Pertama, pokok
masalah ekonomi merupakan proses yang unik dalam proses sejarah, dimana tak
seorang pun yang akan mampu memahammi fenomena ekononi tanpa menguasai
fakta-fakta historis dan rasa kesejarahan.
Kedua, laporan
sejarah tidak hanya bersifat ekonomi murni tapi juga menyangkut faktor-faktor
"institusional" nonekonoomi yang saling berpengaruh.
Ketiga, kebanyakan
kesalahan mendasar dalam analisa ekonomi sekarang ini lebih sering disebabkan
kekurangan penguasaan terhadap pengalaman sejarah, dibanding kekurangan
lainnya.
Dengan ketiga
alasan tersebut tak mengherankan kalau selanjutnya dikatakan seandainya ia
harus memulai karier dalam bidang ekonomi dan hanya diperbolehkan memilih
salah satu diantara ketiga bidang di atas maka ia akan memilih sejarah ekonomi.
Terhadap
ungkapan ini, Paul M. Sweezy (1972) menilai itulah salah-satu ajaran Schumpeter
yang paling bijaksana dan mendalam, sekaligus paling terabaikan.
Benar.
Terabaikan! Coba saja pergi ke perpustakaan. Betapa langkanya buku-buku yang
mengkaji sejarah ekonomi, terlebih sejarah ekonomi Indoneia yang ditulis oleh
ilmuwan Indonesia.
Dalam
keadaan seperti ini, kehadiran buku "Kebebasan Yang Terhambat" (KYT)
karya Prof. Jochen Ropke (JR) ini patut disambut dengan suka-cita.
MENGAPA
Dalam buku ini, JR
membahas perkembangan ekonomi Indonesia sejak periode prakolonial sampai akhir
periode Pelita III, yang pada pokoknya ingin menjawab enam pertanyaan mendasar:
1. Mengapa Indonesia
(tetap) merupakan negara terbelakang, meskipun sejak empat sampai lima
abad sudah menjalin hubungan yang mendalam dengan yang dewasa ini tergolong
negara-negara industri maju ? Dengan kata lain, apa yang menjadi sebab keterbelakangan
Indoesia di sektor pertanian ?
2. Apa peranan masa
penjajahan pada kondisi Indonesia yang relatif terbelakang?
3. Mengapa
pengusaha-pengusaha Cina menonjol peranannya dalam perkembangan ekonomi
Indonesia di sektor swasta ?
4. Sejauh mana peranan
perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan di Indonesia dalam
menunjang pembangunan ekonomi ?
5. Mengapa sumbangan
pengusaha pribumi bagi pembangunan ekonomi Indonesia sampai sekarang sangat
kecil ?
6. Apa yang dapat
dilakukan untuk menunjang pertumbuhan pengusaha pribumi ? (hal. 4).
Terhadap keenam
pertanyaan tersebut tidak ada jawaban terutama seperti yang kita harapkan dari
murid atau mahasiswa dalam menghadapi ulangan atau ujian.
Hanya saja,
pemaparannya lewat angka dan fakta sejarah yang digali dalam penjelajahan
kepustakaan lama (terlama 1886) ataupun baru (terbaru 1982) plus analisanya
yang tajam memapahnya pada kesimpulan bahwa "... peristiwa, struktur dan
potensi tindakan sejak masa prapenjajahan ... masih berpengaruh bagi
masalah-masalah sosio-ekonomi zaman sekarang di Indonesia" (hal.117).
MASA SILAM
Kesimpulan tersebut
seakan merupakan peringatan JR bahwa penataan perekonomian Indonesia masa kini
perlu penelusuran ke masa silam. Tentang kewirausahaan, misalnya --yang
mendapat kajian khusus dalam buku ini -- JR sampai pada kesimpulan bahwa
berbagai sistem politik yang sempat berkembang di Indonesia tidak memberikan
peluang bagi kemunculan wirausahawan pribumi.
" ...
berabad-abad lamanya di Indonesia terdapat suatu lingkungan ekonomi
dengan dampak yang sangat buruk bagi kemungkinan terkristalisasinya
mentalitas wirausaha: pembatasan kebebasan oleh pengusaha feodal dan pengusaha
kolonial, pengekangan spontanitas dan prakarsa oleh pasaran dunia yang
berasaskan perdagangan bebas, dan ... adanya saingan bangsa Cina yang sebagian
menduduki posisi dengan hak-hak istimewa", katanya (hal.209).
Kemudian,
"... dasar-dasar politik yang seringkali secara tidak langsung
mengekang kemungkinan perkembangan kewirausahaan dan yang akarnya berasal di
zaman kolonial, ternyata menancap dengan begitu kokoh dalam struktur
politik dan sosial di Indonesia, sehingga praktek-praktek yang dijumpai
sekarang ini dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan neokolonial dari politik
penindasan kewirausahaan, walaupun pada zaman perencanaan pembangunan yang
penuh 'penerangan' dewasa ini metodenya mungkin sudah mengalami perubahan"
(hal.226).
Dengan kajian
seperti itu, saran-sarannya untuk menumbuh-suburkan wirausaha cukup sederhana,
sekalipun untuk melaksanakannya, jelas, tidak sesederhana seperti yang disarankannya.
Katanya, kita
perlu: "(a) menciptakan lingkungan yang memungkinkan pemamfaatan
kesanggupan wirausaha yang ada secara optimal, dan ... (b) menyingkirkan rintangan-
rintangan sosial, politik dan pedagogis yang menghambat terkristalisasinya
mentalitas wirausaha dan pengambilalihan peranan-peranan inovativ" (hal
313).
Kata pop untuk saat ini barangkali
adalah deregulasi dan debirokratisasi.
Bahwa
langkah-langkah tersebut tidak mudah dilakukan, kiranya dapat kita rujuk pernyataan
Dr. Sjahrir (Kompas, 30 Maret 1988)
bahwa "Kekuatan yang menginginkan deregulasi (dan debirokratisasi)
sebenarnya tidak sekuat seperti yang diucapkan para pejabat yang dibaca dalam
surat kabar. Sebaliknya, kekuatan yang mempertahankan regulasi (dan birokrasi)
tidak pernah mengucapkan apa pun yang pernah dimuat di surat kabar tetapi tetap
efektif" (kata dalam kurung dari saya).
Tetapi, apakah
cerita tentang deregulasi dan debirokratisasi cukup sampai dengan hipotesis
yang merisaukan seperti itu ?
BAHAN SISTEMATIK
Demikianlah,
sebagian kecil dari hasil telaah JR dalam mengungkap sejarah perekonomian
Indonesia di samping memberi pemahaman tentang masa lalu juga melahirkan
berbagai hikmah untuk belajar dari sejarah. Pelajaran itu agaknya pada masa
mendatang akan lebih banyak diperoleh karena belakangan ini di negeri Belanda
telah tersusun serangkaian terbitan (tujuh jilid) dengan judul Changing Economy of Indonesia, 1816-1940,
yang berhasil mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan kuantitatif yang disajikan
secara sistematik serta dilengkapi dengan keterangan terinci mengenai berbagai
masalah pada tahap kompilasi dan penyeleksiannya.
Salah-satu buku
yang telah memamfaatkan informasi tersebut adalah Sejarah Ekonomi Indonesia yang disunting oleh Anne Booth, William
J. O'Malley dan Anna Weidemann (LP3ES), Jakarta, 1988.
Masalahnya, maukah
para pakar kita berkarier dalam bidang yang kurang populer ini. Jawaban
"Ya" tentu saja dapat mengubah sinyalemen Sweezy seperti yang dikutip
di atas, dan kita pun memperoleh pemahaman yang lebih struktural dan historis
tentang perekonomian yang lazimnya hanya dipahami secara teknis.
Sekalipun tidak
mengurangi arti penting buku ini, namun kehadiran indeks tampaknya tidak lagi
merupakan hal yang "sebaiknya" melainkan "seharusnya" untuk
mendukung bobotnya. Itu, yang sayangnya tidak dilakukan penerbit. (Tika
Noorjaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar