Jumat, 24 April 2015

Perekonomian Indonesia Perlu Menelusuri Masa Silam


Resensi Buku oleh Tika Noorjaya
Dimuat HU Suara Pembaruan, 2 Oktober 1988

Judul: Kebebasan Yang Terhambat. Perkembangan Ekonomi dan Perilaku Kegiatan Usaha di Indonesia.

Pengarang: Jochen Ropke.

Penerbit: Yayasan Bhina Bhakti dan Penerbit  PT. Gramedia, Jakarta, 1988.

Tebal: 337 halaman.


       

Berbeda dengan sejarah politik dan sosial Indonesia, sampai sekarang kajian tentang sejarah perekonomian Indonesia merupakan hal yang langka. Padahal, sudah sejak tahun 1954 Joseph A. Schumpeter demikian lantang mempromosikan pentingnya mengkaji sejarah ekonomi.
 Dia bilang, diantara ketiga bidang yang fundamental dalam analisa ekonomi (yakni: sejarah, statistik dan "teori") yang paling penting adalah sejarah ekonomi.
 Pertama, pokok masalah ekonomi merupakan proses yang unik dalam proses sejarah, dimana tak seorang pun yang akan mampu memahammi fenomena ekononi tanpa menguasai fakta-fakta historis dan rasa kesejarahan.
 Kedua, laporan sejarah tidak hanya bersifat ekonomi murni tapi juga menyangkut faktor-faktor "institusional" nonekonoomi yang saling berpengaruh.
 Ketiga, kebanyakan kesalahan mendasar dalam analisa ekonomi sekarang ini lebih sering disebabkan kekurangan penguasaan terhadap pengalaman sejarah, dibanding kekurangan lainnya.
 Dengan ketiga alasan tersebut tak mengherankan kalau selanjutnya dikatakan seandainya ia harus memulai  karier dalam bidang ekonomi dan hanya diperbolehkan memilih salah satu diantara ketiga bidang di atas maka ia akan memilih sejarah ekonomi. 
 Terhadap ungkapan ini, Paul M. Sweezy (1972) menilai itulah salah-satu ajaran Schumpeter yang paling bijaksana dan mendalam, sekaligus paling terabaikan.
 Benar. Terabaikan! Coba saja pergi ke perpustakaan. Betapa langkanya buku-buku yang mengkaji sejarah ekonomi, terlebih sejarah ekonomi Indoneia yang ditulis oleh ilmuwan Indonesia.
 Dalam keadaan seperti ini, kehadiran buku "Kebebasan Yang Terhambat" (KYT) karya Prof. Jochen Ropke (JR) ini patut disambut dengan suka-cita.

 MENGAPA
Dalam buku ini, JR membahas perkembangan ekonomi Indonesia sejak periode prakolonial sampai akhir periode Pelita III, yang pada pokoknya ingin menjawab enam pertanyaan mendasar:
1.      Mengapa Indonesia (tetap) merupakan negara  terbelakang, meskipun sejak empat sampai lima abad sudah menjalin hubungan yang mendalam dengan yang dewasa ini tergolong negara-negara industri maju ? Dengan kata lain, apa yang menjadi sebab keterbelakangan Indoesia di sektor pertanian ?
2.      Apa peranan masa penjajahan pada kondisi Indonesia yang relatif terbelakang?
3.      Mengapa pengusaha-pengusaha Cina menonjol peranannya dalam perkembangan ekonomi Indonesia di sektor swasta ?
4.      Sejauh mana peranan perusahaan-perusahaan asing yang melakukan kegiatan di Indonesia dalam menunjang pembangunan ekonomi ?
5.      Mengapa sumbangan pengusaha pribumi bagi pembangunan ekonomi Indonesia sampai sekarang sangat kecil ?
6.      Apa yang dapat dilakukan untuk menunjang pertumbuhan pengusaha pribumi ? (hal. 4).

Terhadap keenam pertanyaan tersebut tidak ada jawaban terutama seperti yang kita harapkan dari murid atau mahasiswa dalam menghadapi ulangan atau ujian.
Hanya saja, pemaparannya lewat angka dan fakta sejarah yang digali dalam penjelajahan kepustakaan lama (terlama 1886) ataupun baru (terbaru 1982) plus analisanya yang tajam memapahnya pada kesimpulan bahwa "... peristiwa, struktur dan potensi tindakan sejak masa prapenjajahan ... masih berpengaruh bagi masalah-masalah sosio-ekonomi zaman sekarang di Indonesia" (hal.117).

MASA SILAM
Kesimpulan tersebut seakan merupakan peringatan JR bahwa penataan perekonomian Indonesia masa kini perlu penelusuran ke masa silam. Tentang kewirausahaan, misalnya --yang mendapat kajian khusus dalam buku ini -- JR sampai pada kesimpulan bahwa berbagai sistem politik yang sempat berkembang di Indonesia tidak memberikan peluang bagi kemunculan wirausahawan pribumi.
"  ...  berabad-abad lamanya di Indonesia terdapat suatu lingkungan ekonomi dengan dampak yang sangat buruk bagi kemungkinan terkristalisasinya mentalitas wirausaha: pembatasan kebebasan oleh pengusaha feodal dan pengusaha kolonial, pengekangan spontanitas dan prakarsa oleh pasaran dunia yang berasaskan perdagangan bebas, dan ... adanya saingan bangsa Cina yang sebagian menduduki posisi dengan hak-hak istimewa", katanya (hal.209).
Kemudian, "... dasar-dasar politik yang seringkali secara tidak langsung mengekang kemungkinan perkembangan kewirausahaan dan yang akarnya berasal di zaman kolonial,  ternyata menancap dengan begitu kokoh dalam struktur politik dan sosial di Indonesia, sehingga praktek-praktek yang dijumpai sekarang ini dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan neokolonial dari politik penindasan kewirausahaan, walaupun pada zaman perencanaan pembangunan yang penuh 'penerangan' dewasa ini metodenya mungkin sudah mengalami perubahan" (hal.226).
 Dengan kajian seperti itu, saran-sarannya untuk menumbuh-suburkan wirausaha cukup sederhana, sekalipun untuk melaksanakannya, jelas, tidak sesederhana seperti yang disarankannya.
 Katanya, kita perlu: "(a) menciptakan lingkungan yang memungkinkan pemamfaatan kesanggupan wirausaha yang ada secara optimal, dan ... (b) menyingkirkan rintangan- rintangan sosial, politik dan pedagogis yang menghambat terkristalisasinya mentalitas wirausaha dan pengambilalihan peranan-peranan inovativ" (hal 313).
Kata  pop untuk saat ini barangkali adalah deregulasi dan debirokratisasi.
Bahwa langkah-langkah tersebut tidak mudah dilakukan, kiranya dapat kita rujuk pernyataan Dr. Sjahrir (Kompas, 30 Maret 1988) bahwa "Kekuatan yang menginginkan deregulasi (dan debirokratisasi) sebenarnya tidak sekuat seperti yang diucapkan para pejabat yang dibaca dalam surat kabar. Sebaliknya, kekuatan yang mempertahankan regulasi (dan birokrasi) tidak pernah mengucapkan apa pun yang pernah dimuat di surat kabar tetapi tetap efektif" (kata dalam kurung dari saya).
 Tetapi, apakah cerita tentang deregulasi dan debirokratisasi cukup sampai dengan hipotesis yang merisaukan seperti itu ?

BAHAN SISTEMATIK
Demikianlah, sebagian kecil dari hasil telaah JR dalam mengungkap sejarah perekonomian Indonesia di samping memberi pemahaman tentang masa lalu juga melahirkan berbagai hikmah untuk belajar dari sejarah. Pelajaran itu agaknya pada masa mendatang akan lebih banyak diperoleh karena belakangan ini di negeri Belanda telah tersusun serangkaian terbitan (tujuh jilid) dengan judul Changing Economy of Indonesia, 1816-1940, yang berhasil mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan kuantitatif yang disajikan secara sistematik serta dilengkapi dengan keterangan terinci mengenai berbagai masalah pada tahap kompilasi dan penyeleksiannya.
Salah-satu buku yang telah memamfaatkan informasi tersebut adalah Sejarah Ekonomi Indonesia yang disunting oleh Anne Booth, William J. O'Malley dan Anna Weidemann (LP3ES), Jakarta, 1988.
Masalahnya, maukah para pakar kita berkarier dalam bidang yang kurang populer ini. Jawaban "Ya" tentu saja dapat mengubah sinyalemen Sweezy seperti yang dikutip di atas, dan kita pun memperoleh pemahaman yang lebih struktural dan historis tentang perekonomian yang lazimnya hanya dipahami secara teknis.
Sekalipun tidak mengurangi arti penting buku ini, namun kehadiran indeks tampaknya tidak lagi merupakan hal yang "sebaiknya" melainkan "seharusnya" untuk mendukung bobotnya. Itu, yang sayangnya tidak dilakukan penerbit. (Tika Noorjaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar