Selasa, 21 April 2015

Oase Bagi Jiwa yang Berkelana

Resensi Buku Oleh Tika Noorjaya


Dimuat Majalah Infobank, Juli 2009

Judul: Mengadili Dewan Gubernur Bank Indonesia. Catatan Akhir Perjalanan Karir
Penulis                 : Burhanuddin Abdullah
Penerbit              : PT Dunia Pustaka Jaya, Juli 2009
Tebal                     : (xxxvi + 419) hlm

Inilah true story yang ditulis mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah (BA) di balik jeruji besi terkait kasus “Aliran Dana YPPI”. Dalam narasi tentang Rutan Bareskrim, rumah barunya sejak 10 April 2008, BA bertutur begitu rinci, misalnya tentang seluk beluk ukuran dan fasilitas ruangan, kegiatan harian, sampai makanan yang disantapnya; tak lupa tentang jabatan barunya sebagai Ketua RT di antara sesama pemukim di sana. Bahkan BA menarik lima pelajaran, yakni: spektrum pergaulan semakin melebar; rajin ibadah; rajin membaca untuk menambah ilmu; menjadi tahu mana teman sejati dan mana yang bukan; serta bisa mengamati permainan rasa yang terungkap dalam do’a dan harapan. Tentang mushola, dinilainya sebagai oase bagi jiwa yang sedang berkelana; tempat untuk menumpahkan segala rasa. Ia adalah ruangan yang “tembus ke langit,” katanya (hal. 72).
Ironi Bergaya Novel
Boleh jadi, buku ini sedikit “mengecoh”. Meski menggunakan judul “Mengadili ...”, jangan harap anda akan menemukan pasal-pasal hukum yang diulang berkali-kali, serta harus difahami dengan mengerutkan dahi. Sebaliknya, buku ini diawali dengan Prolog bernuansa novel dalam perhelatan pesta pernikahan. Sungguh menggoda, bagaimana relevansi kegembiraan BA di fora-pesta dengan derita-nista di rumah tahanan. Sebaliknya, buku ini digenapi dengan Epilog, yang “memotret” suasana buram di akhir persidangan, ... dengan pukulan palu godam vonis di luar perkiraan – yakni 5 (lima) tahun penjara. Selesai persidangan dan tiba di kamar tahanan, BA duduk tepekur sambil bertanya-tanya: “Mengapa kebijakan yang diambil oleh lembaga, yang dimaksudkan untuk memperbaiki suasana kerja, sebagaimana terbukti dari hasil-hasilnya, masih harus berhadapan dengan prasangka... Apakah ini untuk membalas dendam zaman yang tak akan berkesudahan, atau memang benar untuk menegakkan keadilan? Sejarahlah yang akan bertutur kemudian!”, katanya (hal. 277).
Format buku pun tak lazim sebagai buku non-fiksi. Terkesan amat ringan. Tak ada urutan nomor bab-per-bab. Dalam Mukadimah, sebagai pembuka wacana, BA merunut latar belakang serta  menggelar enam alasan mengapa buku ini ditulis. Selain itu, buku ini mengusung sejumlah pertanyaan akademis untuk menelusuri suatu bidang studi tersendiri yang inisiatifnya dapat saja ditimbulkan dari buku ini. Pun menarik untuk disimak, bahwa Nota Pembelaan (Pledooi) dalam buku ini hampir satu-setengah kali lipat dibanding Pledooi yang dibacakan BA di persidangan. Catatan post factum, baik narasi maupun catatan kaki, menambah keluasan paparan ini.
Pemahaman BA tentang korupsi ternyata begitu luas dengan rujukan literatur yang subur. Lebih dari itu, dalam pengalaman hidupnya BA tak bersedia berurusan dengan kegiatan yang berpeluang korupsi. Untuk pengurusan izin “ini-itu” BA lebih baik meminta bantuan orang lain daripada harus berhubungan langsung dengan korupsi – semata-mata karena tak mau bersentuhan dengan korupsi. Dan, dalam kasus yang sejak awal diselewengkan sebagai “Aliran Dana BI” ini pun terbukti, tak sepeser pun dari uang yang seratus milyar itu yang mengalir ke kantongnya sebagai Gubernur BI. Kenyataan ini menimbulkan tanda tanya bagi memori kolektif masyarakat awam, yang memadankan koruptor dengan tikus rakus yang menggerogoti uang negara.
“… dengan setting nuansa itu saya menjadi memiliki kegairahan yang aneh dalam membaca bukunya”, kata Emha Ainun Najib dalam “Pengantar”-nya.
Menarik Hikmah
Ternyata tak mudah mencari dan merumuskan hikmah bagi BA, BI, apalagi bagi negeri dari kasus ini. Setelah mengamati tujuh kecenderungan masa depan berdasarkan kasus ini, ... “ke depan para politisi, negarawan, dan perancang kelembagaan negara ini perlu melakukan perenungan kembali dan melakukan perancangan ulang dalam beberapa hal yang strategis agar kehidupan bernegara memberikan kepastian bagi setiap elemen bangsa dalam melakukan pekerjaannya” (hal. 268). Sedikitnya ada lima hal yang perlu dipikirkan kembali dalam pelaksanaan tugas-tugas di masa depan, yakni: (1) mensiasati masa peralihan agar dapat dijalani dengan selamat dan ongkos yang murah; (2) faktor budaya tidak dapat dinafikan pengaruhnya terhadap kemajuan perekonomian suatu bangsa; (3) mengkaji kembali arrangement kelembagaan dan pengertian lembaga negara yang independen disesuaikan dengan tradisi dan perjalanan kesejarahan politik dan perekonomian negara; (4) lembaga harus tetap memikirkan dirinya sebagai salah satu wahana bagi upaya pencapaian kesejahteraan rakyat; dan (5) rekrutmen anggota Dewan Gubernur perlu dipikirkan kembali untuk disempurnakan.
Semogalah, hari-hari mendatang akan menjadi saksi bagi pencerahan penegak hukum di Indonesia dalam mengejar cita-cita bersama menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Atau, akankah kita biarkan benang yang kusut semakin kusut? (Tika Noorjaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar