Judul: Mengadili
Dewan Gubernur Bank Indonesia. Catatan Akhir Perjalanan
Karir
Penulis :
Burhanuddin Abdullah
Penerbit :
PT Dunia Pustaka Jaya, Juli 2009
Tebal : (xxxvi + 419) hlm
Inilah true story yang
ditulis mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah (BA) di balik
jeruji besi terkait kasus “Aliran Dana YPPI”. Dalam narasi tentang Rutan Bareskrim, rumah
barunya sejak 10 April 2008, BA bertutur begitu rinci, misalnya tentang seluk
beluk ukuran dan fasilitas ruangan, kegiatan harian, sampai makanan yang
disantapnya; tak lupa tentang jabatan barunya sebagai Ketua RT di antara sesama
pemukim di sana. Bahkan BA menarik lima pelajaran, yakni: spektrum pergaulan
semakin melebar; rajin ibadah; rajin membaca untuk menambah ilmu; menjadi tahu
mana teman sejati dan mana yang bukan; serta bisa mengamati permainan rasa yang
terungkap dalam do’a dan harapan. Tentang mushola, dinilainya sebagai oase bagi jiwa yang sedang berkelana; tempat
untuk menumpahkan segala rasa. Ia adalah ruangan yang “tembus ke langit,”
katanya (hal. 72).
Ironi Bergaya Novel
Boleh jadi, buku ini sedikit “mengecoh”. Meski menggunakan judul “Mengadili ...”, jangan
harap anda akan menemukan pasal-pasal
hukum yang diulang berkali-kali, serta harus difahami dengan mengerutkan dahi.
Sebaliknya, buku ini diawali dengan Prolog
bernuansa novel dalam perhelatan pesta pernikahan. Sungguh menggoda, bagaimana
relevansi kegembiraan BA di fora-pesta dengan derita-nista di rumah tahanan.
Sebaliknya, buku ini digenapi dengan
Epilog, yang “memotret” suasana buram di akhir persidangan, ... dengan pukulan
palu godam vonis di luar perkiraan – yakni 5 (lima) tahun penjara. Selesai
persidangan dan tiba di kamar tahanan, BA duduk tepekur sambil bertanya-tanya:
“Mengapa kebijakan yang diambil oleh lembaga, yang dimaksudkan untuk
memperbaiki suasana kerja, sebagaimana terbukti dari hasil-hasilnya, masih
harus berhadapan dengan prasangka... Apakah ini untuk membalas dendam zaman
yang tak akan berkesudahan, atau memang benar untuk menegakkan keadilan?
Sejarahlah yang akan bertutur kemudian!”, katanya (hal. 277).
Format buku pun tak lazim sebagai buku
non-fiksi. Terkesan amat ringan. Tak ada urutan nomor bab-per-bab. Dalam Mukadimah, sebagai pembuka wacana, BA merunut
latar belakang serta menggelar enam
alasan mengapa buku ini ditulis. Selain itu, buku ini mengusung sejumlah
pertanyaan akademis untuk menelusuri suatu bidang studi tersendiri yang
inisiatifnya dapat saja ditimbulkan dari buku ini. Pun menarik untuk disimak, bahwa Nota Pembelaan (Pledooi) dalam buku ini hampir satu-setengah kali lipat dibanding Pledooi yang dibacakan BA di
persidangan. Catatan post factum,
baik narasi maupun catatan kaki, menambah keluasan paparan ini.
Pemahaman BA tentang korupsi ternyata begitu luas dengan rujukan
literatur yang subur. Lebih dari itu, dalam pengalaman hidupnya BA tak bersedia
berurusan dengan kegiatan yang berpeluang korupsi. Untuk pengurusan izin
“ini-itu” BA lebih baik meminta bantuan orang lain daripada harus berhubungan
langsung dengan korupsi – semata-mata karena tak mau bersentuhan dengan
korupsi. Dan, dalam kasus yang sejak awal diselewengkan sebagai “Aliran Dana
BI” ini pun terbukti, tak sepeser pun dari uang yang seratus milyar itu yang
mengalir ke kantongnya sebagai Gubernur BI. Kenyataan ini menimbulkan tanda
tanya bagi memori kolektif masyarakat awam, yang memadankan koruptor dengan
tikus rakus yang menggerogoti uang negara.
“… dengan setting nuansa
itu saya menjadi memiliki kegairahan yang aneh dalam membaca bukunya”, kata
Emha Ainun Najib dalam “Pengantar”-nya.
Menarik Hikmah
Ternyata tak mudah mencari dan merumuskan
hikmah bagi BA, BI, apalagi bagi negeri dari kasus ini. Setelah mengamati tujuh
kecenderungan masa depan berdasarkan kasus ini, ... “ke depan para politisi,
negarawan, dan perancang kelembagaan negara ini perlu melakukan perenungan
kembali dan melakukan perancangan ulang dalam beberapa hal yang strategis agar
kehidupan bernegara memberikan kepastian bagi setiap elemen bangsa dalam
melakukan pekerjaannya” (hal. 268). Sedikitnya ada lima hal yang perlu
dipikirkan kembali dalam pelaksanaan tugas-tugas di masa depan, yakni: (1)
mensiasati masa peralihan agar dapat dijalani dengan selamat dan ongkos yang
murah; (2) faktor budaya tidak dapat dinafikan pengaruhnya terhadap kemajuan
perekonomian suatu bangsa; (3) mengkaji kembali arrangement kelembagaan dan pengertian lembaga negara yang
independen disesuaikan dengan tradisi dan perjalanan kesejarahan politik dan
perekonomian negara; (4) lembaga harus tetap memikirkan dirinya sebagai salah
satu wahana bagi upaya pencapaian kesejahteraan rakyat; dan (5) rekrutmen
anggota Dewan Gubernur perlu dipikirkan kembali untuk disempurnakan.
Semogalah,
hari-hari mendatang akan menjadi saksi bagi pencerahan penegak hukum di
Indonesia dalam mengejar cita-cita bersama menuju masyarakat yang adil, makmur
dan sejahtera. Atau, akankah kita biarkan benang yang kusut semakin kusut? (Tika Noorjaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar