MAMPUKAH INDONESIA MENJADI NAGA KELIMA DI ASIA?
Oleh Tika Noorjaya
Setelah dengan
panjang lebar menguraikan kehebatan "Empat Naga Kecil Asia" dalam
harian ini pada 24 Januari 1987, H. Darwanto menutup tulisan itu dengan
kalimat: "Bagaimana mereka berusaha
mencapai maksud ini dalam situasi perekonomian dunia yang sedang lesu dengan segala akibatnyya, mungkin
merupakan tontonan yang menarik. Akan
tetapi, bijaksanakah kita, kalau hanya menonton dan tidak mengikuti jalan yang
mereka rintis ?
"Pertanyaan
yang menarik, sekaligus menantang!
Tulisan berikut ini
mencoba menjawab pertanyaan di atas, sekaligus mencoba mmenelusuri; mampukah
Indonesia menjadi Naga kelima di Asia ?
PERLU AKTIF
Jawaban terhadap pertanyaan Darwanto
sebenarnyya cukup jelas: "Tidak!". Ya, tentu saja kita tidak
bijaksana dengan hanya menonton belaka.
Sebab, pertumbuhan ekonomi berbeda dengan, misalnya, pertandingan sepak bola
atau adu jotos di ring tinju yang dapat
bernilai ratusan juta itu. Menonton dua pertandingan yang disebut belakangan ini agaknya merupakan
hiburan yang menyenangkan bagi penonton (penggemarnya), apalagi kalau jagoannya
menang. Demikian pula, kekalahan sang jagoan merupakan kekecewaan penonton (pengemarnya). Lain
halnya dengan menonton keberhasilan
keempat Naga Kecil di Asia itu (Singapura, Korea, Selatan, Taiwan dan Hongkong). Menonton
keberhasilan mereka mengandung konotasi pasif. Padahal, seperti kita maklumi,
Indonesia juga merupakan pemeran dalam
percaturan perekonomian dunia yang
semakin penuh persaingan dan proteksi ini. Dengan hanya menonton, bukan mustahil kalau keempat Naga
Kecil itu menelan kita. Sudah banyak
terbukti bahwa keberhasilan negara-negara besar
dalam banyak hal tidaklah menetes dari mereka ke negara-negara yang
masih terbelakang; justru sebaliknyalah yang terjadi. Kemacetan pembentukan
Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) yang antara lain ingin mewujudkan
keadilan dalam tata ekonomi antarnegara, kiranya mendukung sinyalemen ini.
Bahwa kemacetan
pembentukan TEIB juga ada yang menilai bukan hanya disebabkan keengganan negara
maju tetapi juga karena kelemahan di negara terbelakang, kiranya menjadi
analogi yang penting juga dalam kajian kita sekarang ini kalau ingin meraih
keberhasilan. Yakni, kita perlu aktif
menata perekonomian kita sendiri, sehingga kita
bukan hanya pasif menjadi penonton keberhasilan keempat Naga Kecil itu
(dan negara lain), melainkan menjadi Naga kelima; yang secara potensial mungkin
bukan hanya menjadi Naga Kecil, tapi Naga Besar.
MENGIKUTI, ATAU ...
Untuk menjadi Naga kelima di Asia, agaknya
kita tidak dapat hanya sekedar "mengikuti jalan yang mereka rintis"
seperti yang diungkapkan Darwanto. Jalan yang mereka rintis, barangkali baik. Tetapi,
mengikutinya ?
Memang Indonesia
dan keempat Naga tersebut sama-sama
bangsa "Timur";
tetapi, berbagai perbedaannya pun
tidak dapat kita abaikan, antara lain dalam hal budaya nasional masing-masing.
Pidato Prof. Budhi Paramita ketika
dikukuhkan menjadi guru besar tetap
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 29 November 1986, barangkali dapat dijadikan
sebagai salah satu contohnya, terutama ketika beliau mengutip hasil riset
Hofstede yang belakangan ini, selama
enam tahun (1973-1978), melakukan riset besar-besaran yang meliputi tidak
kurang dari 50 negara, beliau berhasil memperjelas konsep budaya nasional yang
dicirikannya menurut empat dimensi yang
dapat diukur menurut skala ordinal, yakni (1) individualistis - berkelompok,
(2) jarak kekuasaan tinggi - jarak kekuasaan rendah, (3) penghindaran
ketidakpastian yang tinggi - penghindaran ketikpastin yang rendah, dan (4)
maskulin - feminin; sehingga dengan mengukur "nilai" keempat dimensi
tersebut, dapat dibandingkan budaya
nasional negara yang bersangkutan. Hasilnya ? Tidak saja antarorganisasi Barat
dan Timur terdapat perbedaan tajam,
tetapi di antara organisasi Barat atau Timur sendiri juga dijumpai perbedaan-perbedaan.
Padahal, menurut Prof. Budhi Paramita, "walaupun budaya sering tidak
disadari secara tajam oleh anggota yang memilikinya, tetapi pengaruhya sangat
kuat atas pemikiran, sikap, dan perilaku".
Apakah karena
"ajaran Konfusius, ... menjadi benang merah yang mengantarkan keempat
negara serumpun ini maju secara hampir bersamaan", lantas kita
mengikutinya ?
Akrobatis
kata-kata. Memang. Namun, saya (bukan ahli akrobat) pikir, kata yang barangkali
tepat untuk mengganti kata “mengikuti” adalah “menyesuaikan”, terlepas dari
polusi terhadap kata tersebut belakangan ini.
Jepang barangkali
merupakan contoh beken dalam hal "penyesuaian". Misalnya, meski
manajemen yang digunakan Jepang dalam mengelola perusahaan-perusahaan Jepang
semula banyak diambil dari Barat, tetapi -- seperti diungkapkan William G.
Ouchi (1981) -- perusahaan-perusahaan Jepang mencerminkan kondisi-kondisi
homogenitas, stabilitas, dan kolektivisme, yang jelas berbeda dengan
perusahaan-perusahaan Barat yang cenderung
memperlihatkan kekakuan, heterogenitas, mobilitas, dan individualisme
yang congkak. Jepang juga menyesuaikan Total Quality Control (TQC) dari Barat
menjadi Quality Control Circle (QCC). Kalau
kepustakaan manajeman Barat mengenal teori X dan Y dari McGregor, maka
Jepang mengenal teori Z dari William
G.Ouchi. Dalam kaitan ini, barangkali
Indonesia mempunyai teori manajemen setara teori X, Y, dan Z ini; hanya saja, sampi
saat ini belum muncul ke permukaan dengan tegas. Dan, itulah yang antara lain
menjadi tugas cendekiawan kita; bukan
asal mengikuti manajemen orang lain, tetapi menggalinya dari tatanan budaya kita sendiri.
Demikian pula,
kalau ajaran Konfusius yang menurut Darwanto merupakan "benang
merah", dan seterusnya, barangkali dalam hal Indonesia akan lebih afdol kesesuaiannya kalau didekati dari
ajaran yang banyak dipahami orang Indonesia.
Kalau Jepang juga mau dijadikan contoh, barangkali ada baiknya
juga. Sebab, Konfusiusisme yang mempengaruhi ciri-ciri dan struktur kekuasaan
di Jepang juga diterapkan dalam struktur dan ciri-ciri manajemen Jepang (Prisma nomor 5, Mei 1983). Dalam hal
ini, ungkapan yang hampir sama dengan ajaran Konfusius tersebut juga dapat kita
gali dari ajaran-ajaran misalnya Islam, seperti pernah diungkapkan Dr. Nurcholis
Madjid tahun yang lalu.
Dan, memang, selama
ini pun agaknya penyesuaian itulah yang ditempuh pemerintah kita terhadap
budaya luar yang tidak bertentangan dengan budaya kita (yang bertentangan jelas
ditolak). Contoh mutakhir tentang hal ini adalah waitankung dan tai-chi.
Senam dari China dan Korea yang mulai banyak digemari di Indonesia ini bukan
hanya harus ganti nama, tapi juga falsafahnya harus disesuaikan dengan
budaya Indonesia, seperti petunjuk kepala negara kepada Menmuda Abdul Gafur
belum lama ini. Juga ternyata, bahwa senam sejenis waitankung dan tai-chi
ada juga di Indonesia. Bahkan katanya,
lebih hebat lagi , yakni perkumpulan Sin Lam Ba (Saudara Lahir Bathin), di
Depok, Jawa Barat (Mingguan "Bola", 30 Jauari 1987).
MENJADI NAGA KELIMA
Upaya pencarian
sang Naga Kelima agaknya bukan merupakan khayalan atau karena terkait dengan riwayat
leluhur, melainkan karena alasan yang realistis: kita punya potensi besar
seperti ditunjukkan sebagai modal dasar pembangunan dalam GBHN dan cita-cita
untuk menjadi negara yang selain mensejahterakan penduduk Indonesia juga ikut
serta dalam menciptakan perdamaian dunia seperti kita simak dari UUD'45.
Artikel
ini dimuat JAWA POS, Rabu WAGE, 11 Februari 1987.
CATATAN:
Jawa Pos hanya menyajikan
artikel ini sampai di sini, dan tidak melanjutkan naskah asli dari saya yang menguraikan
soal “tinggal landas” dan “koperasi” sebagai upaya menuju Indonesia sebagai
Naga Kelima di Asia. (Waktu itu, saya kira tulisan ini akan bersambung esok
harinya, tapi ternyata “menggantung” sampai di situ). Sayang sekali, naskah
aslinya sampai sekarang belum saya temukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar