Rabu, 29 April 2015

Mampukah Indonesia Menjadi Naga Kelima di Asia?




        
MAMPUKAH INDONESIA MENJADI NAGA KELIMA DI ASIA?
Oleh Tika Noorjaya

Setelah dengan panjang lebar menguraikan kehebatan "Empat Naga Kecil Asia" dalam harian ini pada 24 Januari 1987, H. Darwanto menutup tulisan itu dengan kalimat: "Bagaimana mereka berusaha  mencapai maksud ini dalam situasi perekonomian dunia yang sedang  lesu dengan segala akibatnyya, mungkin merupakan tontonan yang  menarik. Akan tetapi, bijaksanakah kita, kalau hanya menonton dan tidak mengikuti jalan yang mereka rintis  ?
"Pertanyaan yang menarik, sekaligus menantang!
Tulisan berikut ini mencoba menjawab pertanyaan di atas, sekaligus mencoba mmenelusuri; mampukah Indonesia menjadi  Naga kelima di Asia ?

PERLU AKTIF
     Jawaban terhadap pertanyaan Darwanto sebenarnyya cukup jelas: "Tidak!". Ya, tentu saja kita tidak bijaksana dengan hanya  menonton belaka. Sebab, pertumbuhan ekonomi berbeda dengan, misalnya, pertandingan sepak bola atau adu jotos di ring tinju yang  dapat bernilai ratusan juta itu. Menonton dua pertandingan yang  disebut belakangan ini agaknya merupakan hiburan yang menyenangkan bagi penonton (penggemarnya), apalagi kalau jagoannya menang. Demikian pula, kekalahan sang jagoan merupakan  kekecewaan penonton (pengemarnya). Lain halnya  dengan menonton keberhasilan keempat Naga Kecil di Asia itu (Singapura, Korea,  Selatan, Taiwan dan Hongkong). Menonton keberhasilan mereka mengandung konotasi pasif. Padahal, seperti kita maklumi, Indonesia  juga merupakan pemeran dalam percaturan perekonomian dunia  yang semakin penuh persaingan dan proteksi ini. Dengan hanya  menonton, bukan mustahil kalau keempat Naga Kecil itu menelan  kita. Sudah banyak terbukti bahwa keberhasilan negara-negara besar  dalam banyak hal tidaklah menetes dari mereka ke negara-negara yang masih terbelakang; justru sebaliknyalah yang terjadi. Kemacetan pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) yang antara lain ingin mewujudkan keadilan dalam tata ekonomi antarnegara, kiranya   mendukung sinyalemen ini.
Bahwa kemacetan pembentukan TEIB juga ada yang menilai bukan hanya disebabkan keengganan negara maju tetapi juga karena kelemahan di negara terbelakang, kiranya menjadi analogi yang penting juga dalam kajian kita sekarang ini kalau ingin meraih keberhasilan.  Yakni, kita perlu aktif menata perekonomian kita sendiri, sehingga kita  bukan hanya pasif menjadi penonton keberhasilan keempat Naga Kecil itu (dan negara lain), melainkan menjadi Naga kelima; yang secara potensial mungkin bukan hanya menjadi Naga Kecil, tapi Naga Besar.
     
MENGIKUTI, ATAU ...
     Untuk menjadi Naga kelima di Asia, agaknya kita tidak dapat hanya sekedar "mengikuti jalan yang mereka rintis" seperti yang diungkapkan Darwanto. Jalan yang mereka rintis, barangkali baik. Tetapi, mengikutinya ?
Memang Indonesia dan keempat Naga tersebut sama-sama  bangsa "Timur";  tetapi,  berbagai perbedaannya pun tidak dapat kita abaikan, antara lain dalam hal budaya nasional masing-masing. Pidato  Prof. Budhi Paramita ketika dikukuhkan menjadi guru besar tetap  Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di Jakarta pada tanggal 29 November 1986, barangkali dapat dijadikan sebagai salah satu contohnya, terutama ketika beliau mengutip hasil riset Hofstede yang  belakangan ini, selama enam tahun (1973-1978), melakukan riset besar-besaran yang meliputi tidak kurang dari 50 negara, beliau berhasil memperjelas konsep budaya nasional yang dicirikannya  menurut empat dimensi yang dapat diukur menurut skala ordinal, yakni (1) individualistis - berkelompok, (2) jarak kekuasaan tinggi - jarak kekuasaan rendah, (3) penghindaran ketidakpastian yang tinggi - penghindaran ketikpastin yang rendah, dan (4) maskulin - feminin; sehingga dengan mengukur "nilai" keempat dimensi tersebut, dapat  dibandingkan budaya nasional negara yang bersangkutan. Hasilnya ? Tidak saja antarorganisasi Barat dan Timur terdapat perbedaan tajam,  tetapi di antara organisasi Barat atau Timur sendiri juga dijumpai perbedaan-perbedaan. Padahal, menurut Prof. Budhi Paramita, "walaupun budaya sering tidak disadari secara tajam oleh anggota yang memilikinya, tetapi pengaruhya sangat kuat atas pemikiran, sikap, dan perilaku".
Apakah karena "ajaran Konfusius, ... menjadi benang merah yang mengantarkan keempat negara serumpun ini maju secara hampir bersamaan", lantas kita mengikutinya ?
Akrobatis kata-kata. Memang. Namun, saya (bukan ahli akrobat) pikir, kata yang barangkali tepat untuk mengganti kata “mengikuti” adalah “menyesuaikan”, terlepas dari polusi terhadap kata tersebut belakangan ini.
Jepang barangkali merupakan contoh beken dalam hal "penyesuaian". Misalnya, meski manajemen yang digunakan Jepang dalam mengelola perusahaan-perusahaan Jepang semula banyak diambil dari Barat, tetapi -- seperti diungkapkan William G. Ouchi (1981) -- perusahaan-perusahaan Jepang mencerminkan kondisi-kondisi homogenitas, stabilitas, dan kolektivisme, yang jelas berbeda dengan perusahaan-perusahaan Barat yang cenderung  memperlihatkan kekakuan, heterogenitas, mobilitas, dan individualisme yang congkak. Jepang juga menyesuaikan Total Quality Control (TQC) dari Barat menjadi Quality Control Circle (QCC). Kalau  kepustakaan manajeman Barat mengenal teori X dan Y dari McGregor, maka Jepang mengenal  teori Z dari William G.Ouchi. Dalam kaitan   ini, barangkali Indonesia mempunyai teori manajemen setara teori X, Y, dan Z ini; hanya saja, sampi saat ini belum muncul ke permukaan dengan tegas. Dan, itulah yang antara lain menjadi tugas cendekiawan kita;  bukan asal mengikuti manajemen orang lain, tetapi menggalinya  dari tatanan budaya kita sendiri.
Demikian pula, kalau ajaran Konfusius yang menurut Darwanto merupakan "benang merah", dan seterusnya, barangkali dalam hal Indonesia akan lebih afdol kesesuaiannya kalau didekati dari ajaran  yang banyak dipahami orang Indonesia. Kalau  Jepang juga mau  dijadikan contoh, barangkali ada baiknya juga. Sebab, Konfusiusisme yang mempengaruhi ciri-ciri dan struktur kekuasaan di Jepang juga diterapkan dalam struktur dan ciri-ciri manajemen Jepang (Prisma nomor 5, Mei 1983). Dalam hal ini, ungkapan yang hampir sama dengan ajaran Konfusius tersebut juga dapat kita gali dari ajaran-ajaran misalnya Islam, seperti pernah diungkapkan Dr. Nurcholis Madjid tahun yang lalu.
Dan, memang, selama ini pun agaknya penyesuaian itulah yang ditempuh pemerintah kita terhadap budaya luar yang tidak bertentangan dengan budaya kita (yang bertentangan jelas ditolak). Contoh mutakhir tentang hal ini adalah waitankung dan tai-chi. Senam dari China dan Korea yang mulai banyak digemari di Indonesia ini bukan hanya harus ganti  nama, tapi  juga falsafahnya harus disesuaikan dengan budaya Indonesia, seperti petunjuk kepala negara kepada Menmuda Abdul Gafur belum lama ini. Juga ternyata, bahwa senam sejenis waitankung dan tai-chi ada juga di Indonesia. Bahkan  katanya, lebih hebat lagi , yakni perkumpulan Sin Lam Ba (Saudara Lahir Bathin), di Depok, Jawa Barat (Mingguan "Bola", 30 Jauari 1987).

MENJADI NAGA KELIMA
Upaya pencarian sang Naga Kelima agaknya bukan merupakan khayalan atau karena terkait dengan riwayat leluhur, melainkan karena alasan yang realistis: kita punya potensi besar seperti ditunjukkan sebagai modal dasar pembangunan dalam GBHN dan cita-cita untuk menjadi negara yang selain mensejahterakan penduduk Indonesia juga ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia seperti kita simak dari UUD'45.


Artikel ini dimuat JAWA POS, Rabu WAGE, 11 Februari 1987.

CATATAN:
Jawa Pos hanya menyajikan artikel ini sampai di sini, dan tidak melanjutkan naskah asli dari saya yang menguraikan soal “tinggal landas” dan “koperasi” sebagai upaya menuju Indonesia sebagai Naga Kelima di Asia. (Waktu itu, saya kira tulisan ini akan bersambung esok harinya, tapi ternyata “menggantung” sampai di situ). Sayang sekali, naskah aslinya sampai sekarang belum saya temukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar