Minggu, 26 April 2015

UKM Indonesia di Antara UKM ASEAN




Judul: Aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah. Studi Kasus ASEAN
Penyunting: Kenneth James dan Narongchai Akrasane.
Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1993.
Tebal: (xxv + 253) halaman.

UKM INDONESIA DI ANTARA UKM ASEAN
Oleh Tika Noorjaya

Identifikasi terhadap usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai salah satu sasaran kebijakan pembangunan termasuk gejala baru -- sekitar tahun 1970-an.  Hal ini jelas terlihat dengan kenyataan negara berkembang, termasuk ASEAN, bahwa industri besar padat modal -- yang membentuk basis kebijakan pembangunan sebelumnya -- telah gagal memenuhi harapan sebagai mesin penggerak pertumbuhan dan pemerataan. 
Di Indonesia, peranan UKM dalam perekonomian tidak diragu­kan, baik dalam keusahaan maupun kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja. Posisi strategis dan potensi ekonomi yang terkan­dung di dalamnya telah berhasil mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi, perdagangan dan khususnya kebijakan fiskal pemerintah, seperti kelahiran Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), serta dibentuknya beberapa badan pemerintah yang khusus terkait dengan pengembangan usaha kecil. 
Perhatian khusus ini kembali terlihat dalam Paket Januari 1990, yang salahsatu tujuannya adalah menyempurnakan program kredit bagi usaha kecil agar lebih mantap, terarah dan dilakukan secara luas oleh semua bank. Sebagai pengganti KIK dan KMKP, bank pemberi kredit diwajibkan menyalurkan 20% dari portofolio kre­ditnya untuk usaha kecil berupa Kredit Usaha Kecil (KUK).
Di samping itu, ada Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor 1232/KMK.013/1989,  tanggal 11 November 1989,  yang mengharuskan setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalokasikan 1-5% labanya untuk pembinaan pengusaha kecil (dan koperasi).
Beberapa BUMN, kini memiliki badan (yayasan) tersendiri untuk menangani tugas ini; beberapa proyek percontohan pun telah banyak dilaksa­nakan, antara lain bekerjasama dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Demikian juga, sejak lama Bank Indonesia mengembang­kan Proyek Pengembangan Usaha Kecil. Di luar itu, berbagai depar­temen melakukan upaya semacam, dengan nama dan sasaran yang lebih spesifik, serta melibatkan berbagai pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Berbagai usaha pembinaan itu tampaknya memang diperlukan. Seperti kita ketahui, kemampuan pengusaha kecil (teruta­ma) dan usaha menengah sangatlah terbatas, baik karena perkembangan usahanya yang masih awal, maupun prospek usahanya yang kadangkala belum jelas disebabkan belum memiliki pandangan ke depan serta perencanaan yang baik.
Rendahnya pendidikan pun menyebabkan keterbatasan informasi perbankan, sehingga pengetahuan tentang aspek perbankan pun menjadi terbatas. Sejumlah kekurangan lain di bidang manajemen, dapat ditambahkan. Masalah tersebut ternyata "universal" bagi UKM di Negara-negara ASEAN,  seperti terungkap dalam buku ini; dengan catatan, definisi UKM bagi kelima negara ASEAN (hanya mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina dan Muangthai) tersebut sungguh bervariasi -- kemampuan menyerap tenaga kerja, asset maupun perputaran usahanya.

***
Sekalipun penyunting mengalami kesulitan mengenerali­sasi temuan  masalah UKM, namun jalan keluarnya amat "cerdik", dengan memilahnya menjadi tiga kelompok. Bagi UKM yang berlokasi di desa, keuangan itu penting, tetapi tidak sepenting pemasaran dan rencana produksi. Bagi UKM yang berlokasi di kota kecil, faktor yang paling penting adalah keuangan. Sedangkan bagi UKM yang berlokasi di kota besar, kebijakan fiskallah yang mempunyai konsekuensi penting (hal. 7-8).
Semua survey juga menemukan bahwa UKM biasanya membutuhkan pinjaman jangka pendek yang dimaksudkan untuk membiayai produksi dan pemasaran. Perusa­haan UKM juga cenderung menggunakan modal sendiri, atau kalaupun ada sumber dana eksteren, sebagian besar dari sumber informal (hal. 9). 

***
Di Indonesia, selama ini telah banyak upaya pembinaan yang ditempuh pemerintah dan lembaga lain yang tergerak untuk memaju­kan UKM, khususnya usaha kecil. Namun, seringkali pembinaan tersebut terkesan "rebutan kavling", sehingga koordinasinya seringkali tercecer di balik kepentingan masing-masing pihak untuk  lebih menonjolkan peranannya.
Karena itu, sumberdana dan sumberdaya pembinaan, kiranya akan jauh lebih besar seandainya berbagai anggaran di masing-masing departemen dan lembaga yang selama ini telah melakukan pembinaan dapat diintegrasikan ke dalamnya, dan penggunaannya berada dalam satu koordinasi. Termasuk ke dalam sumberdana adalah dana dari lembaga-lembaga lain serta bagian 1-5% laba BUMN yang dialokasikan untuk pembinaan usaha kecil.
Sebagai suatu gagasan awal, dalam jangka panjang, di Indone­sia mungkin perlu dibentuk Bank Usaha Kecil (BUK), yaitu bank khusus yang menangani usaha kecil -- setara dengan Bank Pembangu­nan Malaysia yang mengkhususkan diri pada nasabah bumiputera (hal. 69). Modal bank tersebut antara lain sebagian disahami oleh bank-bank komersial -- yang dapat diperhitungkan dengan kewajibannya untuk menyalurkan  KUK -- dan dari bagian 1-5% keuntungan BUMN yang disalurkan untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil (dan koperasi).
Sebagaimana halnya Bank Tabungan Negara (BTN) yang terkait dengan pembiayaan perumahan, BUK adalah bank umum, yang mengutamakan jasanya -- berupa penyimpanan maupun penyaluran dana -- bagi pengusaha kecil. 

***
Kelemahan buku ini kiranya bukan terletak pada "... penulis tidak memberikan suatu analisa mendalam tentang efektivitas dari berbagai kebijakan yang diambil masing-masing negara ..." seperti ditulis Dr. Loekman Soetrisno dalam "Pengantar" (hal.  xxv), karena hal itu justru merupakan bagian dari unsur-unsur pokok yang diidentifikasi para penulis (hal. 1). Terlepas dari kedala­mannya, para penulis telah mengajukan analisanya; beberapa di antaranya, bahkan, cukup gambling dan panjang lebar. Tulisan tentang Indonesia (M. Dawam Rahardjo dan Fachry Ali), misalnya dengan gamblang membahas efektivitas (dan inefektivitas!) kebi­jakan industri secara umum, kebijakan fiskal dan kebijakan mone­ter (hal. 22-32). Hasil survey di Kabupaten Klaten, semakin menambah bobot analisa tersebut.
Sementara kajiannya cukup gamblang, dimensi waktulah yang kiranya merupakan kelemahan utama buku ini. Bayangkan saja: makalah-makalah yang disajikan baru dilokakaryakan Maret 1985 -- datanya yang terbaru tahun 1983. Proses penerbitan, menyebabkan buku ini baru terbit dalam bahasa Inggeris tahun 1988; dan terbitannya dalam bahasa Indonesia baru lima tahun kemudian. Dengan demikian, beberapa perkembangan mutakhir tak mampu lagi tertampung dalam buku ini. Sebagai contoh, bagi Indonesia belum memasu­kan kehadiran Pakjan 1990 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor 1232/KMK.013/1989, tanggal 11 November 1989, seperti dipaparkan di awal tulisan ini. Dari aspek finansial, jelas pengaruh kedua kebijakan tersebut cukup signifikan bagi pengembangan usaha kecil.
Andaikan kedua contoh kebijakan itu dimasukkan, maka analisa komparatif antarnegara dalam hal bentuk bantuan keuangan (hal. 11) bagi Indonesia akan terevisi dengan sendirinya, sehingga keragaannya akan memenuhi kriteria setara dengan Malaysia. Demi­kian pula, kesimpulan umum (hal. 13) bahwa Indonesia masih menga­nut Strategi I dan Strategi II (mengandalkan sektor negara) tentunya tidak begitu sahih lagi.  (Tika Noorjaya)


Resensi Buku ini dimuat Kompas, 3 Oktober 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar