Judul: Aspek-aspek Finansial Usaha Kecil dan Menengah. Studi Kasus ASEAN
Penyunting: Kenneth James dan
Narongchai Akrasane.
Penerbit: LP3ES, Jakarta, 1993.
Tebal: (xxv + 253) halaman.
UKM INDONESIA DI ANTARA UKM ASEAN
Oleh Tika
Noorjaya
Identifikasi terhadap usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai salah satu sasaran kebijakan pembangunan
termasuk gejala baru -- sekitar tahun 1970-an.
Hal ini jelas terlihat dengan kenyataan negara berkembang, termasuk ASEAN,
bahwa industri besar padat modal -- yang membentuk basis kebijakan pembangunan sebelumnya -- telah
gagal memenuhi harapan sebagai mesin penggerak pertumbuhan dan
pemerataan.
Di Indonesia, peranan UKM dalam perekonomian tidak diragukan, baik
dalam keusahaan maupun kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja. Posisi strategis dan
potensi ekonomi yang terkandung di dalamnya telah berhasil mempengaruhi
berbagai kebijakan ekonomi, perdagangan dan khususnya kebijakan fiskal pemerintah, seperti kelahiran
Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit
Mini, Kredit Midi, Kredit Candak Kulak (KCK), serta dibentuknya beberapa badan pemerintah yang khusus
terkait dengan pengembangan usaha kecil.
Perhatian khusus ini kembali terlihat dalam Paket Januari 1990, yang salahsatu
tujuannya adalah menyempurnakan program kredit bagi usaha kecil agar lebih
mantap, terarah dan dilakukan secara luas oleh semua bank. Sebagai pengganti KIK dan KMKP, bank pemberi kredit
diwajibkan menyalurkan 20% dari portofolio kreditnya untuk usaha kecil berupa
Kredit Usaha Kecil (KUK).
Di samping itu, ada Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor 1232/KMK.013/1989,
tanggal 11 November 1989, yang mengharuskan setiap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalokasikan 1-5% labanya untuk
pembinaan pengusaha kecil (dan koperasi).
Beberapa BUMN, kini memiliki badan (yayasan) tersendiri untuk menangani tugas ini;
beberapa proyek percontohan pun telah banyak dilaksanakan, antara lain bekerjasama
dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Demikian juga, sejak lama Bank Indonesia mengembangkan
Proyek Pengembangan Usaha Kecil. Di luar itu, berbagai departemen melakukan upaya
semacam, dengan nama dan sasaran yang lebih spesifik, serta melibatkan
berbagai pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Berbagai usaha pembinaan itu tampaknya memang diperlukan. Seperti kita ketahui, kemampuan
pengusaha kecil (terutama) dan usaha menengah sangatlah terbatas, baik karena perkembangan
usahanya yang masih awal, maupun prospek usahanya yang kadangkala belum jelas disebabkan
belum memiliki pandangan ke depan serta perencanaan yang baik.
Rendahnya pendidikan pun menyebabkan keterbatasan informasi perbankan, sehingga pengetahuan
tentang aspek perbankan
pun menjadi terbatas. Sejumlah kekurangan lain di bidang manajemen, dapat ditambahkan.
Masalah tersebut ternyata "universal"
bagi UKM di Negara-negara ASEAN,
seperti terungkap dalam buku ini; dengan catatan, definisi UKM bagi kelima negara ASEAN (hanya mencakup Indonesia,
Malaysia, Singapura, Filipina dan Muangthai) tersebut sungguh bervariasi -- kemampuan menyerap tenaga kerja,
asset maupun perputaran usahanya.
***
Sekalipun penyunting mengalami kesulitan mengeneralisasi temuan
masalah UKM, namun jalan keluarnya amat "cerdik", dengan memilahnya
menjadi tiga kelompok. Bagi UKM yang berlokasi di desa, keuangan itu penting,
tetapi tidak sepenting pemasaran dan rencana produksi. Bagi UKM yang berlokasi
di kota kecil, faktor yang paling penting adalah keuangan. Sedangkan bagi UKM yang
berlokasi di kota besar, kebijakan fiskallah yang mempunyai konsekuensi penting
(hal. 7-8).
Semua survey juga menemukan bahwa UKM biasanya membutuhkan
pinjaman jangka pendek yang dimaksudkan untuk membiayai produksi dan
pemasaran. Perusahaan UKM juga cenderung menggunakan modal sendiri, atau kalaupun
ada sumber dana eksteren, sebagian besar dari sumber informal (hal. 9).
***
Di Indonesia, selama ini telah banyak upaya pembinaan yang ditempuh
pemerintah dan lembaga lain yang tergerak untuk memajukan UKM, khususnya usaha
kecil. Namun, seringkali pembinaan tersebut terkesan "rebutan kavling", sehingga koordinasinya seringkali tercecer
di balik kepentingan masing-masing pihak untuk lebih menonjolkan
peranannya.
Karena itu, sumberdana dan sumberdaya pembinaan, kiranya akan jauh lebih
besar seandainya berbagai anggaran di masing-masing departemen dan lembaga yang selama
ini telah melakukan pembinaan dapat diintegrasikan ke dalamnya, dan penggunaannya berada dalam satu
koordinasi. Termasuk ke dalam sumberdana adalah dana dari lembaga-lembaga
lain serta bagian 1-5% laba BUMN yang dialokasikan untuk pembinaan usaha kecil.
Sebagai suatu gagasan awal, dalam jangka panjang, di Indonesia mungkin
perlu dibentuk Bank Usaha Kecil (BUK), yaitu bank khusus yang menangani usaha
kecil -- setara dengan Bank Pembangunan Malaysia yang mengkhususkan diri pada nasabah
bumiputera (hal. 69). Modal bank tersebut
antara lain sebagian disahami oleh bank-bank
komersial -- yang dapat diperhitungkan dengan kewajibannya untuk menyalurkan KUK -- dan dari bagian 1-5% keuntungan BUMN
yang disalurkan untuk pembinaan dan pengembangan usaha kecil (dan koperasi).
Sebagaimana halnya Bank Tabungan Negara (BTN) yang terkait dengan
pembiayaan perumahan, BUK adalah bank umum, yang mengutamakan jasanya -- berupa penyimpanan maupun penyaluran dana -- bagi
pengusaha kecil.
***
Kelemahan buku ini kiranya bukan terletak pada "... penulis tidak
memberikan suatu analisa mendalam tentang efektivitas dari berbagai
kebijakan yang diambil masing-masing negara ..." seperti ditulis Dr. Loekman Soetrisno
dalam "Pengantar" (hal. xxv), karena hal itu justru merupakan
bagian dari unsur-unsur pokok yang diidentifikasi para penulis (hal. 1). Terlepas dari kedalamannya,
para penulis telah mengajukan analisanya; beberapa di antaranya, bahkan, cukup gambling dan panjang lebar.
Tulisan tentang Indonesia
(M. Dawam Rahardjo dan Fachry Ali), misalnya dengan gamblang membahas
efektivitas (dan inefektivitas!) kebijakan industri secara umum, kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter (hal. 22-32). Hasil survey di Kabupaten Klaten, semakin menambah
bobot analisa tersebut.
Sementara kajiannya cukup gamblang, dimensi waktulah yang kiranya merupakan
kelemahan utama buku ini. Bayangkan saja: makalah-makalah yang disajikan baru dilokakaryakan Maret 1985 -- datanya
yang terbaru tahun 1983. Proses penerbitan, menyebabkan buku ini baru terbit dalam bahasa
Inggeris tahun 1988; dan terbitannya dalam bahasa Indonesia baru lima tahun kemudian.
Dengan demikian, beberapa perkembangan mutakhir
tak mampu lagi tertampung dalam buku ini. Sebagai contoh, bagi Indonesia
belum memasukan kehadiran Pakjan 1990 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan nomor 1232/KMK.013/1989, tanggal 11 November 1989, seperti dipaparkan
di awal tulisan ini. Dari aspek finansial, jelas pengaruh kedua
kebijakan tersebut cukup signifikan bagi pengembangan usaha kecil.
Andaikan kedua contoh kebijakan itu dimasukkan, maka analisa komparatif antarnegara
dalam hal bentuk bantuan keuangan (hal. 11) bagi Indonesia akan terevisi dengan
sendirinya, sehingga keragaannya akan memenuhi kriteria setara dengan Malaysia. Demikian pula, kesimpulan
umum (hal. 13) bahwa Indonesia masih menganut Strategi I dan Strategi II (mengandalkan
sektor negara) tentunya
tidak begitu sahih lagi. (Tika Noorjaya)
Resensi Buku ini dimuat Kompas, 3 Oktober
1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar