“ESPRIT DE CORRUPT”
Oleh:
Tika Noorjaya
"Saya
akan melemparkan para koruptor ke penjara berterali baja", kata Fernando
Collor de Mello, tahun 1989, sewaktu berkampanye untuk pemilihan
kepresidenannya. Tiga tahun kemudian, tepatnya akhir September 1992, ia, yang
telah menjadi Presiden Brazilia, dituduh melakukan korupsi senilai US $ 6,5
juta atau sekitar Rp. 13 milyar. Ironis. Dia yang pada mulanya antikorupsi,
justru terjungkal karena tuduhan melakukan korupsi.
Ironi
dan kontradiksi juga terjadi pada Ny. Santiago -- seorang Hakim
Agung, dan juga mantan calon presiden Filipina. Dalam kampanyenya, ia
melontarkan gagasan pembersihan aparat negara yang korup, sekaligus
memberantasnya. Namun, beberapa lama berselang ia dituduh melakukan korupsi,
yang, konon, antara lain digunakan untuk membiayai kampanyenya.
Hal
yang hampir mirip juga terjadi pada salah seorang pakar tentang
korupsi di negeri jiran. Sebagai seorang guru besar sosiologi
terkenal di Universitas Malaysia, seringkali pendapat pakar ini menjadi acuan
pakar lain atau santapan empuk media-massa manakala membicarakan korupsi.
Namun, ironis. Dia yang telah menulis beberapa buku dan makalah tentang
korupsi, juga dituduh melakukan korupsi di lingkungan tempatnya bekerja.
Ketiga
contoh di atas, tentu saja merupakan bagian dari daftar panjang yang dapat
dilengkapi oleh setiap orang, sesuai dengan wawasan masing-masing. Di
lingkungan kecil kita saja, seperti di tempat kerja,
tetangga, atau dalam pergaulan sehari-hari, ironi dan kontradiksi tampaknya
telah mewarnai ucapan dan perilaku koruptor -- dengan variasi peran
dari tingkat bawah sampai tingkat atas; dengan
kisaran nilai korupsi dari ribuan sampai milyaran atau bahkan
triliunan rupiah, yang ada kalanya dilakukan oleh orang-orang
yang sepantasnya menjadi panutan. Antara kata dan tindakannya
seakan telah terjadi pembelahan, yang seringkali sangat membingungkan.
Kalau
kebetulan figur panutan itu adalah penguasa atau oknum
pemerintah, yang karena kekuasaannya mampu berbuat apa saja, maka celakalah
seluruh negeri karena orang-orang di bawahnya tidak
segan-segan untuk meniru patronnya. Seperti kata pepatah Cina, "Kelompok yang memerintah adalah angin,
dan rakyat adalah semacam alang-alang. Ke mana angin bertiup ke sanalah alang-alang
meliuk" (S.H. Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, LP3ES,
1987). Atau, lebih celaka lagi kias dan nasihat dari Raja
Nusyirwan: "Jika seorang raja makan sebuah apel dari kebun milik
seseorang, maka hamba-hambanya akan mencabut pohon itu
ke akar-akarnya. Demi lima
butir telur, yang diperintahkan Sultan untuk mengambilnya dengan paksa,
orang-orang yang menjadi prajurit-prajuritnya akan merampas seribu
unggas di kolam air", katanya (Abdul Hadi W.M., Sastra Sufi,
1992).
Sesungguhya
pelacakan jejak korupsi dan akibat negatifnya dapat ditarik jauh surut ke
belakang. Dari Kekaisaran Romawi, misalnya, kita dapat bercermin bagaimana
korupsi telah menyebabkan keruntuhan kekaisaran, yang selanjutnya
mengakibatkan penindasan terhadap rakyat miskin. Demikian
pula bukti-bukti yang terkumpul hampir selama setengah abad
dari negara-negara Dunia Ketiga menunjukkan bahwa korupsilah
yang menghalangi pembangunan mereka.
Esprit de Corrupt
Kalau
para pakar ilmu manajemen memadankan esprit de corp dengan "jiwa
korsa", maka esprit de corrupt agaknya sepadan dengan frasa "jiwa
korupsi". Kalau demikian, memangnya korupsi itu mempunyai jiwa ?
Pengalaman
naik Bis Patas P-16 di Jl. Sudirman, Jakarta belum lama berselang,
mungkin dapat menjelaskan fenomena ini. Waktu itu, selepas ditilang
polisi karena menarik penumpang di atas kapasitasya, dengan suara
keras, sopir bis menggerutu bahwa sebelumnya ia telah membayar Rp. 2.000,- agar
bisa menarik penumpang melebihi kapasitasnya, sehingga menurut penilaiannya
penilangan tersebut menyalahi "aturan main" yang
telah disepakati sebelumnya. Dari sini, tampaklah bahwa jiwa korupsi terletak
di dua sisi: sopir ingin bebas mendapat muatan penumpang
di atas kapasitasnya; sementara polisi mendapat uang sebagai
kompensasi dari kekuasaan yang dimilikinya. Tinggallah penumpang
menanggung derita berjejal dan kepanasan !
Tentu
saja analogi seperti itu terlalu
menyederhanakan masalah. Tetapi, agaknya benar bahwa untuk
sebagian, semangat korupsi itu juga diwarnai semangat sebagai korp
(esprit
de corp). Tanpa semangat korp, korupsi menjadi mudah terbongkar,
karena pihak-pihak yang merasakan ketidakadilan dalam memperoleh manfaat,
atau bahkan dirugikan, tidak cukup handal untuk menahan kerahasiaan lembaga
korupsi yang semula dibangun atas dasar saling
pengertian. Sopir bus yang membongkar rahasia
"aturan main" adalah salah satu contohnya. Demikian pula kasus tertuduhnya
Presiden Collor melakukan korupsi adalah wujud yang begitu konkret
tentang bagaimana seorang adik sekalipun dapat menghancurkan karir kakaknya,
karena kesepakatan membina kelembagaan korupsi memudar, yang kemudian semakin
mencuat ke permukaan karena lembaga lain ikut nimbrung dan mengungkapkan
temuannya lewat media-massa. Terlebih-lebih karena korupsi
itu didukung oleh Ibu Negara serta sejumlah orang kepercayaan
Collor -- yang kasus korupsinya lebih dulu terbongkar.
Dari
sisi lain, jiwa korupsi dari contoh di atas juga dapat
kita lihat dari dua sisi, yang mesti kita pandang laiknya sebuah mata
uang. Yakni, paduan antara niat di satu
sisi dan peluang di sisi lainnya. Keduanya menjadi bermakna, kalau
muncul bersama-sama.
Karenanya, pencegahan korupsi seyogianya lebih
tertuju pada upaya pencegahan berpadunya niat dan peluang itu.
Bagaimana agar niat seseorang atau sekelompok orang untuk
korupsi tidak ditunjang oleh kesempatan yang terbuka,
baik lewat kolaborasi dengan penguasa ataupun pemanfaatan celah-celah (loop-hole)
peraturan yang dibuat dengan kurang mantap.
Akhirnya,
esprit
de corrupt juga dapat kita lihat dalam kasus bagaimana vokalnya
orang-orang yang berniat memberantas korupsi, dengan sedikit
efektivitas; sementara pihak-pihak pelaku korupsi tidak pernah
menggembar-gemborkannya, namun efektivitas nya senantiasa terjaga. Jiwa
korupsi telah memungkinkannya untuk saling menjaga di antara
para pelakunya, sehingga tanpa suara sekalipun korupsi telah
meruyak ke segala lapisan masyarakat dan berbagai bidang kehidupan
-- dan pembongkaran korupsi agaknya lebih merupakan
kekecualian karena "kesalahan teknis" di antara para
pelakunya. Dalam kaitan ini tidaklah mengherankan
kalau belum lama berselang tersebar kabar bahwa selama dua
tahun di negeri kita, tak kurang dari Rp. 3 triliun uang negara
yang raib digerogoti koruptor.
Artikel ini dimuat Jawa Pos, Oktober 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar