Selasa, 21 April 2015

Ekonomi Pancasila Tahap Kedua



Resensi Buku oleh Tika Noorjaya
Dimuat HU Kompas, 17 Januari 1988

Judul Buku: Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan
Penulis: Mubyarto
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan Pertama: Desember 1987
Tebal: ix + 238 halaman.

EKONOMI PANCASILA TAHAP KEDUA
Menyadari masih banyak yang menilai bahwa gagasan Sistem Ekonomi Pancasila (SEP)-nya terlalu ideal seakan dalam mimpi, Mubyarto mengutip sebait nyanyian dari Brasilia: Bila kita ber­mimpi sendiri/ Memang ia hanyalah sebuah mimpi/ Bila kita mimpi bersama/ Itulah awal dari satu kenyataan (hal.45).
Itulah antara lain jawaban sekaligus imbauan Mubyarto, "Bapak Ekonomi Pancasila", yang lewat buku ini kembali memaparkan gagasannya tentang SEP, topik yang sempat mencuat menjadi pembi­caraan hangat pada awal dasawarsa ini. Berbagai kritik terhadap­nya yang berkembang selama ini dicoba dijawab, untuk kemudian memberi penegasan bahwa SEP tetap mungkin untuk diwujudkan, meskipun  untuk  itu diperlukan" ... upaya yang sungguh-sungguh dari kita semua ...", karena " ...  pikiran-pikiran ini belum lengkap dan meyakinkan" (hal.IX). Suatu kejujuran intelektual.
Pembicaraan tentang sistem ekonomi Indonesia memang tidak mungkin dikerjakan sendiri dan tidak bisa dipandang mudah, karena selain keterbatasan kemampuan setiap manusia, juga setiap sistem ekonomi hampir tidak bisa dilepaskan dari sistem internasional;  demikian pula halnya dengan SEP. Kita, misalnya, dihadapkan dengan pertanyaan, apakah kita ini berkiblat ke kapitalisme atau sosialisme ? Karena, meskipun secara normatif (Pasal 33  UUD-45) sistem ekonomi kita mengarah ke sosialisme (alat-alat produksi secara dominan dikuasai negara), namun kita juga melihat bahwa lapisan pengusaha kita cukup kuat juga (ciri kapitalisme). Kalau demikian, di manakah sebaiknya SEP diletakan ? Apakah ia ditempatkan di antaranya karena kita senantiasa meng­inginkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan ? Apakah  itu mungkin ?
Buku ini memang berkisar di sekitar masalah itu, dan karena­nya kehadiran buku ini pada saat ini menarik untuk dikaji. Perta­ma, berbeda dengan kemunculan pertamanya pada awal tahun 1980-an yang diwarnai suasana perekonomian yang penuh gairah karena bonanza minyak kedua, kali ini kemunculan SEP dilatarbelakangi suasana perekonomian yang diliputi keprihatinan. Kalau pada awal tahun 1980-an pemikiran konsepsional lebih menekankan pada masa­lah keadilan/pemerataan maka suara-suara yang muncul belakangan lebih menekankan pada peningkatan efisiensi (dan produktivitas).
Perkembangan ini rupanya terjadi juga pada Mubyarto yang kalau pada tahun 1980 mengungkapkan pandangannya lebih bersifat kualitatif dengan penekanan pada masalah keadilan/pemerataan, kali ini paparannya dilengkapi dengan kajian efisiensi dan  bukti kuantiatif, antara lain lewat hasil penelitiannya terhadap 9 industri di Indonesia, yang di antaranya menyimpulkan: "akan ternyata bahwa perusahaan-perusahaan yang termasuk efisien hampir tanpa kecuali, melaksanakan prinsip-prinsip  keadilan atau... pemerataan. Ini menunjukan bahwa sesungguhnya prinsip efisiensi dan keadilan bisa berjalan sejajar, tidak perlu bertentangan, dan bahkan bila dilaksanakan secara serius dan konsekuen harus berja­lan bersama."  (hal.169). Jelas, ini suatu  langkah maju untuk mengisi konsepnya yang terdahulu.
Hal kedua, yang menarik adalah bahwa kumpulan artikel pengarang dari tahun 1979 sampai 1987 ini tetap bertitik-sentral pada lima ciri SEP, di mana yang paling kontroversial adalah masuknya unsur rangsangan moral sebagai penggerak roda  perekonomian, di samping rangsangan ekonomi dan sosial (ciri pertama).  Sementara di kubu lain berpendapat bahwa ilmu ekonomi sebaiknya tetap tidak dikaitkan dengan hal-hal lain, sebab ilmu pada hakikatnya mempe­lajari gejala alam (termasuk manusia) sebagaimana adanya, se­dangkan moral memandangnya dari sudut apa yang seharusnya. Keberatan yang terakhir ini agaknya cukup beralasan karena kelima ciri SEP yang dikemukakan Mubyarto berkecenderungan normatif (lihat hal.53,  juga  hal.198-199). Masalahnya, ke manakah SEP hendak dikelompokkan ? Suatu diskusi yang belum atau, bahkan, mungkin tidak akan pernah usai.
Karena  itu, hal ketiga yang menarik, berkaitan dengan hal kedua, adalah kekukuhan Mubyarto untuk terus menggali dan melengkapi gagasanya, serta imbauannya kepada sesama profesinya untuk menerima nama Ekonomi Pancasila dan mengajak rekan-rekannya untuk mengisi konsep tersebut dalam bidang masing-masing melalui pene­litian empirik yang serius, baik yang menyangkut koperasi, BUMN maupun usaha swasta. "Ketidaksediaan sementara intelektual kita untuk menerima Ekonomi Pancasila sebagai satu-satunya istilah bagi sistem ekonomi Indonesia, akan selalu merupakan ganjalan, satu hambatan bagi kita dalam memikirkan pengisiannya."  Katanya (hal.94).
Agaknya kita akan mendapat suguhan menarik, apakah para ilmuwan  kita akan menerima tawaran ini dengan mengikuti Shakespeare yang menganggap "apalah artinya nama" (kemudian ikut memikirkan pengisiannya) ataukah mereka berpendapat bahwa "di balik nama ada tersirat seperangkat makna" (sehingga lebih baik menolak dulu sebelum jelas duduk-perkaranya). Perkara nama memang agaknya bukan hanya sekedar enak diucapkan, tapi juga bagaimana dengan isinya. Namun, dalam hal ini, ke mana pun mereka berkilat, kita berharap agar kalaulah terjadi perdebatan SEP tahap II maka debat tersebut kiranya tidak lagi terlalu mengawang-awang.
Bahasanya yang enak dibaca ini memang sedikit membantu untuk memahami gagasan pengarangnya, sekalipun tiga hal perlu  dicatat. Pertama, sebagai kumpulan  karangan, buku ini tak lepas dari pengulangan pengungkapan gagasan. Kedua, pembagian kedua belas Bab yang ada dalam buku ini ke dalam tiga Bagian besar terasa kurang solid. Ketiga, upaya Mubyarto untuk memberikan penekanan khusus terhadap kata atau kalimat tertentu, dengan menggunakan tanda petik ("  ") atau huruf miring terasa agak berlebihan, sehingga pada halaman-halaman tertentu  maksud penekanannya kadang-kadang tak tercapai.
Sebuah proses memang tak akan lepas dari kekurangan, tetapi sumbangan buku ini bagi banyak pihak untuk memikirkan yang terbaik, tak dapat diabaikan. Dari sudut ini, kita dapat memandang kehadiran buku ini sebagai proses lanjutan dari sebuah upaya yang masih perlu dilanjutkan. (Tika Noorjaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar