Resensi Buku oleh Tika Noorjaya
Dimuat HU Kompas, 17 Januari 1988
Judul Buku: Ekonomi Pancasila: Gagasan dan
Kemungkinan
Penulis: Mubyarto
Penerbit: LP3ES, Jakarta
Cetakan Pertama: Desember 1987
Tebal: ix + 238 halaman.
EKONOMI PANCASILA TAHAP KEDUA
Menyadari masih banyak
yang menilai bahwa gagasan Sistem Ekonomi Pancasila (SEP)-nya
terlalu ideal seakan dalam mimpi, Mubyarto
mengutip sebait nyanyian dari Brasilia: Bila kita bermimpi sendiri/ Memang ia hanyalah sebuah mimpi/ Bila kita mimpi bersama/
Itulah awal dari satu kenyataan (hal.45).
Itulah antara lain
jawaban sekaligus imbauan Mubyarto, "Bapak Ekonomi Pancasila", yang lewat buku ini kembali memaparkan gagasannya tentang SEP, topik yang
sempat mencuat menjadi pembicaraan hangat pada awal dasawarsa ini. Berbagai
kritik terhadapnya yang berkembang
selama ini dicoba dijawab, untuk kemudian memberi penegasan bahwa SEP tetap mungkin untuk diwujudkan, meskipun untuk itu
diperlukan" ... upaya yang sungguh-sungguh dari kita semua ...",
karena " ... pikiran-pikiran ini belum lengkap dan meyakinkan"
(hal.IX). Suatu kejujuran intelektual.
Pembicaraan tentang
sistem ekonomi Indonesia memang tidak mungkin dikerjakan sendiri dan tidak bisa
dipandang mudah, karena selain keterbatasan kemampuan setiap manusia, juga
setiap sistem ekonomi
hampir tidak bisa dilepaskan dari sistem internasional;
demikian pula halnya dengan SEP. Kita, misalnya, dihadapkan dengan
pertanyaan, apakah kita ini berkiblat ke kapitalisme atau sosialisme ? Karena,
meskipun secara normatif (Pasal 33 UUD-45) sistem ekonomi kita mengarah ke
sosialisme (alat-alat produksi secara dominan
dikuasai negara), namun kita juga melihat bahwa lapisan pengusaha kita cukup
kuat juga (ciri kapitalisme). Kalau demikian, di manakah sebaiknya SEP diletakan ? Apakah ia ditempatkan di antaranya
karena kita senantiasa menginginkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan ? Apakah itu mungkin ?
Buku ini memang
berkisar di sekitar masalah itu, dan karenanya kehadiran buku ini pada saat
ini menarik untuk dikaji. Pertama, berbeda dengan kemunculan pertamanya pada
awal tahun 1980-an yang diwarnai suasana perekonomian yang penuh gairah karena bonanza
minyak kedua, kali ini kemunculan SEP dilatarbelakangi suasana
perekonomian yang diliputi keprihatinan. Kalau pada awal tahun 1980-an
pemikiran konsepsional lebih menekankan pada masalah keadilan/pemerataan maka
suara-suara yang muncul belakangan lebih menekankan pada peningkatan efisiensi
(dan produktivitas).
Perkembangan ini
rupanya terjadi juga pada Mubyarto yang kalau pada tahun 1980 mengungkapkan
pandangannya lebih bersifat kualitatif
dengan penekanan pada masalah keadilan/pemerataan, kali
ini paparannya dilengkapi dengan kajian efisiensi dan bukti kuantiatif, antara lain lewat hasil penelitiannya
terhadap 9 industri di Indonesia, yang di antaranya menyimpulkan: "akan ternyata
bahwa perusahaan-perusahaan yang termasuk efisien
hampir tanpa kecuali, melaksanakan prinsip-prinsip keadilan atau... pemerataan. Ini menunjukan bahwa
sesungguhnya prinsip efisiensi dan keadilan bisa berjalan sejajar, tidak perlu
bertentangan, dan bahkan bila dilaksanakan secara serius dan konsekuen harus
berjalan bersama." (hal.169). Jelas, ini suatu langkah maju untuk
mengisi konsepnya yang terdahulu.
Hal kedua, yang
menarik adalah bahwa kumpulan artikel pengarang dari tahun 1979 sampai 1987 ini
tetap bertitik-sentral pada lima ciri SEP, di mana yang paling kontroversial
adalah masuknya unsur rangsangan moral sebagai penggerak roda
perekonomian, di samping rangsangan ekonomi dan sosial (ciri pertama).
Sementara di kubu lain berpendapat bahwa ilmu ekonomi
sebaiknya tetap tidak dikaitkan dengan hal-hal lain, sebab ilmu pada hakikatnya
mempelajari gejala alam (termasuk manusia) sebagaimana
adanya, sedangkan moral memandangnya
dari sudut apa yang seharusnya. Keberatan
yang terakhir ini agaknya cukup beralasan karena kelima ciri SEP yang
dikemukakan Mubyarto berkecenderungan normatif (lihat hal.53,
juga hal.198-199). Masalahnya, ke manakah SEP hendak dikelompokkan ?
Suatu diskusi yang belum atau, bahkan, mungkin tidak
akan pernah usai.
Karena
itu, hal ketiga yang menarik,
berkaitan dengan hal kedua, adalah kekukuhan Mubyarto untuk terus menggali dan
melengkapi gagasanya, serta imbauannya kepada sesama profesinya untuk menerima
nama Ekonomi Pancasila dan mengajak rekan-rekannya
untuk mengisi konsep tersebut dalam bidang
masing-masing melalui penelitian empirik yang serius, baik yang menyangkut
koperasi, BUMN maupun usaha swasta.
"Ketidaksediaan sementara intelektual kita untuk menerima Ekonomi Pancasila sebagai satu-satunya istilah
bagi sistem ekonomi Indonesia, akan selalu merupakan ganjalan, satu hambatan
bagi kita dalam memikirkan pengisiannya." Katanya (hal.94).
Agaknya kita akan
mendapat suguhan menarik, apakah para ilmuwan
kita akan menerima tawaran ini dengan mengikuti Shakespeare yang
menganggap "apalah artinya nama" (kemudian ikut memikirkan pengisiannya) ataukah mereka
berpendapat bahwa "di balik
nama ada tersirat seperangkat makna" (sehingga lebih baik menolak
dulu sebelum jelas duduk-perkaranya). Perkara nama memang agaknya bukan hanya
sekedar enak diucapkan, tapi juga bagaimana dengan
isinya. Namun, dalam hal ini, ke mana pun
mereka berkilat, kita berharap
agar kalaulah terjadi perdebatan SEP tahap II maka debat tersebut kiranya tidak
lagi terlalu mengawang-awang.
Bahasanya yang
enak dibaca ini memang sedikit membantu untuk memahami
gagasan pengarangnya, sekalipun tiga hal perlu dicatat. Pertama, sebagai
kumpulan karangan, buku ini tak lepas dari pengulangan pengungkapan
gagasan. Kedua, pembagian kedua belas Bab yang ada
dalam buku ini ke dalam tiga Bagian besar terasa kurang solid. Ketiga, upaya
Mubyarto untuk memberikan penekanan khusus
terhadap kata atau kalimat tertentu, dengan menggunakan tanda
petik (" ") atau huruf
miring terasa agak berlebihan, sehingga pada halaman-halaman tertentu
maksud penekanannya kadang-kadang
tak tercapai.
Sebuah proses
memang tak akan lepas dari kekurangan, tetapi sumbangan buku ini bagi banyak pihak
untuk memikirkan yang terbaik,
tak dapat diabaikan. Dari sudut ini, kita dapat memandang kehadiran buku ini
sebagai proses lanjutan dari sebuah upaya yang masih perlu dilanjutkan. (Tika Noorjaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar