Artikel
ini dimuat Bisnis Indonesia, 14 April 1986:
PERKEBUNAN INTI RAKYAT MASIH PERLU DIBENAHI
Oleh Tika Noorjaya
Pengembangan perkebunan
dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program
transmigrasi telah ditetapkan dengan Inpres no. 1/1986. Tetapi, seperti kata pepatah,
"tiada jalan bertabur emas menuju kebahagiaan," demikian pula halnya dengan
PIR Perkebunan.
Dalam perjalanannya
selama ini PIR tidak jarang terantuk kerikil-kerikil tajam, menurut Tika
Noorjaya, lulusan Institut Pertanian Bogor, yang pernah bekerja di salah satu
perkebunan negara. Ia menyumbangkan opininya untuk Bisnis Indonesia.
BOGOR: Untuk meraih seperangkat manfaat dari
proyek PIR Perkebunan, tidak sedikit ditemui masalah, baik berupa kendala maupun
hambatan, antara lain dalam hal pendapatan, lahan, tenaga kerja,
pemungutan/pengolahan lahan hasil dan pembiayaan.
Selama tanaman
belum menghasilkan, petani peserta memperoleh biaya hidup dari pendapatan
sebagai karyawan proyek dan hasil dari lahan pangan/pekarangan. Setelah tanaman
pokoknya menghasilkan pendapatannya menjadi lebih baik, dan akan meningkat terus
sampai produksinya mencapai puncak, dengan catatan didukung harga jual yang
baik. Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran proyek, yaitu menciptakan
pendapatan petani peserta rata-rata sebesar US$ 1.500 atau sekitar Rp 1,7 juta
per KK per tahun, sehingga petani peserta dan keluarganya
dapat "diangkat" dari garis kemiskinan menjadi petani mampu.
Tentu ceritanya
menjadi lain, andaikata harga jualnya tidak sebaik yang diharapkan, seperti
dengan adanya penurunan harga minyak sawit dan kelapa hibrida beberapa waktu
yang lalu. Petani peserta PIR kelapa sawit merasa "terpukul ", bahkan
petani peserta PIR kelapa hibrida untuk biaya hidup sehari-hari saja
sulit, apalagi untuk mencicil kredit.
Masalah lainnya
adalah kemungkinan ketidakmerataan pendapattan di antara petani peserta,
mengingat perbedaan mutu tanah. Secara teknis, pembagian tanah tidak mungkin
dapat dilakukan dengan kualitas yang sama, misalnya petani A mendapat
tanah yang landai dan subur, sedangkan petani B mendapat tanah berbukit
dan tandus; sehingga petani A mendapat tanaman yang produktivitasnya tinggi
dengan biaya produksi rendah, sedangkan petani B kebalikannya. Akibatnya,
untuk satuan luas yang sama diperoleh pendapatan yang berbeda.
Dalam upaya
"pemerataan", usaha yang telah ditempuh selama ini dengan pengelompokan
anggota petani peserta sekitar 25-30 orang yang lahannya sehamparan, mestinya tidak
hanya terbatas pada pengelompokan teknis seperti pemeliharaan dan panen
bersama, melainkan pada pengelompokan bersama dalam biaya produksi dan pendapatan.
Pengelompokan
semacam ini memberi kemudahan dalam penyaluran sarana produksi dan penarikan
cicilan kredit; bahkan selama periode penyicilan tersebut mungkin dapat
disisihkan dana untuk peremajaan tanaman. Selain itu, satuan-satuan kecil ini akan
merupakan pilar yang tangguh untuk kokohnya Koperasi Unit Desa (KUD).
Ikut Melestarikan
Karena pada umumnya
PIR Perkebunan dilaksanakan pada lahan kritis atau telantar, maka proyek
ini secara langsung ikut serta melestarikan sumberdaya alam, khususnya lahan.
Selain itu, proyek PIR Perkebunan juga merupakan salah-satu bentuk pelaksanaan land-reform, mengingat paket programnya
yang "membagikan" lahan secara merata. Tetapi, di lapangan kadang-kadang
terjadi penyediaan lahan yang kurang jelas mengenai kepastian hak atas tanah, dan
kekurangsesuaian teknis, seperti kesuburan tanah, topografi dan iklim.
Dengan terlambatnya
penyediaan lahan, praktis kegiatan teknis lainnya terhambat juga, seperti
pembukaan lahan, pembangunan perumahan, dan sebagainya. Kekurangjelasan
kepastian hak atas tanah mengakibatkan adanya bentrokan antara penduduk setempat
dengan pelaksana proyek, yang kadang-kadang memerlukan bantuan aparat
keamanan untuk penyelesaiannya. Sedangkan kekurangsesuaian teknis, terutama
menyebabkan kurang baiknya pertumbuhan tanaman pangan, padahal keberhasilan
tanaman pangan turut menentukan tolok ukur keberhasilan proyek secara
keseluruhan.
Bagi proyek yang
sudah berhasil pun, timbulnya permasalahan lahan akan tetap ada, yaitu
kemungkinan adanya pemindahan hak milik, baik karena dijual di bawah tangan,
maupun proses pewarisan, yang memungkinkan terpecahnya satuan usahatani,
sehingga mungkin tidak efisien lagi sebagai unit usahatani.
Tenaga kerja
Manfaat lain dari
proyek PIR Perkebunan adalah penyerapan tenaga kerja, yang dalam Pelita III
telah dapat menyerap secara langsung sekitar 117,4 ribu dan pada Pelita IV
diharapkan meningkat menjadi sekitar 726,9 ribu.
Karena kegiatan ini
sebagian besar dikaitkan dengan program transmigrasi, maka berarti pula
melaksanakan pembangunan daerah, dengan membantu timbulnya sentra-sentra
pertumbuhan yang baru, terutama di daerah yang mulanya terpencil di luar
Jawa/Bali.
Dengan besarnya
skala proyek yang ditangani, maka diperlukan pengerahan tenaga kerja yang tidak
sedikit. Meskipun kemampuan perkebunan inti dalam pembangunan tanaman pokok
tidak diragukan lagi, tetapi untuk menangani lahan pekarangan dan tanaman
lahan kering bagi petugas kebun inti belumlah terbiasa.
Karena itu, kebun
inti dihadapkan dengan pentingnya melakukan penambahan karyawan yang siap
pakai, kaderisasi dan menambah kemampuan petugasnya, baik dalam bidang teknis
maupun nonteknis.
Sementara itu petani
pun masih memerlukan banyak pembinaan. Para petani peserta yang sebagian besar
didatangkan dari pulau Jawa/Bali, mempunyai latar belakang yang berbeda dengan tempat
baru. Memang, mereka akan beradaptasi dengan lingkungan barunya, tetapi perubahan
sikap mental sulit dicapai atas usaha mereka sendiri.
Karena itulah,
mempersiakan calon petani peserta seyogianya dilakukan sedini mungkin, sejak masih
ada di daerah asal; demikian juga penyuluhan/pembinaan di daerah baru seyogiaya
lebih intensif, terutama pada awal kedatangannya. Di samping itu, penyuluhan juga
penting dilakukan di daerah sekitar lokasi proyek, sehingga tidak lagi terjadi
bentrokan antara penduduk baru atau pelaksana proyek dengan penduduk setempat. Penyuluh
tersebut selain menguasai permasalahan teknis juga seyogianya menguasai
permasalahan non-teknis.
Mengolah Hasil
Seperti diketahui, dalam
PIR Perkebunan pelaksana proyek diwajibkan untuk mengolah hasil dari kebun
petani peserta, yang antara lain perlu membangun pabrik dengan investasi yang besar,
yang ditanggung kebun inti. Konsekuensi logis berikutnya adalah menanggung
biaya eksloitasi, termasuk penyusutan pabrik/alat-alat lainnya dan biaya bunga
bank.
Kalau kemudian petani
peserta tidak mau menjual bahan bakunya pada kebun inti, karena misalnya ada pihak-pihak
luar yang mau membeli dengan harga yang lebih baik; lalu bagaimana dengan pengangguran
kapasitas olah, penyusutan, bunga bank, dan sebagainya, yang kesemuanya akan
meningkatkan harga pokok.
Karena itu
penentuan harga beli oleh kebun inti tampaknya perlu dinamis, tidak terpatok
pada ketentuan 70% harga FOB RSS-II atau SIR-20 (untuk karet) atau 50% harga FOB
(untuk kelapa sawit); sehingga, petani peserta mau menjual kepada kebun inti bukan
hanya karena adanya ikatan perjanjian, melainkan karena lebih menguntungkan.
Dengan demikian dapat tercipta iklim saling mempercayai antara petani peserta
dengan kebun intinya.
Dalam pemungutan hasil
untuk budidaya tertentu, seperti karet, terjadi juga hambatan. Misalnya, ada
petani peserta yang kurang patuh terhadap ketentuan proyek, dengan melakukan
"sadapan berat", sehingga produksi yang semula diproyeksikan dapat bertahan
sampai 25 tahun, kini hanya 8 tahun saja. Dengan demikian, mampukah petani
peserta melunasi kedit ?
Soal Biaya
Terakhir adalah
masalah pembiayaan. Pembiayaan proyek PIR perkebunan memerlukan dana besar,
bahkan dalam Pelita IV direncanakan akan lebih diperbesar, yang prosedurnya
menyangkut berbagai lembaga perizinan.Paling menarik untuk dibahas dalam hal
ini adalah keterlambatan penyediaan dan pencairan dana, yang besar
pengaruhnya dalam pelaksanaan proyek; karena berbeda dengan bidang industri,
usaha di bidang perkebunan khususnya dan bidang pertanian umumnya,
sangat dipengaruhi oleh iklim. Apabila dalam musim tanam kita tidak
melaksanakan penanaman, akan mengundur pelaksanaan proyek sekitar satu
tahun, yakni menunggu musim tanam berikutnya.
Penanaman yang dilaksanakan
bukan pada musim tanam juga bisa, tetapi hal itu akan berakibat kurang baik dalam
jangka panjang, termasuk rendahnya produktivitas. Atau, apabila kita penuhi kebutuhan
air tanaman (misalnya dengan hujan buatan atau mengangkut air dari
sungai, kalau ada), maka hal itu akan memperbesar biaya investasi. Padahal,
bukankah kepada petani peserta ingin kita serahkan kebun yang kreditnya murah,
dengan produktivitas setinggi mungkin dan dapat menghasilkan selama mungkin ?
Usaha mengurangi
kredit petani dengan cara memberikan rumah dan lahan pekarangan secara
cuma-cuma, seperti dijelaskan menteri Transmigrasi baru-baru ini, kiranya dapat
sedikit mengurangi permasalahan ini, meskipun bagi pemerintah tetap saja, karena
biayanya tetap dikeluarkan.
Ada juga pelaksana
proyek yang mengingat pertimbangan teknis seperti di atas, terpaksa melakukan prefinancing, dengan meminjam kredit dari
Bank, dengan tingkat bunga tinggi. Atau, ada juga kebun inti yang terpaksa melakukan
reevaluasi investasi untuk kebunnya sendiri (di luar proyek PIR), yang selama ini
menghidupinya. Upaya semacam ini baik, tapi tidak merupakan penyelesaian yang
tuntas.
Karena itu, proses
pengajuan anggaran, perizinan dan pengesahannya seyogianya dapat lebih
dipercepat, sehingga pelaksanaan proyek tidak terhambat karena keterlambatan pencairan
dana. Apakah percepatan dari 1 April menjadi 11 Maret, akan efektif menjawab tantangan
itu, tentunya akan sangat ditentukan dalam kecepatan prosesnya untuk sampai
pada pelaksana proyek pada waktu yang tepat.
Manajemen
Perkebunan
Dengan semakin meningkatnya
skala kegiatan proyek, maka dengan demikian lebih banyak manusia yang terlibat,
yang seperti dipaparkan di muka masih banyak memerlukan pembinaan. Karena itu, pengembangan
sumberdaya manusia merupakan keharusan.
Dr Prijono
Tjiptoherijanto (1983) menyatakan bahwa manfaat dari pengembangan sumberdaya
manusia dapat dipetik melalui peningkatan pendapatan, dengan cara meningkatkan
produktivitas lewat program-program pendidikan dan latihan, serta meningkatkan derajat
kesehatan yang terarah dan terencana baik. Namun, barangkali perlu ditambahkan bahwa
ketersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan secara memadai saja belum
cukup, tanpa ditunjang dengan distribusi fasilitas-fasilitas dimaksud secara
merata bagi yang memerlukannya; atau paling tidak, fasilitas tersebut mudah
terjangkau oleh yang memerlukannya.
Penutup
Keberhasilan dalam
menangani proyek PIR Perkebunan selama ini telah menyebabkan semakin besarnya
proyek yang ditangani pada masa yang akan datang, yang didukung dengan komitmen
politik yang semakin memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar