Jumat, 24 April 2015

Perkebunan Inti Rakyat Masih Perlu Dibenahi




Artikel ini dimuat Bisnis Indonesia, 14 April 1986:
 
PERKEBUNAN INTI RAKYAT MASIH PERLU DIBENAHI
Oleh Tika Noorjaya
 
Pengembangan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program transmigrasi telah ditetapkan dengan Inpres no. 1/1986. Tetapi, seperti kata pepatah, "tiada jalan bertabur emas menuju kebahagiaan," demikian pula halnya dengan PIR Perkebunan.
Dalam perjalanannya selama ini PIR tidak jarang terantuk kerikil-kerikil tajam, menurut Tika Noorjaya,  lulusan Institut Pertanian Bogor, yang pernah bekerja di salah satu perkebunan negara. Ia menyumbangkan opininya untuk Bisnis Indonesia.

BOGOR: Untuk meraih seperangkat manfaat dari proyek PIR Perkebunan, tidak sedikit ditemui masalah, baik berupa kendala maupun hambatan, antara lain dalam hal pendapatan, lahan, tenaga kerja, pemungutan/pengolahan lahan hasil dan pembiayaan.
Selama tanaman belum menghasilkan, petani peserta memperoleh biaya hidup dari pendapatan sebagai karyawan proyek dan hasil dari lahan pangan/pekarangan. Setelah tanaman pokoknya menghasilkan pendapatannya menjadi lebih baik, dan akan meningkat terus sampai produksinya mencapai puncak, dengan catatan didukung harga jual yang baik. Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran proyek, yaitu menciptakan pendapatan petani peserta rata-rata sebesar US$ 1.500 atau sekitar Rp 1,7 juta per  KK  per  tahun, sehingga petani peserta dan keluarganya dapat "diangkat" dari garis kemiskinan menjadi petani mampu.
Tentu ceritanya menjadi lain, andaikata harga jualnya tidak sebaik yang diharapkan, seperti dengan adanya penurunan harga minyak sawit dan kelapa hibrida beberapa waktu yang lalu. Petani peserta PIR kelapa sawit merasa "terpukul ", bahkan petani peser­ta PIR kelapa hibrida untuk biaya hidup sehari-hari saja  sulit, apalagi untuk mencicil kredit.
Masalah lainnya adalah kemungkinan ketidakmerataan pendapat­tan di antara petani peserta, mengingat perbedaan mutu tanah. Secara teknis, pembagian tanah tidak mungkin  dapat dilakukan dengan kualitas yang sama, misalnya petani A mendapat tanah yang landai dan subur, sedangkan petani B mendapat tanah berbukit  dan tandus; sehingga petani A mendapat tanaman yang produktivitasnya tinggi dengan biaya produksi rendah, sedangkan petani B kebali­kannya. Akibatnya, untuk satuan luas yang sama diperoleh pendapa­tan yang berbeda.
Dalam  upaya "pemerataan", usaha yang telah ditempuh selama ini dengan pengelompokan anggota petani peserta sekitar 25-30 orang yang lahannya sehamparan, mestinya tidak hanya terbatas pada pengelompokan teknis seperti pemeliharaan dan panen bersama, melainkan pada pengelompokan bersama dalam biaya produksi  dan pendapatan.
Pengelompokan semacam ini memberi kemudahan dalam penyaluran sarana produksi dan penarikan cicilan kredit; bahkan selama periode penyicilan tersebut mungkin dapat disisihkan dana untuk peremajaan tanaman. Selain itu, satuan-satuan kecil ini akan merupakan pilar yang tangguh untuk kokohnya Koperasi Unit Desa (KUD).
 
Ikut Melestarikan
Karena pada umumnya PIR Perkebunan dilaksanakan pada  lahan kritis atau telantar, maka proyek ini secara langsung ikut serta melestarikan sumberdaya alam, khususnya lahan. Selain itu, proyek PIR Perkebunan juga merupakan salah-satu bentuk pelaksanaan land-reform, mengingat paket programnya yang "membagikan" lahan secara merata. Tetapi, di lapangan kadang-kadang terjadi penyediaan lahan yang kurang jelas mengenai kepastian hak atas tanah, dan kekurangsesuaian teknis, seperti kesuburan tanah, topografi dan iklim.
Dengan terlambatnya penyediaan lahan, praktis kegiatan teknis lainnya terhambat juga, seperti pembukaan lahan, pembangu­nan perumahan, dan sebagainya. Kekurangjelasan kepastian hak atas tanah mengakibatkan adanya bentrokan antara penduduk setempat dengan pelaksana proyek, yang kadang-kadang  memerlukan bantuan aparat keamanan untuk penyelesaiannya. Sedangkan kekurangsesuaian teknis, terutama menyebabkan kurang baiknya pertumbuhan  tanaman pangan, padahal keberhasilan tanaman pangan turut menentukan tolok ukur keberhasilan proyek secara keseluruhan.
Bagi proyek yang sudah berhasil pun, timbulnya permasalahan lahan akan tetap ada, yaitu kemungkinan adanya pemindahan hak milik, baik karena dijual di bawah tangan, maupun proses  pewari­san, yang memungkinkan terpecahnya satuan usahatani, sehingga mungkin tidak efisien lagi sebagai unit usahatani.
 
Tenaga kerja
Manfaat lain dari proyek PIR Perkebunan adalah penyerapan tenaga kerja, yang dalam Pelita III telah dapat menyerap secara langsung sekitar 117,4 ribu dan pada Pelita IV diharapkan mening­kat menjadi sekitar 726,9 ribu.
Karena kegiatan ini sebagian besar dikaitkan dengan program transmigrasi, maka berarti pula melaksanakan pembangunan daerah, dengan membantu timbulnya sentra-sentra pertumbuhan yang baru, terutama di daerah yang mulanya terpencil di luar Jawa/Bali.
Dengan besarnya skala proyek yang ditangani, maka diperlukan pengerahan tenaga kerja yang tidak sedikit. Meskipun kemampuan perkebunan inti dalam pembangunan tanaman pokok tidak diragukan lagi, tetapi untuk menangani lahan pekarangan dan tanaman  lahan kering bagi petugas kebun inti belumlah terbiasa.
Karena itu, kebun inti dihadapkan dengan pentingnya melaku­kan penambahan karyawan yang siap pakai, kaderisasi dan menambah kemampuan petugasnya, baik dalam bidang teknis maupun nonteknis.
Sementara itu petani pun masih memerlukan banyak pembinaan. Para petani peserta yang sebagian besar didatangkan dari pulau Jawa/Bali, mempunyai latar belakang yang berbeda dengan tempat baru. Memang, mereka akan beradaptasi dengan lingkungan barunya, tetapi perubahan sikap mental sulit dicapai atas usaha mereka sendiri.
Karena itulah, mempersiakan calon petani peserta seyogianya dilakukan sedini mungkin, sejak masih ada di daerah asal; demikian juga penyuluhan/pembinaan di daerah baru seyogiaya lebih intensif, terutama pada awal kedatangannya. Di samping itu, penyuluhan juga penting dilakukan di daerah sekitar lokasi proyek, sehingga tidak lagi terjadi bentrokan antara penduduk baru atau pelaksana proyek dengan penduduk setempat. Penyuluh tersebut selain menguasai permasalahan teknis juga seyogianya menguasai permasalahan non-teknis.
 
Mengolah Hasil
Seperti diketahui, dalam PIR Perkebunan pelaksana proyek diwajibkan untuk mengolah hasil dari kebun petani peserta, yang antara lain perlu membangun pabrik dengan investasi yang besar, yang ditanggung kebun inti. Konsekuensi logis berikutnya adalah menanggung biaya eksloitasi, termasuk penyusutan pabrik/alat-alat lainnya dan biaya bunga bank.
Kalau kemudian petani peserta tidak mau menjual bahan bakunya pada kebun inti, karena misalnya ada pihak-pihak luar yang mau membeli dengan harga yang lebih baik; lalu bagaimana dengan pengangguran kapasitas olah, penyusutan, bunga bank, dan sebagainya, yang kesemuanya akan meningkatkan harga pokok.
Karena itu penentuan harga beli oleh kebun inti tampaknya perlu dinamis, tidak terpatok pada ketentuan 70% harga FOB RSS-II atau SIR-20 (untuk karet) atau 50% harga FOB (untuk kelapa sawit); sehingga, petani peserta mau menjual kepada kebun inti bukan hanya karena adanya ikatan perjanjian, melainkan karena lebih menguntungkan. Dengan demikian dapat tercipta iklim saling mempercayai antara petani peserta dengan kebun intinya.
Dalam pemungutan hasil untuk budidaya tertentu, seperti karet, terjadi juga hambatan. Misalnya, ada petani peserta yang kurang patuh terhadap ketentuan proyek, dengan melakukan "sadapan berat", sehingga produksi yang semula diproyeksikan dapat berta­han sampai 25 tahun, kini hanya 8 tahun saja. Dengan demikian, mampukah petani peserta melunasi kedit ?
  
Soal Biaya
Terakhir adalah masalah pembiayaan. Pembiayaan proyek PIR perkebunan memerlukan dana besar, bahkan dalam Pelita IV direncanakan akan lebih diperbesar, yang prosedurnya menyangkut berbagai lembaga perizinan.Paling menarik untuk dibahas dalam hal ini adalah  keterlam­batan penyediaan dan pencairan dana, yang besar pengaruhnya dalam pelaksanaan proyek; karena berbeda dengan bidang industri,  usaha di  bidang  perkebunan khususnya dan bidang pertanian umumnya, sangat dipengaruhi oleh iklim. Apabila dalam musim  tanam  kita tidak  melaksanakan penanaman, akan mengundur pelaksanaan proyek sekitar satu tahun, yakni menunggu musim tanam berikutnya.
Penanaman yang dilaksanakan bukan pada musim tanam juga bisa, tetapi hal itu akan berakibat kurang baik dalam jangka panjang, termasuk rendahnya produktivitas. Atau, apabila kita penuhi kebutuhan air tanaman (misalnya dengan hujan buatan  atau mengangkut air dari sungai, kalau ada), maka hal itu akan memperbesar biaya investasi. Padahal, bukankah kepada petani peserta ingin kita serahkan kebun yang kreditnya murah, dengan produkti­vitas setinggi mungkin dan dapat menghasilkan selama mungkin ?
Usaha mengurangi kredit petani dengan cara memberikan rumah dan lahan pekarangan secara cuma-cuma, seperti dijelaskan menteri Transmigrasi baru-baru ini, kiranya dapat sedikit mengurangi permasalahan ini, meskipun bagi pemerintah tetap saja, karena biayanya tetap dikeluarkan.
Ada juga pelaksana proyek yang mengingat pertimbangan teknis seperti di atas, terpaksa melakukan prefinancing, dengan meminjam kredit dari Bank, dengan tingkat bunga tinggi. Atau, ada juga kebun inti yang terpaksa melakukan reevaluasi investasi untuk kebunnya sendiri (di luar proyek PIR), yang selama ini menghidupinya. Upaya semacam ini baik, tapi tidak merupakan penyelesaian yang tuntas.
Karena itu, proses pengajuan anggaran, perizinan dan pengesahannya seyogianya dapat lebih dipercepat, sehingga pelaksanaan proyek tidak terhambat karena keterlambatan pencairan dana. Apakah percepatan dari 1 April menjadi 11 Maret, akan efektif menjawab tantangan itu, tentunya akan sangat ditentukan dalam kecepatan prosesnya untuk sampai pada pelaksana proyek pada waktu yang tepat.
 
Manajemen Perkebunan
Dengan semakin meningkatnya skala kegiatan proyek, maka dengan demikian lebih banyak manusia yang terlibat, yang seperti dipaparkan di muka masih banyak memerlukan pembinaan. Karena itu, pengembangan sumberdaya manusia merupakan keharusan.
Dr Prijono Tjiptoherijanto (1983) menyatakan bahwa manfaat dari pengembangan sumberdaya manusia dapat dipetik melalui peningkatan pendapatan, dengan cara meningkatkan produktivitas lewat program-program pendidikan dan latihan, serta meningkatkan dera­jat kesehatan yang terarah dan terencana baik. Namun, barangkali perlu ditambahkan bahwa ketersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan secara memadai saja belum cukup, tanpa ditunjang dengan distribusi fasilitas-fasilitas dimaksud secara merata bagi  yang memerlukannya; atau paling tidak, fasilitas tersebut mudah terjangkau oleh yang memerlukannya.
 
Penutup
Keberhasilan dalam menangani proyek PIR Perkebunan selama ini telah menyebabkan semakin besarnya proyek yang ditangani pada masa yang akan datang, yang didukung dengan komitmen politik yang semakin memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar