Jumat, 24 April 2015

Liberalisasi Pangan



Artikel ini dimuat Majalah KARSA Vol. 1 No. 07, Januari-Februari 2012:

LIBERALISASI PANGAN
Oleh Tika Noorjaya

Saat menyimak pemaparan Her Suganda, “Robohnya Lumbung Kami” (Studi Kasus Petani di Jawa Barat Utara) dalam suatu lokakarya akhir tahun lalu, saya langsung terbayang kumpulan cerpen “Robohnya Surau Kami” yang tragis, karya A. A. Navis beberapa puluh tahun yang lalu. Benar saja, kisah tragis terjadi di sini: “Lumbung Kami” tak berdaya menghadapi gempuran teknologi dan liberalisasi pangan yang menyertainya. Sebagai moderator, saya mencoba mengonfirmasikan hasil temuan tersebut kepada peserta lokakarya; dan ternyata pendapat yang muncul semakin menegaskan bahwa tragedi yang sama hampir terjadi di mana saja, di wilayah yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi. Demikianlah, budaya bertani secara bertahap terdegradasi hampir di seluruh pelosok negeri. Bukan hanya lumbung padi yang roboh secara harfiah, melainkan budaya bertani secara keseluruhan, sejak cara bercocok tanam hingga perilaku di meja makan. Kini, Sang Dewi Sri, tak lebih dari sekadar komoditi. Konversi lahan pertanian padi ke industri dan permukiman, semakin menegaskan ketercerabutan petani dari akar kehidupannya sebagai pewaris negeri agraris.

Warning” ini agaknya perlu diperhatikan oleh para pemangku negeri dalam pembahasan revitalisasi UU No7/1996 tentang Pangan, yang tampaknya diwarnai semangat liberalisasi pangan. Dalam RUU Pangan tersurat Pemerintah Pusat melalui Perum Bulog tidak diwajibkan untuk membeli gabah/beras petani saat panen raya. Sebaliknya, Pemerintah Pusat/Daerah justru mendorong swasta (pedagang) untuk mengelola cadangan pangan. Regulasi ini memberi kebebasan kepada daerah untuk melakukan ekspor-impor bahan pangan; yang menunjukkan bahwa semangat otonomi daerah lebih dikedepankan. Di beberapa pasal juga terdapat keleluasaan bagi para pedagang swasta guna mengelola cadangan pangan.

Tidak adanya kewajiban Pemerintah membeli gabah/beras petani saat panen melalui Perum Bulog, tentu akan memukul petani. Dengan keberadaan harga pembelian pemerintah (HPP) saja, petani kerapkali ditekan pedagang, terlebih di masa panen raya. Di sisi lain, dengan keterbatasan kepemilikan lahan, petani kita tidaklah melulu sebagai produsen, dan secara netto mereka adalah konsumen beras. Analoginya, secara regional, jika kebebasan diberikan ke daerah, bisa jadi daerah surplus bakalan ekspor, sedangkan daerah defisit dan miskin akan terus kekurangan pangan.

Adanya "kehendak" kalangan DPR untuk meliberalisasi pangan perlu dicermati secara seksama; demikian pula sikap Pemerintah atas usulan DPR tersebut. Kalau tidak, selain bakal membawa "korban" (khususnya bagi petani kecil), hal ini bisa menyebabkan "perpecahan" di level daerah, yang muaranya bisa saja mengarah pada disintegrasi. Sungguh suatu pertaruhan yang amat mengganggu pikiran.

Tak berlebihan, karena pangan hingga kini masih menjadi komoditi politis dan strategis. Seperti diketahui, lebih dari 90% penduduk kita sangat tergantung pada beras. Oleh karena itu, kita tidak boleh main-main dalam melakukan pengaturan terhadap komoditi pangan ini, termasuk keinginan untuk merevitalisasi UU No 7/1996 tentang Pangan. Kita perlu introspeksi atas berbagai kebijakan di bidang pangan yang selama ini ditempuh, namun kita juga tidak boleh menutup mata terhadap isyarat jaman yang kini tengah bergulir, serta “ramalan” kegawatan pangan dunia di masa depan, khususnya beras. Seperti dinyatakan Prof Dr Ir. Rokhmin Dahuri, “Kebutuhan (beras) … pada 2025 diperkirakan mencapai 800 juta ton, sedangkan kemampuan produksinya kurang dari 600 juta ton/tahun. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang kemampuan suplai pangan dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus melambung” (Seputar Indonesia, 10 Januari 2012, halaman 11).

Dengan demikian, apa pun yang akan diatur lewat sebuah regulasi, hendaknya kesejahteraan rakyat lebih dikedepankan. Apalah arti liberalisasi pangan jika ujungnya petani termarginalkan. 

Tika Noorjaya adalah pemerhati masalah sosial ekonomi pertanian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar