Artikel ini dimuat
Majalah KARSA Vol. 1 No. 07, Januari-Februari 2012:
LIBERALISASI PANGAN
Oleh Tika Noorjaya
Saat menyimak pemaparan Her Suganda, “Robohnya
Lumbung Kami” (Studi Kasus Petani di Jawa Barat Utara) dalam suatu lokakarya
akhir tahun lalu, saya langsung terbayang kumpulan cerpen “Robohnya Surau Kami”
yang tragis, karya A. A. Navis beberapa puluh tahun yang lalu. Benar saja,
kisah tragis terjadi di sini: “Lumbung Kami” tak berdaya menghadapi gempuran
teknologi dan liberalisasi pangan yang menyertainya. Sebagai moderator, saya
mencoba mengonfirmasikan hasil temuan tersebut kepada peserta lokakarya; dan
ternyata pendapat yang muncul semakin menegaskan bahwa tragedi yang sama hampir
terjadi di mana saja, di wilayah yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi. Demikianlah,
budaya bertani secara bertahap terdegradasi hampir di seluruh pelosok negeri.
Bukan hanya lumbung padi yang roboh secara harfiah, melainkan budaya bertani secara
keseluruhan, sejak cara bercocok tanam hingga perilaku di meja makan. Kini, Sang
Dewi Sri, tak lebih dari sekadar komoditi. Konversi lahan pertanian padi ke
industri dan permukiman, semakin menegaskan ketercerabutan petani dari akar
kehidupannya sebagai pewaris negeri agraris.
“Warning”
ini agaknya perlu diperhatikan oleh para pemangku negeri dalam pembahasan revitalisasi
UU No7/1996 tentang Pangan, yang tampaknya diwarnai semangat liberalisasi
pangan. Dalam RUU Pangan tersurat Pemerintah Pusat melalui Perum Bulog tidak
diwajibkan untuk membeli gabah/beras petani saat panen raya. Sebaliknya,
Pemerintah Pusat/Daerah justru mendorong swasta (pedagang) untuk mengelola
cadangan pangan. Regulasi ini memberi
kebebasan kepada daerah untuk melakukan ekspor-impor bahan pangan; yang
menunjukkan bahwa semangat otonomi daerah lebih dikedepankan. Di beberapa pasal
juga terdapat keleluasaan bagi para pedagang swasta guna mengelola cadangan
pangan.
Tidak adanya kewajiban Pemerintah membeli
gabah/beras petani saat panen melalui Perum Bulog, tentu akan memukul petani. Dengan
keberadaan harga pembelian pemerintah (HPP) saja, petani kerapkali ditekan
pedagang, terlebih di masa panen raya. Di sisi lain, dengan keterbatasan
kepemilikan lahan, petani kita tidaklah melulu sebagai produsen, dan secara
netto mereka adalah konsumen beras. Analoginya, secara regional, jika kebebasan
diberikan ke daerah, bisa jadi daerah surplus bakalan ekspor, sedangkan daerah
defisit dan miskin akan terus kekurangan pangan.
Adanya "kehendak" kalangan DPR untuk
meliberalisasi pangan perlu dicermati secara seksama; demikian pula sikap
Pemerintah atas usulan DPR tersebut. Kalau tidak, selain bakal membawa
"korban" (khususnya bagi petani kecil), hal ini bisa menyebabkan "perpecahan"
di level daerah, yang muaranya bisa saja mengarah pada disintegrasi. Sungguh
suatu pertaruhan yang amat mengganggu pikiran.
Tak berlebihan, karena pangan hingga kini masih
menjadi komoditi politis dan strategis. Seperti diketahui, lebih dari 90% penduduk
kita sangat tergantung pada beras. Oleh karena itu, kita tidak boleh main-main
dalam melakukan pengaturan terhadap komoditi pangan ini, termasuk keinginan
untuk merevitalisasi UU No 7/1996 tentang Pangan. Kita perlu introspeksi atas
berbagai kebijakan di bidang pangan yang selama ini ditempuh, namun kita juga
tidak boleh menutup mata terhadap isyarat jaman yang kini tengah bergulir,
serta “ramalan” kegawatan pangan dunia di masa depan, khususnya beras. Seperti
dinyatakan Prof Dr Ir. Rokhmin Dahuri, “Kebutuhan (beras) … pada 2025
diperkirakan mencapai 800 juta ton, sedangkan kemampuan produksinya kurang dari
600 juta ton/tahun. Lebih besarnya kebutuhan ketimbang kemampuan suplai pangan
dunia mengakibatkan harga-harga bahan pangan terus melambung” (Seputar Indonesia, 10 Januari 2012,
halaman 11).
Dengan demikian, apa pun yang akan diatur
lewat sebuah regulasi, hendaknya kesejahteraan rakyat lebih dikedepankan. Apalah
arti liberalisasi pangan jika ujungnya petani termarginalkan.
Tika Noorjaya adalah pemerhati masalah sosial ekonomi
pertanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar