Artikel
ini dimuat dalam HU Prioritas, 16-17
Maret 1987 (bersambung).
SEBUAH KAJIAN KECIL SEKITAR PIRBUN
Oleh Tika Noorjaya
Dengan landasan
antara lain, pemerataan dan alih-teknologi, sejak beberapa tahun yang lalu pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) demikian menggebu dilaksanakan oleh pemerintah.
Pola usaha yang semula diterapkan dalam Perkebunan Inti Rakyat (PIRBUN), kini
telah merambat ke bidang lain, seperti peternakan, perikanan, industri dan
mungkin akan bertambah lagi.
Demikianlah, PIR,
baik sebagai pola maupun sebagai proyek telah cukup dikenal. Dengan proyek PIR
memungkinkan dicapainya pemerataan pendapatan, pemilikan alat produksi,
kesempatan berusaha, penyebaran pembangunan ke daerah-daerah terpencil, dan
sebagainya.
Tetapi,
"cerita" tentang PIRBUN dari beberapa media massa belakangan ini
seringkali hadir dengan corak yang berbeda, sehingga dalam batas-batas
tertentu dapat meragukan khalayak. Ada yang menilai baik, namun tidak kurang
pula yang menilai sebaliknya, terutama ketika harga beberapa komoditi
perkebunan merosot sampai pada tingkat yang mencemaskan. Yang terakhir ini
memang bersifat temporer, sehingga tidaklah tepat andaikata hal ini dijadikan tolok-ukur
keberhasilan atau kegagalan proyek PIRBUN. Namun, situasi dan kondisi ketika
proyek ini dicanangkan dengan saat ini tampaknya mulai bergeser seperti dapat
kita simak dari ungkapan atau ramalan politisi maupun para pakar, di samping
fluktuasi harga itu sendiri bagi komoditi perkebunan memang sulit dihindari.
Karena itulah,
dalam usia proyek yang sudah berjalan 10 tahun ini tampaknya pantas
ditanyakan; haruskah proyek besar dan mulia ini diteruskan ? Kalau
"ya", apakah polanya dapat dipertahankan ? Bagi beberapa pihak
mungkin mempertanyakan ini dinilai terlalu dini, karena belum semua proyek
menghasilkan, apalagi menyelesaikan satu siklus produksi. Tetapi, kalau tidak
demikian, haruskah kita menghadapinya ketika masalahnya sudah menimbun ?
Harapan dan
Kenyataan
Proyek berjangka
panjang seperti halnya PIRBUN jelas tidak dapat melepaskan diri dari ramalan
yang kemudian tercermin dalam asumsi kelayakan proyeksinya. Keyakinan terhadap asumsi,
didorong dengan landasan yang kukuh atas nama pemerataan dan alih teknologi,
menjadikan PIRBUN sebagai proyek yang dipacu sedemikian, terutama untuk
budidaya tertentu, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama dibangun ratusan
ribu hektar PIRBUN (plus sarana
penunjang lainnya) di berbagai daerah dengan melibatkan puluhan
perkebunan inti dan ratusan ribu petani peserta. Bahkan, belakangan dijadikan
sebagai salah satu pola transmigrasi.
Namun, apa yang
terjadi? Perjalanan, ternyata tidak semulus yang diharapkan.
Pertama, meskipun telah diramalkan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dapat bertahan setinggi pertumbuhan ekonomi
tiga Pelia yang lalu, belakangan ternyata jauh lebih rendah dari yang
diperkirakan, sehingga kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek
(termasuk PIRBUN) tampaknya agak seret. Bantuan dari Bank Dunia pun karena
berbagai alasan (teknis, non-teknis) tidak sepenuhnya dapat dicairkan.
Kedua, harapan mengganti penurunan pendapatan
dari minyak dan gas bumi dengan pendapatan dari sektor non-migas sampai saat
ini belum menunjukan gejala yang menggembirakan. Khusus pendapatan dari
sub-sektor perkebunan agaknya belum memenuhi harapan, sekalipun kuantitas
beberapa komoditi telah dapat ditingkatkan. Tak pelak lagi karena asumsi
membaiknya harga komoditi perkebunan sejauh ini belum mendukung keyakinan seperti
tertuang dalam kelayakannya. Sayang, memang, proyek mulia ini langsung dihadapkan
dengan memburuknya perekonomian dunia, apalagi untuk beberapa komoditi kita
bertindak selaku penerima harga. Memang, beberapa kali devaluasi rupiah
terhadap dolar, termasuk tanggal 12 September 1986, mampu memperbaiki penerimaan
beberapa perusahaan perkebunan, tetapi sampai kapan hal ini dapat bertahan
apabila tanpa kenaikan harta nyatanya di pasar Internasional; sementara biaya
produksi cenderung meningkat dengan kenaikan upah dan harga bahan-bahan di
dalam negeri (maupun sebagian yang diimpor).
Ketiga, yang merupakan efek lanjutan dari keadaan
Kedua, adalah menurunnya
pendapatan relatif PNP/PTP (sebagai bagian terbesar dari kebun inti
PIRBUN), sehingga tampaknya sulit mengharapkannya mampu "menanggulangi"
keterlambatan pembiayaan proyek, kalau tidak ingin mengganggu likuiditas
PNP/PTP pelaksana.
Keempat, sekalipun telah disediakan perangkat
lunak, misalnya berupa berbagai peraturan pelaksanaan, termasuk pembentukan
tim koordinasi, tetapi operasional di lapangan tampakmya banyak juga mengalami
hambatan karena terjadinya benturan berbagai kepentingan. Kondisi ini
sedikitnya menghambat pelaksana proyek untuk melakukan aktivitasnya.
Selain itu, ada
juga masalah teknis lainnya, seperti kurang berkembangnya lahan pangan
karena kebanyakan merupakan lahan marjinal, ketidaktaatan petani peserta, dan
sebagainya.
Kalau demikian
bagaimana masa depannya ?
Ramalan
Dalam hal
pekerjaan, antara futurolog dengan penjaja kode PORKAS, barangkali tidak
terlalu jauh berbeda; keduanya sama-sama berbicara tentang masa depan; keduanya
tukang ramal ! Namun, karisma futurolog dengan alat analisisnya yang canggih
memungkinkannya berada jauh di depan; tidak terkecuali ramalan Peter F.
Drucker dalam The Changed World Economy
yang belakangan ini tampaknya mendapatkan perhatian serius dari para ilmuwan kita.
Betapa tidak. Salah-satu dari ramalan tersebut yaitu adanya keterlepasan-kaitan
(un-coupling) antara bahan baku
dengan industri.
Kalau ramalan
tersebut benar, apa jadinya dengan perekonomian kita yang sebagian besar
komoditi ekspornya merupakan komoditi primer ? Tak pelak lagi, kita akan
(sedang ?) berhadapan dengan tantangan yang cukup berat. Hal yang sama kiranya
berlaku juga bagi sub-sektor perkebunan. Dalam hal ini, barangkali, bukan saja
pada akhir Pelita IV sub-sektor perkebunan tidak akan mampu menghasilkan devisa
sebesar US $ 5,5 milyar -- seperti yang demikian bergairah diungkapkan
beberapa tahun yang lalu -- tapi juga prospeknya dalam jangka yang lebih
panjang akan merupakan pertanyaan besar.
Sebagai
contoh bertolak-belakangnya ramalan dan kenyataan karena
perbedaan asumsi, kiranya dapat dilihat berikut ini. Kalau pada awal
keberangkatan proyek PIRBUN selama ini dua budidaya utama
perkebunan -- yakni karet dan kelapa sawit -- mendapat perhatian khusus
karena diramalkan berprospek baik dengan Financial Rate of Returns (FRR) yang
di atas tingkat bunga komersial, maka ketika kedua budidaya ini mendapat
"pukulan" harga, seperti diungkapkan Sumana dan Ridwan (1986) dari
Balai Penelitian Perkebunan Sungai Putih bahwa FRR untuk Karet dan Kelapa Sawit
masing-masing hanya 5,95 persen dan 6,19 persen.
Tentang ramalan
Drucker itu sendiri, barangkali ada baiknya kalau kita simak pendapat Prof. Suhadi
Mangkusuwondo (Prisma nomor
2, Februari 1987) yang menyatakan bahwa permintaan dunia terhadap bahan
mentah memang tumbuh lamban dibandingkan dengan permintaan atas hasil industri,
tetapi itu bukan hal baru, sebab banyak ahli telah mengutarakannya sebelum
Drucker berbicara. Bela Balassa pernah menghitung beberapa komoditi (1963-1984)
untuk menentukan korelasi antara pertumbuhan ekonomi negara-negara maju dan
impor khususnya dari negara-negara sedang berkembang. Ternyata elastisitasnya
adalah 1,5 persen (artinya, bila pertumbuhan ekonominya 4 persen maka impornya
naik menjadi 6 persen). Tetapi, kalau dari total impor negara itu dirinci lagi
maka akan kelihatan beberapa kenyataan menarik. Bahan bakar elastisitasnya
1,88; barang-barang primer di luar bahan bakar -0,48; dan barang
manufaktur/industri 3,8. Khusus untuk bahan-bahan primer di luar bahan bakar,
kalau elastisitasnya dirinci lagi, ternyata untuk bahan makakan elastisitasnya
mencapai 0,6; sebaliknya untuk industrial
raw material elastisitasnya cuma 0,27. Contoh barang-barang primer untuk
industri adalah karet dan kayu. Elastisitasnya paling rendah. Nah !
Konsolidasi
Tampaknya, dalam
usia proyek PIRBUN yang sekitar sepuluh tahun ini kita tidak usah terlalu
ngotot untuk melaksanakan proyek yang bercita-cita mulia (yakni pemerataan dan
alih teknologi) ini. Kita toh, ingin
pemerataan itu dalam arti yang positif, yakni merata pada tingkat pendapatan
yang tinggi; bukan sebaliknya! Katakanlah itu masa konsolidasi.
Dalam masa
konsolidasi itu selayaknyalah dilakukan kaji ulang dengan menyesuaikan berbagai
anggapan dasar pada kondisi hari ini, sehingga prospeknya dapat diperhalus. Kata orang bijak, lebih baik
kita berhenti sejenak untuk merenungi langkah-langkah selama ini.
Pertama, bagaimanakah sesungguhnya prospek harga
masing-masing komoditi perkebunan pada masa mendatang. Dalam hal
ini, ramalan Drucker tentunya dapat dipertimbangkan,
tetapi tidak perlu dipercayai
sepenuhnya. Kalau memang diyakini
prospeknya cukup baik, bagaimana cara menanganinya agar kalau harga turun
(fluktuasi harga komoditi perkebunan merupakan hal yang biasa) tidak terlalu meresahkan
petani pesertta ? (Keresahan petani peserta ketika harga turun antara lain
dapat kita simak dari berita di berbagai media massa sewaktu harga minyak
sawit, terutama, melorot pada tingkat yang sangat rendah. Tentang hal ini
saya menyarankan adanya sistem sejenis cadangan penyangga, sehingga pendapatan
minimum para pekebun setiap bulannya diupayakan tidak di bawah kebutuhan hidup
keluarganya (Kompas, 18 Agustus
1986). Lain dari itu, penurunan harga dalam perjalanan waktunya perlu
diperlakukan sebagai hal yang wajar dan diimbangi dengan usaha penurunan biaya
melalui perbaikan produktivitas (Dr. Djisman S. Simandjuntak, Prisma nomor 2, Februari 1987).
Kedua, apakah perpaduan atara dua sistem usaha (perkebunan
inti dan plasma) yang sifatnya berbeda benar-benar dapat terjalin ikatan
sehingga proses alih teknologi (berikut sikap bisnisnya) dapat berjalan
lancar ? Hal ini seyogianya dikaji karena lahan plasma terfragmentasi yang manajemennya
terpisah dari kebun inti, sehingga penghematan biaya dan konsolidasi usaha
mungkin sulit dicapai. Memang benar PIR dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan
sekian banyak petani peserta kali dua hektar lahan miliknya.
Tetapi, hubungan
yang ada adalah kerja sama yang masing-masing mempunyai manajemen, dan
bukannya hubungan antara atasan (kebun inti) dengan bawahan (petani peserta).
Dari anggapan ini, bukan mustahil produkktivitas dan efisiensi antara kebun
inti dan kebun plasma akan berbeda, seperti diungkapkan Dr. Pantjar Simatupang
dan Dr. Budiman Hutabarat (1986) bahwa dari pengamatan sementara di lapangan
terlihat adanya perbedaan yang nyata antara kebun inti dan kebun plasma (dalam
hal keproduktifan dan efisiensi biaya), meskipun sebenarnya evaluasi ini masih
terlalu dini karena sebagian besar kebun PIR yang sekarang belum atau baru berproduksi.
Ketiga, manakah budidaya yang cocok di-PIR-kan
dan mana yang tidak cocok ? Hal ini berangkat dari pemikiran beberapa pakar
yang menurutnya ada budidaya yang lebih cocok diusahakan dalam skala besar
karena sifatnya yang increasing return to
scale namun ada juga yang cukup berhasil dikembangkan petani-petani
kecil/keluarga sekalipun tanpa proyek PIR. Apakah gagasan Dr. M. Amin Azis
belakangan ini agar pemerintah segera memutar haluan dan mengembangkan
agribisnis berdasarkan kekuatan koperasi petani kecil, namun bukan
melalui pola PIR (PRIORITAS, 25 Februari 1987), antara lain didasarkan
pada pemikiran ini juga, masih kurang jelas. Tetapi, barangkali pemikiran
seperti itu patut juga dipertimbangkan agar diperoleh "keragaman"
pola, yang barangkali pada suatu saat kita memiliki suatu pola yang tepat,
tidak dengan kecenderungan merampatkan (generalisasi) secara berlebihan. Masih dalam
kaitan ini, barangkali ada baiknya juga kalau kita ingat kembali
betapa lenturnya para pekebun karet model
doeloe, sekalipun masalah fluktuasi harga selalu dialami
mereka. Bahwa pada saat itu mereka banyak dirugikan (?) oleh
tengkulak, di situlah gagasan Dr. Amin Azis dapat diletakkan. Bahwa saat
ini produktivitas mereka rendah, gagasan Dr. Amin Azis pun kiranya dapat
melicinkan jalan untuk masuknya penyuluhan.
Keempat, kalau sekarang ini banyak pihak swasta
yang sudah ikut serta dalam pengembangan proyek PIRBUN, yang sebagian besar
terarah pada budidaya tertentu, bagaimanakah analisis terhadap persaingan
pasarnya ? Khusus tentang kelapa sawit, konon Malaysia -- pemasok minyak sawit
terbesar dunia -- merasa cemas dengan pengembangan yang dilakukan oleh
Indonesia. Dari satu sisi, hal ini merupakan prestasi yang menggembirakan.
Tetapi, apakah
kecemasan tersebut juga tidak berlaku bagi kita ? Produksi yang melipah
dalam bentuk bahan baku bukan mustahil akan merupakan potensi masalah berupa
rendahnya harga, apalagi masalah tersebut melibatkan petani peserta yang
keresahannya demikian vokal diungkapkan lewat kuli tinta. Belum lagi
persaingannya dengan kelapa dan penghasil minyak nabati lainnya (tulisan saya
di Prioritas, 25 Februari 1987).
Karena itu,
pertanyaan lebih lanjut adalah sejauh mana keterkaitan proyek ini dengan
industri hilirnya, yang selain diarahkan untuk ekspor juga dapat memanfaatkan
potensi pasar di dalam negeri.
Kelima, berkaitan dengan masalah ketiga. Kalau diingat bahwa tujuan
perkebunan inti rakyat tidak hanya untuk mengembangkan perkebunan rakyat,
tetapi juga membantu perkembangan koperasi perkebunan rakyat, maka sejauh mana
penataan koperasi telah dilakukan di masing-masing proyek, sehingga mampu
mengimbangi kegiatan proyek secara keseluruhan. Hal di atas diungkapkan
mengingat bahwa pembentukan proyek PIR di samping "dimaksudkan untuk menjadi
inti dari perkebunan rakyat di sekitarnya", juga "kegiatan perkebunan
inti ini diharapkan akan membantu perkembangan koperasi perkebunan
rakyat". Kedua hal ini dengan tegas dapat kita lihat dalam Buku II
Repelita II. Mengherankan, demikian menggebu berita tentang PIRBUN di berbagai
media massa (baik yang bernada positif maupun negatif), namun jarang sekali
yang melaporkan perkembangan koperasinya.
Padahal, demikian
banyak manfaat yang dapat diraih; bukan hanya dipandang dari sudut koperasi
secara umum, tetapi juga bantuannya terhadap kelancaran pelaksanaan proyek
secara keseluruhan (saya mengungkapkan hal ini dalam Pikiran Rakyat, 26 Februari 1987). Dengan mengaitkan masalah ketiga dengan masalah kelima ini, maka gagasan Dr. Ami Azis
untuk "mengkoperasikan" petani kecil (dalam hal ini: pekebun) dapat
didekati, asal saja penanganan koperasi perkebunan rakyat -- seperti
diamanatkan dalam Buku II Repelita II -- dapat dilaksanakan secara konsekuen.
Keenam, jangan lupa untuk menyertakan paket
budidaya perikanan dan/atau peternakan, yang selain berfungsi sebagai tambahan
pendapatan, juga dapat merupakan sumber protein, sumber tenaga kerja,
sumber pupuk kandang, dan sebagainya. Pada sisi lain, pemikiran ini
juga seyogianya mempertimbangkan keunggulkan komparatif masing-masing daerah;
manakah pola yang paling baik, menggabungkan tanaman keras dan tanaman pangan
dalam satu paket, ataukah memisahkannya sesuai dengan kelaikan tanahnya ? (Sementara,
paket budidaya perikanan dan peternakan barangkali dapat disertakan bagi keduanya).
Masalah lahan pangan ini memang menarik untuk ditinjau secara saksama, karena
meskipun Prof. Dr. IGB. Teken dan Prof. Dr. Mubyarto dalam Eksekutif nomor 92, Februari 1987, menyatakan bahwa "mengenai
segi teknis, ... mereka sudah jempolan ..." (maksudnya PTP); itu terbatas
dalam tanaman keras, sedangkan tanaman pangan ?
Ketujuh, dengan keharusan bagi beberapa PTP untuk
melaksanakan proyek PIRBUN maka fungsi PTP bertambah dengan fungsi sebagai
wahana pengembangan. Dalam hal ini, untuk menilai PTP seyogianyalah diperlukan
ukuran efisiensi yang berbeda dengan ukuran efisiensi perusahanan sejenis yang
dikelola perusahaan swasta. Hal ini seyogianya disepakati bersama mengingat ada
pihak-pihak tertentu yang meragukan efisiensi PTP.
Kalaupun ada
indikasi ke arah itu, di dalamnya harus diperhitungkan juga efisiensi sosial
yang disebabkan fungsinya sebagai wahana pengembangan. Selain itu, sudah lama
kita maklumi bahwa dengan bertindak sebagai pelaksana PIRBUN maka
manajemen PTP tidak lagi dalam arti yang sempit, tetapi berkembang menjadi manajemen
plus (penyuluh), yang tentu saja
merupakan tugas yang tidak ringan, di samping tidak ringan pula dalam upaya
mengubah pola yang sudah ada, yang secara historis terkait dengan penjajah
dengan sikap yang eksklusif. Mampukah pihak swasta melakukannya ? Bagaimana
meknisme pengawasannya ? Dan sebagainya.
Tentu, bahan kajian
ini hanyalah bagian kecil dari berbagai kajian yang mungkin diperoleh
apabila melibatkan para pakar baik di lingkungan pelaksana maupun ilmuwan
lainnya, misalnya penataan koordinasi instansi yang terkait,
pra-konversi, pasca-konversi, dan sebagainya. Sehingga, dari berbagai
pendapat yang beragam kiranya dapat diharapkan lahir kesatuan pendapat.
Kita memang
berharap, pola usaha yang baik ini tidak menjadi bahan kritik terhadap
pelaksana proyek -- langsung maupun tidak langsung -- yang telah cukup banyak
berkorban (terutama petugas lapangan). Dan, setelah konsolidasi itu, pertanyaan
pada awal tulisan ini mudah-mudahan dapat dijawab dengan: Ya !!! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar