Jumat, 24 April 2015

Sebuah Kajian Kecil Sekitar PIRBUN



Artikel ini dimuat dalam HU Prioritas, 16-17 Maret 1987 (bersambung).

SEBUAH KAJIAN KECIL SEKITAR PIRBUN
Oleh Tika Noorjaya

Dengan landasan antara lain, pemerataan dan alih-teknologi, sejak beberapa tahun yang lalu pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) demikian menggebu dilaksanakan oleh pemerintah. Pola usaha yang semula diterapkan dalam Perkebunan Inti Rakyat (PIRBUN), kini telah merambat ke bidang lain, seperti peternakan, perikanan, industri dan mungkin akan bertambah lagi.

Demikianlah, PIR, baik sebagai pola maupun sebagai proyek telah cukup dikenal. Dengan proyek PIR memungkinkan dicapainya pemerataan pendapatan, pemilikan alat produksi, kesempatan beru­saha, penyebaran pembangunan ke daerah-daerah terpencil, dan sebagainya.

Tetapi, "cerita" tentang PIRBUN dari beberapa media massa belakangan ini seringkali hadir dengan corak yang berbeda, se­hingga dalam batas-batas tertentu dapat meragukan khalayak. Ada yang menilai baik, namun tidak kurang pula yang menilai sebalik­nya, terutama ketika harga beberapa komoditi perkebunan merosot sampai pada tingkat yang mencemaskan. Yang terakhir ini memang bersifat temporer, sehingga tidaklah tepat andaikata hal ini dijadikan tolok-ukur keberhasilan atau kegagalan proyek PIRBUN. Namun, situasi dan kondisi ketika proyek ini dicanangkan dengan saat ini tampaknya mulai bergeser seperti dapat kita simak dari ungkapan atau ramalan politisi maupun para pakar, di samping fluktuasi harga itu sendiri bagi komoditi perkebunan memang sulit dihindari.

Karena itulah, dalam usia proyek yang  sudah berjalan 10 tahun ini tampaknya pantas ditanyakan; haruskah proyek besar dan mulia ini diteruskan ? Kalau "ya", apakah polanya dapat diperta­hankan ? Bagi beberapa pihak mungkin mempertanyakan ini dinilai terlalu dini, karena belum semua proyek menghasilkan, apalagi menyelesaikan satu siklus produksi. Tetapi, kalau tidak demikian, haruskah kita menghadapinya ketika masalahnya sudah menimbun ?

Harapan dan Kenyataan
Proyek berjangka panjang seperti halnya PIRBUN jelas tidak dapat melepaskan diri dari ramalan yang kemudian tercermin dalam asumsi kelayakan proyeksinya. Keyakinan terhadap asumsi, didorong dengan landasan yang kukuh atas nama pemerataan dan alih teknologi, menjadikan PIRBUN sebagai proyek yang dipacu sedemiki­an, terutama untuk budidaya tertentu, sehingga dalam waktu tidak terlalu lama dibangun ratusan ribu hektar PIRBUN (plus sarana penunjang  lainnya) di berbagai daerah dengan melibatkan puluhan perkebunan inti dan ratusan ribu petani peserta. Bahkan, belakan­gan dijadikan sebagai salah satu pola transmigrasi.

Namun, apa yang terjadi? Perjalanan, ternyata tidak semulus yang diharapkan.

Pertama, meskipun telah diramalkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak dapat bertahan setinggi pertumbuhan ekonomi tiga Pelia yang lalu, belakangan ternyata jauh lebih rendah dari yang diperkirakan, sehingga kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek (termasuk PIRBUN) tampaknya agak seret. Bantuan dari Bank Dunia pun karena berbagai alasan (teknis, non-teknis) tidak sepenuhnya dapat dicairkan.

Kedua, harapan mengganti penurunan pendapatan dari minyak dan gas bumi dengan pendapatan dari sektor non-migas sampai saat ini belum menunjukan gejala yang menggembirakan. Khusus pendapa­tan dari sub-sektor perkebunan agaknya belum memenuhi harapan, sekalipun kuantitas beberapa komoditi telah dapat ditingkatkan. Tak pelak lagi karena asumsi membaiknya harga komoditi perkebunan sejauh ini belum mendukung keyakinan seperti tertuang dalam kelayakannya. Sayang, memang, proyek mulia ini langsung dihadap­kan dengan memburuknya perekonomian dunia, apalagi untuk beberapa komoditi kita bertindak selaku penerima harga. Memang, beberapa kali devaluasi rupiah terhadap dolar, termasuk tanggal 12 Septem­ber 1986, mampu memperbaiki penerimaan beberapa perusahaan per­kebunan, tetapi sampai kapan hal ini dapat bertahan apabila tanpa kenaikan harta nyatanya di pasar Internasional; sementara biaya produksi cenderung meningkat dengan kenaikan upah dan harga bahan-bahan di dalam negeri (maupun sebagian yang diimpor).

Ketiga, yang merupakan efek lanjutan dari keadaan Kedua, adalah  menurunnya pendapatan relatif  PNP/PTP (sebagai bagian terbesar dari kebun inti PIRBUN), sehingga tampaknya sulit meng­harapkannya  mampu "menanggulangi" keterlambatan pembiayaan proyek, kalau tidak ingin mengganggu likuiditas PNP/PTP pelaksa­na.

Keempat, sekalipun telah disediakan perangkat lunak, misal­nya berupa berbagai peraturan pelaksanaan, termasuk pembentukan tim koordinasi, tetapi operasional di lapangan tampakmya banyak juga mengalami hambatan karena terjadinya benturan berbagai kepentingan. Kondisi ini sedikitnya menghambat pelaksana  proyek untuk melakukan aktivitasnya.

Selain itu, ada juga masalah teknis lainnya, seperti kurang berkembangnya  lahan pangan karena kebanyakan merupakan lahan marjinal, ketidaktaatan petani peserta, dan sebagainya.

Kalau demikian bagaimana masa depannya ?

Ramalan

Dalam hal pekerjaan, antara futurolog dengan penjaja kode PORKAS, barangkali tidak terlalu jauh berbeda; keduanya sama-sama berbicara tentang masa depan; keduanya tukang ramal ! Namun, karisma futurolog dengan alat analisisnya yang canggih memungkin­kannya berada jauh di depan; tidak terkecuali ramalan Peter F. Drucker dalam The Changed World Economy yang belakangan ini tampaknya mendapatkan perhatian serius dari para ilmuwan kita. Betapa tidak. Salah-satu dari ramalan tersebut yaitu adanya keterlepasan-kaitan (un-coupling) antara bahan baku dengan indus­tri.

Kalau ramalan tersebut benar, apa jadinya dengan perekonomi­an kita yang sebagian besar komoditi ekspornya merupakan komoditi primer ? Tak pelak lagi, kita akan (sedang ?) berhadapan dengan tantangan yang cukup berat. Hal yang sama kiranya berlaku juga bagi sub-sektor perkebunan. Dalam hal ini, barangkali, bukan saja pada akhir Pelita IV sub-sektor perkebunan tidak akan mampu menghasilkan devisa sebesar US $ 5,5 milyar -- seperti yang demi­kian bergairah diungkapkan beberapa tahun yang lalu -- tapi juga prospeknya dalam jangka yang lebih panjang akan merupakan perta­nyaan besar.

Sebagai  contoh bertolak-belakangnya ramalan  dan  kenyataan karena perbedaan asumsi, kiranya dapat dilihat berikut ini. Kalau pada  awal keberangkatan proyek PIRBUN selama ini  dua  budidaya utama  perkebunan -- yakni karet dan kelapa sawit -- mendapat perhatian khusus karena diramalkan berprospek baik dengan Finan­cial Rate of Returns (FRR) yang di atas tingkat bunga komersial, maka ketika kedua budidaya ini mendapat "pukulan" harga, seperti diungkapkan Sumana dan Ridwan (1986) dari Balai Penelitian Perkebunan Sungai Putih bahwa FRR untuk Karet dan Kelapa Sawit masing-masing hanya 5,95 persen dan 6,19 persen.   

Tentang ramalan Drucker itu sendiri, barangkali ada baiknya kalau kita simak pendapat Prof. Suhadi  Mangkusuwondo (Prisma nomor  2, Februari 1987) yang menyatakan bahwa permintaan dunia terhadap bahan mentah memang tumbuh lamban dibandingkan dengan permintaan atas hasil industri, tetapi itu bukan hal baru, sebab banyak ahli telah mengutarakannya sebelum Drucker berbicara. Bela Balassa pernah menghitung beberapa komoditi (1963-1984) untuk menentukan korelasi antara pertumbuhan ekonomi negara-negara maju dan impor khususnya dari negara-negara sedang berkem­bang. Ternyata elastisitasnya adalah 1,5 persen (artinya, bila pertumbuhan ekonominya 4 persen maka impornya naik menjadi 6 persen). Tetapi, kalau dari total impor negara itu dirinci lagi maka akan kelihatan beberapa kenyataan menarik. Bahan bakar elastisitasnya 1,88; barang-barang primer di luar bahan bakar  -0,48;  dan barang manufaktur/industri 3,8. Khusus untuk bahan-bahan primer di luar bahan bakar, kalau elastisitasnya dirinci lagi, ternyata untuk bahan makakan elastisitasnya mencapai 0,6; sebaliknya untuk industrial raw material elastisitasnya cuma 0,27. Contoh barang-barang primer untuk industri adalah karet dan kayu. Elastisitasnya paling rendah. Nah !

Konsolidasi

Tampaknya, dalam usia proyek PIRBUN yang sekitar sepuluh tahun ini kita tidak usah terlalu ngotot untuk melaksanakan proyek yang bercita-cita mulia (yakni pemerataan dan alih teknol­ogi) ini.  Kita toh, ingin pemerataan itu dalam arti yang posi­tif, yakni merata pada tingkat pendapatan yang tinggi; bukan sebaliknya! Katakanlah itu masa konsolidasi.

Dalam masa konsolidasi itu selayaknyalah dilakukan kaji ulang dengan menyesuaikan berbagai anggapan dasar pada kondisi hari ini, sehingga prospeknya dapat diperhalus. Kata orang bijak, lebih baik kita berhenti sejenak untuk merenungi langkah-langkah selama ini.

Pertama, bagaimanakah sesungguhnya prospek harga  masing-masing komoditi perkebunan pada masa mendatang. Dalam hal  ini, ramalan Drucker tentunya dapat dipertimbangkan, tetapi tidak perlu dipercayai sepenuhnya.  Kalau memang diyakini prospeknya cukup baik, bagaimana cara menanganinya agar kalau harga turun (fluktuasi harga komoditi perkebunan merupakan hal yang biasa) tidak terlalu meresahkan petani pesertta ? (Keresahan petani peserta ketika harga turun antara lain dapat kita simak dari berita di berbagai media massa sewaktu harga minyak sawit,  terutama, melorot pada tingkat yang sangat rendah. Tentang hal ini saya menyarankan adanya sistem sejenis cadangan penyangga, se­hingga pendapatan minimum para pekebun setiap bulannya diupayakan tidak di bawah kebutuhan hidup keluarganya (Kompas, 18 Agustus 1986). Lain dari itu, penurunan harga dalam perjalanan waktunya perlu diperlakukan sebagai hal yang wajar dan diimbangi dengan usaha penurunan biaya melalui perbaikan produktivitas (Dr.  Djis­man S. Simandjuntak, Prisma nomor 2, Februari 1987). 

Kedua, apakah perpaduan atara dua sistem usaha (perkebunan inti dan plasma) yang sifatnya berbeda benar-benar dapat terjalin ikatan sehingga proses alih teknologi (berikut sikap  bisnisnya) dapat berjalan lancar ? Hal ini seyogianya dikaji karena lahan plasma terfragmentasi yang manajemennya terpisah dari kebun inti, sehingga penghematan biaya dan konsolidasi usaha mungkin sulit dicapai. Memang benar PIR dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan sekian banyak petani peserta kali dua hektar lahan miliknya.

Tetapi, hubungan yang ada adalah kerja sama yang  masing-masing mempunyai manajemen, dan bukannya hubungan antara atasan (kebun inti) dengan bawahan (petani peserta). Dari anggapan ini, bukan mustahil produkktivitas dan efisiensi antara kebun inti dan kebun plasma akan berbeda, seperti diungkapkan Dr. Pantjar Sima­tupang dan Dr. Budiman Hutabarat (1986) bahwa dari pengamatan sementara di lapangan terlihat adanya perbedaan yang nyata antara kebun inti dan kebun plasma (dalam hal keproduktifan dan efisien­si biaya), meskipun sebenarnya evaluasi ini masih terlalu dini karena sebagian besar kebun PIR yang sekarang belum atau baru berproduksi.

Ketiga, manakah budidaya yang cocok di-PIR-kan dan mana yang tidak cocok ? Hal ini berangkat dari pemikiran beberapa pakar yang menurutnya ada budidaya yang lebih cocok diusahakan dalam skala besar karena sifatnya yang increasing return to scale namun ada juga yang cukup berhasil dikembangkan petani-petani kecil/keluarga sekalipun tanpa proyek PIR. Apakah gagasan Dr. M. Amin Azis belakangan ini agar pemerintah segera memutar haluan dan mengembangkan agribisnis berdasarkan kekuatan koperasi petani kecil,  namun  bukan  melalui pola PIR (PRIORITAS, 25 Februari 1987), antara lain didasarkan pada pemikiran ini juga, masih kurang jelas. Tetapi, barangkali pemikiran seperti itu patut juga dipertimbangkan agar diperoleh "keragaman" pola, yang barangkali pada suatu saat kita memiliki suatu pola yang tepat, tidak dengan kecenderungan merampatkan (generalisasi) secara berlebihan. Masih dalam kaitan ini, barangkali ada baiknya juga kalau  kita  ingat kembali betapa lenturnya para pekebun karet model doeloe, sekali­pun  masalah  fluktuasi harga selalu dialami mereka. Bahwa  pada saat  itu mereka banyak dirugikan (?) oleh tengkulak, di  situlah gagasan Dr. Amin Azis dapat diletakkan. Bahwa saat ini produktivitas mereka rendah, gagasan Dr. Amin Azis pun kiranya dapat melicinkan jalan untuk masuknya penyuluhan.

Keempat, kalau sekarang ini banyak pihak swasta yang sudah ikut serta dalam pengembangan proyek PIRBUN, yang sebagian besar terarah pada budidaya tertentu, bagaimanakah analisis terhadap persaingan pasarnya ? Khusus tentang kelapa sawit, konon Malaysia -- pemasok minyak sawit terbesar dunia -- merasa cemas dengan pengembangan yang dilakukan oleh Indonesia. Dari satu sisi, hal ini merupakan prestasi yang menggembirakan.

Tetapi, apakah kecemasan tersebut juga tidak  berlaku bagi kita ? Produksi yang melipah dalam bentuk bahan baku bukan mustahil akan merupakan potensi masalah berupa rendahnya harga, apalagi  masalah tersebut melibatkan petani peserta yang keresa­hannya demikian vokal diungkapkan lewat kuli tinta. Belum lagi persaingannya dengan kelapa dan penghasil minyak nabati lainnya (tulisan saya di Prioritas, 25 Februari 1987).

Karena itu, pertanyaan lebih lanjut adalah sejauh mana keterkaitan proyek ini dengan industri hilirnya, yang selain diarahkan untuk ekspor juga dapat memanfaatkan potensi pasar  di dalam negeri.

Kelima, berkaitan dengan masalah ketiga. Kalau diingat bahwa tujuan perkebunan inti rakyat tidak hanya untuk mengembang­kan perkebunan rakyat, tetapi juga membantu perkembangan koperasi perkebunan rakyat, maka sejauh mana penataan koperasi telah dila­kukan di masing-masing proyek, sehingga mampu mengimbangi kegia­tan proyek secara keseluruhan. Hal di atas diungkapkan mengingat bahwa pembentukan proyek PIR di samping "dimaksudkan untuk menja­di inti dari perkebunan rakyat di sekitarnya", juga "kegiatan perkebunan inti ini diharapkan akan membantu perkembangan kopera­si perkebunan rakyat". Kedua hal ini dengan tegas dapat kita lihat dalam Buku II Repelita II. Mengherankan, demikian menggebu berita tentang PIRBUN di berbagai media massa (baik yang bernada positif maupun negatif), namun jarang sekali yang melaporkan perkembangan koperasinya.

Padahal, demikian banyak manfaat yang dapat diraih; bukan hanya dipandang dari sudut koperasi secara umum, tetapi juga bantuannya terhadap kelancaran pelaksanaan proyek secara keseluruhan (saya mengungkapkan hal ini dalam Pikiran Rakyat, 26 Februari 1987). Dengan mengaitkan masalah ketiga dengan masalah kelima ini, maka gagasan Dr. Ami Azis untuk "mengkoperasikan" petani kecil (dalam hal ini: pekebun) dapat didekati, asal saja penanganan koperasi perkebunan rakyat -- seperti diamanatkan dalam Buku II Repelita II -- dapat dilaksanakan secara konsekuen.

Keenam, jangan lupa untuk menyertakan paket budidaya perikanan dan/atau peternakan, yang selain berfungsi sebagai tambahan pendapatan, juga dapat merupakan sumber protein, sumber tenaga kerja,  sumber pupuk kandang,  dan sebagainya. Pada sisi lain, pemikiran ini juga seyogianya mempertimbangkan keunggulkan komparatif  masing-masing daerah; manakah pola yang paling baik, menggabungkan tanaman keras dan tanaman pangan dalam satu paket, ataukah memisahkannya sesuai dengan kelaikan tanahnya ? (Sementara, paket budidaya perikanan dan peternakan barangkali dapat disertakan bagi keduanya). Masalah lahan pangan ini memang menarik untuk ditinjau secara saksama, karena meskipun Prof. Dr. IGB. Teken dan Prof. Dr. Mubyarto dalam Eksekutif nomor 92, Februari 1987, menyatakan bahwa "mengenai segi teknis, ... mereka sudah jempolan ..." (maksudnya PTP); itu terbatas dalam tanaman  keras, sedangkan tanaman pangan ?

Ketujuh, dengan keharusan bagi beberapa PTP untuk melaksana­kan proyek PIRBUN maka fungsi PTP bertambah dengan fungsi sebagai wahana pengembangan. Dalam hal ini, untuk menilai PTP seyogianyalah diperlukan ukuran efisiensi yang berbeda dengan ukuran efisiensi perusahanan sejenis yang dikelola perusahaan swasta. Hal ini seyogianya disepakati bersama mengingat ada pihak-pihak tertentu yang meragukan efisiensi PTP.

Kalaupun ada indikasi ke arah itu, di dalamnya harus diperhi­tungkan juga efisiensi sosial yang disebabkan fungsinya sebagai wahana pengembangan. Selain itu, sudah lama kita maklumi  bahwa dengan bertindak sebagai pelaksana PIRBUN maka manajemen PTP tidak lagi dalam arti yang sempit, tetapi berkembang menjadi manajemen plus (penyuluh), yang tentu saja merupakan tugas yang tidak ringan, di samping tidak ringan pula dalam upaya mengubah pola yang sudah ada, yang secara historis terkait dengan penjajah dengan sikap yang eksklusif. Mampukah pihak swasta  melakukannya ? Bagaimana meknisme pengawasannya ? Dan sebagainya.

Tentu, bahan kajian ini hanyalah bagian kecil dari  berbagai kajian yang mungkin diperoleh apabila melibatkan para pakar baik di lingkungan pelaksana maupun ilmuwan lainnya, misalnya penataan koordinasi  instansi yang terkait, pra-konversi,  pasca-konversi, dan sebagainya. Sehingga, dari berbagai pendapat yang beragam kiranya dapat diharapkan lahir kesatuan pendapat. 
Kita memang berharap, pola usaha yang baik ini tidak menjadi bahan kritik terhadap pelaksana proyek -- langsung maupun tidak langsung -- yang telah cukup banyak berkorban (terutama petugas lapangan). Dan, setelah konsolidasi itu, pertanyaan pada awal tulisan ini mudah-mudahan dapat dijawab dengan: Ya !!! ***

Penulis,  pernah  bekerja di salah satu  perkebunan negara, dan sekarang menjadi redaktur sebuah penerbit buku/majalah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar