Sabtu, 11 April 2015

Sejarah Pemikiran dan Proses Pembentukan P3UKM (1)



Sejarah Pemikiran dan Proses Pembentukan P3UKM: Kilas Balik untuk Acuan Pengembangan Pendamping UMKM di Masa Depan[1]

Oleh Tika Noorjaya[2]

1.     Pengantar
Pusat Pengembangan Pendamping Usaha Kecil dan Menengah (P3UKM) secara resmi didirikan pada 11 Juli 2003, sebagai realisasi dari Kesepakatan Bersama antara Bank Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 13 Februari 2003.
Namun demikian, sejarah pemikiran dan proses pembentukannya dapat ditelusuri jauh surut ke belakang, melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholders) yang peduli terhadap pengembangan UKM, khususnya di Jawa Barat. Dalam hal ini, Bank Indonesia Bandung haruslah diakui sebagai pemuka dari gagasan ini, yang kemudian bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mensosialisasikannya ke berbagai pihak terkait, yang dalam perjalanannya kemudian menjadi pendiri awal lembaga ini.
Tulisan ini secara ringkas akan mengungkapkan kondisi dan peranan UKM dalam perekonomian, serta secara garis besar memaparkan latar belakang pendirian dan proses pembentukan, struktur organisasi, produk dan perkembangan P3UKM – yang pada mulanya bernama Service Provider Management Unit (SPMU) atau Service Provider Management Center (SPMC). Selain itu, agar tidak sekadar mengail masa lalu, maka dalam tulisan ini dikemukakan beberapa permasalahan kekinian dan saran untuk penyempurnaannya agar lembaga semacam ini tetap bisa berkiprah dalam pengembangan UKM di masa depan.

2. Peranan UKM dalam Perekonomian
Keadaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Jawa Barat hampir merupakan cerminan dari kondisi UKM nasional. Mereka merupakan pelaku usaha yang peranannya sangat penting dalam perekonomian, yang dapat ditunjukkan dengan jumlah unit usahanya yang dominan, kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penampung lapangan kerja yang cukup banyak, nilai investasi yang cukup tinggi, pangsanya dalam perolehan devisa, dan lain-lain. Berbagai studi juga memberikan rasionalitas yang cukup jelas tentang peranan UKM di masa depan, berdasarkan pengalaman di beberapa negara maju.
Tak mengherankan kalau banyak Departemen dan Kementrian yang memiliki program terkait dengan pengembangan UKM, di samping hampir semua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki program community development untuk UKM. Demikian pula, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga asing dan donor, memberikan perhatian terhadap pengembangan UKM. Bank Indonesia, perbankan dan lembaga keuangan lainnya pun mempunyai andil dalam pengembangan UKM nasional.
Namun demikian, kenyataannya, cita-cita membangun UKM belumlah sesuai dengan harapan. Masih banyak permasalahan mendasar yang belum tertangani dengan baik, termasuk akses UKM ke lembaga keuangan. Memang banyak UKM yang berkembang, tapi masih lebih banyak lagi yang belum tersentuh perbankan. Fungsi intermediasi perbankan belum berjalan dengan baik. Persoalan aksesabilitas perbankan juga dapat didekati dan dipahami dengan dikotomi feasibilitas dan bankabilitas. UKM yang potensial (feasible) dapat memberikan keuntungan yang relatif tinggi, meskipun dalam beberapa hal memiliki tingkat risiko yang tinggi pula. Sementara itu UKM memiliki kesulitan dan kendala dalam memperoleh permodalan dari perbankan untuk mengembangkan usaha. Di sisi lain, persoalan prosedur dan persyaratan seperti perijinan dan administrasi atau pembukuan usaha, tidak dimiliki oleh UKM. Padahal bagi bank, hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam melaksanakan analisis kredit sesuai asas kehati-hatian (prudent banking system). Kesenjangan kondisi antara supply dan demand dalam hubungan kredit antara perbankan dan UKM inilah yang perlu dicarikan solusi dan jalan terbaik.
Di Jawa Barat, selain keterbatasan akses UKM terhadap pembiayaan perbankan serta terbatasnya informasi dan sumber daya perbankan dalam melayani UKM; juga ada potensi lain dari besarnya jumlah Pendamping UKM atau Business Development Service Provider (BDSP), sekalipun jasa yang ditawarkannya kurang relevan dengan kebutuhan UKM dan perbankan.
Dengan latar belakang demikian, maka penetapan P3UKM sebagai percontohan (pilot project) bagi pengembangan lembaga UKM melalui penguatan lembaga pendampingan, khususnya dalam rangka mengakseskan UKM terhadap lembaga keuangan/perbankan, kiranya merupakan suatu langkah yang harus terus menerus disempurnakan, sehingga pada saatnya, di masa depan, dapat dijadikan acuan secara nasional.

3.     Langkah Ketujuh
Dari sisi Bank Indonesia Bandung saat itu, upaya untuk membentuk P3UKM merupakan langkah ketujuh dalam pengembangan UKM di Jawa Barat, sebagai penggenap dari enam langkah yang telah ditempuh sebelumnya.[3] Langkah ketujuh tersebut, kiranya merupakan tindak-lanjut dari suatu seminar pada 3 Oktober 2002.[4] Saat itu, Bank Indonesia Bandung menghadirkan Abdul Salam,[5] yang memaparkan makalah berjudul “Meningkatkan Peran Service Provider Management Unit dalam Pengembangan UKM”. Tujuan dari pendirian lembaga ini adalah untuk memberdayakan BDSP (Business Development Service Provider) dalam aspek keuangan, dan sebagai perekat (interlock) antara BDSP dengan perbankan. Tak lupa dikemukakan enam milestones, yaitu: (1) SPMU melakukan identifikasi BDS potensial dan membuat short listed BDS; (2) SPMU memberikan training bersertifikasi, misalnya dalam bidang restrukturisasi dan konsultansi; (3) BDS membuat MoU dengan perbankan; (4) BDS mengidentifikasi UKM yang feasible untuk memperoleh akses pendanaan dan menawarkan kepada bank; (5) Bank menetapkan pilihan atas UKM; dan (6) Bank berkoordinasi/melapor ke SPMU.[6]
Saya merasa bahwa gagasan tersebut gayung-bersambut dengan pekerjaan kami di BUDBIN (Business Development Baddenwurtemberg-Indonesia), suatu proyek Swisscontact untuk membantu pendirian sejumlah BDC (Business Development Center) pendukung UKM di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Karena itu, saya melaporkan hasil diskusi tersebut baik kepada Karl Heinz Zinnecker (Project Manager BUDBIN) maupun kepada Peter Bissegger, Swisscontact Resident Representative Indonesia. Bahkan, dalam pertemuan 5 November 2002 di Bank Indonesia Bandung, saya mengajak Zinnecker, yang kemudian mempresentasikan program BUDBIN, lengkap dengan pendekatan dan daftar sejumlah BDSP yang terdaftar di Swisscontact. BUDBIN-Swisscontact juga mengajukan keinginan untuk turut berkontribusi dalam P3UKM ke depan dengan mengajukan konsep mekanisme kerja SPMU, proses seleksi, sertifikasi dan monitoring.
Kedua pertemuan tersebut (3 Oktober 2002 dan 5 November 2002) secara umum dihadiri oleh Perwakilan Lembaga Keuangan/Perbankan, Pemda Jawa Barat/Dinas Koperasi dan UKM, Perguruan Tinggi, Kadinda Jawa Barat dan Kota Bandung, Pelaku UKM dan Lembaga Pengembangan UKM di Jawa Barat.
Pada prinsipnya seluruh peserta yang hadir memahami dan menanggapi secara positif mengenai konsep SPMC sebagai suatu lembaga yang berperan dalam upaya meningkatkan kualitas dan produktivitas pelayanan dan sertifikasi BDS yang ada di Jawa Barat. Mereka bersepakat untuk menindaklanjuti rumusan hasil diskusi dengan membentuk Tim Pembentukan SPMC.

4.     Lokakarya Logical Framework Approach (LFA)
Salah satu kegiatan Tim Pembentukan SPMC adalah menghadiri Workshop Logical Framework Approach (LFA), yang diselenggarakan di Bandung Giri Gahana Golf & Resort, Jatinangor pada 13-14 Desember 2002 untuk menyusun Rencana Operasionalisasi Kelembagaan SPMC yang Mandiri dan Berkesinambungan. Lokakarya ini merupakan kerjasama Bank Indonesia dengan Pusat Inkubator Bisnis Ikopin (PIBI-Ikopin), sebagai pemandu penyusunan LFA. Pada hari Pertama, Lokakarya dibuka dan dimulai dari jam 20.00 WIB sampai jam 23.30 WIB. Pada hari Kedua, dimulai dari jam 08.00 WIB sampai jam 21.00 WIB, diselingi tiga kali waktu istirahat. Peserta yang hadir selama Lokakarya adalah 23 orang, dari 24 calon peserta/ lembaga yang diundang.
Berdasarkan hasil kesepakatan para peserta lokakarya, dirumuskanlah bahwa yang dimaksud dengan “SPMC yang Mandiri dan Berkesinambungan” adalah suatu lembaga independen yang terdiri dari unsur-unsur: Pemda Jabar/Dinas Teknis Terkait, Bank Indonesia, Lembaga Keuangan/Perbankan, Perwakilan Pengusaha, Perguruan Tinggi, dan Perwakilan BDS untuk meningkatkan peran dan profesionalisme BDS melalui kegiatan seleksi, pendidikan dan latihan, sertifikasi, dan supervisi.
Dari hasil diskusi, para peserta merumuskan bahwa Misi SPMC adalah menjadi perekat hubungan BDS dan KUKM dengan Lembaga Keuangan; sedangkan visi SPMC adalah menjadikan BDS profesional dan kredibel. Maksud didirikannya SPMC adalah untuk melakukan akreditasi dan sertifikasi terhadap BDS. Adapun tujuan SPMC adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas BDS.
Para peserta lokakarya juga merumuskan beberapa hal atau kondisi yang harus dipenuhi atau disiapkan agar Kelembagaan SPMC dapat beroperasi, yaitu sebagai berikut:[7]
1.     Keberadaan status kelembagaan SPMC yang mandiri dan berkesinambungan harus didukung oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat dengan Bank Indonesia Bandung.
2.  Dana awal Pendirian dan Operasional SPMC tersedia. Tersedianya Dana Awal yang cukup memadai untuk biaya operasionalnya. Juga tersedia Sarana dan Prasarana kebutuhan kantor yang memadai untuk mendukung kelancaran kerja Tim Manajemen SPMC.
3.      Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga SPMC tersedia/tersusun.
4.  Struktur organisasi kelembagaan SPMC harus jelas dan operasional sesuai dengan standar profesionalisme yang diperlukan, bukan semata-mata karena kebutuhan pemerataan dan bagi-bagi jabatan. Selain itu, SPMC harus memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan dalam pemberian jasa layanan perbankan terhadap KUKM.
5.      Pengelola SPMC yang profesional terbentuk. Kelembagaan SPMC dikelola oleh Tim Manajemen Profesional sesuai dengan bidang keahlian dan ruang lingkup yang dibutuhkan organisasinya dalam menjalankan Visi dan Misinya.
6.    Perencanaan dan Program kerja SPMC sudah disusun. Lembaga SPMC memiliki program kerja yang jelas sesuai dengan kepentingan.

Para peserta lokakarya merasa yakin betul bahwa Kelembagaan SPMC yang mandiri dan berkesinambungan akan dapat beroperasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat KUKM dan Lembaga Keuangan serta BDS-BDS, jika dikelola dengan cara-cara yang profesional dalam mencapai tujuan untuk memajukan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Jawa Barat.
Selain itu, para peserta juga berharap agar komitmen-komitmen yang telah dibangun para peserta selama lokakarya LFA berlangsung betul-betul dapat dijalankan sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing lembaga yang diwakilinya. Agar Kelembagaan SPMC dapat segera dioperasionalkan, maka untuk dana awal pendiriannya akan difasilitasi oleh Pemda Jawa Barat dan Kantor Bank Indonesia Bandung.
Dalam rangka menindaklanjuti hasil rumusan LFA tersebut, maka Tim Pembentukan SPMC mulai intensif bekerja mempersiapkan segala sesuatunya, antara lain: (a). Mempersiapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Bank Indonesia dengan Pemda Jawa Barat; (b) Membuat Rencana Anggaran Belanja dan Kegiatan (RABK) serta memastikan sumber dananya; (c) Penyusunan AD/ART dan lgalisasinya; (d) Rekrutmen Pengelola SPMC yang professional; dan (e) Menyusun Perencanaan dan Program Kerja Tahun Pertama.
Atas persetujuan dari Kantor Pusat Swisscontact (di Jakarta) maupun Pimpinan Proyek BUDBIN (di Bandung), untuk selanjutnya saya menjadi anggota Tim Pembentukan SPMC yang diprakarsai Bank Indonesia Bandung tersebut. Secara bertahap saya pun mendapat dispensasi untuk mengalokasikan waktu yang lebih banyak dalam rangka memperkuat Tim tersebut, dan mengurangi tugas pokok saya di BUDBIN.

5. Kesepakatan Bersama Bank Indonesia dengan Pemprov Jawa Barat
Description: MOUSetelah pelaksanaan LFA, salah satu tonggak sejarah dalam pembentukan P3UKM adalah penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Bank Indonesia (diwakili Deputi Gubernur Maulana Ibrahim) dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (diwakili R. Nuriana, Gubernur Jawa Barat) pada 13 Februari 2003, nomor 5/49/BKr/Perjanjian.
                                                           518/28/Sarek.
Kerjasama ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kualitas Lembaga Jasa Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (Business Development ServiceProvider/BDSP), dan bersepakat untuk membentuk Pusat Pembinaan Lembaga Jasa Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (ServiceProvider Management Center/SPMC).[1]
Kesepakatan Kerjasama ini berlangsung selama 6 (enam) bulan; dan dalam masa tersebut perlu dilakukan persiapan untuk melaksanakan peresmiannya.

6.     Swisscontact sebagai Pengembang BDS dan Program Akses Keuangan
Kehadiran Swisscontact dalam proses pembentukan SPMC semata-mata karena alasan kesamaan visi untuk mengembangkan UKM di Indonesia, khususnya untuk program akses keuangan. Berdasarkan pengalaman pengembangan UKM dengan pola BDS sejak akhir 1990-an, Swisscontact melihat bahwa pendirian SPMC akan menjadi tonggak sejarah yang penting dalam upaya pengembangan UKM di Indonesia. Ketika Swisscontact pertamakali memulai pendekatan BDS-nya pada awal tahun 1990-an itu, BDS masih merupakan kata yang asing bagi sebagian besar mitranya di Indonesia. Pada masa-masa itu, dukungan terhadap UKM kurang lebih sebagai kegiatan sosial, sebagai proyek, yang dibiayai baik oleh Donor maupun Pemerintah.
Situasi telah berubah: Pengembangan BDS telah menjadi konsep yang sangat menonjol dalam kaitan dengan promosi UKM, di kalangan Pemerintah, Donor maupun stakeholder. Secara bersamaan, ada peningkatan pemahaman bahwa BDS akan lebih efisien kalau disediakan oleh sektor swasta dengan basis komersial daripada berbasis proyek. Perubahan paradigma ini mencerminkan tahapan yang penting untuk mengarah ke penyediaan BDS yang berorientasi permintaan (demand orientation) dan berkelanjutan (sustainability). Membangun pasar bagi BDS telah menjadi isyu kunci di masa lalu, dan kini terbuka suatu kesempatan yang baik sekali untuk melangkah ke depan dalam arah ini.
Prakarsa Bank Indonesia untuk mendirikan SPMC, yang pada dasarnya merupakan gagasan untuk menyambungkan layanan keuangan dengan layanan non-keuangan bagi UKM, akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat: Bank, PUKM, dan UKM.
Swisscontact menyambut baik, bahwa dalam penataan kelembagaan SPMC menyarankan adanya Tim Penasihat (advisory board), yang dimaksudkan untuk mendapatkan akses terhadap keahlian dalam rangka pengembangan SPMC di masa depan. Swisscontact berkomitmen untuk mendukung pendirian SPMC, dan akan menyertakan pengalamannya dalam pengembangan BDS di Indonesia maupun dalam tataran dunia.
Namun demikian, mengingat SPMC merupakan lembaga baru dan belum ada contoh yang dapat dijadikan acuan, maka untuk mencapai keberhasilan prakarsa tersebut, SPMC akan menghadapi sejumlah tantangan yang sangat penting. Pertama, memfasilitasi kerjasama yang lebih erat antara bank dengan PUKM: Bank dan PUKM harus berhati-hati dalam mendefinisikan jasa-jasa apa yang akan disediakan PUKM, terkait dengan kebutuhan dan kendala UKM, serta persyaratan yang diajukan bank dan PUKM. Bank partisipan dan PUKM perlu duduk bersama untuk membahas secara seksama jasa-jasa tersebut, apa yang diinginkan, dan bagaimana jasa-jasa tersebut di-delivery. SPMC tentunya akan berperanan penting dalam memfasilitasi dialog antara bank dengan PUKM tersebut.
Kedua, definisi standar kualitas untuk jasa-jasa yang disediakan: Baik bank maupun UKM perlu mendapat jaminan bahwa jasa-jasa yang akan diperolehnya mempunyai standar kualitas yang jelas. Sebaliknya, baik bank maupun UKM tidak akan memperoleh manfaat tanpa kerjasama dengan PUKM. Kebutuhan untuk menjamin kualitas memerlukan sistem sertifikasi bagi jasa-jasa, yang harus dibangun dari dua unsur pokok, yakni: keterampilan teknis, serta kinerja track record dan pengalaman PUKM.
Ketiga, proses sertifikasi yang transparan dan adil: Pengenalan sistem sertifikasi harus dibangun dengan cara menjamin bahwa semua PUKM yang berminat mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Proses sertifikasi yang tidak transparan dan tidak adil akhirnya akan mendistorsi pasar dan meruntuhkan kepercayaan dari semua mitra, dan  akan berakhir dengan kegagalan proyek. Rancangan yang hati-hati dan implementasi dari setiap proses sertifikasi merupakan salahsatu tantangan terbesar SPMC.
Keempat, keberlanjutan (sustainability): Pendirian SPMC mensyaratkan orientasi yang jelas-jelas mengarah pada keberlanjutan agar memungkinkan bagi SPMC untuk mencapai fungsinya yang penting, bukan hanya sebagai proyek yang waktunya terbatas, melainkan sebagai lembaga yang permanen. Karena itu, SPMC harus dipahami sebagai entitas dan investasi komersial atau semi-komersial, bukannya sebagai proyek.
Kelima, terus belajar dan melakukan penyesuaian konsep: Dalam beberapa hal, SPMC merupakan proyek baru di Indonesia dan juga secara internasional, sehingga tidak cukup tersedia pengalaman dari prakarsa yang sama. Evaluasi yang terus menerus dan sistematis terhadap pengalaman kiranya akan merupakan unsur yang penting dalam proyek ini. Hasil dari pembelajaran tersebut akan merupakan dasar bagi pengembangan dan penyesuaian konsep lebih lanjut, yang akan sangat penting artinya bagi perluasan proyek di tempat lain.

Selanjutnya, lihat Sejarah Pemikiran (2).



(1) Makalah disampaikan pada Temu Nasional Pendamping, di Tasikmalaya 18-20 Juni 2013.
(2) Tika Noorjaya adalah Manajer P3UKM pertama (Juli 2003 – Oktober 2006), yang sejak awal turut serta dalam proses pembentukan P3UKM – bersama-sama dengan anggota Tim Pembentukan SPMC yang dikoordinasikan oleh Bank Indonesia Bandung.
(3) Keenam langkah pengembangan UKM yang waktu itu telah ditempuh Bank Indonesia Bandung adalah: Penelitian, Pelatihan, Bazaar Intermediasi (Temu Bisnis Pengusaha Kecil & Menengah dengan Perbankan), Workshop, Roadshow, dan Mendorong pembentukan UKM center. Langkah ketujuh adalah membentuk Service Provider Management Center (SPMC), sebagai cikal bakal P3UKM (bahan presentasi Pemimpin Bank Indonesia Bandung saat itu, Djoko Sarwono).
(4) Kehadiran saya dalam seminar tersebut terjadi secara kebetulan, karena dua orang Konsultan PUKM Bank Indonesia Bandung saat itu (Sjahril Bermawan dan Hamid Ba’agil) adalah kolega saya sewaktu saya bekerja di Bank Indonesia. Demikian pula saya telah mengenal salah seorang Staf Bank Indonesia Bandung (Usep Sukarya) sewaktu yang bersangkutan bekerja di Bank Indonesia Kupang.
(5) Abdul Salam saat itu adalah Direktur Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat, namun dalam perjalanan karir sebelumnya sangat berpengalaman dalam upaya pengembangan usaha kecil di Bank Indonesia. Kegiatan yang disarankannya ini pun bahkan lebih merupakan turunan dari beberapa proyek yang dikembangkan Bank Indonesia sebelumnya, seperti PPUK (Proyek Pengembangan Usaha Kecil), PHBK (Proyek Hubungan Bank Dengan Kelompok Swadaya Masyarakat) dan PKM (Proyek Kredit Mikro). Proyek-proyek tersebut dikelola secara interen oleh Bank Indonesia dengan merekrut sejumlah konsultan – berbeda dengan P3UKM yang melibatkan berbagai pihak terkait. Selain itu, paparan Abdul Salam tentang BDS (Caption 8-10), mengutip dari Swisscontact, sebagai LSM yang pertama kali memperkenalkan istilah ini (BDS) dalam pengembangan UKM di Indonesia.
(6)Meskipun di kemudian hari dalam banyak hal terdapat perbedaan dan penyesuaian (hasil dari berbagai diskusi dan pembahasan Tim Pembentukan SPMC), pada dasarnya inilah cikal bakal gagasan pendirian P3UKM.
(7) Dalam Laporan Hasil Lokakarya yang asli terumuskan 12 usulan, namun saya mengelompokannya menjadi 6 (enam) masalah pokok, dengan menghindari pengulangan gagasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar