Sejarah Pemikiran dan Proses
Pembentukan P3UKM: Kilas Balik untuk Acuan Pengembangan Pendamping UMKM di Masa
Depan[1]
Oleh Tika Noorjaya[2]
1.
Pengantar
Pusat Pengembangan Pendamping Usaha Kecil dan
Menengah (P3UKM) secara resmi didirikan pada 11 Juli
2003, sebagai realisasi dari Kesepakatan Bersama antara Bank Indonesia dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 13 Februari 2003.
Namun demikian, sejarah pemikiran dan proses pembentukannya dapat
ditelusuri jauh surut ke belakang, melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholders) yang peduli terhadap
pengembangan UKM, khususnya di Jawa Barat. Dalam hal ini, Bank Indonesia
Bandung haruslah diakui sebagai pemuka dari gagasan ini, yang kemudian bersama-sama
dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mensosialisasikannya ke berbagai pihak
terkait, yang dalam perjalanannya kemudian menjadi pendiri awal lembaga ini.
Tulisan ini secara ringkas akan mengungkapkan kondisi dan peranan
UKM dalam perekonomian, serta secara garis besar memaparkan latar belakang pendirian
dan proses pembentukan, struktur organisasi, produk dan perkembangan P3UKM –
yang pada mulanya bernama Service Provider Management Unit (SPMU) atau Service
Provider Management Center (SPMC). Selain itu, agar tidak sekadar mengail masa
lalu, maka dalam tulisan ini dikemukakan beberapa permasalahan kekinian dan
saran untuk penyempurnaannya agar lembaga semacam ini tetap bisa berkiprah
dalam pengembangan UKM di masa depan.
2. Peranan UKM dalam Perekonomian
2. Peranan UKM dalam Perekonomian
Keadaan Usaha Kecil
dan Menengah (UKM) di Jawa Barat hampir merupakan cerminan dari kondisi UKM
nasional. Mereka merupakan pelaku usaha yang peranannya sangat penting dalam
perekonomian, yang dapat ditunjukkan dengan jumlah unit usahanya yang dominan,
kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), penampung
lapangan kerja yang cukup banyak, nilai investasi yang cukup tinggi, pangsanya
dalam perolehan devisa, dan lain-lain. Berbagai studi juga memberikan
rasionalitas yang cukup jelas tentang peranan UKM di masa depan, berdasarkan
pengalaman di beberapa negara maju.
Tak
mengherankan kalau banyak Departemen dan Kementrian yang memiliki program
terkait dengan pengembangan UKM, di samping hampir semua Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) memiliki program community
development untuk UKM. Demikian pula, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), lembaga asing dan donor, memberikan perhatian terhadap pengembangan UKM.
Bank Indonesia, perbankan dan lembaga keuangan lainnya pun mempunyai andil dalam
pengembangan UKM nasional.
Namun demikian,
kenyataannya, cita-cita membangun UKM belumlah sesuai dengan harapan. Masih
banyak permasalahan mendasar yang belum tertangani dengan baik, termasuk akses
UKM ke lembaga keuangan. Memang banyak UKM yang berkembang, tapi masih lebih
banyak lagi yang belum tersentuh perbankan. Fungsi intermediasi
perbankan belum berjalan dengan baik. Persoalan aksesabilitas perbankan juga dapat didekati dan dipahami
dengan dikotomi feasibilitas dan bankabilitas. UKM yang potensial (feasible) dapat memberikan keuntungan
yang relatif tinggi, meskipun dalam beberapa hal memiliki tingkat risiko yang
tinggi pula. Sementara itu UKM memiliki kesulitan dan kendala dalam memperoleh
permodalan dari perbankan untuk mengembangkan usaha. Di sisi lain, persoalan
prosedur dan persyaratan seperti perijinan dan administrasi atau pembukuan usaha, tidak dimiliki oleh UKM.
Padahal bagi bank, hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam melaksanakan
analisis kredit sesuai asas kehati-hatian (prudent
banking system). Kesenjangan kondisi antara supply dan demand dalam
hubungan kredit antara perbankan dan UKM inilah yang perlu dicarikan solusi dan jalan terbaik.
Di Jawa Barat, selain keterbatasan akses UKM terhadap pembiayaan perbankan serta terbatasnya
informasi dan sumber daya perbankan dalam melayani UKM;
juga ada potensi lain dari besarnya jumlah Pendamping UKM atau Business Development Service Provider (BDSP), sekalipun jasa yang
ditawarkannya kurang relevan dengan kebutuhan UKM dan perbankan.
Dengan latar belakang demikian, maka penetapan P3UKM sebagai
percontohan (pilot project) bagi
pengembangan lembaga UKM melalui penguatan lembaga pendampingan, khususnya
dalam rangka mengakseskan UKM terhadap lembaga keuangan/perbankan, kiranya
merupakan suatu langkah yang harus terus menerus disempurnakan, sehingga pada
saatnya, di masa depan, dapat dijadikan acuan secara nasional.
3.
Langkah Ketujuh
Dari sisi Bank Indonesia Bandung saat itu, upaya untuk membentuk P3UKM merupakan langkah
ketujuh dalam pengembangan UKM di Jawa Barat, sebagai penggenap dari enam
langkah yang telah ditempuh sebelumnya.[3]
Langkah ketujuh tersebut, kiranya merupakan tindak-lanjut dari suatu seminar
pada 3 Oktober 2002.[4]
Saat itu, Bank Indonesia Bandung menghadirkan Abdul Salam,[5]
yang memaparkan makalah berjudul “Meningkatkan Peran Service Provider Management Unit dalam Pengembangan UKM”. Tujuan dari
pendirian lembaga ini adalah untuk memberdayakan BDSP (Business Development Service Provider) dalam aspek keuangan, dan sebagai
perekat (interlock) antara BDSP
dengan perbankan. Tak lupa dikemukakan enam milestones,
yaitu: (1) SPMU melakukan identifikasi BDS potensial dan membuat short listed BDS; (2) SPMU memberikan training bersertifikasi, misalnya dalam
bidang restrukturisasi dan konsultansi; (3) BDS membuat MoU dengan perbankan;
(4) BDS mengidentifikasi UKM yang feasible
untuk memperoleh akses pendanaan dan menawarkan kepada bank; (5) Bank
menetapkan pilihan atas UKM; dan (6) Bank berkoordinasi/melapor ke SPMU.[6]
Saya merasa bahwa gagasan tersebut gayung-bersambut dengan pekerjaan
kami di BUDBIN (Business Development Baddenwurtemberg-Indonesia), suatu proyek
Swisscontact untuk membantu pendirian sejumlah BDC (Business Development Center)
pendukung UKM di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Karena itu, saya melaporkan hasil
diskusi tersebut baik kepada Karl Heinz Zinnecker (Project Manager BUDBIN) maupun kepada Peter Bissegger, Swisscontact Resident Representative Indonesia.
Bahkan, dalam pertemuan 5 November 2002 di Bank Indonesia Bandung, saya
mengajak Zinnecker, yang kemudian mempresentasikan program BUDBIN, lengkap
dengan pendekatan dan daftar sejumlah BDSP yang terdaftar di Swisscontact.
BUDBIN-Swisscontact juga mengajukan keinginan untuk turut berkontribusi dalam
P3UKM ke depan dengan mengajukan konsep mekanisme kerja SPMU, proses seleksi,
sertifikasi dan monitoring.
Kedua pertemuan tersebut (3 Oktober 2002 dan 5 November 2002) secara
umum dihadiri oleh Perwakilan Lembaga Keuangan/Perbankan, Pemda Jawa Barat/Dinas
Koperasi dan UKM, Perguruan Tinggi, Kadinda Jawa Barat dan Kota Bandung, Pelaku
UKM dan Lembaga Pengembangan UKM di Jawa Barat.
Pada prinsipnya seluruh peserta yang hadir memahami dan menanggapi
secara positif mengenai konsep SPMC sebagai suatu lembaga yang berperan dalam
upaya meningkatkan kualitas dan produktivitas pelayanan dan sertifikasi BDS
yang ada di Jawa Barat. Mereka bersepakat untuk menindaklanjuti rumusan hasil
diskusi dengan membentuk Tim Pembentukan SPMC.
4.
Lokakarya Logical Framework Approach (LFA)
Salah satu kegiatan Tim Pembentukan SPMC adalah menghadiri Workshop Logical Framework Approach (LFA),
yang diselenggarakan di Bandung Giri Gahana Golf & Resort, Jatinangor pada
13-14 Desember 2002 untuk menyusun Rencana Operasionalisasi Kelembagaan SPMC yang
Mandiri dan Berkesinambungan. Lokakarya ini merupakan kerjasama Bank Indonesia
dengan Pusat Inkubator Bisnis Ikopin (PIBI-Ikopin), sebagai pemandu penyusunan
LFA. Pada hari Pertama, Lokakarya dibuka dan dimulai dari jam 20.00 WIB sampai
jam 23.30 WIB. Pada hari Kedua, dimulai dari jam 08.00 WIB sampai jam 21.00
WIB, diselingi tiga kali waktu istirahat. Peserta yang hadir selama Lokakarya adalah
23 orang, dari 24 calon peserta/ lembaga yang diundang.
Berdasarkan hasil kesepakatan para peserta lokakarya,
dirumuskanlah bahwa yang dimaksud dengan “SPMC yang Mandiri dan Berkesinambungan” adalah suatu
lembaga independen yang terdiri dari unsur-unsur: Pemda Jabar/Dinas Teknis
Terkait, Bank Indonesia, Lembaga Keuangan/Perbankan, Perwakilan Pengusaha,
Perguruan Tinggi, dan Perwakilan BDS untuk meningkatkan peran dan
profesionalisme BDS melalui kegiatan seleksi, pendidikan dan latihan,
sertifikasi, dan supervisi.
Dari hasil diskusi, para peserta merumuskan bahwa Misi SPMC adalah menjadi perekat hubungan BDS dan KUKM dengan
Lembaga Keuangan; sedangkan visi SPMC
adalah menjadikan BDS profesional dan kredibel. Maksud didirikannya SPMC adalah untuk melakukan akreditasi dan sertifikasi
terhadap BDS. Adapun tujuan SPMC adalah
untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas BDS.
Para peserta lokakarya juga merumuskan beberapa hal atau
kondisi yang harus dipenuhi atau disiapkan agar Kelembagaan SPMC dapat
beroperasi, yaitu sebagai berikut:[7]
1.
Keberadaan status kelembagaan
SPMC yang mandiri dan berkesinambungan harus didukung oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa
Barat dengan Bank Indonesia
Bandung.
2.
Dana awal Pendirian dan Operasional SPMC tersedia.
Tersedianya Dana Awal yang cukup
memadai untuk biaya operasionalnya. Juga tersedia Sarana dan Prasarana kebutuhan kantor yang memadai untuk mendukung
kelancaran kerja Tim Manajemen SPMC.
3.
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga SPMC
tersedia/tersusun.
4.
Struktur organisasi kelembagaan SPMC harus jelas
dan operasional sesuai dengan standar profesionalisme yang diperlukan, bukan
semata-mata karena kebutuhan pemerataan dan bagi-bagi jabatan. Selain itu, SPMC
harus memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
kebijakan dalam pemberian jasa layanan perbankan terhadap KUKM.
5.
Pengelola SPMC yang profesional terbentuk.
Kelembagaan SPMC dikelola oleh Tim
Manajemen Profesional sesuai dengan bidang keahlian dan ruang lingkup
yang dibutuhkan organisasinya dalam menjalankan Visi dan Misinya.
6.
Perencanaan dan Program kerja SPMC sudah disusun.
Lembaga SPMC memiliki program kerja
yang jelas sesuai dengan kepentingan.
Para peserta lokakarya merasa yakin betul bahwa
Kelembagaan SPMC yang mandiri dan berkesinambungan akan dapat beroperasi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat KUKM dan Lembaga Keuangan serta BDS-BDS, jika dikelola
dengan cara-cara yang profesional dalam mencapai tujuan untuk memajukan
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Jawa Barat.
Selain itu, para peserta juga berharap agar komitmen-komitmen yang telah
dibangun para peserta selama lokakarya LFA berlangsung betul-betul dapat
dijalankan sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing lembaga yang
diwakilinya. Agar Kelembagaan SPMC dapat segera dioperasionalkan, maka untuk dana awal pendiriannya akan
difasilitasi oleh Pemda Jawa Barat dan Kantor Bank Indonesia Bandung.
Dalam rangka menindaklanjuti hasil rumusan LFA tersebut, maka Tim
Pembentukan SPMC mulai intensif bekerja mempersiapkan segala sesuatunya, antara
lain: (a). Mempersiapkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Bank Indonesia
dengan Pemda Jawa Barat; (b) Membuat Rencana Anggaran Belanja dan Kegiatan
(RABK) serta memastikan sumber dananya; (c) Penyusunan AD/ART dan lgalisasinya;
(d) Rekrutmen Pengelola SPMC yang professional; dan (e) Menyusun Perencanaan
dan Program Kerja Tahun Pertama.
Atas persetujuan dari Kantor Pusat Swisscontact (di Jakarta) maupun
Pimpinan Proyek BUDBIN (di Bandung), untuk selanjutnya saya menjadi anggota Tim
Pembentukan SPMC yang diprakarsai Bank Indonesia Bandung tersebut. Secara
bertahap saya pun mendapat dispensasi untuk mengalokasikan waktu yang lebih
banyak dalam rangka memperkuat Tim tersebut, dan mengurangi tugas pokok saya di
BUDBIN.
5. Kesepakatan Bersama Bank
Indonesia dengan Pemprov Jawa Barat
Setelah pelaksanaan LFA, salah satu tonggak sejarah dalam
pembentukan P3UKM adalah penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Bank
Indonesia (diwakili Deputi Gubernur Maulana Ibrahim) dengan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat (diwakili R. Nuriana, Gubernur Jawa Barat) pada 13 Februari 2003,
nomor 5/49/BKr/Perjanjian.
518/28/Sarek.
Kerjasama ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan
produktivitas dan kualitas Lembaga Jasa Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (Business Development ServiceProvider/BDSP),
dan bersepakat untuk membentuk Pusat Pembinaan Lembaga Jasa Pengembangan Usaha
Kecil dan Menengah (ServiceProvider
Management Center/SPMC).[1]
Kesepakatan Kerjasama ini berlangsung selama 6 (enam)
bulan; dan dalam masa tersebut perlu dilakukan persiapan untuk melaksanakan
peresmiannya.
6.
Swisscontact sebagai
Pengembang BDS dan Program Akses Keuangan
Kehadiran Swisscontact dalam proses pembentukan SPMC semata-mata
karena alasan kesamaan visi untuk mengembangkan UKM di Indonesia, khususnya
untuk program akses keuangan. Berdasarkan pengalaman pengembangan UKM dengan
pola BDS sejak akhir 1990-an, Swisscontact melihat bahwa pendirian SPMC akan
menjadi tonggak sejarah yang penting dalam upaya pengembangan UKM di Indonesia.
Ketika Swisscontact pertamakali memulai pendekatan BDS-nya pada awal tahun
1990-an itu, BDS masih merupakan kata yang asing bagi sebagian besar mitranya di
Indonesia. Pada masa-masa itu, dukungan terhadap UKM kurang lebih sebagai
kegiatan sosial, sebagai proyek, yang dibiayai baik oleh Donor maupun
Pemerintah.
Situasi telah berubah: Pengembangan BDS telah menjadi konsep yang
sangat menonjol dalam kaitan dengan promosi UKM, di kalangan Pemerintah, Donor
maupun stakeholder. Secara bersamaan, ada peningkatan pemahaman bahwa
BDS akan lebih efisien kalau disediakan oleh sektor swasta dengan basis
komersial daripada berbasis proyek. Perubahan paradigma ini mencerminkan
tahapan yang penting untuk mengarah ke penyediaan BDS yang berorientasi
permintaan (demand orientation) dan berkelanjutan (sustainability).
Membangun pasar bagi BDS telah menjadi isyu kunci di masa lalu, dan kini
terbuka suatu kesempatan yang baik sekali untuk melangkah ke depan dalam arah
ini.
Prakarsa Bank Indonesia untuk mendirikan SPMC, yang pada dasarnya
merupakan gagasan untuk menyambungkan layanan keuangan dengan layanan
non-keuangan bagi UKM, akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat:
Bank, PUKM, dan UKM.
Swisscontact menyambut baik, bahwa dalam penataan kelembagaan SPMC
menyarankan adanya Tim Penasihat (advisory board), yang dimaksudkan
untuk mendapatkan akses terhadap keahlian dalam rangka pengembangan SPMC di
masa depan. Swisscontact berkomitmen untuk mendukung pendirian SPMC, dan akan
menyertakan pengalamannya dalam pengembangan BDS di Indonesia maupun dalam
tataran dunia.
Namun demikian, mengingat SPMC merupakan lembaga baru dan belum ada
contoh yang dapat dijadikan acuan, maka untuk mencapai keberhasilan prakarsa
tersebut, SPMC akan menghadapi sejumlah tantangan yang sangat penting. Pertama,
memfasilitasi kerjasama yang lebih erat antara bank dengan PUKM: Bank
dan PUKM harus berhati-hati dalam mendefinisikan jasa-jasa apa yang akan disediakan
PUKM, terkait dengan kebutuhan dan kendala UKM, serta persyaratan yang diajukan
bank dan PUKM. Bank partisipan dan PUKM perlu duduk bersama untuk membahas
secara seksama jasa-jasa tersebut, apa yang diinginkan, dan bagaimana jasa-jasa
tersebut di-delivery. SPMC tentunya akan berperanan penting dalam
memfasilitasi dialog antara bank dengan PUKM tersebut.
Kedua, definisi standar kualitas
untuk jasa-jasa yang disediakan: Baik bank maupun UKM perlu mendapat jaminan
bahwa jasa-jasa yang akan diperolehnya mempunyai standar kualitas yang jelas.
Sebaliknya, baik bank maupun UKM tidak akan memperoleh manfaat tanpa kerjasama
dengan PUKM. Kebutuhan untuk menjamin kualitas memerlukan sistem sertifikasi
bagi jasa-jasa, yang harus dibangun dari dua unsur pokok, yakni: keterampilan
teknis, serta kinerja track record dan pengalaman PUKM.
Ketiga, proses sertifikasi yang
transparan dan adil: Pengenalan sistem sertifikasi harus dibangun dengan cara
menjamin bahwa semua PUKM yang berminat mempunyai kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi. Proses sertifikasi yang tidak transparan dan tidak adil
akhirnya akan mendistorsi pasar dan meruntuhkan kepercayaan dari semua mitra,
dan akan berakhir dengan kegagalan
proyek. Rancangan yang hati-hati dan implementasi dari setiap proses
sertifikasi merupakan salahsatu tantangan terbesar SPMC.
Keempat, keberlanjutan (sustainability): Pendirian SPMC
mensyaratkan orientasi yang jelas-jelas mengarah pada keberlanjutan agar
memungkinkan bagi SPMC untuk mencapai fungsinya yang penting, bukan hanya
sebagai proyek yang waktunya terbatas, melainkan sebagai lembaga yang permanen.
Karena itu, SPMC harus dipahami sebagai entitas dan investasi komersial atau
semi-komersial, bukannya sebagai proyek.
Kelima, terus belajar dan melakukan
penyesuaian konsep: Dalam beberapa hal, SPMC merupakan proyek baru di Indonesia
dan juga secara internasional, sehingga tidak cukup tersedia pengalaman dari
prakarsa yang sama. Evaluasi yang terus menerus dan sistematis terhadap
pengalaman kiranya akan merupakan unsur yang penting dalam proyek ini. Hasil
dari pembelajaran tersebut akan merupakan dasar bagi pengembangan dan
penyesuaian konsep lebih lanjut, yang akan sangat penting artinya bagi
perluasan proyek di tempat lain.
Selanjutnya, lihat Sejarah Pemikiran (2).
(1) Makalah disampaikan pada Temu Nasional Pendamping, di Tasikmalaya 18-20 Juni 2013.
(2) Tika Noorjaya adalah Manajer P3UKM pertama (Juli 2003 – Oktober
2006), yang sejak awal turut serta dalam proses pembentukan P3UKM –
bersama-sama dengan anggota Tim Pembentukan SPMC yang dikoordinasikan oleh Bank
Indonesia Bandung.
(3) Keenam langkah pengembangan UKM yang waktu itu telah ditempuh Bank
Indonesia Bandung adalah: Penelitian, Pelatihan, Bazaar
Intermediasi (Temu Bisnis Pengusaha Kecil & Menengah dengan Perbankan), Workshop,
Roadshow, dan Mendorong pembentukan UKM center. Langkah ketujuh adalah membentuk
Service Provider Management Center (SPMC), sebagai cikal bakal P3UKM
(bahan presentasi Pemimpin Bank Indonesia Bandung saat itu, Djoko Sarwono).
(4) Kehadiran saya dalam seminar tersebut terjadi secara kebetulan,
karena dua orang Konsultan PUKM Bank Indonesia Bandung saat itu (Sjahril
Bermawan dan Hamid Ba’agil) adalah kolega saya sewaktu saya bekerja di Bank
Indonesia. Demikian pula saya telah mengenal salah seorang Staf Bank Indonesia
Bandung (Usep Sukarya) sewaktu yang bersangkutan bekerja di Bank Indonesia
Kupang.
(5) Abdul Salam saat itu adalah Direktur Direktorat Pengawasan Bank
Perkreditan Rakyat, namun dalam perjalanan karir sebelumnya sangat berpengalaman
dalam upaya pengembangan usaha kecil di Bank Indonesia. Kegiatan yang
disarankannya ini pun bahkan lebih merupakan turunan dari beberapa proyek yang
dikembangkan Bank Indonesia sebelumnya, seperti PPUK (Proyek Pengembangan Usaha
Kecil), PHBK (Proyek Hubungan Bank Dengan Kelompok Swadaya Masyarakat) dan PKM
(Proyek Kredit Mikro). Proyek-proyek tersebut dikelola secara interen oleh Bank
Indonesia dengan merekrut sejumlah konsultan – berbeda dengan P3UKM yang
melibatkan berbagai pihak terkait. Selain itu, paparan Abdul Salam tentang BDS
(Caption 8-10), mengutip dari
Swisscontact, sebagai LSM yang pertama kali memperkenalkan istilah ini (BDS)
dalam pengembangan UKM di Indonesia.
(6)Meskipun di kemudian hari
dalam banyak hal terdapat perbedaan dan penyesuaian (hasil dari berbagai
diskusi dan pembahasan Tim Pembentukan SPMC), pada dasarnya inilah cikal bakal
gagasan pendirian P3UKM.
(7) Dalam Laporan Hasil
Lokakarya yang asli terumuskan 12 usulan, namun saya mengelompokannya menjadi 6
(enam) masalah pokok, dengan menghindari pengulangan gagasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar