Senin, 27 April 2015

Jalur Sempit Pelayaran Antarpulau



JALUR SEMPIT PELAYARAN ANTARPULAU
Oleh Tika Noorjaya

Nenek moyang kita adalah pelaut ulung, yang kemampuannya mengarungi lautan bahkan sempat membawanya ke Madagaskar, Afrika. Keulungan di laut, bahkan sempat melahirkan semboyan kejayaan dunia kelautan kita, Jalesveva Jayamahe ! Hal ini barangkali berkaitan dengan kondisi “negara” kita yang memang terdiri dari ribuan pulau, di mana untuk berhubungan satu sama lain, pada waktu itu, jelas hanya mungkin melalui laut. Barangkali, hal itu juga berkaitan dengan konsep keunggulan komparatif bagi masing-masing pulau, demikianlah, kita kenal berbagai kepulauan menspesialisasasikan diri dan memperdagangkan komoditi tertentu, yang pada akhirnya melahirkan sebuah industri: industri pelayaran antarpulau – sebuah industri yang bagi negara bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika”, kiranya, hanya beberapa industri sajalah yang peranan pentingnya melebihi atau menyamai industri ini.
Apakah kejayaan di lautan itu, khususnya dalam kaitan ekonomi, juga diwarisi dalam kondisi masa kini? Dengan mengkaji buku ini pertanyaan tersebut dengan berat hati harus dijaab dengan “Tidak !” – sekalipun kita lihat juga berbagai upaya pemerintah untuk menata industri ini, antara lain lewat Inpres nomor 4/1985 dan Pakto 21/1988, yang keduanya mengacu pada deregulasi.

**

SETELAH Pendahuluan pada Bab I, secara umum pembahasan dalam buku ini dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yakni sejarah, pasar, perusahaan, dan regulasi. Dalam Bab II yang mengulas sejarah secara panjang-lebar, ditunjukkan bahwa industri ini telah berjalan sejak kurun waktu penjajahan dengan perhatian utama pada perkembangan kebijakan pemerintah pascakemerdekaan. Bagian yang membahas “Pasar” terdiri dari dua bab, yakni “Struktur Pasar dan Persaingan” (Bab III) dan “Dampak Persaingan” (Bab IV) yang diukur dengan maju-mundurnya perusahaan dan redistribusi pangsa pasar. Pembahasan mengenai “Perusahaan” juga terdiri dari dua bab; yang pertama menyajikan suatu gambaran umum tentang “Perusahaan Swasta” (Bab V), dan yang kedua rincian pandangan mengenai Pelni (Bab VI). Pembahasan mengenai “Regulasi” dikaitkan kembali dengan tinjauan sejarah dan merupakan penyelidikan yang lebih mendalam tentang kebijakan dalam bidang “Prasarana” (Bab VII), “Perizinan dan Pengendalian” (Bab VIII), “Kebijakan Investasi” (Bab IX), serta “Pengaturan Tarif Angkutan Laut” (Bab X), sambil menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, baik secara umum maupun secara khusus, peraturan telah gagal untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Bab XI (“Kesimpulan”) mengkaji masalah keefektifan regulasi dengan membahas alasan-alasan keberatan dan keberlangsungan regulasi tersebut serta prospek perubahannya.

***

SEKALIPUN Dick dengan tegas menyatakan bahwa buku ini bertujuan “melakukan analisis ekonomi atas prestasi dan kebijakan di bidang industri pelayaran antarpulau yang sangat vital sejak Indonesia merdeka”, namun karena analisis tersebut dilakukan dengan pendekatan teoritis, statistik dan sejarah ekonomi, maka di samping berbagai temuan dan saran kita juga disodori uraian yang jarang dilakukan para ekonom kita, yakni sejarah – dalam hal ini sejarah pelayaran antarpulau yang dimulai sejak pelayaran reguler pertama pada tahun 1850. Bahkan, di situlah justru letak kekuatan buku ini, dan karenanya tidak mengurangi arti penting buku ini sekalipun tidak menyertakan perkembangan terakhir, seperti halnya dengan penerbitan kebijakan Pakno 21/1988.
Menarik untuk mengutip kesimpulannya bahwa kinerja industri pelayaran antarpulau yang menyedihkan merupakan hasil akhir dari kekuatan-kekuatan persaingan (pasar) dan regulasi, yang seringkali bertentangan. Meskipun regulasi itu dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, namun beberapa peraturan justru memperlemah keefektifan persaingan (pasar). Di lain pihak, persaingan pasar dapat menghambat pelaksanaan kebijakan pemerintah. Hasil akhirnya? Tak pelak lagi: ketidakefisienan dan ketidakmerataan.
Secara otoritatif, buku ini menyajikan gambaran mengapa hal ini terus berlangsung dalam industri pelayaran antarpulau kita, di mana korupsi ditunjuk sebagai salah satu penyebabnya, karena korupsi merupakan pengganggu kekuatan pasar dalam lingkup wilayah regulasi. Hubungan pribadi merupakan gangguan administrasi dalam persaingan, di mana secara licik hubungan baik dengan anggota-anggota birokrasi yang memegang posisi strategis dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sebagai keunggulan biaya absolut, yakni meminimalkan biaya usaha. Sedangkan ditinjau dari sisi lain, persaingan menjadi merugikan karena perusahaan-perusahaan yang tidak efisien terus menerima fasilitas bersubsidi dan fasilitas kredit investasi, mengingat perusahaan seperti itu adalah perusahaan pribumi yang keadaannya lemah.
Seperti dapat kita simak dari pernyataan para pakar dan praktisi, deregulasi lewat Inpres 4/1985 juga memporakporandakan statusquo industri pelayaran antarpulau, sekalipun relevansi eksplisit dari peraturan tersebut terhadap pelayaran antarpulau – menurut Dick – sedikit sekali. Karena itu, dengan dikeluarkannya Inpres ini, yang menjadi tantangan bukanlah menghilangkan tetapi mendefinisikan kembali peranan pemerintah dan mengembangkan  industri pelayaran antarpulau secara serasi dengan pengembangan perdagangan antarpulau – suatu matra yang lebih luas cakupannya.
Kita lihat saja, apakah “warning” Dick ini ditanggapi dengan cepat dan tepat, ataukah karena kekurangpedulian maka industri pelayaran antarpulau terperosok pada jalur sempit yang tercipta karena terlampau ketatnya kontradiksi dan friksi antara regulasi dan persaingan pasar. Apakah diperlukan re-regulasi lagi untuk menata deregulasi yang telah dilakukan? (Tika Noorjaya)


 

Judul Buku: The Indonesian Shipping Industry: An Analysis of Competition and Regulation
Penulis: H. W. Dick
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, 1987.





Resensi Buku ini dimuat PIKIRAN RAKYAT, 20 Juli 1989.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar