JALUR SEMPIT PELAYARAN ANTARPULAU
Oleh Tika Noorjaya
Nenek
moyang kita adalah pelaut ulung, yang kemampuannya mengarungi lautan bahkan
sempat membawanya ke Madagaskar, Afrika. Keulungan di laut, bahkan sempat
melahirkan semboyan kejayaan dunia kelautan kita, Jalesveva Jayamahe ! Hal ini barangkali berkaitan dengan kondisi “negara”
kita yang memang terdiri dari ribuan pulau, di mana untuk berhubungan satu sama
lain, pada waktu itu, jelas hanya mungkin melalui laut. Barangkali, hal itu
juga berkaitan dengan konsep keunggulan komparatif bagi masing-masing pulau,
demikianlah, kita kenal berbagai kepulauan menspesialisasasikan diri dan
memperdagangkan komoditi tertentu, yang pada akhirnya melahirkan sebuah
industri: industri pelayaran antarpulau – sebuah industri yang bagi negara
bersemboyan “Bhineka Tunggal Ika”, kiranya, hanya beberapa industri sajalah
yang peranan pentingnya melebihi atau menyamai industri ini.
Apakah
kejayaan di lautan itu, khususnya dalam kaitan ekonomi, juga diwarisi dalam
kondisi masa kini? Dengan mengkaji buku ini pertanyaan tersebut dengan berat
hati harus dijaab dengan “Tidak !” – sekalipun kita lihat juga berbagai upaya
pemerintah untuk menata industri ini, antara lain lewat Inpres nomor 4/1985 dan
Pakto 21/1988, yang keduanya mengacu pada deregulasi.
**
SETELAH Pendahuluan pada Bab I, secara umum pembahasan dalam buku
ini dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yakni sejarah, pasar, perusahaan,
dan regulasi. Dalam Bab II yang mengulas sejarah secara panjang-lebar,
ditunjukkan bahwa industri ini telah berjalan sejak kurun waktu penjajahan
dengan perhatian utama pada perkembangan kebijakan pemerintah pascakemerdekaan.
Bagian yang membahas “Pasar” terdiri dari dua bab, yakni “Struktur Pasar dan
Persaingan” (Bab III) dan “Dampak Persaingan” (Bab IV) yang diukur dengan
maju-mundurnya perusahaan dan redistribusi pangsa pasar. Pembahasan mengenai “Perusahaan”
juga terdiri dari dua bab; yang pertama menyajikan suatu gambaran umum tentang “Perusahaan
Swasta” (Bab V), dan yang kedua rincian pandangan mengenai Pelni (Bab VI).
Pembahasan mengenai “Regulasi” dikaitkan kembali dengan tinjauan sejarah dan
merupakan penyelidikan yang lebih mendalam tentang kebijakan dalam bidang “Prasarana”
(Bab VII), “Perizinan dan Pengendalian” (Bab VIII), “Kebijakan Investasi” (Bab
IX), serta “Pengaturan Tarif Angkutan Laut” (Bab X), sambil menunjukkan bahwa
dalam jangka panjang, baik secara umum maupun secara khusus, peraturan telah
gagal untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan. Bab XI (“Kesimpulan”)
mengkaji masalah keefektifan regulasi dengan membahas alasan-alasan keberatan
dan keberlangsungan regulasi tersebut serta prospek perubahannya.
***
SEKALIPUN
Dick dengan tegas menyatakan bahwa buku ini bertujuan “melakukan analisis
ekonomi atas prestasi dan kebijakan di bidang industri pelayaran antarpulau
yang sangat vital sejak Indonesia merdeka”, namun karena analisis tersebut
dilakukan dengan pendekatan teoritis, statistik dan sejarah ekonomi, maka di
samping berbagai temuan dan saran kita juga disodori uraian yang jarang
dilakukan para ekonom kita, yakni sejarah – dalam hal ini sejarah pelayaran
antarpulau yang dimulai sejak pelayaran reguler pertama pada tahun 1850.
Bahkan, di situlah justru letak kekuatan buku ini, dan karenanya tidak
mengurangi arti penting buku ini sekalipun tidak menyertakan perkembangan
terakhir, seperti halnya dengan penerbitan kebijakan Pakno 21/1988.
Menarik
untuk mengutip kesimpulannya bahwa kinerja industri pelayaran antarpulau yang
menyedihkan merupakan hasil akhir dari kekuatan-kekuatan persaingan (pasar) dan
regulasi, yang seringkali bertentangan. Meskipun regulasi itu dimaksudkan untuk
meningkatkan efisiensi, namun beberapa peraturan justru memperlemah keefektifan
persaingan (pasar). Di lain pihak, persaingan pasar dapat menghambat
pelaksanaan kebijakan pemerintah. Hasil akhirnya? Tak pelak lagi:
ketidakefisienan dan ketidakmerataan.
Secara
otoritatif, buku ini menyajikan gambaran mengapa hal ini terus berlangsung
dalam industri pelayaran antarpulau kita, di mana korupsi ditunjuk sebagai
salah satu penyebabnya, karena korupsi merupakan pengganggu kekuatan pasar
dalam lingkup wilayah regulasi. Hubungan pribadi merupakan gangguan
administrasi dalam persaingan, di mana secara licik hubungan baik dengan
anggota-anggota birokrasi yang memegang posisi strategis dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu sebagai keunggulan biaya absolut, yakni meminimalkan biaya
usaha. Sedangkan ditinjau dari sisi lain, persaingan menjadi merugikan karena
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien terus menerima fasilitas bersubsidi
dan fasilitas kredit investasi, mengingat perusahaan seperti itu adalah
perusahaan pribumi yang keadaannya lemah.
Seperti
dapat kita simak dari pernyataan para pakar dan praktisi, deregulasi lewat
Inpres 4/1985 juga memporakporandakan statusquo
industri pelayaran antarpulau, sekalipun
relevansi eksplisit dari peraturan tersebut terhadap pelayaran antarpulau –
menurut Dick – sedikit sekali. Karena itu, dengan dikeluarkannya Inpres ini, yang
menjadi tantangan bukanlah menghilangkan tetapi mendefinisikan kembali peranan
pemerintah dan mengembangkan industri pelayaran antarpulau secara serasi
dengan pengembangan perdagangan antarpulau
– suatu matra yang lebih luas cakupannya.
Kita
lihat saja, apakah “warning” Dick ini ditanggapi dengan cepat dan tepat, ataukah
karena kekurangpedulian maka industri pelayaran antarpulau terperosok pada
jalur sempit yang tercipta karena terlampau ketatnya kontradiksi dan friksi
antara regulasi dan persaingan pasar. Apakah diperlukan re-regulasi lagi untuk menata deregulasi
yang telah dilakukan? (Tika Noorjaya)
Judul Buku: The Indonesian Shipping Industry: An Analysis of Competition
and Regulation
Penulis: H. W. Dick
Penerbit: Institute of Southeast Asian Studies, 1987.
Resensi Buku ini dimuat PIKIRAN RAKYAT, 20 Juli 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar