Judul: Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
Penulis: Burhanuddin Abdullah.
Penyunting: Tika Noorjaya.
Penerbit: LP3ES, Jakarta.
Cetakan Kedua: Juni 2006.
Tebal: xxii + 407 halaman.
Buku Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (JMS) karya Burhanuddin Abdullah (BA), Gubernur Bank Indonesia (BI), ini tampaknya cukup diminati pembaca. Tak lebih dari setengah tahun, buku ini telah dicetak-ulang. Dan berbeda dengan Edisi Pertama, dalam Edisi Kedua ini, JMS dilengkapi dengan ”Pengantar” dari Bambang Harymurti (Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo) dan Emha Ainun Najib (Budayawan).
Kedua
“pengantar” itu seperti bersepakat untuk memberikan pujian terhadap JMS, sekaligus pujian kepada BA. Seperti
motto Tempo, Harymurti menyebut buku
ini ”cukup enak dibaca... Tatabahasanya terjaga, dan hampir tak
ada cacat” (hal. xvi). Hal ini agaknya tak lepas dari kerja keras PT Pustaka
LP3ES dan penyuntingnya. Yang sangat menarik ádalah ketika
Harymurti membandingkan BA dengan Alan Greenspan (Chairman Federal Reserve): Alan Greenspan hanya disibukkan oleh
tantangan bagaimana memperbaiki kinerja Ferrari agar berjalan lebih kencang dan
aman, karena mobil sport ini berada
di jalan tol yang licin, sementara seorang Burhanuddin Abdullah harus
memindahkan Ferrarinya dulu ke jalan beraspal agar kendaraan ini dapat berjalan
sesuai fungsinya (hal xviii). Sementara Emha Ainun Nadjib, sang
budayawan, menilai JMS “sebagai
lambang puncak kefasihan seorang pekerja, dan buku ini penting untuk dibaca…”,
dengan memaparkan tiga alasan (hal. xxi-xxii).
Inilah barangkali salahsatu upaya Bank Indonesia (BI)
untuk semakin mensosialisasikan dirinya, termasuk memasyarakatkan hasil
pemikiran nakhodanya, yang selama ini hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan
terbatas dalam berbagai kesempatan yang berbeda. BI, sebagai bank
sentral, selain ingin memahami masyarakat, tampaknya juga merasa perlu
memberikan pemahaman pada masyarakat, bukan hanya saat krisis, tapi juga dalam
keadaan normal. Agaknya, pimpinan BI menyadari betul pernyataan Paul A. Volker,
mantan Chairman Federal Reserve: “Most
people will not know what the central bank when things are going smoothly. It is only when things go poorly that the central bank
becomes prominent”. Apabila keadaan berlangsung normal, masyarakat tidak
mengetahui apa itu bank sentral. Namun apabila terjadi krisis, bank sentral
kerap dituding menjadi penyebab masalah.
Keragaman Minat
Untuk kepentingan inilah tampaknya JMS dikemas sebagai buku
umum, dan menghindari kesan sebagai kumpulam pidato pejabat. Menarik pula untuk
dicatat, bahwa JMS tak semata-mata berwacana tentang moneter, perekonomian
atau perbankan – seperti dipersepsikan masyarakat. Boleh dibilang, JMS
hampir menampakkan citra BA, sang penulis, yang memiliki keragaman minat –
merentang dari keahliannya sebagai otoritas moneter hingga pengamat ekonomi,
kepedulian terhadap rakyat kecil, kemitraan kerja, bahkan pendekatan budaya.
Meskipun perimbangan artikel dan kedalaman kajian di
setiap Bagian tak merata, pembabakannya menjadi 7 Bagian (7 Bab), agaknya merupakan
kompromi dari keinginan untuk menampilkan BI sebagai penjaga stabilitas moneter
dalam perekonomian dan pengawas perbankan, yang didukung dengan upaya
peningkatan profesionalisme sumberdaya manusia, dilandasi nilai-nilai dan
budaya kerja.
Bagian I (14 artikel), memaparkan Perekonomian Indonesia:
Ekonomi, Moneter, dan Internasional, khususnya dalam tiga tahun terakhir,
2003-2005. Dalam kurun ini, tampaklah bahwa perkembangan perekonomian yang
secara umum mulai membaik, tak terhindar dari berbagai dinamika dalam rangka
meretas jalan menuju stabilitas. Hal ini, misalnya, sangat menonjol tatkala
terjadi guncangan harga minyak dunia dan global
financial imbalance, yang mempengaruhi ketidakstabilan makroekonomi
domestik. ”Kenaikan harga minyak dunia telah menyebabkan kenaikan permintaan
valas (valuta asing) di pasar domestik. Kondisi ini diperberat oleh penyesuaian
portfolio investor asing dalam merespon perubahan suku bunga luar negeri dan
gejolak nilai tukar dunia. (Ujungnya), dalam pasar valas yang masih relatif
tipis, kedua gejolak tersebut menciptakan volatilitas nilai tukar Rupiah” (hal.
61). Meskipun sempat mengundang pertanyaan di kalangan masyarakat, upaya BI yang
dikordinasikan dengan Pemerintah, secara bertahap telah mengembalikan Rupiah ke
posisi sebelum krisis. Bagian ini dilengkapi pula dengan kajian tentang masalah
globalisasi, terkait liberalisasi perdagangan dan perbankan dalam kerangka WTO,
serta upaya kerjasama regional di tataran ASEAN; tak lupa pandangan tentang
perekonomian dan arsitekstur keuangan Islam internasional.
Masalah Perbankan dan Sektor Riil (Bagian II) diwakili 13 artikel. Isyu
tentang fungsi intermediasi perbankan dan pengembangan sektor riil sangat
menonjol di bagian ini, termasuk upaya pengembangan sektor Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) dan Bank syariah, bahkan lembaga keuangan bukan bank.
Kebijakan Bank Indonesia bukan hanya terkait dengan pembuatan regulasi, dan
pengembangan kelembagaan, tetapi juga menyediakan bantuan teknis berupa
penyediaan Sistem dan Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK), serta
berbagai jenis pelatihan kepada perbankan (Bank Umum dan BPR) dan para
pendamping UMKM. Tujuan dari semua kegiatan itu adalah agar semakin banyak UMKM
yang bisa mengakses sumber dana dari perbankan. ”Usaha mikro dan kecil, terlalu
bernilai untuk diabaikan”, katanya (hal. 164).
Masalah Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dikelompokkan ke dalam Bagian
III, dengan 8 artikel yang mengkaji berbagai isyu di sekitar API, sekalipun
isyu tentang API sendiri secara umum sempat juga dipaparkan di Bagian lain,
sesuai dengan konteksnya. ”API (ternyata) memuat policy direction dalam bentuk program pengembangan perbankan untuk
mencapai suatu visi dan bentuk yang ingin dicapai oleh industri perbankan
nasional, yakni menghasilkan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien
yang mampu menciptakan kestabilan sistem keuangan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional. Dengan demikian, setiap kebijakan perbankan dalam kurun waktu
10-15 tahun ke depan tidak akan terlepas dari framework API” (hal. 202).
Tatakelola yang Baik dan Transparansi (Bagian IV) berisi 8 artikel yang
juga terkait dengan perbankan, khususnya sehubungan dengan penanganan tindak
kejahatan melalui perbankan dan aspek hukum lainnya. Dalam hubungan ini,
pengenalan tatakelola yang baik, pengelolaan risiko, dan audit interen
merupakan jawaban dari berbagai kemungkinan penyalahgunaan profesi bankir.
Menarik untuk disimak, bahwa kerjasama BI dengan aparat keamanan sudah terbina
sejak lama, bahkan telah mengimplementasikan sejumlah kesepakatan bersama, dan
mencapai berbagai keberhasilan. Salah satu contoh keberhasilan tersebut adalah
ketika FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam sidang
plenonya, 9-11 Februari 2005, menetapkan bahwa Indonesia bukan lagi negara yang
tidak kooperatif dalam pemberantasan money
laundering (hal. 264). Dalam konteks ini, pantas untuk digarisbawahi, bahwa
ternyata komitmen dan berbagai langkah konkrit kita untuk membangun dan
mengimplementasikan sistem anti-money
laundering yang efektif telah dihargai dan dinilai memadai oleh dunia
internasional.
Bagian V secara khusus memaparkan peranan Bank Indonesia
dalam Pembangunan Nasional. Credonya: Menata Kinerja, Membangun Citra. Di
Bagian ini menarik untuk dicermati adanya pergeseran nilai BI yang berkeinginan
untuk menjadi lembaga pelayanan masyarakat. Dengan demikian, ”semua kebijakan
BI haruslah didasari pada kepentingan pencapaian tujuan masyarakat dalam jangka
panjang yaitu kesejahteraan yang berkeadilan. ... BI akan dengan sekuat tenaga
dan segala upaya memberikan produk terbaik bagi masyarakat; mencoba memahami
masyarakat dengan segala kebutuhannya, dan bukan sebaliknya, yaitu BI ingin
dipahami oleh masyarakat” (hal. 287). Termasuk di dalamnya berbagai upaya untuk
meningkatkan peranan Kantor Bank Indonesia (KBI) di daerah-daerah, sehingga
keberadaan Bank Indonesia akan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,
khususnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu, BI
juga menunjukkan kepedulian pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan, melalui
“Program Bank Indonesia untuk Pengembangan Masyarakat”. Keseluruhan wacana ini,
dikemas dalam 6 artikel.
Bagian VI (Pendidikan, Profesionalisme, dan Kepemimpinan)
yang dituangkan melalui 12 artikel, menunjukkan arah kebijakan GBI untuk
semakin meningkatkan kompetensi dan profesionalisme sumberdaya manusia, sebagai
unsur penentu dalam sebuah sistem, bukan hanya di kalangan perbankan tetapi
juga karyawan Bank Indonesia sendiri, yang bertanggungjawab untuk mengawasi
kinerja perbankan nasional. Obsesinya, ingin ”melahirkan suatu generasi bankir
baru yang mampu membawa perbankan Indonesia menjadi perbankan yang sehat,
tangguh, dan sanggup menjadi tuan rumah di negeri sendiri, sekaligus mampu
bersaing dengan perbankan internasional (hal. 321). Tak heran kalau kemudian
dilakukan berbagai jenis pendidikan, seminar dan pelatihan, serta Sertifikasi
bagi pengelola Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, termasuk bagi karyawan Bank Indonesia sendiri.
Adapun Bagian VII (Nilai-nilai dan Budaya Kerja; 9
artikel) merupakan penggenap dari semua usaha di atas, dengan menyelaraskan
antara struktur dan kultur kerja, serta refleksinya terhadap hari-hari nasional
yang bukan hanya disikapi sebagai peristiwa ritual melainkan pendalaman dan
pencarian maknanya dalam bekerja. Etos Kerja, Kerja Keras, Keberhasilan,
Disiplin, Kreativitas, Keberanian, Budaya Kerja, Integritas, Makna Kerja, dan
lain-lain adalah isyu-isyu besar yang dipaparkan dalam Bagian ini dengan bahasa
yang sederhana dan sarat makna. Tak pelak, meskipun pangsa halamannya relatif
kecil (38 halaman), Bagian ini sarat dengan berbagai idiom dan frasa indah,
yang agaknya hadir dari perenungan yang mendalam. Rujukannya terhadap berbagai
literatur, menunjukkan keseriusannya. Dan karenanya, tertuang harapan agar BA
di masa depan bisa lebih mengelaborasi ide-ide besarnya ini ke dalam paparan yang
lebih komprehensif.
Hal lain yang mungkin perlu mendapat perhatian adalah
ketiadaan Indeks. Untuk buku sekaliber JMS,
agaknya Indeks Buku merupakan suatu keharusan – yang sayangnya tak muncul dalam
buku ini.
Optimisme dan Kehati-hatian
”Optimisme” agaknya mengawali masa-masa awal BA sebagai nakhoda otoritas
moneter, karena saat itu perekonomian Indonesia telah mulai membaik, inflasi
cenderung menurun, kurs Rupiah terus menguat, sukubunga kredit menurun, ...
ditambah dengan kondisi nasional yang telah secara dewasa melangsungkan
pemilihan umum yang sangat demokratis; serta pemilihan presiden secara langsung
yang berjalan mulus. Saat ini pun optimisme itu terus mencuat, seperti ”Pengantar”
GBI dalam buku ini. Di sisi lain, soal kelembagaan juga merupakan bagian dari
optimisme itu, dengan semakin mantapnya kelembagaan Bank Indonesia melalui
addendum terhadap Undang-undang Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia.
”Kehati-hatian” agaknya sisi lain yang merupakan perhatian utama GBI.
Obsesinya untuk melihat perbankan yang semakin tangguh, diimplementasikannya
secara bertahap, dimulai dengan merumuskan Enam Pilar Arsitektur Perbankan
Indonesia (API), sehingga diharapkan perbankan Indonesia secara bertahap dapat
bermain dalam level of playing field
yang setara dengan negara lain yang lebih maju.
Dengan optimisme dan kehati-hatian yang diterapkan Bank Indonesia, kiranya
terbentang jalan menuju stabilitas untuk mencapai pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar