Selasa, 21 April 2015

Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Resensi Buku
Judul: Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Penulis: Burhanuddin Abdullah.

Penyunting: Tika Noorjaya.

Penerbit: LP3ES, Jakarta.
Cetakan Kedua: Juni 2006.
Tebal: xxii + 407 halaman.



Buku Jalan Menuju Stabilitas. Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (JMS) karya Burhanuddin Abdullah (BA), Gubernur Bank Indonesia (BI), ini tampaknya cukup diminati pembaca. Tak lebih dari setengah tahun, buku ini telah dicetak-ulang. Dan berbeda dengan Edisi Pertama, dalam Edisi Kedua ini, JMS dilengkapi dengan ”Pengantar” dari Bambang Harymurti (Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo) dan Emha Ainun Najib (Budayawan).
Kedua “pengantar” itu seperti bersepakat untuk memberikan pujian terhadap JMS, sekaligus pujian kepada BA. Seperti motto Tempo, Harymurti menyebut buku ini ”cukup enak dibaca... Tatabahasanya terjaga, dan hampir tak ada cacat” (hal. xvi). Hal ini agaknya tak lepas dari kerja keras PT Pustaka LP3ES dan penyuntingnya. Yang sangat menarik ádalah ketika Harymurti membandingkan BA dengan Alan Greenspan (Chairman Federal Reserve): Alan Greenspan hanya disibukkan oleh tantangan bagaimana memperbaiki kinerja Ferrari agar berjalan lebih kencang dan aman, karena mobil sport ini berada di jalan tol yang licin, sementara seorang Burhanuddin Abdullah harus memindahkan Ferrarinya dulu ke jalan beraspal agar kendaraan ini dapat berjalan sesuai fungsinya (hal xviii). Sementara Emha Ainun Nadjib, sang budayawan, menilai JMS “sebagai lambang puncak kefasihan seorang pekerja, dan buku ini penting untuk dibaca…”, dengan memaparkan tiga alasan (hal. xxi-xxii).
Inilah barangkali salahsatu upaya Bank Indonesia (BI) untuk semakin mensosialisasikan dirinya, termasuk memasyarakatkan hasil pemikiran nakhodanya, yang selama ini hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan terbatas dalam berbagai kesempatan yang berbeda. BI, sebagai bank sentral, selain ingin memahami masyarakat, tampaknya juga merasa perlu memberikan pemahaman pada masyarakat, bukan hanya saat krisis, tapi juga dalam keadaan normal. Agaknya, pimpinan BI menyadari betul pernyataan Paul A. Volker, mantan Chairman Federal Reserve: “Most people will not know what the central bank when things are going smoothly. It is only when things go poorly that the central bank becomes prominent”. Apabila keadaan berlangsung normal, masyarakat tidak mengetahui apa itu bank sentral. Namun apabila terjadi krisis, bank sentral kerap dituding menjadi penyebab masalah.

Keragaman Minat
Untuk kepentingan inilah tampaknya JMS dikemas sebagai buku umum, dan menghindari kesan sebagai kumpulam pidato pejabat. Menarik pula untuk dicatat, bahwa JMS tak semata-mata berwacana tentang moneter, perekonomian atau perbankan – seperti dipersepsikan masyarakat. Boleh dibilang, JMS hampir menampakkan citra BA, sang penulis, yang memiliki keragaman minat – merentang dari keahliannya sebagai otoritas moneter hingga pengamat ekonomi, kepedulian terhadap rakyat kecil, kemitraan kerja, bahkan pendekatan budaya.
Meskipun perimbangan artikel dan kedalaman kajian di setiap Bagian tak merata, pembabakannya menjadi 7 Bagian (7 Bab), agaknya merupakan kompromi dari keinginan untuk menampilkan BI sebagai penjaga stabilitas moneter dalam perekonomian dan pengawas perbankan, yang didukung dengan upaya peningkatan profesionalisme sumberdaya manusia, dilandasi nilai-nilai dan budaya kerja.
Bagian I (14 artikel), memaparkan Perekonomian Indonesia: Ekonomi, Moneter, dan Internasional, khususnya dalam tiga tahun terakhir, 2003-2005. Dalam kurun ini, tampaklah bahwa perkembangan perekonomian yang secara umum mulai membaik, tak terhindar dari berbagai dinamika dalam rangka meretas jalan menuju stabilitas. Hal ini, misalnya, sangat menonjol tatkala terjadi guncangan harga minyak dunia dan global financial imbalance, yang mempengaruhi ketidakstabilan makroekonomi domestik. ”Kenaikan harga minyak dunia telah menyebabkan kenaikan permintaan valas (valuta asing) di pasar domestik. Kondisi ini diperberat oleh penyesuaian portfolio investor asing dalam merespon perubahan suku bunga luar negeri dan gejolak nilai tukar dunia. (Ujungnya), dalam pasar valas yang masih relatif tipis, kedua gejolak tersebut menciptakan volatilitas nilai tukar Rupiah” (hal. 61). Meskipun sempat mengundang pertanyaan di kalangan masyarakat, upaya BI yang dikordinasikan dengan Pemerintah, secara bertahap telah mengembalikan Rupiah ke posisi sebelum krisis. Bagian ini dilengkapi pula dengan kajian tentang masalah globalisasi, terkait liberalisasi perdagangan dan perbankan dalam kerangka WTO, serta upaya kerjasama regional di tataran ASEAN; tak lupa pandangan tentang perekonomian dan arsitekstur keuangan Islam internasional.
Masalah Perbankan dan Sektor Riil (Bagian II) diwakili 13 artikel. Isyu tentang fungsi intermediasi perbankan dan pengembangan sektor riil sangat menonjol di bagian ini, termasuk upaya pengembangan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Bank syariah, bahkan lembaga keuangan bukan bank. Kebijakan Bank Indonesia bukan hanya terkait dengan pembuatan regulasi, dan pengembangan kelembagaan, tetapi juga menyediakan bantuan teknis berupa penyediaan Sistem dan Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK), serta berbagai jenis pelatihan kepada perbankan (Bank Umum dan BPR) dan para pendamping UMKM. Tujuan dari semua kegiatan itu adalah agar semakin banyak UMKM yang bisa mengakses sumber dana dari perbankan. ”Usaha mikro dan kecil, terlalu bernilai untuk diabaikan”, katanya (hal. 164).
Masalah Arsitektur Perbankan Indonesia (API), dikelompokkan ke dalam Bagian III, dengan 8 artikel yang mengkaji berbagai isyu di sekitar API, sekalipun isyu tentang API sendiri secara umum sempat juga dipaparkan di Bagian lain, sesuai dengan konteksnya. ”API (ternyata) memuat policy direction dalam bentuk program pengembangan perbankan untuk mencapai suatu visi dan bentuk yang ingin dicapai oleh industri perbankan nasional, yakni menghasilkan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien yang mampu menciptakan kestabilan sistem keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, setiap kebijakan perbankan dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan tidak akan terlepas dari framework API” (hal. 202).
Tatakelola yang Baik dan Transparansi (Bagian IV) berisi 8 artikel yang juga terkait dengan perbankan, khususnya sehubungan dengan penanganan tindak kejahatan melalui perbankan dan aspek hukum lainnya. Dalam hubungan ini, pengenalan tatakelola yang baik, pengelolaan risiko, dan audit interen merupakan jawaban dari berbagai kemungkinan penyalahgunaan profesi bankir. Menarik untuk disimak, bahwa kerjasama BI dengan aparat keamanan sudah terbina sejak lama, bahkan telah mengimplementasikan sejumlah kesepakatan bersama, dan mencapai berbagai keberhasilan. Salah satu contoh keberhasilan tersebut adalah ketika FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering) dalam sidang plenonya, 9-11 Februari 2005, menetapkan bahwa Indonesia bukan lagi negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan money laundering (hal. 264). Dalam konteks ini, pantas untuk digarisbawahi, bahwa ternyata komitmen dan berbagai langkah konkrit kita untuk membangun dan mengimplementasikan sistem anti-money laundering yang efektif telah dihargai dan dinilai memadai oleh dunia internasional.
Bagian V secara khusus memaparkan peranan Bank Indonesia dalam Pembangunan Nasional. Credonya: Menata Kinerja, Membangun Citra. Di Bagian ini menarik untuk dicermati adanya pergeseran nilai BI yang berkeinginan untuk menjadi lembaga pelayanan masyarakat. Dengan demikian, ”semua kebijakan BI haruslah didasari pada kepentingan pencapaian tujuan masyarakat dalam jangka panjang yaitu kesejahteraan yang berkeadilan. ... BI akan dengan sekuat tenaga dan segala upaya memberikan produk terbaik bagi masyarakat; mencoba memahami masyarakat dengan segala kebutuhannya, dan bukan sebaliknya, yaitu BI ingin dipahami oleh masyarakat” (hal. 287). Termasuk di dalamnya berbagai upaya untuk meningkatkan peranan Kantor Bank Indonesia (KBI) di daerah-daerah, sehingga keberadaan Bank Indonesia akan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu, BI juga menunjukkan kepedulian pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan, melalui “Program Bank Indonesia untuk Pengembangan Masyarakat”. Keseluruhan wacana ini, dikemas dalam 6 artikel.
Bagian VI (Pendidikan, Profesionalisme, dan Kepemimpinan) yang dituangkan melalui 12 artikel, menunjukkan arah kebijakan GBI untuk semakin meningkatkan kompetensi dan profesionalisme sumberdaya manusia, sebagai unsur penentu dalam sebuah sistem, bukan hanya di kalangan perbankan tetapi juga karyawan Bank Indonesia sendiri, yang bertanggungjawab untuk mengawasi kinerja perbankan nasional. Obsesinya, ingin ”melahirkan suatu generasi bankir baru yang mampu membawa perbankan Indonesia menjadi perbankan yang sehat, tangguh, dan sanggup menjadi tuan rumah di negeri sendiri, sekaligus mampu bersaing dengan perbankan internasional (hal. 321). Tak heran kalau kemudian dilakukan berbagai jenis pendidikan, seminar dan pelatihan, serta Sertifikasi bagi pengelola Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat, termasuk  bagi karyawan Bank Indonesia sendiri.
Adapun Bagian VII (Nilai-nilai dan Budaya Kerja; 9 artikel) merupakan penggenap dari semua usaha di atas, dengan menyelaraskan antara struktur dan kultur kerja, serta refleksinya terhadap hari-hari nasional yang bukan hanya disikapi sebagai peristiwa ritual melainkan pendalaman dan pencarian maknanya dalam bekerja. Etos Kerja, Kerja Keras, Keberhasilan, Disiplin, Kreativitas, Keberanian, Budaya Kerja, Integritas, Makna Kerja, dan lain-lain adalah isyu-isyu besar yang dipaparkan dalam Bagian ini dengan bahasa yang sederhana dan sarat makna. Tak pelak, meskipun pangsa halamannya relatif kecil (38 halaman), Bagian ini sarat dengan berbagai idiom dan frasa indah, yang agaknya hadir dari perenungan yang mendalam. Rujukannya terhadap berbagai literatur, menunjukkan keseriusannya. Dan karenanya, tertuang harapan agar BA di masa depan bisa lebih mengelaborasi ide-ide besarnya ini ke dalam paparan yang lebih komprehensif.
Hal lain yang mungkin perlu mendapat perhatian adalah ketiadaan Indeks. Untuk buku sekaliber JMS, agaknya Indeks Buku merupakan suatu keharusan – yang sayangnya tak muncul dalam buku ini.

Optimisme dan Kehati-hatian
”Optimisme” agaknya mengawali masa-masa awal BA sebagai nakhoda otoritas moneter, karena saat itu perekonomian Indonesia telah mulai membaik, inflasi cenderung menurun, kurs Rupiah terus menguat, sukubunga kredit menurun, ... ditambah dengan kondisi nasional yang telah secara dewasa melangsungkan pemilihan umum yang sangat demokratis; serta pemilihan presiden secara langsung yang berjalan mulus. Saat ini pun optimisme itu terus mencuat, seperti ”Pengantar” GBI dalam buku ini. Di sisi lain, soal kelembagaan juga merupakan bagian dari optimisme itu, dengan semakin mantapnya kelembagaan Bank Indonesia melalui addendum terhadap Undang-undang Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia.
”Kehati-hatian” agaknya sisi lain yang merupakan perhatian utama GBI. Obsesinya untuk melihat perbankan yang semakin tangguh, diimplementasikannya secara bertahap, dimulai dengan merumuskan Enam Pilar Arsitektur Perbankan Indonesia (API), sehingga diharapkan perbankan Indonesia secara bertahap dapat bermain dalam level of playing field yang setara dengan negara lain yang lebih maju.
Dengan optimisme dan kehati-hatian yang diterapkan Bank Indonesia, kiranya terbentang jalan menuju stabilitas untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar