26 tahun UUPA: MASALAH YANG SULIT TUNTAS
Oleh Tika Noorjaya
A.T. Mosher pernah mengatakan:
"Masalah manusia dan lahan akan
tetap timbul dan terus menerus menjadi hangat dalam semua sistem
ekonomi" dan ternyata memang benar.
Seperti tahun-tahun
lalu, berita-berita dan tulisan-tulisan mengenai masalah lahan banyak hadir ke
permukaan, terlebih pada saat-saat yang berdekatan dengan peringatan hari
kelahiran Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Pokok-pokok Agraria
(UUPA), seperti halnya hari-hari terakhir
ini.
Kelahiran UUPA 26
tahun yang lalu, tepatnya tanggal 24 September 1960, tampaknya banyak
mengilhami masyarakat dan pemerintah, wartawan, para akar dan politisi untuk menonjolkan
masalah lahan, meskipun seringkali kita dapati masalah tersebut menghangat pada
satu saat untuk kemudian tenggelam dalam pelukan masalah lain.
LAHAN
YANG LANGKA
Dengan perkembangan
pembangunan dan di lain pihak pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, maka lahan
menjadi sesuatu yang langka, baik
ditinjau dari segi kuantitas (dalam arti lahan
= land) maupun kualitas
kesuburannya (dalam arti tanah = soil). Agar
lebih memudahkan, dalam uraian selajutnya istilah lahan dan tanah
diganti dengan tanah saja, yang pengertiannya disesuaikan dengan konteks
permasalahannya.
Ditinjau dari segi
kuantitas, tanah menjadi langka antara lain
karena tingginya tingkat kelahiran dan sulitnya mengadakan perluasan, sehingga man-land
ratio, yaitu nisbah antara jumlah penduduk
terhadap luas tanah, semakin tinggi misalnya kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan Madura yang pada tahun 1975
baru sekitar 630 jiwa/km2, pada tahun 1983 meningkat menjadi menjadi sekitar 730 jiwa/km2. Sedangkan kemunduran kualitas dan
kesuburan tanah antara lain disebabkan oleh tekanan ekologis yang berlebihan, seperti intensifnya pengolahan tanah tanpa
mengusahakan perbaikannya, adanya efek sampingan dari pembuangan material sisa industri
yang sulit terurai, dan sebagainya.
Akibat kelangkaan
tersebut, permintaan terhadap tanah semakin meningkat dengan harga yang semakin
tinggi. Sementara itu, kemampuan membeli cenderung dilakukan oleh golongan
masyarakat dengan pendapatan tinggi (petani berdasi ?). Hal itu ditunjang dengan adanya anggapan umum pada masyarakat negara
berkembang, bahwa sebagian kelebihan
daya beli pada golongan pendapatan tinggi disalurkan sebagai investasi pada
tanah.
Pola demikian
menyebabkan pemilikan tanah cenderung semakin dikuasai oleh sebagian kecil
orang kaya, sedangkan petani/penduduk miskin terdesak; ada yang ke
pedalaman/pegunungan, mengerogoti hutan-hutan yang secara ekologis sangat rawan
dan mengkhawatirkan; ada yang tersingkir
dari kehiduan pedesaan mencari tumpuan
harapan di kota-kota besar; ada yang memanfaatkan anjuran pemerintah
untuk bertransmigrasi; dan ada juga yang tetap tinggal di desa, ... membagi
kemiskinan!!!
TANAH TERLANTAR
Dalam kondisi
kelangkaan sedemikian, munculnya berita tentang
areal perkebunan terlantar yang sebagian besar terdapat di Jawa Barat bagian
Selatan, memang mengejutkan, meskipun luas sesungguhnya yang dinyatakan pejabat tertentu tidak saling
mendukung. Terlepas dari luasnya yang agaknya masih simpang-siur, menelantarkan
tanah di Pulau Jawa yang sumpek ini adalah sebuah ironi yang barangkali dapat digolongkan sebagai pemborosan sumberdaya.
Karena itu kiranya
tidak berlebihan andaikata tanah terlantar
tersebut didistribusikan saja kepada para penggarap tanah/petani yang
tidak memiliki tanah. Dalam hal ini, apa tidak sebaiknya Pemerintah Provinsi
Jawa Barat membuat program transmigrasi
lokal, yakni memindahkan penduduk yang padat di sebelah Utara/Tengah ke
daerah-daerah yang jarang penduduknya (termasuk di tempat lahan perkebunan
terlantar) di Jawa Barat bagian Selatan ?
Program yang sama
juga berlaku bagi provinsi lain yang pola penyebaran penduduknya timpang,
seperti halnya di Provinsi Lampung yang tampaknya berhasil memindahkan sebagian
penduduk dari Kabupaten Lampung Selatan ke Kabupaten Lampung Utara.
PERLU REFORMASI
ATAU TIDAK?
Kalau kita menengok sejarah, sejak manusia
mempertahankan hidupnya dengan perburuan di hutan atau menangkap ikan di sungai
atau mengumpulkan hasil hutan, kemudian perladangan berpindah-pindah, sampai
sistem bercocok tanam menetap dengan penggunaan teknologi yang canggih, tanah
seringkali menimbulkan persengketaan,
yang melalui sejarah panjang menyadarkan manusia tentang perlunya reformasi penguasaan tanah. Karena itu, kita mengenal
reformasi tanah sejak berabad-abad yang lalu, misalnya di Yunani sejak enam abad
sebelum Masehi dan di Roma sejak dua abad sebelum Masehi.
Akan tetapi, karena
hubungan manussia dengan suatu sumberdaya (dalam hal ini: tanah) hanya
mempunyai arti jika merupakan hubungan aktivitas, maka tentu saja masalah
penguasaan tanah bukan masalah yang sederhana; bukan hanya menyangkut hubungan
manusia dengan tanah, tapi juga terlebih-lebih merupakan hubungan manusia yang
satu dengan manusia yang lainnya. Sehingga, adanya ketentuan yuridis dan teknis
saja dalam pelaksanaan reformasi tanah belum merupakan sarana yang tepat, tanpa
pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut aspek sosial, ekonoomis maupun
psikologis.
Barangkali, itulah
antara lain penyebab mengapa UUPA yang sudah diundangkan sejak 26 tahun yang
lalu dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan harapan. Dan, land-reform (Undang-undang nomor 56 Prp. tahun 1960) sebagai pelaksanaan dari
Pasal UUPA selalu hangat dibicarakan.
Dari
"kehangatan" para pakar dan politisi dalam memasalahkan land-reform, secara tajam dapat dipilah
menjadi dua kelompok, yakni pendukung land-reform di satu pihak dan kelompok penolaknya
di pihak lain, yang masing-masimg mempunyai alasan.
Para penolak land-reform beranggapan bahwa dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk di satu sisi dan jumlah areal tanah yang
relatif tidak berubah di sisi lainnya, maka pembagian tanah akan menciptakan petani-petani yang tanahnya
sempit (petani gurem) yang mungkin tidak efisien lagi sebagai unit usahatani; bahkan
pada suatu saat tidak mungkin lagi dilakukan pembagian tanah. Sedangkan para
pendukung land-reform menilai bahwa land-reform adalah masalah struktural yang bukan hanya sekedar membagikan
tanah semata-mata melainkan merombak penguasaan tanah yang lebih adil
sehubungan adanya berbagai ketimpangan dalam masyarakat; lagi pula model land-reform yang diterapkan dapat disesuaikan
dengan keadaan maing-masing negara (bahkkan daerah ?).
Alasan kedua yang
dikemukakan para penolak adalah bahwa dengan semakin meningkatnya penguasaan
teknologi maka potensi sumberdaya alam bukan tanah dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bahan makanan, sehingga tanah dianggap tidak penting. Pendukung land-reform memang mengakui
kemajuan-kemajuan teknologi tersebut, tetapi selama manusia belum mampu
membebaskan diri dari bahan makanan yang
berasal dari bumi maka selama itu pula tanah tetap mempunyai arti penting.
Bahkan Dr. Burton Onate, seorang pakar dari Filipina belum lama ini menyatakan
bahwa teknologi pertanian yang dikenal dengan Revolui Hijau hanya membuat
petani miskin di Dunia Ketiga menjadi lebih miskin lagi, karena penguasaan teknologi
tidak merata, yang cenderung lebih menguntungkan negara maju.
Alasan ketiga yang
dikemukakan para penolak bahwa land-reform
"harganya" mahal sekali, di mana diperlukan pemerintahan yang kuat, organisasi kerja panitia land-reform yang rapi, jujur dan tidak vested interest, memerlukan persiapan lama, biayanya mahal, bahkan
harus mampu mengendalikan gejolak yang mungkin berkembang setelah pelaksanaan land-reform, karena betapa pun dalam pelaksanaan program tersebut ada pihak-pihak yang merasa
dirugikan.
Namun, bagi para pendukung
land-reform yang optimistis menilai bahwa alasan-alasan itu hanya
dibbuat-buat untuk mengukuhkan pendapatnya, karena kalau memang menyadari
pentingnya land-reform dikaitkkan
dengan masalah struktural maka semua keberatan tersebut akan dapat diselesaikan.
Kalau kita
perhatikan keberatan kelompok yang menolak
land-reform, maka kondisi
Indonesia saat ini tampaknya menyokong kelompok ini, setidak-tidaknya dalam
jangka pendek.
Pemilihan Umum
(Pemilu) tahun1987 jelas meminta stabilitas baik pra maupun paska. Menghangatkan isyu land-reform mungkin hanya akan
mengeruhkan suasana, apalagi kalau diingat bahwa pada masa lalu isyu ini secara
vokal dilancarkan organisasi terlarang.
Dalam situasi
perekonomian yang lesu, yang
diperkirakan masih akan berlangsung
beberapa tahun lagi, dalam jangka pendek barangkali lebih relevan melaksanakan capital reform daripada land-reform, khususnya kalau tanah dan
modal dipandang sebagai aset nasional. Sebagai contoh, tanpa melaksanakan land-reform pun, tanah dapat dikenakan
pajak yang berarti merupakan pendapatan bagi negara; sedangkan menyimpan uang
deposito tidak dikenakan pajak. Masih untung kalau uang tersebut didepositokan di
dalam negeri, dapat memutar roda perekonomian negara kita; bagaimana kalau uang
tersebut mengendap di luar negeri? Kalau orang memiliki tanah lebih dari 5 hektar (batas maksimum pemilikan
tanah) dihadapkan dengan reformasi tanah, mengapa orang memiliki puluhan,
ratusan atau milyaran rupiah tidak dihadapkan dengan reformasi uang? Dan
sebagainya.
Lagi pula, apakah
masyarakat (Lembaga Swadaya Masyarakat =
LSM) kita sudah siap untuk menghadapi tugas berat tersebut? Apa artinya
ketergesaan kalau melahirkan kerumitan di belakang hari!
Meskipun demikian,
sesuai dengan yang dirumuskan dalam GBHN,
yaitu
"penataan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka pemanfaatan
tanah untuk kesejahteraan rakyat," maka upaya-upaya untuk mempersiapkan pelaksanaan UUPA secara
konsekuen dan konsisten seyogianya terus dimantapkan; tidak hanya sekedar kesepakatan
dalam pembicaraan, melainkan yang terutama adalah tindak lanjutnya. Pengalaman
beberapa negara lain tampaknya ada baiknya juga dijadikan sebagai bahan
perbandingan.
Keberhasilan
Nederland dalam melaksanakan land-reform
antara lain disebbabkan persiapan yang matang sekali, yang didasarkan pada penelitian ilmiah yang memakan waktu lama.
Selain itu, pelaksanaan land-reform dilakukan setelah paling
sedikit duapertiga dari penduduk suatu desa meminta kepada kepala negara agar
didesanya diadakan land-reform.
Taiwan memulai
pelaksanaan land-reform dengan
penurunan sewa tanah pada akhir tahun 1949 dan redistribusi tanah baru diselesaikan
pada tahun 1953, dengan prinsip "tanah untuk tani-penggarap. Kondisi ini
berhasil menjadikan pendapatan lebih merata dan peningkatan produktivitas
pertanian. Keberhasilan ini antara lain
disebutkan adanya stabilitas dalam seluruh aspek kehidupan, penelitian
(termasuk pengukuran dan pendaftaran tanah) yang cermat, penyuluhan yang baik,
pengembangan sarana perkreditan yang cepat, dan yang terpenting adanya
peran-serta rakyat setempat yang tahu persis tentang penguasaan tanah di daerahnya.
Memang, Indonesia
bukan Nederland atau Taiwan, atau negara-negara lain yang
melaksanakan land-reform
dengan berhasil. Tetapi, tampaknya ada
kesamaan permasalahan pokok, yakni kemampuan
dan kebulatan tekad pemerintah yang dijabarkan dalam tindak lanjut
operasional didukung dengan peran-serta masyarakat.
Adakah kesiapan
kitta (pemerintah dan masyarakat) untuk melaksanakan land-reform, atau lebih luas lagi UUPA, secara konsekuen dan
konsisten ?
Pernyataan A.T.
Mosher seperti dalam pembuka tulisan ini tampaknya menunjukkan kebenarannya.
Tantangnnya, bagaimana kita menguasai
masalah, dan tidak malahan kita yang dikuasai oleh masalah.
Ayo, siapa berani ? Ngacung!!
Artikel
ini dimuat HU PRIORITAS, 23 September 1986.